Langkah Dandi memelan, saat menghidu aroma yang hampir tidak pernah ada di rumahnya. Aroma masakan, yang seketika itu juga membuat perutnya bergejolak.
Rumi!
Apa gadis itu tengah memasak di rumahnya saat ini?
Namun, darimana Rumi mendapatkan semua bahan, karena Dandi sama sekali tidak memiliki apa pun untuk di masak. Karena itulah, Dandi bergegas mempercepat langkahnya menuruni tangga dan langsung menuju dapur.
“Ehm!” Ternyata benar, Rumi saat ini tengah berdiri di depan kompor dan tengah berhadapan dengan sebuah wajan berukuran sedang. Namun, apa yang sedang dimasak Rumi saat ini? Dan apa yang sedang diolah gadis itu, sehingga aroma yang menyebar di area rumahnya sungguh membuat perut Dandi melontarkan protesnya. “Rumi!”
“Oh!” Rumi menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada wajan kecilnya. “Mas Dandi sudah bangun?”
“Kamu tadi keluar?” Dandi menarik kursi di meja makan yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari tempat Rumi berdiri. Ia berasumsi, Rumi pergi ke minimarket di sekitar komplek perumahannya dan membeli sesuatu untuk di masak.
“Nggak.” Rumi mematikan kompor, kemudian mengambil dua buah mangkuk dari lemari kitchen set yang menggantung di atas. “Tadi waktu Mas Dandi tidur, mamanya mas Dandi nelpon terus ngirimin bahan makanan buat dimasak.”
“Mamaku? Nelpon kamu?” Ternyata, kedua wanita itu sudah saling bertukar nomor ponsel. Yang bisa Dandi harapkan saat ini hanyalah tentang keberadaan Alpha dan kondisi pria itu saat ini, agar Rumi bisa segera pergi dari rumahnya.
“Iya.” Rumi mengangguk sambil menuang bakmi buatannya secara perlahan ke dalam mangkuk, satu per satu. “Tante Tya bilang kalau ada orang yang otewe ke sini ngantar bahan makanan. Habis saya terima, langsung saya masak.”
“Oh …” Dandi tidak bisa berkomentar lebih banyak lagi. Dari aromanya saja, perut Dandi sudah sangat tidak sabar untuk mencicipi masakan Rumi. Entah apa yang gadis itu masak, setelah sang mama mengirimkan Dandi bahan makanan.
“Tadi dikirim banyak, sih, Mas. Macem-macem,” lanjut Rumi masih menuang masakannya ke dalam mangkuk. “Tapi karena sudah sore, jadi saya buatin bakmi seafood aja biar cepat. Oia, Mas Dandi mau ditambahin telur nggak? Telur mata sapi atau dadar, gitu?”
“Dadar boleh deh.”
“Oke, tunggu bentar, ya, Mas.” Setelah selesai menuang bakmi di kedua mangkuk, Rumi segera mengambil sebuah wajah kecil anti lengket dan meletakkan di atas tungku. Sembari mempersiapkan semuanya, Rumi kembali mengoceh agar tidak ada kecanggungan di antara mereka. “Barang-barang dapurnya Mas Dandi lengkap, ya, tapi, kok, kelihatan baru semua? Kayak nggak pernah dipake?”
“Memang nggak pernah dipake.” Dandi mengendik dan memutuskan untuk menghampiri Rumi, yang masih sibuk dengan telur dan kompornya. Aroma bakmi yang baru saja dibuat oleh Rumi sungguh membuatnya tidak tahan dan ingin segera menyantapnya. “Semua barang-barang di rumah ini, mama yang beli. Padahal aku nggak pernah masak, tapi tetap aja dibelikan.”
“Oooh …” Pantas saja semua barang-barang dapur di rumah Dandi masih terlihat mulus. Tidak ada goresan barang sedikit pun. “Kala gi …” Rumi terdiam ketika mendengar bel rumah berbunyi. “Ada orang di luar, biar sa—”
“Kamu tunggu di sini,” putus Dandi lalu menghela karena harus menunda untuk mengisi perutnya. Padahal, isi mangkuk yang baru saja dilihatnya benar-benar sangat menggugah selera. Namun, karena sepertinya ada tamu yang tidak diundang, maka Dandi mau tidak mau harus pergi melihatnya terlebih dahulu.
Sesampainya di luar, Dandi memicing sembari berjalan menuju pagarnya. Untuk pria itu mendatangi rumahnya?
Rafa!
Pria itu pasti mengetahui alamat Dandi dari Qai. Jangan-jangan, Rafa datang untuk bertemu dengan Rumi, karena pria itu sudah mendapatkan kabar mengenai Alpha.
“Sore, Dan,” sapa Rafa lebih dulu ketika melihat Dandi menghampirinya. “Aku minta alamatmu dari Qai.”
“Sore.” Dandi membuka gembok pagar dengan membawa perasaan yang tidak mengenakkan. Entah mengapa, kehadiran Rafa di rumah sore ini sedikit mengusiknya. “Ada kabar dari Alpha?” tebak Dandi tetap santai.
“Ya!” Rafa menarik napas panjang, saat mengingat pertemuan yang tidak menyenangkan dengan Alpha. “Rumi …”
“Rumi di dapur.” Dandi membukakan pagar dan mempersilakan Rafa untuk masuk. “Dia baru masak bakmi seafood, tapi cuma dua porsi.” Untuk dua kata terakhir, Dandi sengaja mengucapkannya dengan penuh penekanan.
Rafa mengangguk dan tidak terlalu mempermasalahkan ucapan Dandi. Yang ada di pikiran Rafa saat ini hanya Rumi. Ia ingin bicara panjang lebar dengan gadis itu tetapi hanya empat mata. Tanpa kehadiran Dandi di antara mereka.
“Aku mau ajak Rumi keluar,” ujar Rafa saat Dandi sudah menutup pagar dan berjalan di sampingnya. “Ada yang harus kami bicarakan empat mata dan—”
“Silakan bicara di sini.” Dandi segera menyela, karena tidak menyukai hal yang baru saja diucapkan Rafa. “Kalian bisa bicara di ruang tamu dan aku mau makan di belakang.”
“Dan—”
“Rumi jadi tanggung jawabku sekarang.” Dandi kembali menyela. “Jadi, selama dia tinggal di rumah ini, semua yang berkaitan tentang Rumi harus ada dalam pengawasanku.”
Rafa tersenyum miring, lalu melepas tawa kecil. Instingnya sebagai seorang pria mengatakan, Dandi mulai menunjukkan satu tanda keposesifannya atas diri Rumi. Dandi tidak salah dan pria itu berhak melakukannya. Namun, kali ini Rafa tidak akan melepaskan kesempatan keduanya untuk bisa mendapatkan Rumi.
Dahulu kala, Rafa sudah tertipu atas permainan Qai dan Rumi yang menyatakan keduanya menjalin sebuah “hubungan” tanpa status dalam diam. Akan tetapi, tidak kali ini karena Rafa sudah berbicara beberapa hal mengenai Dandi dan Rumi dengan Qai pagi tadi.
Situasinya memang tidak mudah bagi Rafa karena sudah memiliki seorang istri. Akan tetapi, Rafa akan mempertimbangkan ucapan sang ibu mertua, yang pernah memintanya untuk membatalkan pernikahan mereka karena kondisi Hera.
“Biarkan Rumi yang memutuskan.” Rafa tidak ingin gegabah dan harus lebih hati-hati lagi dalam bertindak. Saat ini, Rafa tidak sedang ingin mencari musuh, terlebih jika itu dari pihak keluarga Sebastian. Terebih, ketika Rafa sudah mengenal Jaya dengan baik. “Karena, meskipun dia tinggal di sini, Rumi tetap punya hak untuk memutuskan sesuatu tentang dirinya sendiri. Jadi, tolong panggilkan Rumi dan biar dia yang memutuskan mau ikut aku, atau tetap di ada di sini sama kamu.”
Rumi segera berlari meninggalkan Dandi di dapur, ketika pria itu mengabarkan Rafa datang untuk menemuinya. Terlebih, saat Dandi mengatakan Rafa membawa kabar tentang Alpha. Debaran jantungnya mendadak berpacu laju, karena mengingat kondisi terakhir ketika Rumi meninggalkan Alpha di apartemen.“Pak Rafa!” Rumi berseru ketika melihat pria itu benar-benar ada di ruang tamu. Ia benar-benar gelisah, memikirkan nasibnya setelah ini. “Mas Al gimana? Apa dia baik-baik aja?”“Aa …” Rafa berdiri seketika saat melihat sosok Rumi di depan mata. Sangat sederhana dan hal tersebut membuat ketertarikan tersendiri bagi Rafa. Rasa itu, ternyata belum benar-benar pergi meskipun sudah ada Hera yang Rafa pikirkan setiap hari. “Aku mau ngajak kamu keluar.”Mendengar Rafa tidak menggunakan bahasa formalnya, Rumi mendadak canggung. Mereka memang bukan lagi atasan dan bawahan seperti dulu, tetapi Rumi tetap merasa ada sebuah jarak yang tetap harus dijaga. Bahkan, Rumi saja masih memanggil pria itu dengan sebu
“Maaf …” Dengan begini, Rumi jadi tahu bagaimana harus mengambil sikap ketika menghadapi Rafa. Rumi tahu, pria itu pernah mencoba mendekatinya dahulu kala. Namun, Rumi memilih mundur dan menjauh karena saat itu masih menjalin hubungan dengan Alpha.Untuk sekarang, Rumi juga akan tetap memilih menjaga jarak, karena Rafa saat ini sudah menikah dengan Hera. Dan bagian terpenting dari semuanya ialah, Rumi tidak memiliki perasaan apa pun pada Rafa. Tidak pernah ada percikan sedikit pun, ketika ia melihat atau sedang bersama Rafa seperti sekarang. Tidak hanya itu, saat ini Rumi hanya ingin fokus pada dirinya sendiri dan menata karir yang harus kembali ia mulai dari bawah.“Kamu nggak perlu minta maaf.” Dari ekspresi Rumi, Rafa mengerti saat ini gadis itu kembali akan menolaknya. Setelah berterus terang dengan perasaannya Rafa, wajah Rumi sudah tidak seantusias sebelumnya. Senyum yang ditampilkannya pun, benar-benar terkesan datar dan dipaksakan.“Saya harus minta maaf, karena nggak akan bis
“Mama mau pergi?” Rafa baru saja menginjakkan kaki di ruang keluarga, ketika melihat Agnes sudah terlihat rapi dengan sebuah tas yang menggantung di bahu kanannya. Tidak melihat ada Hera di sebelahnya, Rafa menyimpulkan Agnes akan pergi seorang diri dan tentunya bukan ke rumah sakit.Agnes mengangguk, sembari memasukkan ponsel ke tasnya. “Mama mau ke apartemen Alpha. Hera sudah makan dan lagi sama susternya di kamar. Titip sebentar, ya, Rafa.”“Risa yang hubungi Mama?” tebak Rafa. Karena yang mengetahui keberadaan Alpha saat ini hanyalah dirinya dan Risa. Dandi dan Rumi tidak masuk hitungan karena mereka berdua tidak mungkin menghubungi Agnes.“Yaaah.” Agnes berhenti di hadapan Alpha. Menghela sebentar dengan wajah lesu dan banyak pikiran. “Risa bilang mau bicara masalah Rumi, Alpha … banyak yang janggal, jadi Mama sendiri harus pergi ke sana langsung.”“Bisa kita bicara sebentar, Ma?” pinta Rafa ingin membahas beberapa hal sebelum Agnes pergi menemui Alpha dan Risa. “Ada yang mau say
“Saya mau batalin pernikahan dengan Mas Alpha.” Risa melirik tajam pada Alpha yang tidak memedulikannya sama sekali sejak siang tadi. Tepatnya setelah pertengkaran yang terjadi di antara mereka, sejak Rafa pergi dari apartemen. Dari sanalah, Risa tahu bahwa Alpha tidak jadi membawa Rumi ke kantor polisi melainkan ke apartemen pria itu. Dari situ pula, Risa mengetahui bahwa Alpha telah berbohong kepadanya. Sebelumnya, Alpha mengatakan bahwa Rumi menyerangnya, ketika mereka berdua mampir berhenti untuk mengisi bahan bakar. Setelah itu, Rumi kabur dan Alpha tidak bisa mengejar karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Tadinya, Risa percaya-percaya saja dengan semua ucapan Alpha. Namun, ketika ia menguping pembicaraan yang terjadi antara Alpha dan Rafa, akhirnya Risa tahu semua kebenarannya. “Batal?” Kepala Agnes semakin berdenyut. Baru saja ia mendengar kabar mengenai Rafa yang ingin melepaskan Hera, kini Risa pun ingin membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan bersama Alpha. Me
“Kamu sudah gila, Qai?” Dandi menyeret Qai keluar dari dapur menuju ruang tamu, agar obrolan mereka tidak didengar oleh Rumi. “Kenapa—” “Cuma pura-pura, Dan.” Qai menarik tangannya dari cengkraman Dandi. “Jangan dianggap serius. Jadi aku minta tol—” “Kenapa harus aku?” Dandi bersedekap, menunggu penjelasan. Qai bergegas menghampiri sofa, lalu menghempas tubuhnya di sana. “Dan, kamu tahu betul gimana sejarah Glory sampai jatuh. Dan Hera, sampai seperti sekarang karena kamu juga ada di belakang itu semua.” “Jangan salahkan aku,” sahut Dandi cuek dan ikut duduk pada sofa tunggal yang berada di samping Qai. “Kamu yang punya rencana dan minta untuk menjatuhkan Glory, jadi—” “Karena itu, aku merasa bertanggung jawab dengan Glory, terutama Hera.” Hingga saat ini, Qai masih memendam rasa sesal yang mendalam akibat balas dendamnya kala itu. Orang-orang yang tidak berdosa, akhirnya ikut terseret dan menerima imbas dari ulahnya tersebut. “Andai … aku—” “Pengandaianmu itu sudah nggak berlaku
Tegang.Rumi sungguh merasa gugup, ketika berhadapan dengan Agnes yang sejak tadi menatapnya dengan selisik. Biasanya, Rumi hanya menatap wanita tua itu dari jauh dan tidak pernah mendekat satu kali pun. Namun, tidak kali ini. Rumi harus berhadapan langsung, karena harus menjelaskan beberapa perkara yang terjadi di masa lalu.Beruntung Rafa tidak ikut menemani Agnes, sehingga Rumi bisa merasa sedikit tenang. Sementara Deri, pria yang ditugaskan untuk menemani Rumi, kini berada di meja yang berbeda. Pria itu hanya berjaga-jaga, jika Rafa tiba-tiba datang dan melakukan beberapa hal yang tidak terduga.“Saya … minta maaf dengan semua yang sudah saya perbuat sama Glory … Bu.” Rumi tertunduk. Merasa bersalah dan tidak berani menatap Agnes. “Saya nggak tahu kalau semua itu bakal jadi …” Rumi mendadak mengingat ucapan Alpha. Glory jatuh, Lingga meninggal, dan Hera kini depresi. Pria itu menyalahkan Rumi atas semua akibat yang telah terjadi.“Kamu punya dendam dengan Glory?” tanya Agnes semba
“Rumi!” Qai berbalik ketika menyadari Rumi tidak berada di sampingnya. Gadis itu berjalan pelan di belakang, setelah mereka keluar dari lift lobi gedung apartemen Alpha. “Kenapa lagi?”“Mas.” Begitu menyadari dirinya tertinggal, Rumi segera berlari kecil menghampiri Qai. “Apa surat yang ditandatangani mas Al tadi kuat? Kita nggak pake materai dan surat itu juga nggak ditandatangani di depan notaris. Sorry, Mas, tapi aku makin nggak tenang ngelihat mas Al yang … aku kenal dia, Mas. Kenal banget, jadi—”“Rumi.” Tangan Qai reflek terangkat dan berniat untuk memegang kedua lengan gadis itu. Namun, mengingat statusnya saat ini adalah seorang suami, maka Qai mengurungkannya. “Tenang. Bu Agnes … aku memang belum kenal betul dengan beliau. Tapi sejauh ini, bu Agnes adalah orang yang jujur di dalam keluarga Mahawira. Selain Hera.”“Tapi suratnya pasti nggak kuat, Mas.” Rumi memang tidak mengerti hukum secara mendalam, tetapi ia yakin sekali surat yang baru saja dibuatnya dan ditandatangani ter
Pagi itu, penampilan Rumi sudah terlihat rapi. Dengan setelan blazer merah muda dan celana kerja berwarna hitam, sangat membuat penampilan Rumi tampak menawan. Namun, perasaannya masih saja resah terkait ucapan Dandi tadi malam.Selama Rumi menghilang dari peredaran, ia sangat membatasi pergerakannya. Terlebih, tempat tinggal Rumi saat ini berada di perkampungan yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Jarak antara kantornya dengan kosannya pun hanya membutuhkan waktu 15 menit dan itu pun Rumi berangkat melalui jalan tikus yang bebas hambatan.Karena itulah, selama ini tidak ada siapa pun yang bisa menemukan di mana posisi Rumi.“Sudah mau berangkat?” Dandi tidak jadi meneruskan langkahnya menuju dapur, saat melihat Rumi baru saja keluar dari kamarnya. “Pagi-pagi begini?”Rumi mengangguk pelan penuh keraguan dan rasa cemas. Ia menghampiri Dandi, sembari menggenggam erat tali tas kerjanya.”"Saya sudah buatin sarapan. Bekal makan siangnya Mas Dandi juga sudah di meja makan.”“Teru