Radit menoleh dengan tatapan tajam yang membuat Elina terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan itu, seolah Radit sedang menguji reaksinya.
"Kamu tidak sedang berpikir mesum tentang saya, kan?" tanya Radit dengan nada ringan, namun matanya penuh dengan godaan yang tidak bisa disembunyikan. Elina hampir saja tersedak, merasakan darahnya mengalir cepat ke wajahnya. Ketegangan langsung mencengkeramnya. Dia merasa seperti seluruh tubuhnya terperangkap dalam pandangan Radit yang tajam. Tidak tahu harus menjawab apa, Elina hanya bisa menundukkan kepala, wajahnya memerah. "Saya mohon maaf, Pak Radit," ujarnya, suara gemetar. Sekarang dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya di hadapan Radit yang perlahan mendekat. Radit mengangkat alisnya, lalu mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, cukup dekat untuk membuat Elina merasa semakin gugup. "Jadi, itu benar?" godanya lebih lanjut, senyum nakalnya semakin terlihat. "Bagaimana kalau kita coba lakukan apa yang kamu bayangkan tadi?" Elina langsung menggelengkan kepala, wajahnya semakin merona. "Eh, tidak Pak Radit," jawabnya, hampir berbisik. Kalimat itu keluar dengan cepat, dipenuhi dengan rasa malu yang membuat seluruh tubuhnya bergetar. Radit langsung menarik dagu Elina agar mereka saling tatap satu sama lain. Bahkan dia tidak yakin kalau semuanya jadi lebih baik. Elina diam-diam memikirkan semuanya. "Apa yang kamu pikirkan tentang saya?" Elina terdiam ketika Radit bertanya seperti itu, dia sendiri pun tidak punya jawaban yang pasti sekarang. Sampai tiba-tiba bibirnya dilumat dengan manja oleh Radit. Elina terkejut ketika merasa benda kenyal itu menyatu dengan bibirnya yang manja. Membuat dia sedikit pun tidak tahan dibuatnya. "Manis bukan?" Radit mengatakan itu setelah dia kembali memberikan ciuman pada bibir lembut Elina. Radit menatap Elina dengan senyum menggoda yang tak bisa disembunyikan. "Pak Radit," protes Elina dengan nada malu, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan yang mulai membuncah di dalam dirinya. Radit hanya tertawa pelan, matanya penuh dengan misteri. "Kamu bahkan tidak bisa berbohong, Elina. Bibirmu menikmatinya," bisiknya dengan lembut tepat di telinga Elina. Suaranya menggema dalam ruang yang semakin terasa sempit, membuat Elina tak bisa lagi menyembunyikan kegugupannya. Tanpa memberikan kesempatan untuk menjawab, Radit tersenyum penuh arti, senyuman yang mengandung tantangan. Dia berbalik dan berjalan menuju kenop pintu, membuka pintu itu perlahan, seolah memberi waktu bagi Elina untuk memikirkan segala yang telah terjadi di antara mereka. Jantung Elina berdegup lebih cepat, perasaan yang sulit dijelaskan mulai menghantui pikirannya. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Kenapa dia merasa terjebak dalam suasana yang semakin panas ini? Elina menghela napas pelan, sebelum akhirnya melangkah mengikuti Radit ke dalam ruangan. Begitu Radit melangkah masuk terlebih dahulu, Elina baru mengikuti di belakangnya dengan langkah yang sedikit ragu. Namun, baru saja mereka memasuki ruangan tersebut, suara terkejut keluar dari mulut Elina. "Loh," Elina terkejut melihat ada dua orang yang sudah berada di dalam ruangan. Mereka adalah seorang perempuan dan seorang pria yang tampaknya sudah menunggu kedatangan Radit. Radit menoleh ke arah mereka dengan santai, seakan tidak terkejut sama sekali. "Ah, Tuan Radit datang," sapa perempuan itu dengan nada sopan, sambil berdiri dan tersenyum hangat ke arah Radit. "Kami sudah menunggu Anda." Elina hanya bisa berdiri terdiam, perasaan bingung dan penasaran datang seiring dengan suasana yang semakin membingungkannya. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Mengapa Radit membawa Elina ke tempat yang ternyata sudah ada orang lain? Radit melirik Elina, melihat ekspresi kebingungannya. Dengan tatapan yang lebih lembut, dia kemudian beralih pada dua orang yang ada di ruangan itu. "Ini Elina," ujar Radit sambil memperkenalkan Elina kepada mereka. "Dia akan bergabung dengan kita." Perempuan itu tersenyum dan mengangguk dengan ramah. "Senang bertemu denganmu, Elina," katanya dengan suara hangat. "Kami sudah menyiapkan segalanya." Elina merasa semakin canggung. Apa yang dimaksud dengan 'bergabung'? Apa sebenarnya yang sedang terjadi di ruangan ini? Radit memperhatikannya dengan cermat, kemudian berjalan lebih dekat ke Elina, memberi isyarat untuk mengikutinya. "Aku Lisa," kata orang tersebut para Elina. "Elina," jawab Elina yang berkenalan dengan orang tersebut. "Lisa berikan Jio kepada Elina," ujar Radit karena sebenarnya yang membutuhkan asi adalah anaknya. "Baik Tuan." Lisa memberikan anak kecil sekitar umur satu tahun itu kepada Elina. Dia menatap sekilas kearah Elina dengan pandangan aneh. Sebelum akhirnya dia memutuskan pergi keluar setelah memberikan bayi tersebut. Elina menerima bayi tersebut dan dia mendorongnya dengan perlahan. Dia sedikit berpikir jernih sekarang. Jadi yang dimaksud oleh Radit tadi adalah junior anaknya, bukan kepunyaan miliknya. "Elina kamu sungguh memalukan sudah berpikir mesum," umpat Elina pada dirinya sendiri. Dia menyadari kebodohannya karena berpikir kalau yang butuh asi itu adalah bosnya. Bagaimana bisa dia bahkan sampai berpikir seperti itu tadi. Beruntung sekali pikirannya sudah kembali menjadi jernih sekarang. "Kalau begitu, kamu mulai sekarang menjadi ibu susu anakku," kata Radit. Elina melihat kearah anak tersebut dengan sekilas. Andai saja anaknya masih hidup, mungkin saja mereka masih seumuran sekarang. "Jadi ini yang dimaksud oleh Pak Radit?" tanya Elina lagi. "Iya, memangnya apa yang kamu harapkan?" Elina merasa jengkel sekarang, dia sudah berpikir kalau Radit akan melakukan sesuatu padanya. Tetapi malah hanya mengurus anaknya saja. "Saya pikir ada hal yang lain," ujar Elina. "Sudahlah, lebih baik sekarang kamu susui dia," saran Radit. Elina hanya mengangguk dan dia hendak akan membuka dua kancing kemeja yang dia gunakan. Sebelum akhirnya dia sadar kalau Radit ada di sini. "Pak Radit tidak keluar?" tanya Elina. Radit mengambil iPad milik dirinya dan melihat kearah Elina kembali. Dia hanya ingin memastikan sesuatu saja. "Memangnya kenapa kalau saya diam di sini, apa kamu merasa keberatan?" tanya Radit. Elina mengumpat dalam hatinya, jelas dirinya merasa keberatan sekarang. Terlebih ketika melihat bosnya itu menatap dirinya seperti itu. Apalagi dia hendak akan memberikan asi kepada anaknya, bagaimana kalau terus diperhatikan seperti ini. Membuat dia merasa tidak nyaman saja. "Pak Radit, saya merasa tidak nyaman kalau Pak Radit terus memperhatikan saya seperti itu!" ujar Elina. Radit hanya tersenyum tipis ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Elina barusan. "Jadi maksud kamu, mengusir saya dari kamar anak saya sendiri!" ujar Radit. "Bukan seperti itu Pak." Elina mengumpat kesal, kenapa bosnya itu tidak peka sekali. Dia tidak bermaksud untuk mengusirnya, tetapi bagaimana kalau dia melakukan itu dihadapannya. "Sudahlah, lakukan apapun yang kamu lakukan." Radit mengatakan itu dengan santai. Dia diam-diam tersenyum dengan penuh arti ketika melihat Elina yang tidak jauh dari sana. Wanita itu perlahan membuka kancing bajunya dengan pelan. Membuat Radit malah menelan salivanya, jakunnya sudah naik turun dan dia benar-benar tidak yakin dengan yang dia lihat. . Elina memunggungi dirinya, membuat dia tidak bisa melihat sama sekali. Bahkan dia malah kesulitan untuk berbicara sekarang. "Kamu sengaja memunggungi anakku sendiri seperti itu." "Kenapa memangnya, Pak Radit mau mengintip!" balas Elina dengan kesal. Bosnya itu malah tidak mau kabur sama sekali. Bahkan dia tidak menyangka kalau akan jadi seperti ini. "Ah sial." Elina menyadari bosnya itu malah mengumpat kesal. Dia jadi heran dengan apa yang terjadi pada Radit. "Pak Radit kenapa?" tanya Elina, merasa kebingungan dengan tingkah bosnya barusan. Radit tidak mengatakan apapun yang dia rasakan sekarang. Dia lalu berdiri dan pergi begitu saja. Kepergiannya membuat Elina justru merasa curiga dengan laki-laki tersebut. "Ada apa dengan Pak Radit?" tanya Elina dalam hati, merasa bingung. Sebelumnya, Radit tidak pernah bertindak seperti itu. Pintu kamar kembali tertutup setelah Radit keluar. Elina menatap ke arah bayi yang sudah terlelap tidur setelah dia memberikan ASI. Dengan hati-hati, Elina membaringkan bayi tersebut ke atas ranjang bayi yang memang sudah disiapkan di sini. Dia memperhatikan bayi itu dengan seksama, hatinya penuh rasa sayang. "Di mana ibu dari anak ini? Bukankah seharusnya ibunya yang memberi ASI pada anaknya?" batin Elina yang merasa curiga dan penasaran dengan keberadaan ibu dari bayi tersebut. Rasa penasaran mulai tumbuh dalam dirinya. Mungkin, lebih baik jika dia menanyakan hal ini nanti pada Radit. Sekarang, dia merasa tugasnya sudah selesai dan dia bisa pulang. "Nama bayi ini lucu sekali. Semoga nanti kita bisa bertemu lagi, nak," ujar Elina sambil mencubit pipi gembul bayi yang begitu menggemaskan itu. Elina tersenyum bahagia karena bisa melihat bayi tersebut. Keberadaan bayi itu mengingatkannya pada bayinya yang sudah meninggal. "Andai saja kamu masih hidup, nak. Pasti sekarang kamu akan seumuran dengan bayi ini." BERSAMBUNG BERSAMBUNGElina masih duduk di tepi ranjang kamar Radit. Jemarinya membelai lembut kotak beludru biru tua yang baru saja diterimanya. Di dalamnya, berkilauan sebuah kalung emas putih dengan liontin mungil berbentuk bulan sabit bertabur berlian kecil. Bukan hanya indah, tapi juga perhiasan edisi terbatas yang hanya diproduksi lima buah di dunia. Ia bahkan masih sulit percaya Radit menghadiahkannya sesuatu seistimewa ini."Jadi kamu memintaku untuk datang ke pesta itu?" tanya Elina, menatap Radit dengan campuran rasa bahagia dan gugup."Tentu saja," jawab Radit seraya mendekat. "Apa kamu keberatan?"Elina menggeleng, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih banyak. Kapan acaranya?""Dua hari lagi. Aku ingin kamu datang bersamaku, Elina. Aku tidak mau menyembunyikan hubungan ini lagi."Hati Elina berdegup lebih kencang. Ada rasa haru dan juga keraguan yang belum sepenuhnya hilang. “Apa ibumu juga akan hadir?”Radit mengangguk. "Iya, dan aku ingin kamu bertemu dengannya. Aku harap kamu bisa mengenalnya…
Rian berdiri di sudut ruangan sambil memandangi Kina yang sedang sibuk merapikan pita berwarna emas di sisi meja. Di tengah kerlap-kerlip lampu hias dan aroma manis dari kue cokelat yang baru saja diletakkan di atas meja, suasana rumah Radit berubah hangat dan penuh kehidupan.Mereka berdua kini berada di rumah Radit, dan tak bisa dipungkiri, Rian merasa terkesan dengan hasil kerja keras Kina.“Aku sudah mendekorasi tempat ini sejak pagi,” ujar Kina sambil menoleh dengan senyum bangga.Rian mengangguk sambil memandangi sekeliling—balon warna-warni menggantung di langit-langit, dan foto-foto kecil Jio ditempelkan manis di dinding dalam bentuk kolase berbentuk hati.“Kamu memang punya sentuhan ajaib. Aku gak sabar lihat wajah Radit dan Jio nanti,” ujar Rian.“Mereka sudah berangkat dari rumah sakit?” tanya Kina sambil merapikan bunga segar di vas.“Dani baru saja bilang mereka sudah di jalan,” jawab Rian.Kina hanya mengangguk, namun sorot matanya menyiratkan rasa lega sekaligus haru. I
Elina berdiri diam di hadapan dua batu nisan yang berdampingan. Hembusan angin sore membelai rambutnya yang terurai, membawa aroma bunga tabur yang masih segar. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang belum sempat mengering. Di sinilah jasad mantan suaminya dan anak mereka dimakamkan. Dua nyawa yang pernah begitu berarti dalam hidupnya, kini hanya tinggal nama yang terukir di atas marmer."Sudah Elina, ayo kita pergi dari sini," suara lembut Radit memecah keheningan. Nada suaranya pelan, penuh pengertian.Elina mengusap pipinya, mengatur napas yang masih sesenggukan. "Aku masih belum bisa percaya semua ini sudah berakhir.""Anggap saja ini takdir, dan balasan bagi orang-orang yang menyakitimu. Kamu sudah cukup kuat, Elina. Sekarang waktunya pulang," ujar Radit menatapnya dalam.Dia tahu ini akan datang. Kepergian, kehilangan, dan akhirnya... kebebasan dari rasa sakit. Segalanya memang sudah berakhir. Orang-orang yang menghancurkan hidupnya telah menerima ganjarannya. Tapi luk
"Sialan," umpat Maya. Maya akhirnya tiba di tempat itu—sebuah gudang tua di pinggiran kota, sunyi dan gelap, hanya diterangi cahaya remang dari lampu gantung yang menggantung lemas di tengah ruangan. Bau debu dan karat menusuk hidungnya, tapi dia tetap melangkah pasti. Tempat ini bukan asing baginya. Di sinilah semuanya bermula... dan di sinilah semuanya harus berakhir.Di sudut ruangan, Bu Winda duduk bersandar pada tiang tua, tangannya terikat, rambutnya kusut, dan wajahnya pucat. Tapi matanya berbinar saat melihat Maya muncul dari balik bayangan."Akhirnya kamu datang juga... tolong, selamatkan aku," ucapnya dengan suara lemah namun penuh harap.Maya mendekat perlahan. Bukan dengan tergesa-gesa seperti seorang penyelamat, tapi dengan langkah pelan penuh perhitungan. Senyum samar terlukis di bibirnya—senyum yang tak mengandung secuil pun belas kasih."Bu Winda," ucapnya dingin. "Sayangnya... kau sudah tidak berarti apa-apa sekarang."Ekspresi harap di wajah Winda seketika berubah j
Radit sudah berhasil mengusir Sari dari tempat ini, dia tidak habis pikir kalau Sari mau mencelakai anaknya, dia tidak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain lagi setelah ini."Dia sudah pergi Tuan," ujar Bi Yati."Bagus deh kalau dia sudah pergi," jawab Radit. Bi Yati masih penasaran dengan keadaan Jio sekarang. Ada perasaan yang membuat hatinya tidak enak sekarang."Tuan, kalau boleh tahu, bagaimana keadaan Tuan Muda Jio sekarang?" tanya Bi Yati yang memang merasa penasaran."Dia baik-baik saja, ada Elina juga yang menjaga. Habis ini aku juga akan kembali datang ke sana," kata Radit memberitahu Bi Yati."Terima kasih banyak Tuan."Bi Yati hanya mengangguk sambil tersenyum tipis saja. Dia tidak tahu harus berkata apa setelah ini, bahkan dia tidak sanggup ketika mengetahui semuanya.Radit akhirnya kembali keluar dari rumah, kali ini dia akan datang ke sebuah gudang tempat di mana mertuanya Elina disekap. Tentu saja karena Radit tengah butuh bukti sekarang.Dia butuh bukti keterli
Bela mengikuti Rian dan masuk ke dalam gudang tua yang sudah lapuk dimakan usia. Bau lembap dan debu memenuhi udara, membuat napas Bela sedikit sesak. Mereka bergerak perlahan, menyusuri dinding yang sebagian sudah runtuh. Di balik celah kayu yang menganga, tampak sosok Maya tengah mengintip ke sebuah ruangan gelap.“Dia sedang apa?” bisik Bela, suaranya hampir tak terdengar.Rian menatap lurus ke depan. “Kamu lihat itu? Wanita yang diikat di kursi… dia ibu mertuanya Elina.”Bela terkesiap. Matanya membelalak ketika menyadari siapa wanita yang terikat itu. Tubuhnya tampak lemah, bibirnya kering, dan wajahnya penuh luka.“Apa… maksudmu? Kenapa dia di sini? Dan kenapa Maya—”“Ssst!” Rian menaruh telunjuk ke bibirnya, matanya tajam memperhatikan gerak-gerik Maya yang kini berbalik hendak pergi.“Cepat, sembunyi!” desis Rian.Mereka berdua buru-buru berjongkok di balik tumpukan kayu dan karung lusuh. Jantung Bela berdegup begitu keras seolah bisa terdengar dari luar. Napasnya tercekat saa
Radit melangkah pelan memasuki ruang perawatan, tempat Elina terbaring. Detak jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya, seolah tubuhnya merespon emosi yang selama ini dia tahan.Begitu melihat Elina yang tertidur lelap, dadanya terasa sesak. Wajah itu... begitu tenang, seolah tak pernah melewati badai hidup yang mengguncang mereka belakangan ini. Ia mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu perlahan menyentuh rambut Elina dengan penuh kelembutan.“Kamu pasti capek sekali...” bisiknya lirih.Ia menunduk, memberikan kecupan singkat di kening Elina. Momen itu membuat hatinya sedikit lebih tenang. Dekat dengan wanita yang ia cintai seperti ini memberinya kekuatan untuk terus bertahan.Namun, ketika matanya berpindah ke ranjang kecil di sisi lain, tempat anak mereka terbaring dalam selimut putih rumah sakit, hatinya kembali mencengkeram. Begitu kecil, begitu rapuh. Tak pernah terbayangkan Elina harus melalui semua ini."Radit..."Sebuah suara pelan menghentikan lamunannya. Elina menggeliat
Elina mendapatkan telepon dari Kina. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengangkatnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, firasatnya mengatakan ini bukan telepon biasa."Halo, Kina," ucap Elina dengan suara pelan namun penuh kewaspadaan."Aku sudah mendapatkan buktinya. Sari menyimpan obat itu... dan aku berhasil mengambilnya diam-diam," ujar Kina dengan napas terengah, seperti baru saja melakukan sesuatu yang berbahaya.Elina membelalakkan mata. "Kamu yakin itu obat yang menyebabkan Jio keracunan?""Aku yakin. Dan lebih dari itu, Sari tidak bekerja sendirian. Ada seseorang di balik semua ini. Seseorang yang sangat dekat dengannya."Suara berat dan asing tiba-tiba terdengar dari arah pintu."Aku tahu siapa orang itu," ucap Dani sambil berjalan masuk dengan langkah tenang tapi pasti.Elina menoleh cepat, matanya langsung menatap tajam ke arah Dani yang baru saja muncul di ambang pintu kamar rumah sakit Jio.Elina kembali ke telepon, "Kalau begitu aku tutup dulu ya, Kina. Hati-hati." Ia
Elina memandangi Jio yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya sayu tapi sesekali berkedip menanggapi suara lembut sang ibu.Dengan hati-hati, Elina menyodorkan botol susu ke mulut anak itu. "Kamu sudah sadar sekarang, nak," bisiknya penuh harap. "Kamu pasti merindukan ayahmu, ya?"Tak ada balasan, hanya tatapan kosong Jio yang membuat hati Elina kembali remuk. Tangannya gemetar seiring pikirannya yang melayang pada Radit, pria yang seharusnya kini berada di sisi mereka.Semuanya terasa rumit. Dia sudah berusaha sekuat tenaga menjaga Jio dan memastikan anak itu tetap hidup. Tapi tanpa Radit, segalanya terasa setengah. Lelaki itu seharusnya sudah bebas hari ini.Tiba-tiba pintu diketuk. Suara pelan tapi tegas."Permisi.""Masuk," ucap Elina, berusaha tetap tenang, meski detak jantungnya berpacu.Pintu terbuka, dan seorang pria dengan wajah cemas masuk ke ruangan. Rian. Sahabat lama Radit, dan satu-satunya orang yang masih membantu Elina selama semua kekacauan ini terja