“Kalian berdua sudah GILA? Ha?” Dandi melotot sembari mendesis, saat menatap Qai dan Thea yang kembali ke meja makan. Dandi yang masih menikmati beberapa camilan itu, sontak kehilangan selera makan karena perkataan Thea barusan. “Qai! Kamu punya apartemen, kan? Kenapa nggak simpan si Rumi itu di sana? Aku nggak mau ikut-ikut urusan kalian!”
Jaya hanya melirik sekilas pada Dandi, kemudian kembali beralih pada tablet di yang masih melekat di tangan. Ia belum berminat untuk ikut campur dan masih menyimak pembicaraan yang ada.
“Enak aja!” protes Thea sambil memeluk erat lengan Qai. “Kami masih make apartemen itu, Dan! Jadi—”
“Urusan Rumi sama Alpha, itu bukan urusanku!” Dandi menolak telak permintaan tolong tersebut. “Apa kata mamaku, kalau tahu ada cewek tinggal di rumah, The?”
“Nanti, biar aku yang ngomong sama tante Tya.” Terus terang, Thea benar-benar kasihan setelah mendengar semua cerita Rumi. Jika gadis itu dibiarkan seorang diri di luar sana, Alpha pasti akan membalaskan dendamnya pada Rumi. Jika sampai terjadi sesuatu pada Rumi, Thea yakin dirinya akan dihantui rasa bersalah dan penyesalan.
“Nggak!” tolak Dandi.
“Dan—”
“No Qai!” henti Dandi lebih dulu memutus ucapan pria itu. “Aku nggak mau direpotkan dengan masalah pribadi orang lain. Urusan di Jaya Group aja sudah buat aku sakit kepala, jadi jangan nambah-nambahin beban hidup.”
“Betul itu!” sambar Jaya berceletuk, tetapi tatapannya masih saja ke arah tablet. “Jangan nambah-nambahin beban hidupnya Dandi. Tapi Qai, apa Rumi itu cantik?”
“Papaaa?” Kedua mata Thea terbuka lebar dan mendadak menaruh curiga pada sang papa. “Umur Rumi itu … mungkin ada di bawahku jadi nggak usah aneh-aneh!”
“Cantik, Om?” Sebuah kesenangan bagi Dandi, jika bisa membuat sepupunya itu kesal. “Thea aja kalau cantik. Kalau Thea itu nilainya enam, Rumi itu delapan sete— The!”
Dandi mendesis nyeri saat satu sendok melayang mengenai punggung tangannya.
“Jangan macam-macam, kamu, Dan!” tunjuk Thea sudah mengatupkan geliginya dengan erat. Thea tidak masalah jika sang papa tertarik dengan seorang wanita, tetapi, jangan Rumi.
“Kalau begitu …” Jaya menahan tawa dan tetap memasang wajah serius di depan Thea. Ia meletakkan tablet di meja makan, kemudian meraih ponsel dan berdiri. “Ayo, Dan! Om mau lihat yang namanya Rumi.”
“Pa!” Thea segera beranjak dan mengalungkan tangan pada lengan sang papa. Mencegah agar pria tua itu tidak pergi ke ruang tamu dan bertemu dengan Rumi. Penilaian Dandi tidaklah salah. Rumi memang sangat cantik dan menarik. Karena itulah, Thea juga sempat cemburu ketika gadis itu dekat dengan Qai dahulu kala. “Papa di dalam aja, nggak usah keluar.”
“Qai,” panggil Jaya kemudian melirik Thea, sembari melepaskan tangan sang putri yang terus saja menempel dengan erat. “Urus dulu istrimu ini.”
Qai menahan napas. Tidak bisa memilih antara menuruti Jaya, atau Thea yang tengah meributkan masalah kecil. Jelas-jelas terlihat Jaya hanya bercanda, tetapi Thea terlalu menganggap serius hal tersebut. Terlebih dengan Dandi, yang akan selalu jadi kompor di antara ayah dan anak itu.
“Beb! Nggak usah ikut-ikut,” desis Thea menunjuk Qai, agar tetap berada di kursinya. “Pa, aku nggak ngelarang misal Papa mau nikah lagi, tapi please! Jangan sama Rumi. Masih banyak—”
“Ayo, Om!” ajak Dandi sudah mengalungkan tangan, pada lengan Jaya yang satu lagi. “Kita temui calon mamanya Thea!”
“DANDI!”
~~~~~~~~~~~
Rumi duduk dengan kikuk, saat seluruh keluarga Sebastian ada di hadapan. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk dan terdiam. Jika saja tidak kepepet, Rumi tidak akan nekat menemui Qai dan lebih memilih untuk menghilang dari peredaran seperti kemarin. Namun, karena Rumi telah mencelakakan Alpha, maka hatinya diburu dengan rasa bersalah dan ketakutan, yang tidak bisa ditepis dalam sekejap mata.
Terlebih lagi, saat mengingat Alpha berani mengancam ibu dan adiknya yang tidak tahu apa-apa.
“Rumi! Ini pak Jaya Sebastian.” Dandi melirik Thea, yang kembali melotot ke arahnya. Sepupunya itu, saat ini tengah duduk tepat di samping Jaya, sembari memegangi lengan sang papa dengan erat.
Rumi mengangkat wajah. Tersenyum dan mengangguk kecil. “Saya Rumi, Pak. Saya sudah sering lihat Bapak di tivi.”
Jaya tersenyum ramah dan balas mengangguk. Kemudian, ia menoleh pada Qai yang terlihat serba salah sedari tadi. “Qai, coba cari tahu kondisi Alpha. Telpon bu Agnes dan pintar-pintar kamu bicara sama dia.”
Bagaimana Qai bisa menolak permintaan papa mertuanya? Jadi, yang bisa Qai lakukan hanya mengangguk dan segera kembali ke ruang makan karena ponselnya tertinggal di sana.
“Thea sudah cerita semuanya,” ujar Jaya dan keputusanmu sudah tepat dengan datang ke sini.
“Ma-maaf, kalau saya merepotkan, Pak.” Rumi tidak menyangka, bila Jaya akan turun tangan dan menemuinya secara langsung seperti sekarang. “Tapi … saya nggak tahu harus ke mana lagi. Dan …” Rumi menoleh pada Dandi yang tidak menampilkan ekspresi apa pun sejak tadi. Mungkin saja pria itu tidak suka, dengan ide Thea yang menyuruh Rumi tinggal di rumah Dandi. Sejak awal bertemu, Dandi memang cenderung tidak ramah dan cuek pada Rumi. Jadi, pasti pria itu merasa direpotkan karena masalah Rumi. “Saya sebenarnya nggak mau ngerepotin Mas Dandi. Tapi, saya usahain nggak lama numpangnya, Mas. Besok saya mau ajuin resign dan pulang ke Malang dalam minggu-minggu ini.”
“Rumi, begini—”
“Pulang ke Malang?” tanya Jaya memutus ucapan Dandi. “Jadi, kamu asli dari sana?”
“Iya, Pak.”
Thea mulai tidak suka dengan arah pembicaraan Jaya yang merambah ke wilayah personal.
“Ohh …” Jaya mengangguk-angguk. “Saya sudah lama nggak main-main ke Malang. Mungkin, kapan-kapan saya—”
“Papaaa!” Thea semakin kesal dan mulai sakit kepala mendengar ocehan Jaya. “Kita selesaikan dulu masalah Rumi.”
“Alpha nggak bisa dihubungi dari semalam.” Qai kembali ke ruang tamu, seraya memegang ponsel di tangan. Ia baru saja mengakhiri panggilan singkat dengan Agnes, untuk menuruti perintah Jaya. “Dan …” Qai kembali duduk di samping Dandi, sembari menatap Qai. “Ada yang tahu kamu pergi sama Alpha kemarin malam, Rum?”
Rumi mengangguk. “Ceweknya mas Alpha yang sekarang.”
“Risa!” seru Qai.
“Ke-kenapa, Mas?” Rumi semakin dilanda ketakutan.
“Risa sudah lebih dulu nelpon bu Agnes tadi pagi, karena Alpha nggak bisa dihubungi.”
“Terus?” serobot Thea semakin penasaran.
“Risa bilang ke bu Agnes, kalau Alpha lagi bawa kamu ke kantor polisi tapi nggak ada kabar lagi setelah itu.”
“Ma-mas Alpha … mau bawa saya ke kantor polisi?” Rumi menelan ludah penuh rasa cemas. Jadi, selain berniat buruk terhadap Rumi tadi malam, Alpha ternyata juga ingin memenjarakannya.
“Masalah bocornya rahasia perusahaan,” terang Qai berdasarkan pernyataan yang didengarnya dari Agnes. “Jadi, aku rasa satu-satunya jalan sekarang adalah … kita ketemu sama Rafa.”
“Pa-pak Rafa?” Rumi sempat mendengar, pria itu saat ini sudah menjadi suami Hera. Kira-kira, apa Rafa akan bisa menolongnya? Atau, pria itu justru berada satu kubu dengan Alpha, karena Rafa saat ini termasuk petinggi di Glory. “Mas, apa aku bakal ditahan?”
“Rumi, alasan penahananmu nggak akan kuat,” ucap Qai menenangkan. “Jadi, siap-siap, sebentar lagi aku hubungi Rafa dan kita bicara sama dia.”
“Aku ikut!” seru Thea tidak akan membiarkan suaminya dan Rumi berada dalam satu mobil.
“Thea, di rumah,” titah Jaya karena tahu kondisi putrinya yang tengah hamil saat ini. “Biar Qai sama Dandi yang pergi. Dan kalau memang kondisinya nggak memungkinkan, tinggallah dulu di tempat Dandi untuk sementara.”
“Om—”
“Aku yang telpon mamamu nanti,” sergah Jaya. “Sekarang, pergilah temani Qai dan setelah itu, antar Rumi ke tempatnya terus bawa pulang ke rumahmu. Nggak usah dibantah, karena aku tahu kamu nggak akan berani macam-macam sama Rumi. Entah nggak berani, atau memang nggak bisa.”
Dandi melotot lebar setelah mendengar sindiran dari Jaya. Apalagi saat Thea tertawa tanpa sungkan untuk mengejeknya. “Om! Aku masih—”
“Sudahlah, sudah!” Jaya kembali menghentikan Dandi berbicara. “Aku telpon mamamu dulu. Jadi, nggak usah banyak alasan!”
“Rumi?” Rafa segera berdiri dari kursinya, ketika melihat Rumi berjalan bersama Qai dan Dandi. Debaran jantung yang tadinya baik-baik saja, mendadak berdegup tidak karuan setelah melihat gadis itu di depan mata.Rafa kira, hatinya sudah aman-aman saja setelah Rumi menghilang tanpa kabar sama sekali. Terlebih lagi, Rafa telah memiliki Hera yang sudah menjadi pusat dunianya selain Glory.“Mas! Urgen!” Qai segera berceletuk, sembari menarik kursi di samping Rafa dan duduk di sana. “Tolong telpon Alpha dan cari tahu posisi dia sekarang. Aku tadi sempat nelpon bu Agnes dan— Mas!” Qai sampai harus menepuk lengan Rafa, yang masih saja tercenung saat melihat Rumi. Dahulu kala, Rafa memang memendam rasa pada Rumi, tetapi tidak berbalas. Namun, Qai tidak menduga jika perasaan itu ternyata masih ada sampai saat ini.“Ah ya! Rumi!” Rafa mengerjap. Ia kembali duduk dengan perlahan, tanpa melepas tatapan penasaran pada gadis itu. “Risa bilang, kemarin kamu pergi sama Alpha ke kantor polisi.”Dandi
“Maaf kalau saya sudah merepotkan,” ucap Rumi setelah melakukan perkenalan singkat dengan ibu Dandi. Saat pertama kali bertemu, Rumi cukup terkejut karena penampilan wanita yang bernama Tya itu ternyata cukup sederhana. Tidak seperti wanita dari kelas atas pada umumnya, yang kerap berpakaian modis dan terlihat mahal. Bahkan, Tya datang ke rumah putranya hanya dengan mengenakan sandal jepit.“Nggak masalah. Tante juga sudah dengar semuanya.” Tya melirik putranya dengan malas. Pria itu berada di antara Rumi dan Tya yang kini duduk berseberangan. “Jadi, nggak usah sungkan. Anggap rumah sendiri dan kamu bisa tinggal sampai ada titik terang.”Rumi tertawa sungkan. “Nggak sampe lama, kok, Tante. Mungkin, dua tiga hari masalahnya sudah selesai. Kalau saya sudah tahu kondisi orang itu, saya pasti langsung pergi dari sini.”“Pergi? Mau pergi ke mana?” Sebenarnya, Tya penasaran dengan putranya. Apakah Dandi tidak tertarik dengan gadis secantik Rumi. Kira-kira, akankah terjadi “sesuatu” ketika m
Langkah Dandi memelan, saat menghidu aroma yang hampir tidak pernah ada di rumahnya. Aroma masakan, yang seketika itu juga membuat perutnya bergejolak.Rumi!Apa gadis itu tengah memasak di rumahnya saat ini?Namun, darimana Rumi mendapatkan semua bahan, karena Dandi sama sekali tidak memiliki apa pun untuk di masak. Karena itulah, Dandi bergegas mempercepat langkahnya menuruni tangga dan langsung menuju dapur.“Ehm!” Ternyata benar, Rumi saat ini tengah berdiri di depan kompor dan tengah berhadapan dengan sebuah wajan berukuran sedang. Namun, apa yang sedang dimasak Rumi saat ini? Dan apa yang sedang diolah gadis itu, sehingga aroma yang menyebar di area rumahnya sungguh membuat perut Dandi melontarkan protesnya. “Rumi!”“Oh!” Rumi menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada wajan kecilnya. “Mas Dandi sudah bangun?”“Kamu tadi keluar?” Dandi menarik kursi di meja makan yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari tempat Rumi berdiri. Ia berasumsi, Rumi pergi ke minimarket di sekitar kom
Rumi segera berlari meninggalkan Dandi di dapur, ketika pria itu mengabarkan Rafa datang untuk menemuinya. Terlebih, saat Dandi mengatakan Rafa membawa kabar tentang Alpha. Debaran jantungnya mendadak berpacu laju, karena mengingat kondisi terakhir ketika Rumi meninggalkan Alpha di apartemen.“Pak Rafa!” Rumi berseru ketika melihat pria itu benar-benar ada di ruang tamu. Ia benar-benar gelisah, memikirkan nasibnya setelah ini. “Mas Al gimana? Apa dia baik-baik aja?”“Aa …” Rafa berdiri seketika saat melihat sosok Rumi di depan mata. Sangat sederhana dan hal tersebut membuat ketertarikan tersendiri bagi Rafa. Rasa itu, ternyata belum benar-benar pergi meskipun sudah ada Hera yang Rafa pikirkan setiap hari. “Aku mau ngajak kamu keluar.”Mendengar Rafa tidak menggunakan bahasa formalnya, Rumi mendadak canggung. Mereka memang bukan lagi atasan dan bawahan seperti dulu, tetapi Rumi tetap merasa ada sebuah jarak yang tetap harus dijaga. Bahkan, Rumi saja masih memanggil pria itu dengan sebu
“Maaf …” Dengan begini, Rumi jadi tahu bagaimana harus mengambil sikap ketika menghadapi Rafa. Rumi tahu, pria itu pernah mencoba mendekatinya dahulu kala. Namun, Rumi memilih mundur dan menjauh karena saat itu masih menjalin hubungan dengan Alpha.Untuk sekarang, Rumi juga akan tetap memilih menjaga jarak, karena Rafa saat ini sudah menikah dengan Hera. Dan bagian terpenting dari semuanya ialah, Rumi tidak memiliki perasaan apa pun pada Rafa. Tidak pernah ada percikan sedikit pun, ketika ia melihat atau sedang bersama Rafa seperti sekarang. Tidak hanya itu, saat ini Rumi hanya ingin fokus pada dirinya sendiri dan menata karir yang harus kembali ia mulai dari bawah.“Kamu nggak perlu minta maaf.” Dari ekspresi Rumi, Rafa mengerti saat ini gadis itu kembali akan menolaknya. Setelah berterus terang dengan perasaannya Rafa, wajah Rumi sudah tidak seantusias sebelumnya. Senyum yang ditampilkannya pun, benar-benar terkesan datar dan dipaksakan.“Saya harus minta maaf, karena nggak akan bis
“Mama mau pergi?” Rafa baru saja menginjakkan kaki di ruang keluarga, ketika melihat Agnes sudah terlihat rapi dengan sebuah tas yang menggantung di bahu kanannya. Tidak melihat ada Hera di sebelahnya, Rafa menyimpulkan Agnes akan pergi seorang diri dan tentunya bukan ke rumah sakit.Agnes mengangguk, sembari memasukkan ponsel ke tasnya. “Mama mau ke apartemen Alpha. Hera sudah makan dan lagi sama susternya di kamar. Titip sebentar, ya, Rafa.”“Risa yang hubungi Mama?” tebak Rafa. Karena yang mengetahui keberadaan Alpha saat ini hanyalah dirinya dan Risa. Dandi dan Rumi tidak masuk hitungan karena mereka berdua tidak mungkin menghubungi Agnes.“Yaaah.” Agnes berhenti di hadapan Alpha. Menghela sebentar dengan wajah lesu dan banyak pikiran. “Risa bilang mau bicara masalah Rumi, Alpha … banyak yang janggal, jadi Mama sendiri harus pergi ke sana langsung.”“Bisa kita bicara sebentar, Ma?” pinta Rafa ingin membahas beberapa hal sebelum Agnes pergi menemui Alpha dan Risa. “Ada yang mau say
“Saya mau batalin pernikahan dengan Mas Alpha.” Risa melirik tajam pada Alpha yang tidak memedulikannya sama sekali sejak siang tadi. Tepatnya setelah pertengkaran yang terjadi di antara mereka, sejak Rafa pergi dari apartemen. Dari sanalah, Risa tahu bahwa Alpha tidak jadi membawa Rumi ke kantor polisi melainkan ke apartemen pria itu. Dari situ pula, Risa mengetahui bahwa Alpha telah berbohong kepadanya. Sebelumnya, Alpha mengatakan bahwa Rumi menyerangnya, ketika mereka berdua mampir berhenti untuk mengisi bahan bakar. Setelah itu, Rumi kabur dan Alpha tidak bisa mengejar karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Tadinya, Risa percaya-percaya saja dengan semua ucapan Alpha. Namun, ketika ia menguping pembicaraan yang terjadi antara Alpha dan Rafa, akhirnya Risa tahu semua kebenarannya. “Batal?” Kepala Agnes semakin berdenyut. Baru saja ia mendengar kabar mengenai Rafa yang ingin melepaskan Hera, kini Risa pun ingin membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan bersama Alpha. Me
“Kamu sudah gila, Qai?” Dandi menyeret Qai keluar dari dapur menuju ruang tamu, agar obrolan mereka tidak didengar oleh Rumi. “Kenapa—” “Cuma pura-pura, Dan.” Qai menarik tangannya dari cengkraman Dandi. “Jangan dianggap serius. Jadi aku minta tol—” “Kenapa harus aku?” Dandi bersedekap, menunggu penjelasan. Qai bergegas menghampiri sofa, lalu menghempas tubuhnya di sana. “Dan, kamu tahu betul gimana sejarah Glory sampai jatuh. Dan Hera, sampai seperti sekarang karena kamu juga ada di belakang itu semua.” “Jangan salahkan aku,” sahut Dandi cuek dan ikut duduk pada sofa tunggal yang berada di samping Qai. “Kamu yang punya rencana dan minta untuk menjatuhkan Glory, jadi—” “Karena itu, aku merasa bertanggung jawab dengan Glory, terutama Hera.” Hingga saat ini, Qai masih memendam rasa sesal yang mendalam akibat balas dendamnya kala itu. Orang-orang yang tidak berdosa, akhirnya ikut terseret dan menerima imbas dari ulahnya tersebut. “Andai … aku—” “Pengandaianmu itu sudah nggak berlaku