“Ini …” Setelah sekian lama menutup mulut karena ancaman Alpha, Rumi akhirnya angkat bicara. Ia menegakkan tubuh dan menatap pelan area parkir yang baru mereka masuki. “Apartemen …”
Rumi sampai tidak bisa berpikir sama sekali, ketika menatap gedung apartemen yang dulu sering didatanginya. Bahkan, Rumi juga sempat mengenal beberapa pegawai yang bekerja di tempat tersebut, karena terlalu sering menghabiskan waktu di unit milik Alpha.
“Mau … mau apa kamu bawa aku ke sini, Mas?” Sejak tadi, Rumi memilih diam karena tidak ingin keluarganya mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, saat ini yang harus dipikirkan Rumi adalah nasib dirinya sendiri.
Rumi telah membuat Glory mengalami krisis dan mengakibatkan Lingga meninggal dunia. Jangan-jangan, Alpha ingin membalaskan semua sakit hati itu pada Rumi dengan mencelakakannya.
Tidak … Rumi tidak boleh mati konyol di tangan Alpha.
“Sudah kubilang jangan macam-macam, atau keluargamu—”
“Mas!” Detak jantung Rumi mulai meningkat tajam. Terlebih lagi, langit di luar sana sudah mulai menggelap dan semua kejahatan akan semakin sempurna dilakukan di saat seperti ini. “Kalau sampai—"
“Diam! Dan jangan berani-berani bentak atau ngancam aku, Rum!” Alpha membalas tidak kalah keras. Ia memarkirkan mobil dan segera mematikan mesinnya. “Keluar! Dan jangan coba-coba lari atau teriak! Karena waktu aku bilang keluargamu nggak akan—”
“Pengecut!” Rumi memaki dengan intonasi yang bergetar. Tubuhnya terasa dingin, tetapi hatinya bergejolak penuh amarah bercampur ketakutan.
Bodoh!
Rumi merutuk pada dirinya sendiri, karena sudah terlalu bodoh hingga pernah jatuh dalam “perangkap” Alpha. Kalau sudah terjepit seperti ini, Rumi tidak tahu lagi apa yang akan dilakukannya. Di satu sisi, Rumi ingin lepas dari intimidasi Alpha dan berlari sekuat mungkin meninggalkan pria itu. Namun di sisi lain, ada ibu dan adiknya yang akan menjadi taruhan bila ia berani melawan pria itu.
Rumi benar-benar bodoh.
“Pengecut?” Alpha tertawa mengejek, sembari membuka sabuk pengamannya. Ia mencondongkan tubuh ke arah Rumi, kemudian meraih rahang gadis itu dan mencengkramnya. “Kamu sedang memberi sebutan untuk dirimu sendiri, kan? Pe-nge-cut! Kalau kamu berani, kamu pasti sudah berdiri angkuh di Angkasa dan ada di samping Qai. Tapi apa? Tikus curut pun masih lebih punya keberanian daripa—”
“Apa maumu, Mas?” Semakin lama, Rumi semakin muak mendengar Alpha menghinanya. “Anggaplah aku pengecut, tapi semua yang kamu lakuin di belakangku itu betul—betul keterlaluan. Kamu sama perempuan itu sudah—"
“Apa kamu lupa!” Alpha menghempas wajah Rumi. “Kita melakukan semua itu atas dasar suka sama suka. Aku butuh kamu dan kamu butuh uangku. Saling menguntungkan dan nggak ada yang dirugikan! Tapi apa balasanmu, Rum? Kamu bawa rahasia—”
“Dan kamu tidur sama perempuan itu, Mas!” Di sinilah titik amarah Rumi.
“Aku bebas tidur dengan siapa aja yang aku mau!”
“Mas!”
“Kita nggak pernah punya hubungan apa pun!” Alpha kembali menghardik lebih keras dari Rumi. “A-pa-pun! Selain di tempat kerja dan tempat tidur!”
“Bereng—”
“Keluar!” Alpha yang mulai kesal itu, berbalik dan keluar dengan cepat lalu mengitari mobilnya. Ia membuka pintu mobil di sisi Rumi, kemudian menarik paksa gadis itu keluar dari mobil. “Diam dan jangan berbuat apa-apa,” desis Alpha berbicara tepat di telinga Rumi.
Sejenak, Alpha terpaku saat menghidu aroma tubuh Rumi yang masih sama seperti dahulu kala. Benar-benar tidak ada yang berubah. Tetap manis dan memabukkan.
“Ta-tapi, kita mau apa di sini?” Sampai detik ini pun, Rumi masih tidak mengerti dengan kemauan Alpha.
Tidak hanya hal tersebut yang tidak dimengerti Rumi. Namun, beberapa waktu lalu, Alpha juga berada di hotel yang sama, tempat Qai menggelar resepsi pernikahannya dengan mewah. Apakah Alpha berencana menghadiri resepsi pernikahan tersebut?
Namun, mengapa pria itu datang lebih awal ke hotel dan …
Ah! Rumi kembali mengingat wanita yang berhenti dan berbicara dengan Alpha di basement. Mungkin saja, malam ini mereka akan menginap di hotel dan menghabiskan malam bersama.
“Diam.” Alpha kembali mengulang ucapannya dan membawa Rumi memasuki gedung apartemen dengan paksa. “Dan jangan banyak omong!”
“Tapi, Mas—”
“Rumi!” Karena sudah berada di lobi apartemen, Alpha tidak bisa menghardik Rumi seperti tadi. Yang dilakukannya hanya mendesis tajam, sembari mengeratkan cengkraman pada lengan Rumi. “Turuti perintahku … dan keluargamu pasti selamat."
~~~~~~~~~~~
Rumi memekik. Tubuhnya terhempas kasar di sofa setelah Alpha mendorongnya. Rumi tidak bisa berbuat apa-apa, karena yang ada di pikirannya saat ini hanyalah ibu dan adiknya.
Jika ia berani kabur, maka keselamatan kedua orang yang dicintainya pasti akan terancam.
“Mas, ki-kita bisa bicarakan semua baik-baik.” Apa sebenarnya yang diinginkan Alpha saat ini?
“Nggak ada yang bisa dibicarakan baik-baik, setelah semua yang sudah kamu lakukan.” Dengan perlahan dan sangat mengintimidasi, Alpha menjatuhkan satu lututnya pada sofa lalu kembali meraih wajah Rumi.
“Mas.” Dengan sekuat tenaga, Rumi berusaha mendorong tubuh Alpha sekaligus melepaskan tangan pria itu dari wajahnya. Melihat gelagat Alpha, Rumi akhirnya bisa menebak, apa yang akan dilakukan pria itu kepadanya. Pria itu, menginginkan Rumi dan mungkin saja bisa lebih buruk dari itu. “Jangan … tolong jangan.”
“Takut?” Alpha tertawa untuk mengejek Rumi yang sudah terlihat pucat.
“Mas … ak—”
“Argh!” Alpha menggeram saat ponselnya berdering. Ia melepas kasar wajah Rumi, lalu beranjak dari sofa untuk mengeluarkan ponsel dari saku celana. Melihat nama sang mama ada di sana, Alpha mau tidak mau harus mengangkat panggilan tersebut. “Ya, Ma.”
“Di mana, Al?” tanya Agnes terburu. “Risa sudah di sini dari tadi, tapi kamu belum datang. Acara sebentar lagi mau di mulai, tapi—”
“Ban mobilku bocor.” Yang bisa dilakukan Alpha hanyalah berbohong. Tatapannya tertuju tajam pada Rumi, yang tengah rikuh sendiri dalam ketakutannya di sudut sofa panjang. Ada kepuasan tersendiri, saat melihat kerapuhan gadis itu di depan mata seperti sekarang. “Lagian, aku nggak datang ke sana juga nggak papa.”
“Alpha!”
“Iya, Ma, iya.” Meskipun semua masalah antara dirinya dan Qai sudah mereda, tetapi, Alpha masih enggan menyambung silaturahmi apa pun dengan saudara lelakinya itu. Semesta seolah memberi seluruh keberuntungannya pada Qai dan melupakan Alpha. “Aku pasti datang.”
Alpha mengakhiri pembicaraannya dan langsung menonaktifkan ponselnya saat itu juga. Ia melempar ponsel ke sudut sofa yang berlawanan dengan Rumi, lalu kembali menghabiskan jarak dengan gadis itu.
Alpha membungkuk, kemudian …
Bhug!
Tidak ingin dijadikan sasaran balas dendam, tanpa pikir panjang Rumi meraih vas bunga yang berada di side table di sebelahnya, lalu memukulkannya pada pelipis Alpha. Seketika itu juga, darah segar mengalir dan membasahi wajah Alpha yang menggeram menahan sakit.
Rumi segera menjaga jarak dan berlari ke arah dapur. Ia mengambil sebilah pisau lalu menodongkannya ke arah Alpha yang berjalan agak semponyongan ke arahnya.
“Berani dekat, salah satu di antara kita pasti mati malam ini.” Meskipun bergetar hebat, tetapi Rumi tetap bertahan dan memegang pisau itu dengan sekuat tenaga.
“Kamu—”
“Jangan dekat!” Rumi menjerit dengan masih mengacungkan pisau tersebut ke arah Alpha, yang hendak menipiskan jarak. Rumi berusaha menjaga jarak dan menggeser langkahnya sedikit demi sedikit menuju pintu keluar. “Sekarang, giliranmu yang dengerin aku, Mas. Kalau sampai keluargaku kenapa-napa, aku sendiri yang bakal datang … untuk ngebunuh kamu. I-ingat itu … baik-baik!”
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan