Rumi segera berlari meninggalkan Dandi di dapur, ketika pria itu mengabarkan Rafa datang untuk menemuinya. Terlebih, saat Dandi mengatakan Rafa membawa kabar tentang Alpha. Debaran jantungnya mendadak berpacu laju, karena mengingat kondisi terakhir ketika Rumi meninggalkan Alpha di apartemen.
“Pak Rafa!” Rumi berseru ketika melihat pria itu benar-benar ada di ruang tamu. Ia benar-benar gelisah, memikirkan nasibnya setelah ini. “Mas Al gimana? Apa dia baik-baik aja?”
“Aa …” Rafa berdiri seketika saat melihat sosok Rumi di depan mata. Sangat sederhana dan hal tersebut membuat ketertarikan tersendiri bagi Rafa. Rasa itu, ternyata belum benar-benar pergi meskipun sudah ada Hera yang Rafa pikirkan setiap hari. “Aku mau ngajak kamu keluar.”
Mendengar Rafa tidak menggunakan bahasa formalnya, Rumi mendadak canggung. Mereka memang bukan lagi atasan dan bawahan seperti dulu, tetapi Rumi tetap merasa ada sebuah jarak yang tetap harus dijaga. Bahkan, Rumi saja masih memanggil pria itu dengan sebutan “pak”.
“Ke-luar?” Rumi terpaku tepat di sudut sofa panjang yang diduduki Rafa. Pria itu berdiri di sisi yang berlawanan dan mengangguk menatap Rumi.
“Ya, ada yang mau aku bicarakan, tapi cuma empat mata.”
“Masalah mas Alpha?”
“Itu juga termasuk.”
“Apa … Bapak mau masukin saya ke penjara?” Rumi kembali mengingat dengan tuduhan Alpha perihal membocorkan rahasia perusahaan.
“Bukan.” Rafa menggeleng. Sedikit menipiskan jarak, lalu meraih tangan Rumi dan membawanya duduk di sofa yang sama.
“Terus, Pak?” Rumi segera menarik tangannya dan kembali teringat masalah Alpha. “Mas Alpha gimana?”
“Dia baik.” Rafa tidak bisa menilai kecemasan yang saat ini ditunjukkan Rumi. Apakah gadis itu khawatir dengan kondisi Alpha karena masih menyimpan rasa, atau Rumi khawatir akan masuk penjara atas perbuatannya pada pria itu. “Dia masih di apartemennya, sama Risa.”
“Oh …” Rasa lega yang tadinya sudah merasuk dalam perasaan Rumi, mendadak tergantikan dengan rasa kecewa. Rumi mungkin bodoh, karena sudah disakiti sekian kali masih saja menyimpan rasa pada Alpha. Akan tetapi, siapa yang bisa melawan perasaan?
Apalagi, Alpha adalah cinta pertama dan pria pertama yang membuat Rumi benar-benar jatuh cinta, sekaligus jatuh ke dalam jurang penderitaan.
“Jadi, aku rasa kamu nggak perlu khawatir lagi masalah dia,” tambah Rafa.
“Tapi, Pak, gimana kalau mas Al nuntut saya karena—”
“Nggak usah khawatir masalah itu,” sela Rafa ingin segera mengajak Rumi keluar dari rumah Dandi, agar mereka bisa bicara lebih bebas dan lebih santai lagi. “Jadi, bisa kita keluar sebentar? Karena banyak yang aku bicarakan sama kamu.”
“Apa nggak bisa bicara di sini aja, Pak?” Bukannya tidak menghargai Rafa, tetapi Rumi pasti akan merasa canggung serta sungkan jika berada berdua dengan pria itu.
“Ya, lebih baik bicara di sini aja,” sambar Dandi tiba-tiba menimpali, setelah mendengar ucapan Rafa barusan. “Alasan pertama, kamu itu sudah punya istri, Mas. Alasan yang kedua, kalian nggak punya topik pembicaraan yang harus disampaikan secara empat mata. Yang ketiga, jujur aku masih abu-abu dengan keberpihakanmu di sini, Mas. Keempat—”
“Dandi.” Jika tidak dihentikan, pria yang terlihat mulai posesif dengan Rumi itu pasti akan mengoceh panjang lebar. “Kita sudah bicarakan masalah itu, tadi.”
“Dan Rumi barusan sudah mengambil keputusan,” sahut Dandi bersedekap ketika Rafa mulai berdiri dari tempatnya. “Dia minta kalian bicara di sini aja. Aku bukannya mau nguping, tapi aku datang ke sini supaya kamu nggak “maksa” Rumi untuk ngikuti kemauanmu.”
Karena Rafa tahu percuma bicara dengan Dandi, maka ia segera beralih pada Rumi yang bengong mendengar sedikit perdebatan mereka. “Rumi, aku mau ngajak kamu bicara di luar. Kita bisa bicara santai di kafe dekat sini, karena ada permasalah Glory yang mau aku tanyakan, dan nggak ada satu pun orang luar yang boleh nguping.”
“Emm …” Rumi jadi serba salah, ketika melihat wajah Dandi yang tampak sedikit masam. Pria itu memang tidak pernah tersenyum pada Rumi, tetapi Dandi juga tidak pernah menunjukkan ekspresi masam dan cenderung sinis padanya. Beberapa kali bertemu dengan Dandi, pria hanya menunjukkan sifat dan sikap tidak peduli. Tidak seperti saat ini. “Mas—”
“Aku cuma mau bilang, kamu itu sekarang masih ada dalam tanggung jawabku,” sela Dandi memberi penjelasan agar Rumi tidak salah paham. “Kamu tahu sendiri, gimana tingkah om Jaya sama mamaku tadi pagi, kan? Jadi—”
“Biarkan Rumi yang memutuskan.” Giliran Rafa yang menyela Dandi. “Aku bisa telpon pak Jaya, dan langsung minta izin ke beliau untuk bawa Rumi keluar.”
“Emm …” Rumi segera berdiri menengahi. Ketegangan yang ada di antara kedua pria itu semakin memanas saja, sehingga Rumi harus segera mengambil tindakan. “Mas Dandi, saya minta izin keluar sebentar sama Pak Rafa. Apa ada kafe, atau tempat—”
“Ada taman di ujung perumahan ini.” Dandi berbalik pergi dan masuk ke bagian dalam Rumah. “Aku kasih kamu waktu satu jam, setelah itu kembali pulang ke rumah. Jalan kaki aja, nggak usah pake mobil.”
“Kamu tinggal berdua aja sama Dandi?” Rafa memecah keheningan, karena Rumi hanya menutup mulutnya sejak keluar dari rumah Dandi. Mereka berdua benar-benar berjalan kaki, menuju taman yang ternyata tidak terlalu jauh dari rumah Dandi. “Nggak ada ART? Atau keluarganya dia di sana?”
Rumi mengangguk pelan. Masih menyimpan rasa khawatir, akan nasibnya ke depan. “Cuma berdua.”
“Harusnya kamu nolak, Rum.” Bagi Rafa, mereka berdua tidak seharusnya tinggal bersama dalam satu atap. “Kalian berdua itu orang asing yang berbeda, jadi, nggak selayaknya kalian tinggal sama-sama.”
“Apa saya punya pilihan, Pak?” Bagi Rumi, tinggal bersama Dandi lebih aman daripada berada di kosannya. Rumi sempat khawatir, jika Alpha dapat melacaknya dan melaporkan kejadian malam itu pada pihak berwenang. “Kemarin malam, saya sampai nggak bisa tidur waktu ada di kosan karena mikirin mas Alpha. Andai dia kenapa-napa, saya pasti ngerasa bersalah banget.”
“Kamu masih cinta sama Alpha?” Hal tersebut harus ditanyakan langsung pada Rumi, agar Rafa bisa memperhitungkan sikapnya ke depan. “Nggak usah ditutupi lagi, karena aku sudah tahu semuanya.
“Cinta …” Rumi memandang langit sore yang masih membiru, dengan gumpalan awan yang berjarak. Ia juga tidak akan mengelak, ataupun bertanya pada Rafa tentang bagaimana pria itu tahu perihal hubungannya dengan Alpha. “Kalau dibilang cinta … mungkin … saya benci lihat mas Al, tapi … ada perasaan yang masih susah dijelaskan.”
Rafa menunjuk sebuah bangku besi panjang yang berada di pinggir taman. “Complicated.”
“Perasaan saya yang complicated, Pak.” Rumi tidak mengelak. Kali ini, ia akan berusaha mengatakan semua hal dengan jujur dan tidak menyembunyikan apa pun. “Tapi logika saya jelas nggak akan mau balik sama dia. Cuma … menyelesaikan masalah hati ini yang agak … susah.”
“Aku ngerti.”
“Yakin bapak ngerti?” Rumi menoleh pada Rafa, ketika ia sudah lebih dulu duduk di bangku.
“Ya!” Rafa duduk bersebelahan dan mengatur jarak dan juga menoleh pada Rumi. “Aku ngerti karena aku juga … merasakan hal yang sama waktu ketemu lagi sama kamu.”
Rumi mendadak tegang. “Ma-maksud Bapak?”
Rafa sungguh tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada pada saat ini. “Maksudnya …
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan