Share

2. Pasti Mati

“Ini …” Setelah sekian lama menutup mulut karena ancaman Alpha, Rumi akhirnya angkat bicara. Ia menegakkan tubuh dan menatap pelan area parkir yang baru mereka masuki. “Apartemen …”

Rumi sampai tidak bisa berpikir sama sekali, ketika menatap gedung apartemen yang dulu sering didatanginya. Bahkan, Rumi juga sempat mengenal beberapa pegawai yang bekerja di tempat tersebut, karena terlalu sering menghabiskan waktu di unit milik Alpha.

“Mau … mau apa kamu bawa aku ke sini, Mas?” Sejak tadi, Rumi memilih diam karena tidak ingin keluarganya mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun, saat ini yang harus dipikirkan Rumi adalah nasib dirinya sendiri.

Rumi telah membuat Glory mengalami krisis dan mengakibatkan Lingga meninggal dunia. Jangan-jangan, Alpha ingin membalaskan semua sakit hati itu pada Rumi dengan mencelakakannya.

Tidak … Rumi tidak boleh mati konyol di tangan Alpha.

“Sudah kubilang jangan macam-macam, atau keluargamu—”

“Mas!” Detak jantung Rumi mulai meningkat tajam. Terlebih lagi, langit di luar sana sudah mulai menggelap dan semua kejahatan akan semakin sempurna dilakukan di saat seperti ini. “Kalau sampai—"

“Diam! Dan jangan berani-berani bentak atau ngancam aku, Rum!” Alpha membalas tidak kalah keras. Ia memarkirkan mobil dan segera mematikan mesinnya. “Keluar! Dan jangan coba-coba lari atau teriak! Karena waktu aku bilang keluargamu nggak akan—”

“Pengecut!” Rumi memaki dengan intonasi yang bergetar. Tubuhnya terasa dingin, tetapi hatinya bergejolak penuh amarah bercampur ketakutan. 

Bodoh!

Rumi merutuk pada dirinya sendiri, karena sudah terlalu bodoh hingga pernah jatuh dalam “perangkap” Alpha. Kalau sudah terjepit seperti ini, Rumi tidak tahu lagi apa yang akan dilakukannya. Di satu sisi, Rumi ingin lepas dari intimidasi Alpha dan berlari sekuat mungkin meninggalkan pria itu. Namun di sisi lain, ada ibu dan adiknya yang akan menjadi taruhan bila ia berani melawan pria itu.

Rumi benar-benar bodoh.

“Pengecut?” Alpha tertawa mengejek, sembari membuka sabuk pengamannya. Ia mencondongkan tubuh ke arah Rumi, kemudian meraih rahang gadis itu dan mencengkramnya. “Kamu sedang memberi sebutan untuk dirimu sendiri, kan? Pe-nge-cut! Kalau kamu berani, kamu pasti sudah berdiri angkuh di Angkasa dan ada di samping Qai. Tapi apa? Tikus curut pun masih lebih punya keberanian daripa—”

“Apa maumu, Mas?” Semakin lama, Rumi semakin muak mendengar Alpha menghinanya. “Anggaplah aku pengecut, tapi semua yang kamu lakuin di belakangku itu betul—betul keterlaluan. Kamu sama perempuan itu sudah—"

“Apa kamu lupa!” Alpha menghempas wajah Rumi. “Kita melakukan semua itu atas dasar suka sama suka. Aku butuh kamu dan kamu butuh uangku. Saling menguntungkan dan nggak ada yang dirugikan! Tapi apa balasanmu, Rum? Kamu bawa rahasia—”

“Dan kamu tidur sama perempuan itu, Mas!” Di sinilah titik amarah Rumi.

“Aku bebas tidur dengan siapa aja yang aku mau!”

“Mas!”

“Kita nggak pernah punya hubungan apa pun!” Alpha kembali menghardik lebih keras dari Rumi. “A-pa-pun! Selain di tempat kerja dan tempat tidur!”

“Bereng—”

“Keluar!” Alpha yang mulai kesal itu, berbalik dan keluar dengan cepat lalu mengitari mobilnya. Ia membuka pintu mobil di sisi Rumi, kemudian menarik paksa gadis itu keluar dari mobil. “Diam dan jangan berbuat apa-apa,” desis Alpha berbicara tepat di telinga Rumi.

Sejenak, Alpha terpaku saat menghidu aroma tubuh Rumi yang masih sama seperti dahulu kala. Benar-benar tidak ada yang berubah. Tetap manis dan memabukkan.

“Ta-tapi, kita mau apa di sini?” Sampai detik ini pun, Rumi masih tidak mengerti dengan kemauan Alpha.

Tidak hanya hal tersebut yang tidak dimengerti Rumi. Namun, beberapa waktu lalu, Alpha juga berada di hotel yang sama, tempat Qai menggelar resepsi pernikahannya dengan mewah. Apakah Alpha berencana menghadiri resepsi pernikahan tersebut?

Namun, mengapa pria itu datang lebih awal ke hotel dan …

Ah! Rumi kembali mengingat wanita yang berhenti dan berbicara dengan Alpha di basement. Mungkin saja, malam ini mereka akan menginap di hotel dan menghabiskan malam bersama.

“Diam.” Alpha kembali mengulang ucapannya dan membawa Rumi memasuki gedung apartemen dengan paksa. “Dan jangan banyak omong!”

“Tapi, Mas—”

“Rumi!” Karena sudah berada di lobi apartemen, Alpha tidak bisa menghardik Rumi seperti tadi. Yang dilakukannya hanya mendesis tajam, sembari mengeratkan cengkraman pada lengan Rumi. “Turuti perintahku … dan keluargamu pasti selamat."

~~~~~~~~~~~

Rumi memekik. Tubuhnya terhempas kasar di sofa setelah Alpha mendorongnya. Rumi tidak bisa berbuat apa-apa, karena yang ada di pikirannya saat ini hanyalah ibu dan adiknya.

Jika ia berani kabur, maka keselamatan kedua orang yang dicintainya pasti akan terancam.

“Mas, ki-kita bisa bicarakan semua baik-baik.” Apa sebenarnya yang diinginkan Alpha saat ini?

“Nggak ada yang bisa dibicarakan baik-baik, setelah semua yang sudah kamu lakukan.” Dengan perlahan dan sangat mengintimidasi, Alpha menjatuhkan satu lututnya pada sofa lalu kembali meraih wajah Rumi.

“Mas.” Dengan sekuat tenaga, Rumi berusaha mendorong tubuh Alpha sekaligus melepaskan tangan pria itu dari wajahnya. Melihat gelagat Alpha, Rumi akhirnya bisa menebak, apa yang akan dilakukan pria itu kepadanya. Pria itu, menginginkan Rumi dan mungkin saja bisa lebih buruk dari itu. “Jangan … tolong jangan.”

“Takut?” Alpha tertawa untuk mengejek Rumi yang sudah terlihat pucat.

“Mas … ak—”

“Argh!” Alpha menggeram saat ponselnya berdering. Ia melepas kasar wajah Rumi, lalu beranjak dari sofa untuk mengeluarkan ponsel dari saku celana. Melihat nama sang mama ada di sana, Alpha mau tidak mau harus mengangkat panggilan tersebut. “Ya, Ma.”

“Di mana, Al?” tanya Agnes terburu. “Risa sudah di sini dari tadi, tapi kamu belum datang. Acara sebentar lagi mau di mulai, tapi—”

“Ban mobilku bocor.” Yang bisa dilakukan Alpha hanyalah berbohong. Tatapannya tertuju tajam pada Rumi, yang tengah rikuh sendiri dalam ketakutannya di sudut sofa panjang. Ada kepuasan tersendiri, saat melihat kerapuhan gadis itu di depan mata seperti sekarang. “Lagian, aku nggak datang ke sana juga nggak papa.”

“Alpha!”

“Iya, Ma, iya.” Meskipun semua masalah antara dirinya dan Qai sudah mereda, tetapi, Alpha masih enggan menyambung silaturahmi apa pun dengan saudara lelakinya itu. Semesta seolah memberi seluruh keberuntungannya pada Qai dan melupakan Alpha. “Aku pasti datang.”

Alpha mengakhiri pembicaraannya dan langsung menonaktifkan ponselnya saat itu juga. Ia melempar ponsel ke sudut sofa yang berlawanan dengan Rumi, lalu kembali menghabiskan jarak dengan gadis itu.

Alpha membungkuk, kemudian …

Bhug!

Tidak ingin dijadikan sasaran balas dendam, tanpa pikir panjang Rumi meraih vas bunga yang berada di side table di sebelahnya, lalu memukulkannya pada pelipis Alpha. Seketika itu juga, darah segar mengalir dan membasahi wajah Alpha yang menggeram menahan sakit.

Rumi segera menjaga jarak dan berlari ke arah dapur. Ia mengambil sebilah pisau lalu menodongkannya ke arah Alpha yang berjalan agak semponyongan ke arahnya.

“Berani dekat, salah satu di antara kita pasti mati malam ini.” Meskipun bergetar hebat, tetapi Rumi tetap bertahan dan memegang pisau itu dengan sekuat tenaga.

“Kamu—”

“Jangan dekat!” Rumi menjerit dengan masih mengacungkan pisau tersebut ke arah Alpha, yang hendak menipiskan jarak. Rumi berusaha menjaga jarak dan menggeser langkahnya sedikit demi sedikit menuju pintu keluar. “Sekarang, giliranmu yang dengerin aku, Mas. Kalau sampai keluargaku kenapa-napa, aku sendiri yang bakal datang … untuk ngebunuh kamu. I-ingat itu … baik-baik!”

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
baru 2 bab udah bikin deg2an
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
God Rumi. kamu harus tegas. jangan mau dijadiin pelampiasan Alpha.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status