Setelah membayar ojek online, Rumi sibuk mondar mandir di depan sebuah pagar yang megah. Hampir semalaman ia tidak bisa tidur, karena memikirkan kondisi Alpha. Apakah pria itu tidak apa-apa, setelah Rumi memukulkan vas bunga ke pelipis pria itu?
Rumi jadi bingung dan ketakutan sendiri. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menelepon beberapa teman lamanya yang berprofesi sebagai wartawan, untuk bertanya keberadaan dan posisi Qai saat ini.
Rumi tahu pria itu baru saja melangsungkan resepsi pernikahan tadi malam. Namun, Rumi yang tidak bisa lagi berpikir jernih itu, hanya bisa mengingat Qai di masa sekarang.
Sampai akhirnya, sampailah Rumi di depan sebuah rumah mewah, berdasarkan informasi yang didapatnya beberapa waktu lalu.
Saat Rumi mendengar suara pergerakan pintu pagar di depannya, ia langsung terpaku dan tidak bisa melangkah pergi ke mana pun.
“Dari tadi saya lihat Mbaknya mondar mandir di depan pagar, apa ada yang bisa saya bantu?”
Rumi menelan ludah. Ia yakin, pria yang menghampirinya saat ini adalah salah satu penjaga rumah kediaman Sebastian.
“Mbak!”
“I-iya, Pak, maaf.” Sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya sebisa mungkin, Rumi memberanikan diri untuk bicara. Terlebih lagi, saat pria berubuh tegap itu menelisiknya dari ujung rambut, hingga kaki. “Sa-saya, mau ketemu sama mas Qaishar. A-apa beliau … a-ada di dalam?”
“Mbak siapa?”
“Rumi! Saya Rumi.” Padahal, Rumi sudah berjanji untuk tidak mengganggu Qai di depan istrinya tempo hari. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Rumi tidak mungkin menghadapi Alpha seorang diri. “Sa-saya juga kenal sama mbak Thea. Tolong bilang ke mereka, saya mau ketemu sebentar.”
“Tunggu di sini.”
~~~~~~~~~~~
Qai duduk kaku di samping Thea yang mengalungkan tangan di lengannya dengan erat. Dari wajah dan sikap sang istri, Qai tahu benar Thea saat ini tengah cemburu pada Rumi yang duduk resah di hadapan mereka.
“Kamu ke mana aja, Rum?” Qai lebih dulu membuka obrolan, karena Rumi benar-benar terlihat kacau. Jika tidak ada Thea, Qai pasti sudah menghampiri Rumi dan mengajukan banyak pertanyaan setelah kepergian gadis itu.
Bukannya menjawab pertanyaan Qai, Rumi justru menatap Thea dengan serba salah. Sejak tadi, Rumi memegang erat tali tas selempang yang menyilang di tubuhnya dengan gusar dan banyak pikiran.
“Mbak Thea … saya mi-minta maaf.” Dengan tangan yang gemetar, Rumi membuka resleting tasnya lalu mengeluarkan sebilah pisau dari sana. Ia meletakkan benda tajam itu di meja dan membuat sepasang suami istri itu ternganga. “Saya memang sudah janji, nggak akan lagi ganggu Mas Qai tapi …”
Dengan suara yang gemetar, Rumi menceritakan semua hal yang terjadi kemarin sore hingga menjelang malam dengan Alpha.
“Rum—”
“Waktu aku tinggal Mas Alpha masih sadar, Mas,” sambar Rumi segera menyeka sudut matanya yang mulai basah. “A-aku takut dia … gimana kalau dia kehabisan darah terus … terus … apa aku bakal di penjara, Mas?”
Setelah mendengar penjelasan Rumi, Thea akhirnya bisa mengerti, mengapa gadis itu mendatangi Qai. Yang dihadapi Rumi adalah Alpha, sementara itu, yang bisa menghadapi pria itu adalah Qai.
“Pisau itu?” Thea menunjuk pisau di atas meja dengan tatapan ngeri. “Kamu yakin, kan, nggak ngapa-ngapain Alpha pake itu? Cuma pake vas bunga?”
“I-iya, Mbak.” Rumi mengangguk pelan. “Sekali lagi maaf kalau saya merepotkan, tapi—”
“Rumi, kalian berdua pernah pacaran?” Thea memutus karena ingin memastikan satu hal itu dari mulut Rumi. “Jangan ada yang ditutupi, supaya kami juga bisa bantu kamu.”
Rumi menunduk. Tidak berani melihat Qai yang sejak tadi hanya menyimak percakapan Thea dan dirinya. Qai pasti akan marah, jika tahu semua hal yang pernah terjadi di antara Rumi dan Alpha dahulu kala. Bagi Rumi, Qai sudah seperti seorang kakak yang suka membantu dan juga menasihatinya dalam berbagai hal.
“Ahh … kalian pernah pacaran rupanya.” Thea mengambil kesimpulan sendiri, setelah melihat respons Rumi barusan. “Beb, bukannya Alpha tadi malam nggak ada di resepsi kita, kan?” Thea mengingat-ngingat kembali deretan tamu yang sempat disalaminya. Tidak ada Alpha, tetapi ia sempat melihat Risa walaupun mereka belum sempat bersalaman.
“Nggak ada.” Qai menggeleng dan terus memperhatikan Rumi. Secara fisik, gadis itu terlihat sedikit kurus dengan sedikit bayangan hitam yang melingkar di kedua matanya. Rumi pasti mengalami sesuatu yang berat, setelah mengundurkan diri dari Glory.
“Mbak, aku cuma mau tahu, mas Alpha baik-baik aja atau nggak?” Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Alpha, maka Rumi pasti akan menanggung akibatnya.
“Dia cuma kena pukul vas,” celetuk Qai semakin prihatin dengan keadaan Rumi. “Nggak akan mati. Syukur-syukur kalau gegar otak.”
“Beb?” Thea berdecak sembari melotot pada Qai. “Biar gitu-gitu, dia itu saudaramu juga. Jadi—”
“Saudara?” Rumi semakin tidak mengerti. Bagaimana bisa Qai menjadi saudara Alpha?
“Nggak perlu bahas itu,” ujar Qai mengibas tangan dengan tegas pada Rumi. “Sekarang, kalau Alpha ternyata nggak mati seperti—”
“Beb?” Intonasi Thea mulai meninggi, karena Qai masih saja bernada sinis pada Alpha.
Qai menghela dan mengalah, karena tahu maksud sang istri. “Rumi, kalau Alpha baik-baik aja, percaya sama aku, kamu yang akan celaka.”
Detik itu juga, Rumi saling meremas kedua telapak tangannya yang semakin terasa dingin. “Ibu … sama adekku, Mas?”
Qai dan Thea saling lempar pandang untuk beberapa saat.
“Rum—”
“Mas!” Rumi buru-buru memotong ucapan Qai. “Apa pak Lingga meninggal juga gara-gara aku? Bu Hera … juga sampai ada di kursi roda gara-gara aku?”
Dahi Qai berkerut. “Kenapa kamu bisa bilang begitu?”
“Karena … karena aku yang buat Glory sampai goyang waktu itu.” Rumi akhirnya tidak bisa menyembunyikan hal tersebut pada Qai. “Terus, mungkin pak Lingga syok terus … begitu juga dengan bu Hera …”
“Rumi, kematian pak Lingga dan Hera yang ada di kursi roda, nggak ada hubungannya sama sekali dengan kamu.” Thea segera menjelaskan sedikit hal untuk menenangkan hati Rumi. Ia yakin, pemikiran Rumi barusan pasti dikarenakan perkataan dari Alpha kemarin malam. “Sekarang begini aja, untuk sementara kamu bisa tinggal sama Dandi biar aman. Urusan ibu sama adekmu, nanti … biar aku sama Qai bicarain dulu. Dan masalah Alpha masih hidup atau nggak, nanti biar kami yang cari tahu.”
Rumi terdiam dan masih mencerna semua ucapan Thea. Di saat kalut seperti sekarang, Rumi benar-benar tidak bisa memproses perkataan yang sesederhana itu. Bahkan untuk bertanya pun, Rumi benar-benar tidak bisa membuka mulut karena sudah terlampau bingung.
“Aku setuju sama Thea,” sambar Qai. “Sebelum kita selesaikan semua masalahmu sama Alpha, kamu tinggal sama Dandi dulu. Mumpung orangnya lagi di dalam, jadi, kita bisa omongin langsung hari ini juga.”
~~~~~~~~~~~~Bab ini sambungan dari Bab terakhir Breaking the Headline ~~ ingat-ingat duluu ~~
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan