“Maaf kalau saya sudah merepotkan,” ucap Rumi setelah melakukan perkenalan singkat dengan ibu Dandi. Saat pertama kali bertemu, Rumi cukup terkejut karena penampilan wanita yang bernama Tya itu ternyata cukup sederhana. Tidak seperti wanita dari kelas atas pada umumnya, yang kerap berpakaian modis dan terlihat mahal. Bahkan, Tya datang ke rumah putranya hanya dengan mengenakan sandal jepit.
“Nggak masalah. Tante juga sudah dengar semuanya.” Tya melirik putranya dengan malas. Pria itu berada di antara Rumi dan Tya yang kini duduk berseberangan. “Jadi, nggak usah sungkan. Anggap rumah sendiri dan kamu bisa tinggal sampai ada titik terang.”
Rumi tertawa sungkan. “Nggak sampe lama, kok, Tante. Mungkin, dua tiga hari masalahnya sudah selesai. Kalau saya sudah tahu kondisi orang itu, saya pasti langsung pergi dari sini.”
“Pergi? Mau pergi ke mana?” Sebenarnya, Tya penasaran dengan putranya. Apakah Dandi tidak tertarik dengan gadis secantik Rumi. Kira-kira, akankah terjadi “sesuatu” ketika mereka berada satu atap?
Kalau ingin jujur, Tya justru berharap akan terjadi sesuatu antara Rumi dan putranya. Mungkin pemikirannya sedikit keluar dari norma, tetapi, saat mengingat Thea sudah menikah dan tengah hamil, Tya jadi ingin memaksa Dandi untuk menikah juga. Lagi pula, usia Dandi juga sudah cukup dewasa. Putranya juga mapan dan tentunya juga tampan. Jadi, kurang apa lagi, sampai-sampai Tya tidak pernah melihat Dandi bergandengan dengan wanita, selain Thea.
Terkadang, Tya sampai cemas sendiri akan orientasi putranya. Ia berharap, Dandi masih menyukai wanita dan bukan sebaliknya.
“Sepertinya, balik ke Malang, Tan.” Perasaan Rumi masih saja belum bisa tenang. Jika terjadi sesuatu pada Alpha, Rumi pasti akan berada dalam masalah besar. Bagaimana bila pria itu benar-benar menuntut Rumi dan membawa semua masalah ke jalur hukum?
Apakah Rumi akan berakhir menjadi pesakitan?
“Ooo …” Tya mengangguk-angguk dan kembali melihat Dandi yang masih saja terlihat cuek sedari tadi. “Kulkasmu ada isinya, Dan?”
“A … da” Dandi mengangguk ragu. Isinya memang ada, tetapi belum tentu sesuai dengan ekspektasi sang mama. Karena sebagian besar isi dari lemari pendingin Dandi hanyalah minuman. Dari susu kemasan, teh, hingga minuman bersoda dari berbagai merek. “Rumi, bisa tolong tinggalkan kami sebentar?” pinta Dandi dan segera disambut anggukan oleh Rumi.
“Saya permisi.” Rumi bergegas beranjak dan pergi ke kamar. Semakin tidak enak hati, dengan perlakuan ibu Dandi yang menurutnya terlampau baik.
“Ma.” Dandi beranjak menuju sofa yang diduduki sang mama. Duduk di sebelahnya dan menghabiskan jarak agar pembicaraan mereka tidak sampai terdengar oleh Rumi. “Nggak usah mikir macam-macam, karena aku nggak tertarik sama sekali dengan Rumi.”
“Kamu nggak tertarik sama perempuan?” Tya ingin jawaban yang lebih jelas lagi.
“Ma … aku normal!” ralat Dandi dengan mendesis pelan. “Tapi aku nggak tertarik dengan Rumi. Aku belum tertarik sama … perempuan mana pun. Masih banyak yang harus aku urus dan aku nggak punya waktu untuk—”
“Sampai kapan?” sela Tya sedikit menggeser posisi duduknya.
Dandi mengendik. “Masalah perasaan nggak bisa dipaksa, Ma.” Semakin ke sini, Dandi tidak bisa mengerti dengan pemikiran Jaya dan mamanya. “Lagian, Ma, kenapa Mama setuju waktu Om Jaya nyuruh aku tinggal sama Rumi? Kalian berdua itu aneh. Coba dipikir lagi, aku sama Rumi itu nggak ada hubungan apa-apa, tapi kalian “paksa” tinggal satu atap?”
“Tapi Rumi itu cantik, loh, Dan.” Tya tidak ingin menanggapi ucapan Dandi dengan serius. “Kenapa nggak coba pendekatan aja dulu.”
“Waaah …” Dandi menggeleng dan sedikit menjauh. “Mama sama om Jaya ini nggak beres. Kalau memang mau nolong Rumi, seharusnya carikan dia tempat lain. Bukannya malah tinggal sama aku.”
“Mama laporin ke om Jaya kamu, ya! Biar langsung dipecat jadi tangan kanannya!”
Dandi berdecak. “Mama itu belum kenal Rumi, jadi don’t judge the book dari covernya.”
“Kamu betul!” Tya berdiri sembari membenarkan tote bag-nya. “Jangan menilai buku dari covernya. Karena itu juga, kamu harus kenal lebih jauh lagi sama Rumi dengan … buka isi buku itu, mungkin.”
“Mamaaa …
~~~~~~~~~~~~
“Tolong tinggalkan kami, Ris.” Rafa memandang Risa dengan tegas, ketika wanita itu masih berdiri penuh amarah di samping Alpha. Dugaan Rafa ternyata tidak meleset. Alpha masih berada di apartemennya, dengan perban yang membalut satu sisi pelipisnya. “Risa.”
Risa berdecak. Dengan terpaksa, ia akhirnya pergi meninggalkan ruang tamu dan pergi menuju kamar Alpha.
“Rumi.” Rafa tidak ingin berbasa-basi, karena ada hal serius yang harus ia bahas dengan Alpha. Sebelumnya, Risa sudah menjelaskan mengenai kondisi Alpha. Pria itu terluka di bagian pelipis dan sudah memanggil seorang dokter untuk merawatnya. Karena itulah, Rafa tidak ingin berpanjang lebar lagi menanyakan perihal kondisi Alpha. “Kepalamu itu, pasti karena Rumi, kan? Risa sudah bilang, kemarin sore kamu pergi sama Rumi dan mau bawa dia ke kantor polisi. Tapi, kamu akhirnya bawa dia ke sini. Jadi—”
“Langsung ke intinya,” putus Alpha yang masih merebahkan diri di lazy couch.
“Aku sudah periksa CCTV hotel dan apartemen ini.” Apa pun itu, Rafa harus memastikan Rumi aman dari pemeriksaan pihak berwenang. “Ada indikasi kamu yang maksa Rumi—”
“Ini semua nggak ada urusannya sama kamu.” Alpha kembali menyela, karena menurutnya Rafa tidak berhak untuk ikut campur. “Jadi, pergilah.”
“Semua tentang Rumi, akan jadi urusanku.”
“Apa?” Alpha akhirnya bangkit, sembari menggeram menahan nyeri. “Semua masalah Rumi, bakal jadi urusanmu? Kamu sudah lupa dengan Hera? Kalau sampai—”
“Aku dan Hera nggak pernah saling cinta.” Setidaknya, itulah yang Rafa pahami. Mereka menikah karena permintaan Lingga, yang pada saat itu tidak lagi memiliki harapan hidup.
“Dan semua itu nggak ada hubungannya dengan Rumi.” Kepala Alpha semakin berdenyut nyeri. Sebagai seorang pria, Alpha bisa mengetahui dengan jelas dengan motif Rafa. Terlebih lagi, ia tahu benar bagaimana tatapan Rafa pada Rumi, ketika mereka masih berada satu kantor.
Rafa, menyukai Rumi.
“Apa maumu, Al?” Kakak iparnya itu, seperti tidak bisa diajak bicara baik-baik. “Kamu bawa Rumi ke sini dan—"
“Bukan urusanmu!”
“Dengar.” Selain tidak bisa diajak bicara baik-baik, sepertinya Alpha tidak ingin membicarakan semua masalah yang ada. Karena itu pula, Rafa tidak akan lagi berbicara panjang lebar dengan pria itu dan memilih pergi. “Kalau kamu berani bawa masalah Rumi ke kantor polisi, kamu langsung berhadapan denganku.”
“Dengar—”
“Kamu yang harus dengar,” putus Rafa sembari berdiri dan tetap tenang. “Glory, sekarang ada di dalam kendaliku. Jadi, kalau kamu masih ingin perusahaan keluargamu itu tetap stabil, jaga baik-baik sikapmu di luar sana! Masih ingat bagaimana Qai menjatuhkan Glory, kan? Itu belum seberapa, karena aku bisa melakukan yang lebih dari pada Qai. Jadi, mulai sekarang jangan coba-coba sentuh Rumi, atau, peninggalan dan kerja keras mendiang pak Lingga selama ini … cuma tinggal nama.”
Langkah Dandi memelan, saat menghidu aroma yang hampir tidak pernah ada di rumahnya. Aroma masakan, yang seketika itu juga membuat perutnya bergejolak.Rumi!Apa gadis itu tengah memasak di rumahnya saat ini?Namun, darimana Rumi mendapatkan semua bahan, karena Dandi sama sekali tidak memiliki apa pun untuk di masak. Karena itulah, Dandi bergegas mempercepat langkahnya menuruni tangga dan langsung menuju dapur.“Ehm!” Ternyata benar, Rumi saat ini tengah berdiri di depan kompor dan tengah berhadapan dengan sebuah wajan berukuran sedang. Namun, apa yang sedang dimasak Rumi saat ini? Dan apa yang sedang diolah gadis itu, sehingga aroma yang menyebar di area rumahnya sungguh membuat perut Dandi melontarkan protesnya. “Rumi!”“Oh!” Rumi menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada wajan kecilnya. “Mas Dandi sudah bangun?”“Kamu tadi keluar?” Dandi menarik kursi di meja makan yang hanya berjarak sekitar tiga meter dari tempat Rumi berdiri. Ia berasumsi, Rumi pergi ke minimarket di sekitar kom
Rumi segera berlari meninggalkan Dandi di dapur, ketika pria itu mengabarkan Rafa datang untuk menemuinya. Terlebih, saat Dandi mengatakan Rafa membawa kabar tentang Alpha. Debaran jantungnya mendadak berpacu laju, karena mengingat kondisi terakhir ketika Rumi meninggalkan Alpha di apartemen.“Pak Rafa!” Rumi berseru ketika melihat pria itu benar-benar ada di ruang tamu. Ia benar-benar gelisah, memikirkan nasibnya setelah ini. “Mas Al gimana? Apa dia baik-baik aja?”“Aa …” Rafa berdiri seketika saat melihat sosok Rumi di depan mata. Sangat sederhana dan hal tersebut membuat ketertarikan tersendiri bagi Rafa. Rasa itu, ternyata belum benar-benar pergi meskipun sudah ada Hera yang Rafa pikirkan setiap hari. “Aku mau ngajak kamu keluar.”Mendengar Rafa tidak menggunakan bahasa formalnya, Rumi mendadak canggung. Mereka memang bukan lagi atasan dan bawahan seperti dulu, tetapi Rumi tetap merasa ada sebuah jarak yang tetap harus dijaga. Bahkan, Rumi saja masih memanggil pria itu dengan sebu
“Maaf …” Dengan begini, Rumi jadi tahu bagaimana harus mengambil sikap ketika menghadapi Rafa. Rumi tahu, pria itu pernah mencoba mendekatinya dahulu kala. Namun, Rumi memilih mundur dan menjauh karena saat itu masih menjalin hubungan dengan Alpha.Untuk sekarang, Rumi juga akan tetap memilih menjaga jarak, karena Rafa saat ini sudah menikah dengan Hera. Dan bagian terpenting dari semuanya ialah, Rumi tidak memiliki perasaan apa pun pada Rafa. Tidak pernah ada percikan sedikit pun, ketika ia melihat atau sedang bersama Rafa seperti sekarang. Tidak hanya itu, saat ini Rumi hanya ingin fokus pada dirinya sendiri dan menata karir yang harus kembali ia mulai dari bawah.“Kamu nggak perlu minta maaf.” Dari ekspresi Rumi, Rafa mengerti saat ini gadis itu kembali akan menolaknya. Setelah berterus terang dengan perasaannya Rafa, wajah Rumi sudah tidak seantusias sebelumnya. Senyum yang ditampilkannya pun, benar-benar terkesan datar dan dipaksakan.“Saya harus minta maaf, karena nggak akan bis
“Mama mau pergi?” Rafa baru saja menginjakkan kaki di ruang keluarga, ketika melihat Agnes sudah terlihat rapi dengan sebuah tas yang menggantung di bahu kanannya. Tidak melihat ada Hera di sebelahnya, Rafa menyimpulkan Agnes akan pergi seorang diri dan tentunya bukan ke rumah sakit.Agnes mengangguk, sembari memasukkan ponsel ke tasnya. “Mama mau ke apartemen Alpha. Hera sudah makan dan lagi sama susternya di kamar. Titip sebentar, ya, Rafa.”“Risa yang hubungi Mama?” tebak Rafa. Karena yang mengetahui keberadaan Alpha saat ini hanyalah dirinya dan Risa. Dandi dan Rumi tidak masuk hitungan karena mereka berdua tidak mungkin menghubungi Agnes.“Yaaah.” Agnes berhenti di hadapan Alpha. Menghela sebentar dengan wajah lesu dan banyak pikiran. “Risa bilang mau bicara masalah Rumi, Alpha … banyak yang janggal, jadi Mama sendiri harus pergi ke sana langsung.”“Bisa kita bicara sebentar, Ma?” pinta Rafa ingin membahas beberapa hal sebelum Agnes pergi menemui Alpha dan Risa. “Ada yang mau say
“Saya mau batalin pernikahan dengan Mas Alpha.” Risa melirik tajam pada Alpha yang tidak memedulikannya sama sekali sejak siang tadi. Tepatnya setelah pertengkaran yang terjadi di antara mereka, sejak Rafa pergi dari apartemen. Dari sanalah, Risa tahu bahwa Alpha tidak jadi membawa Rumi ke kantor polisi melainkan ke apartemen pria itu. Dari situ pula, Risa mengetahui bahwa Alpha telah berbohong kepadanya. Sebelumnya, Alpha mengatakan bahwa Rumi menyerangnya, ketika mereka berdua mampir berhenti untuk mengisi bahan bakar. Setelah itu, Rumi kabur dan Alpha tidak bisa mengejar karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Tadinya, Risa percaya-percaya saja dengan semua ucapan Alpha. Namun, ketika ia menguping pembicaraan yang terjadi antara Alpha dan Rafa, akhirnya Risa tahu semua kebenarannya. “Batal?” Kepala Agnes semakin berdenyut. Baru saja ia mendengar kabar mengenai Rafa yang ingin melepaskan Hera, kini Risa pun ingin membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan bersama Alpha. Me
“Kamu sudah gila, Qai?” Dandi menyeret Qai keluar dari dapur menuju ruang tamu, agar obrolan mereka tidak didengar oleh Rumi. “Kenapa—” “Cuma pura-pura, Dan.” Qai menarik tangannya dari cengkraman Dandi. “Jangan dianggap serius. Jadi aku minta tol—” “Kenapa harus aku?” Dandi bersedekap, menunggu penjelasan. Qai bergegas menghampiri sofa, lalu menghempas tubuhnya di sana. “Dan, kamu tahu betul gimana sejarah Glory sampai jatuh. Dan Hera, sampai seperti sekarang karena kamu juga ada di belakang itu semua.” “Jangan salahkan aku,” sahut Dandi cuek dan ikut duduk pada sofa tunggal yang berada di samping Qai. “Kamu yang punya rencana dan minta untuk menjatuhkan Glory, jadi—” “Karena itu, aku merasa bertanggung jawab dengan Glory, terutama Hera.” Hingga saat ini, Qai masih memendam rasa sesal yang mendalam akibat balas dendamnya kala itu. Orang-orang yang tidak berdosa, akhirnya ikut terseret dan menerima imbas dari ulahnya tersebut. “Andai … aku—” “Pengandaianmu itu sudah nggak berlaku
Tegang.Rumi sungguh merasa gugup, ketika berhadapan dengan Agnes yang sejak tadi menatapnya dengan selisik. Biasanya, Rumi hanya menatap wanita tua itu dari jauh dan tidak pernah mendekat satu kali pun. Namun, tidak kali ini. Rumi harus berhadapan langsung, karena harus menjelaskan beberapa perkara yang terjadi di masa lalu.Beruntung Rafa tidak ikut menemani Agnes, sehingga Rumi bisa merasa sedikit tenang. Sementara Deri, pria yang ditugaskan untuk menemani Rumi, kini berada di meja yang berbeda. Pria itu hanya berjaga-jaga, jika Rafa tiba-tiba datang dan melakukan beberapa hal yang tidak terduga.“Saya … minta maaf dengan semua yang sudah saya perbuat sama Glory … Bu.” Rumi tertunduk. Merasa bersalah dan tidak berani menatap Agnes. “Saya nggak tahu kalau semua itu bakal jadi …” Rumi mendadak mengingat ucapan Alpha. Glory jatuh, Lingga meninggal, dan Hera kini depresi. Pria itu menyalahkan Rumi atas semua akibat yang telah terjadi.“Kamu punya dendam dengan Glory?” tanya Agnes semba
“Rumi!” Qai berbalik ketika menyadari Rumi tidak berada di sampingnya. Gadis itu berjalan pelan di belakang, setelah mereka keluar dari lift lobi gedung apartemen Alpha. “Kenapa lagi?”“Mas.” Begitu menyadari dirinya tertinggal, Rumi segera berlari kecil menghampiri Qai. “Apa surat yang ditandatangani mas Al tadi kuat? Kita nggak pake materai dan surat itu juga nggak ditandatangani di depan notaris. Sorry, Mas, tapi aku makin nggak tenang ngelihat mas Al yang … aku kenal dia, Mas. Kenal banget, jadi—”“Rumi.” Tangan Qai reflek terangkat dan berniat untuk memegang kedua lengan gadis itu. Namun, mengingat statusnya saat ini adalah seorang suami, maka Qai mengurungkannya. “Tenang. Bu Agnes … aku memang belum kenal betul dengan beliau. Tapi sejauh ini, bu Agnes adalah orang yang jujur di dalam keluarga Mahawira. Selain Hera.”“Tapi suratnya pasti nggak kuat, Mas.” Rumi memang tidak mengerti hukum secara mendalam, tetapi ia yakin sekali surat yang baru saja dibuatnya dan ditandatangani ter