Share

3. Hari Ini Juga

Setelah membayar ojek online, Rumi sibuk mondar mandir di depan sebuah pagar yang megah. Hampir semalaman ia tidak bisa tidur, karena memikirkan kondisi Alpha. Apakah pria itu tidak apa-apa, setelah Rumi memukulkan vas bunga ke pelipis pria itu?

Rumi jadi bingung dan ketakutan sendiri. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk menelepon beberapa teman lamanya yang berprofesi sebagai wartawan, untuk bertanya keberadaan dan posisi Qai saat ini.

Rumi tahu pria itu baru saja melangsungkan resepsi pernikahan tadi malam. Namun, Rumi yang tidak bisa lagi berpikir jernih itu, hanya bisa mengingat Qai di masa sekarang.

Sampai akhirnya, sampailah Rumi di depan sebuah rumah mewah, berdasarkan informasi yang didapatnya beberapa waktu lalu.

Saat Rumi mendengar suara pergerakan pintu pagar di depannya, ia langsung terpaku dan tidak bisa melangkah pergi ke mana pun.

“Dari tadi saya lihat Mbaknya mondar mandir di depan pagar, apa ada yang bisa saya bantu?”

Rumi menelan ludah. Ia yakin, pria yang menghampirinya saat ini adalah salah satu penjaga rumah kediaman Sebastian.

“Mbak!”

“I-iya, Pak, maaf.” Sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya sebisa mungkin, Rumi memberanikan diri untuk bicara. Terlebih lagi, saat pria berubuh tegap itu menelisiknya dari ujung rambut, hingga kaki. “Sa-saya, mau ketemu sama mas Qaishar. A-apa beliau … a-ada di dalam?”

“Mbak siapa?”

“Rumi! Saya Rumi.” Padahal, Rumi sudah berjanji untuk tidak mengganggu Qai di depan istrinya tempo hari. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Rumi tidak mungkin menghadapi Alpha seorang diri. “Sa-saya juga kenal sama mbak Thea. Tolong bilang ke mereka, saya mau ketemu sebentar.”

“Tunggu di sini.”

~~~~~~~~~~~

Qai duduk kaku di samping Thea yang mengalungkan tangan di lengannya dengan erat. Dari wajah dan sikap sang istri, Qai tahu benar Thea saat ini tengah cemburu pada Rumi yang duduk resah di hadapan mereka.

“Kamu ke mana aja, Rum?” Qai lebih dulu membuka obrolan, karena Rumi benar-benar terlihat kacau. Jika tidak ada Thea, Qai pasti sudah menghampiri Rumi dan mengajukan banyak pertanyaan setelah kepergian gadis itu.

Bukannya menjawab pertanyaan Qai, Rumi justru menatap Thea dengan serba salah. Sejak tadi, Rumi memegang erat tali tas selempang yang menyilang di tubuhnya dengan gusar dan banyak pikiran.

“Mbak Thea … saya mi-minta maaf.” Dengan tangan yang gemetar, Rumi membuka resleting tasnya lalu mengeluarkan sebilah pisau dari sana. Ia meletakkan benda tajam itu di meja dan membuat sepasang suami istri itu ternganga. “Saya memang sudah janji, nggak akan lagi ganggu Mas Qai tapi …”

Dengan suara yang gemetar, Rumi menceritakan semua hal yang terjadi kemarin sore hingga menjelang malam dengan Alpha.

“Rum—”

“Waktu aku tinggal Mas Alpha masih sadar, Mas,” sambar Rumi segera menyeka sudut matanya yang mulai basah. “A-aku takut dia … gimana kalau dia kehabisan darah terus … terus … apa aku bakal di penjara, Mas?”

Setelah mendengar penjelasan Rumi, Thea akhirnya bisa mengerti, mengapa gadis itu mendatangi Qai. Yang dihadapi Rumi adalah Alpha, sementara itu, yang bisa menghadapi pria itu adalah Qai.

“Pisau itu?” Thea menunjuk pisau di atas meja dengan tatapan ngeri. “Kamu yakin, kan, nggak ngapa-ngapain Alpha pake itu? Cuma pake vas bunga?”

“I-iya, Mbak.” Rumi mengangguk pelan. “Sekali lagi maaf kalau saya merepotkan, tapi—”

“Rumi, kalian berdua pernah pacaran?” Thea memutus karena ingin memastikan satu hal itu dari mulut Rumi. “Jangan ada yang ditutupi, supaya kami juga bisa bantu kamu.”

Rumi menunduk. Tidak berani melihat Qai yang sejak tadi hanya menyimak percakapan Thea dan dirinya. Qai pasti akan marah, jika tahu semua hal yang pernah terjadi di antara Rumi dan Alpha dahulu kala. Bagi Rumi, Qai sudah seperti seorang kakak yang suka membantu dan juga menasihatinya dalam berbagai hal.

“Ahh … kalian pernah pacaran rupanya.” Thea mengambil kesimpulan sendiri, setelah melihat respons Rumi barusan. “Beb, bukannya Alpha tadi malam nggak ada di resepsi kita, kan?” Thea mengingat-ngingat kembali deretan tamu yang sempat disalaminya. Tidak ada Alpha, tetapi ia sempat melihat Risa walaupun mereka belum sempat bersalaman.

“Nggak ada.” Qai menggeleng dan terus memperhatikan Rumi. Secara fisik, gadis itu terlihat sedikit kurus dengan sedikit bayangan hitam yang melingkar di kedua matanya. Rumi pasti mengalami sesuatu yang berat, setelah mengundurkan diri dari Glory.

“Mbak, aku cuma mau tahu, mas Alpha baik-baik aja atau nggak?” Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Alpha, maka Rumi pasti akan menanggung akibatnya.

“Dia cuma kena pukul vas,” celetuk Qai semakin prihatin dengan keadaan Rumi. “Nggak akan mati. Syukur-syukur kalau gegar otak.”

“Beb?” Thea berdecak sembari melotot pada Qai. “Biar gitu-gitu, dia itu saudaramu juga. Jadi—”

“Saudara?” Rumi semakin tidak mengerti. Bagaimana bisa Qai menjadi saudara Alpha?

“Nggak perlu bahas itu,” ujar Qai mengibas tangan dengan tegas pada Rumi. “Sekarang, kalau Alpha ternyata nggak mati seperti—”

“Beb?” Intonasi Thea mulai meninggi, karena Qai masih saja bernada sinis pada Alpha.

Qai menghela dan mengalah, karena tahu maksud sang istri. “Rumi, kalau Alpha baik-baik aja, percaya sama aku, kamu yang akan celaka.”

Detik itu juga, Rumi saling meremas kedua telapak tangannya yang semakin terasa dingin. “Ibu … sama adekku, Mas?”

Qai dan Thea saling lempar pandang untuk beberapa saat.

“Rum—”

“Mas!” Rumi buru-buru memotong ucapan Qai. “Apa pak Lingga meninggal juga gara-gara aku? Bu Hera … juga sampai ada di kursi roda gara-gara aku?”

Dahi Qai berkerut. “Kenapa kamu bisa bilang begitu?”

“Karena … karena aku yang buat Glory sampai goyang waktu itu.” Rumi akhirnya tidak bisa menyembunyikan hal tersebut pada Qai. “Terus, mungkin pak Lingga syok terus … begitu juga dengan bu Hera …”

“Rumi, kematian pak Lingga dan Hera yang ada di kursi roda, nggak ada hubungannya sama sekali dengan kamu.” Thea segera menjelaskan sedikit hal untuk menenangkan hati Rumi. Ia yakin, pemikiran Rumi barusan pasti dikarenakan perkataan dari Alpha kemarin malam. “Sekarang begini aja, untuk sementara kamu bisa tinggal sama Dandi biar aman. Urusan ibu sama adekmu, nanti … biar aku sama Qai bicarain dulu. Dan masalah Alpha masih hidup atau nggak, nanti biar kami yang cari tahu.”

Rumi terdiam dan masih mencerna semua ucapan Thea. Di saat kalut seperti sekarang, Rumi benar-benar tidak bisa memproses perkataan yang sesederhana itu. Bahkan untuk bertanya pun, Rumi benar-benar tidak bisa membuka mulut karena sudah terlampau bingung.

“Aku setuju sama Thea,” sambar Qai. “Sebelum kita selesaikan semua masalahmu sama Alpha, kamu tinggal sama Dandi dulu. Mumpung orangnya lagi di dalam, jadi, kita bisa omongin langsung hari ini juga.”

~~~~~~~~~~~~

Bab ini sambungan dari Bab terakhir Breaking the Headline ~~ ingat-ingat duluu ~~

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Delanggu Mei
cerita sebelumnya dmana ya kak..tak cari2 kok ga ketemu..
goodnovel comment avatar
Susan Manies
tak kira in mas Qai nya pak pras ternyata beda cerita ya thor....kenapa cerita sebelumnya ga sekalian di taruh di GN juga,jadi kan kita bacanya bisa lebih kompleks
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
aki mw jodohin aja Dandi sama Rumi. tapi kita kira mbk beib setuju gk y
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status