Share

8. Perasaan yang Sama

Rumi segera berlari meninggalkan Dandi di dapur, ketika pria itu mengabarkan Rafa datang untuk menemuinya. Terlebih, saat Dandi mengatakan Rafa membawa kabar tentang Alpha. Debaran jantungnya mendadak berpacu laju, karena mengingat kondisi terakhir ketika Rumi meninggalkan Alpha di apartemen.

“Pak Rafa!” Rumi berseru ketika melihat pria itu benar-benar ada di ruang tamu. Ia benar-benar gelisah, memikirkan nasibnya setelah ini. “Mas Al gimana? Apa dia baik-baik aja?”

“Aa …” Rafa berdiri seketika saat melihat sosok Rumi di depan mata. Sangat sederhana dan hal tersebut membuat ketertarikan tersendiri bagi Rafa. Rasa itu, ternyata belum benar-benar pergi meskipun sudah ada Hera yang Rafa pikirkan setiap hari. “Aku mau ngajak kamu keluar.”

Mendengar Rafa tidak menggunakan bahasa formalnya, Rumi mendadak canggung. Mereka memang bukan lagi atasan dan bawahan seperti dulu, tetapi Rumi tetap merasa ada sebuah jarak yang tetap harus dijaga. Bahkan, Rumi saja masih memanggil pria itu dengan sebutan “pak”.

“Ke-luar?” Rumi terpaku tepat di sudut sofa panjang yang diduduki Rafa. Pria itu berdiri di sisi yang berlawanan dan mengangguk menatap Rumi.

“Ya, ada yang mau aku bicarakan, tapi cuma empat mata.”

“Masalah mas Alpha?”

“Itu juga termasuk.”

“Apa … Bapak mau masukin saya ke penjara?” Rumi kembali mengingat dengan tuduhan Alpha perihal membocorkan rahasia perusahaan.

“Bukan.” Rafa menggeleng. Sedikit menipiskan jarak, lalu meraih tangan Rumi dan membawanya duduk di sofa yang sama.

“Terus, Pak?” Rumi segera menarik tangannya dan kembali teringat masalah Alpha. “Mas Alpha gimana?”

“Dia baik.” Rafa tidak bisa menilai kecemasan yang saat ini ditunjukkan Rumi. Apakah gadis itu khawatir dengan kondisi Alpha karena masih menyimpan rasa, atau Rumi khawatir akan masuk penjara atas perbuatannya pada pria itu. “Dia masih di apartemennya, sama Risa.”

“Oh …” Rasa lega yang tadinya sudah merasuk dalam perasaan Rumi, mendadak tergantikan dengan rasa kecewa. Rumi mungkin bodoh, karena sudah disakiti sekian kali masih saja menyimpan rasa pada Alpha. Akan tetapi, siapa yang bisa melawan perasaan?

Apalagi, Alpha adalah cinta pertama dan pria pertama yang membuat Rumi benar-benar jatuh cinta, sekaligus jatuh ke dalam jurang penderitaan.

“Jadi, aku rasa kamu nggak perlu khawatir lagi masalah dia,” tambah Rafa.

“Tapi, Pak, gimana kalau mas Al nuntut saya karena—”

“Nggak usah khawatir masalah itu,” sela Rafa ingin segera mengajak Rumi keluar dari rumah Dandi, agar mereka bisa bicara lebih bebas dan lebih santai lagi. “Jadi, bisa kita keluar sebentar? Karena banyak yang aku bicarakan sama kamu.”

“Apa nggak bisa bicara di sini aja, Pak?” Bukannya tidak menghargai Rafa, tetapi Rumi pasti akan merasa canggung serta sungkan jika berada berdua dengan pria itu.

“Ya, lebih baik bicara di sini aja,” sambar Dandi tiba-tiba menimpali, setelah mendengar ucapan Rafa barusan. “Alasan pertama, kamu itu sudah punya istri, Mas. Alasan yang kedua, kalian nggak punya topik pembicaraan yang harus disampaikan secara empat mata. Yang ketiga, jujur aku masih abu-abu dengan keberpihakanmu di sini, Mas. Keempat—”

“Dandi.” Jika tidak dihentikan, pria yang terlihat mulai posesif dengan Rumi itu pasti akan mengoceh panjang lebar. “Kita sudah bicarakan masalah itu, tadi.”

“Dan Rumi barusan sudah mengambil keputusan,” sahut Dandi bersedekap ketika Rafa mulai berdiri dari tempatnya. “Dia minta kalian bicara di sini aja. Aku bukannya mau nguping, tapi aku datang ke sini supaya kamu nggak “maksa” Rumi untuk ngikuti kemauanmu.”

Karena Rafa tahu percuma bicara dengan Dandi, maka ia segera beralih pada Rumi yang bengong mendengar sedikit perdebatan mereka. “Rumi, aku mau ngajak kamu bicara di luar. Kita bisa bicara santai di kafe dekat sini, karena ada permasalah Glory yang mau aku tanyakan, dan nggak ada satu pun orang luar yang boleh nguping.”

“Emm …” Rumi jadi serba salah, ketika melihat wajah Dandi yang tampak sedikit masam. Pria itu memang tidak pernah tersenyum pada Rumi, tetapi Dandi juga tidak pernah menunjukkan ekspresi masam dan cenderung sinis padanya. Beberapa kali bertemu dengan Dandi, pria hanya menunjukkan sifat dan sikap tidak peduli. Tidak seperti saat ini. “Mas—”

“Aku cuma mau bilang, kamu itu sekarang masih ada dalam tanggung jawabku,” sela Dandi memberi penjelasan agar Rumi tidak salah paham. “Kamu tahu sendiri, gimana tingkah om Jaya sama mamaku tadi pagi, kan? Jadi—”

“Biarkan Rumi yang memutuskan.” Giliran Rafa yang menyela Dandi. “Aku bisa telpon pak Jaya, dan langsung minta izin ke beliau untuk bawa Rumi keluar.”

“Emm …” Rumi segera berdiri menengahi. Ketegangan yang ada di antara kedua pria itu semakin memanas saja, sehingga Rumi harus segera mengambil tindakan. “Mas Dandi, saya minta izin keluar sebentar sama Pak Rafa. Apa ada kafe, atau tempat—”

“Ada taman di ujung perumahan ini.” Dandi berbalik pergi dan masuk ke bagian dalam Rumah. “Aku kasih kamu waktu satu jam, setelah itu kembali pulang ke rumah. Jalan kaki aja, nggak usah pake mobil.”

“Kamu tinggal berdua aja sama Dandi?” Rafa memecah keheningan, karena Rumi hanya menutup mulutnya sejak keluar dari rumah Dandi. Mereka berdua benar-benar berjalan kaki, menuju taman yang ternyata tidak terlalu jauh dari rumah Dandi. “Nggak ada ART? Atau keluarganya dia di sana?”

Rumi mengangguk pelan. Masih menyimpan rasa khawatir, akan nasibnya ke depan. “Cuma berdua.”

“Harusnya kamu nolak, Rum.” Bagi Rafa, mereka berdua tidak seharusnya tinggal bersama dalam satu atap. “Kalian berdua itu orang asing yang berbeda, jadi, nggak selayaknya kalian tinggal sama-sama.”

“Apa saya punya pilihan, Pak?” Bagi Rumi, tinggal bersama Dandi lebih aman daripada berada di kosannya. Rumi sempat khawatir, jika Alpha dapat melacaknya dan melaporkan kejadian malam itu pada pihak berwenang. “Kemarin malam, saya sampai nggak bisa tidur waktu ada di kosan karena mikirin mas Alpha. Andai dia kenapa-napa, saya pasti ngerasa bersalah banget.”

“Kamu masih cinta sama Alpha?” Hal tersebut harus ditanyakan langsung pada Rumi, agar Rafa bisa memperhitungkan sikapnya ke depan. “Nggak usah ditutupi lagi, karena aku sudah tahu semuanya.

“Cinta …” Rumi memandang langit sore yang masih membiru, dengan gumpalan awan yang berjarak. Ia juga tidak akan mengelak, ataupun bertanya pada Rafa tentang bagaimana pria itu tahu perihal hubungannya dengan Alpha. “Kalau dibilang cinta … mungkin … saya benci lihat mas Al, tapi … ada perasaan yang masih susah dijelaskan.”

Rafa menunjuk sebuah bangku besi panjang yang berada di pinggir taman. “Complicated.”

“Perasaan saya yang complicated, Pak.” Rumi tidak mengelak. Kali ini, ia akan berusaha mengatakan semua hal dengan jujur dan tidak menyembunyikan apa pun. “Tapi logika saya jelas nggak akan mau balik sama dia. Cuma … menyelesaikan masalah hati ini yang agak … susah.”

“Aku ngerti.”

“Yakin bapak ngerti?” Rumi menoleh pada Rafa, ketika ia sudah lebih dulu duduk di bangku.

“Ya!” Rafa duduk bersebelahan dan mengatur jarak dan juga menoleh pada Rumi. “Aku ngerti karena aku juga … merasakan hal yang sama waktu ketemu lagi sama kamu.”

Rumi mendadak tegang. “Ma-maksud Bapak?”

Rafa sungguh tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada pada saat ini. “Maksudnya …

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Dandy bete tuh Rumi pergi keluar sama Rafa
goodnovel comment avatar
track derr
baru baca pertama kali sdh bikin pusing terlalu banyak tokoh dalam cerita belum lagi masuk dalam inti ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status