Share

6. Tinggal Nama

“Maaf kalau saya sudah merepotkan,” ucap Rumi setelah melakukan perkenalan singkat dengan ibu Dandi. Saat pertama kali bertemu, Rumi cukup terkejut karena penampilan wanita yang bernama Tya itu ternyata cukup sederhana. Tidak seperti wanita dari kelas atas pada umumnya, yang kerap berpakaian modis dan terlihat mahal. Bahkan, Tya datang ke rumah putranya hanya dengan mengenakan sandal jepit.

“Nggak masalah. Tante juga sudah dengar semuanya.” Tya melirik putranya dengan malas. Pria itu berada di antara Rumi dan Tya yang kini duduk berseberangan. “Jadi, nggak usah sungkan. Anggap rumah sendiri dan kamu bisa tinggal sampai ada titik terang.”

Rumi tertawa sungkan. “Nggak sampe lama, kok, Tante. Mungkin, dua tiga hari masalahnya sudah selesai. Kalau saya sudah tahu kondisi orang itu, saya pasti langsung pergi dari sini.”

“Pergi? Mau pergi ke mana?” Sebenarnya, Tya penasaran dengan putranya. Apakah Dandi tidak tertarik dengan gadis secantik Rumi. Kira-kira, akankah terjadi “sesuatu” ketika mereka berada satu atap?

Kalau ingin jujur, Tya justru berharap akan terjadi sesuatu antara Rumi dan putranya. Mungkin pemikirannya sedikit keluar dari norma, tetapi, saat mengingat Thea sudah menikah dan tengah hamil, Tya jadi ingin memaksa Dandi untuk menikah juga. Lagi pula, usia Dandi juga sudah cukup dewasa. Putranya juga mapan dan tentunya juga tampan. Jadi, kurang apa lagi, sampai-sampai Tya tidak pernah melihat Dandi bergandengan dengan wanita, selain Thea.

Terkadang, Tya sampai cemas sendiri akan orientasi putranya. Ia berharap, Dandi masih menyukai wanita dan bukan sebaliknya.

“Sepertinya, balik ke Malang, Tan.” Perasaan Rumi masih saja belum bisa tenang. Jika terjadi sesuatu pada Alpha, Rumi pasti akan berada dalam masalah besar. Bagaimana bila pria itu benar-benar menuntut Rumi dan membawa semua masalah ke jalur hukum?

Apakah Rumi akan berakhir menjadi pesakitan?

“Ooo …” Tya mengangguk-angguk dan kembali melihat Dandi yang masih saja terlihat cuek sedari tadi. “Kulkasmu ada isinya, Dan?”

“A … da” Dandi mengangguk ragu. Isinya memang ada, tetapi belum tentu sesuai dengan ekspektasi sang mama. Karena sebagian besar isi dari lemari pendingin Dandi hanyalah minuman. Dari susu kemasan, teh, hingga minuman bersoda dari berbagai merek. “Rumi, bisa tolong tinggalkan kami sebentar?” pinta Dandi dan segera disambut anggukan oleh Rumi.

“Saya permisi.” Rumi bergegas beranjak dan pergi ke kamar. Semakin tidak enak hati, dengan perlakuan ibu Dandi yang menurutnya terlampau baik.

“Ma.” Dandi beranjak menuju sofa yang diduduki sang mama. Duduk di sebelahnya dan menghabiskan jarak agar pembicaraan mereka tidak sampai terdengar oleh Rumi. “Nggak usah mikir macam-macam, karena aku nggak tertarik sama sekali dengan Rumi.”

“Kamu nggak tertarik sama perempuan?” Tya ingin jawaban yang lebih jelas lagi.

“Ma … aku normal!” ralat Dandi dengan mendesis pelan. “Tapi aku nggak tertarik dengan Rumi. Aku belum tertarik sama … perempuan mana pun. Masih banyak yang harus aku urus dan aku nggak punya waktu untuk—”

“Sampai kapan?” sela Tya sedikit menggeser posisi duduknya.

Dandi mengendik. “Masalah perasaan nggak bisa dipaksa, Ma.” Semakin ke sini, Dandi tidak bisa mengerti dengan pemikiran Jaya dan mamanya. “Lagian, Ma, kenapa Mama setuju waktu Om Jaya nyuruh aku tinggal sama Rumi? Kalian berdua itu aneh. Coba dipikir lagi, aku sama Rumi itu nggak ada hubungan apa-apa, tapi kalian “paksa” tinggal satu atap?”

“Tapi Rumi itu cantik, loh, Dan.” Tya tidak ingin menanggapi ucapan Dandi dengan serius. “Kenapa nggak coba pendekatan aja dulu.”

“Waaah …” Dandi menggeleng dan sedikit menjauh. “Mama sama om Jaya ini nggak beres. Kalau memang mau nolong Rumi, seharusnya carikan dia tempat lain. Bukannya malah tinggal sama aku.”

“Mama laporin ke om Jaya kamu, ya! Biar langsung dipecat jadi tangan kanannya!”

Dandi berdecak. “Mama itu belum kenal Rumi, jadi don’t judge the book dari covernya.”

“Kamu betul!” Tya berdiri sembari membenarkan tote bag-nya. “Jangan menilai buku dari covernya. Karena itu juga, kamu harus kenal lebih jauh lagi sama Rumi dengan … buka isi buku itu, mungkin.”

“Mamaaa …

~~~~~~~~~~~~

“Tolong tinggalkan kami, Ris.” Rafa memandang Risa dengan tegas, ketika wanita itu masih berdiri penuh amarah di samping Alpha. Dugaan Rafa ternyata tidak meleset. Alpha masih berada di apartemennya, dengan perban yang membalut satu sisi pelipisnya. “Risa.”

Risa berdecak. Dengan terpaksa, ia akhirnya pergi meninggalkan ruang tamu dan pergi menuju kamar Alpha.

“Rumi.” Rafa tidak ingin berbasa-basi, karena ada hal serius yang harus ia bahas dengan Alpha. Sebelumnya, Risa sudah menjelaskan mengenai kondisi Alpha. Pria itu terluka di bagian pelipis dan sudah memanggil seorang dokter untuk merawatnya. Karena itulah, Rafa tidak ingin berpanjang lebar lagi menanyakan perihal kondisi Alpha. “Kepalamu itu, pasti karena Rumi, kan? Risa sudah bilang, kemarin sore kamu pergi sama Rumi dan mau bawa dia ke kantor polisi. Tapi, kamu akhirnya bawa dia ke sini. Jadi—”

“Langsung ke intinya,” putus Alpha yang masih merebahkan diri di lazy couch.

“Aku sudah periksa CCTV hotel dan apartemen ini.” Apa pun itu, Rafa harus memastikan Rumi aman dari pemeriksaan pihak berwenang. “Ada indikasi kamu yang maksa Rumi—”

“Ini semua nggak ada urusannya sama kamu.” Alpha kembali menyela, karena menurutnya Rafa tidak berhak untuk ikut campur. “Jadi, pergilah.”

“Semua tentang Rumi, akan jadi urusanku.”

“Apa?” Alpha akhirnya bangkit, sembari menggeram menahan nyeri. “Semua masalah Rumi, bakal jadi urusanmu? Kamu sudah lupa dengan Hera? Kalau sampai—”

“Aku dan Hera nggak pernah saling cinta.” Setidaknya, itulah yang Rafa pahami. Mereka menikah karena permintaan Lingga, yang pada saat itu tidak lagi memiliki harapan hidup.

“Dan semua itu nggak ada hubungannya dengan Rumi.” Kepala Alpha semakin berdenyut nyeri. Sebagai seorang pria, Alpha bisa mengetahui dengan jelas dengan motif Rafa. Terlebih lagi, ia tahu benar bagaimana tatapan Rafa pada Rumi, ketika mereka masih berada satu kantor.

Rafa, menyukai Rumi.

“Apa maumu, Al?” Kakak iparnya itu, seperti tidak bisa diajak bicara baik-baik. “Kamu bawa Rumi ke sini dan—"

“Bukan urusanmu!”

“Dengar.” Selain tidak bisa diajak bicara baik-baik, sepertinya Alpha tidak ingin membicarakan semua masalah yang ada. Karena itu pula, Rafa tidak akan lagi berbicara panjang lebar dengan pria itu dan memilih pergi. “Kalau kamu berani bawa masalah Rumi ke kantor polisi, kamu langsung berhadapan denganku.”

“Dengar—”

“Kamu yang harus dengar,” putus Rafa sembari berdiri dan tetap tenang. “Glory, sekarang ada di dalam kendaliku. Jadi, kalau kamu masih ingin perusahaan keluargamu itu tetap stabil, jaga baik-baik sikapmu di luar sana! Masih ingat bagaimana Qai menjatuhkan Glory, kan? Itu belum seberapa, karena aku bisa melakukan yang lebih dari pada Qai. Jadi, mulai sekarang jangan coba-coba sentuh Rumi, atau, peninggalan dan kerja keras mendiang pak Lingga selama ini … cuma tinggal nama.”

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
wiiiihhhhhh keren nih Rafa...
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
mbk Rumi jadi inceran mas Rafa sama Alpha..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status