Rendy mengepalkan tangan erat. Sorot matanya menyala-nyala penuh amarah, seolah siap untuk membunuh Nayla sekarang juga. Dalam hati, ia sudah membayangkan Nayla terkapar di lantai tak berdaya.
Sementara itu, diam-diam Meira tersenyum miring penuh kepuasan melihat raut marah Rendy. "Tontonan menarik. Hari ini dia pasti babak belur lagi," batinnya licik. "Selamat datang di nerakamu, Nayla. Waktumu muncul nggak tepat, jalang!" gumamnya dalam hati yang merasa puas. Rendy melepaskan tangan Meira yang melingkar di lengannya, lalu melangkah dengan cepat menghampiri Nayla. Gadis itu masih duduk santai, seraya menyesap jusnya tanpa terlihat terganggu sedikit pun. Saat melihat Rendy mendekat dengan penuh amarah, Nayla segera berdiri. Ia melipat tangannya di dada, menatap lurus lelaki itu. Rendy sedikit terkejut saat melihat Nayla yang berani menatap matanya, tatapan itu terasa asing baginya. Namun, Rendy tidak peduli, amarah telah menguasai dirinya. PLAAKK! PLAAKK! Sebuah tamparan keras mendarat dikedua pipi Nayla, membuat kepalanya menoleh ke samping. Nayla terdiam, dia juga tidak berniat menghindar. Tangannya menyentuh pipinya yang terasa panas dan berdenyut. Ia merasa kalau bibirnya sedikit sobek, tapi tak ada lagi suara isak tangis seperti biasanya. "Wanita sialan!!!" bentak Rendy dengan suara menggelegar. "Berani-beraninya kau kabur dari rumah sakit!!! Kau hampir membunuh Meira, dasar brengseekk!!! Mau jadi pembunuh kamu, haahh?!" Meira menutup mulutnya, pura-pura terkejut. Namun, matanya bersinar penuh kemenangan. Senyum smirk yang sangat tipis muncul di sudut bibirnya. Dia suka pemandangan yang seperti ini. Dengan sok lemah, Meira berjalan mendekat ke samping Rendy. Ia menyandarkan tubuhnya di lengan pria itu. Tangannya mengusap bahu Rendy dengan lembut, seolah berusaha menenangkannya. "Sayang... jangan marah, ya," ucap Meira lembut, suaranya dibuat semanis mungkin. "Nayla nggak salah kok. Aku yakin kalau Nayla punya alasan kenapa dia kabur. Mungkin... dari awal dia memang nggak rela donorin ginjalnya buat aku. Lagipula, aku juga hanya kakak angkatnya. Nggak apa-apa, aku ikhlas kok..." Rendy meremas tangan Meira erat, lalu menatap Nayla dengan tatapan sinis. "Lihat itu! Meira masih baik sama kamu, padahal kau sudah berlaku sejahat ini sama dia!" serunya penuh emosi. Tiba-tiba, terdengar suara kekehan kecil dari bibir Nayla. Rendy dan Meira sama-sama terdiam kaget. "Kau gila?!" bentak Rendy tajam. Nayla perlahan mengangkat kepalanya. Tatapannya berubah dingin menatap ke mata si bajingan dan si jalang di depannya. Tak ada lagi ragu di wajahnya, yang ada hanya keberanian dan dendam. "Wahh... ku kira kau sudah mati," ucap Nayla dengan santai, nada suaranya seolah menyindir tanpa beban. Ia mengangkat satu alisnya, menatap Meira dengan tatapan menghina. "Aneh juga, nyawamu betah banget bersarang di tubuh jalang sepertimu." "A-apaa...?!" Meira menunjuk Nayla dengan geram, wajahnya memerah karena emosi. "Kau...!" Nayla terkekeh geli melihat Meira yang kebakaran jenggot. "Kok marah? Kesindir, ya? Fakta memang sangat menyakitkan, kan?" "NAYLAA!!!" bentak Rendy lantang. Dengan emosi meledak, dia mengangkat tangannya ingin menampar Nayla lagi. Namun kali ini Nayla lebih cepat. Ia menangkap pergelangan tangan Rendy dengan cengkraman kuat, matanya menajam. "Kau pikir aku akan diam kayak dulu?" ujarnya tajam. Suaranya menggema di dalam ruangan tersebut. "Kesempatanmu sudah habis, Rendy. Tangan kotormu ini nggak akan bisa menyentuh tubuhku lagi." Rendy membeku. Tatapan Nayla kini terasa asing baginya, tajam dan dingin. Seolah wanita di depannya bukan lagi sosok lemah yang dulu ia permainkan. "Na-Nayla...!" Dengan kasar, Nayla menghempaskan tangan Rendy, lalu dia melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia kembali menoleh. Menatap Rendy dengan tajam. "Siapkan surat cerainya. Aku akan tanda tangan hari ini juga," katanya dingin. "Kau bisa nikmati hidupmu dengan wanita jalangmu itu, daripada harus berzina sembunyi-sembunyi kayak tikus. Nggak seru," ejek Nayla. "Naylaaa!!!!" teriak Meira, matanya berkaca-kaca dan tangannya terkepal erat. Namun, Nayla tidak peduli, dia terus berjalan menaiki tangga menuju ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Dia hanya berniat memberikan salam pembuka atas rasa sakitnya kepada mereka berdua. Masih banyak waktu untuk membalas lukanya. Dibawah, Meira mulai terisak pelan. Namun, dia menahan amarah yang meluap dalam dirinya. Berani sekali anak haram itu menghinanya, terlebih di depan Rendy. "M-Mas..." isaknya, menatap Rendy dengan mata berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, Rendy segera menenangkannya. Dia menggandeng tangan Meira dengan lembut dan membawanya duduk di sofa. "Memangnya aku... jalang, ya? Aku... aku sakit hati, Mas. Aku sejahat itu, ya?" tanya Meira seraya menangis. Bahunya bergetar hebat. Lebih ke... TIDAK TAHU DIRI! Rendy segera menenangkannya. Dia menarik Meira ke dalam pelukannya, memeluknya dengan lembut. “Ssstt... Enggak, sayang… bukan kamu yang jalang, tapi dia yang keterlaluan,” bisiknya lembut sambil mengelus rambut blonde Meira. “Tenang saja, nggak usah dipikirin, kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Aku yang akan kasih pelajaran buat perempuan itu nanti. Dia harus tahu tempatnya.” Di kamar, Nayla duduk di tepi ranjang. Tangannya memegang dadanya yang berdegup kencang. Ada rasa puas di hatinya saat melihat kedua sejoli haram itu terdiam. Seulas senyum samar terukir di bibirnya. "Jadi... begini rasanya melawan?" bisiknya lirih. Aku puas. Puas banget." Tokk... Tokk... Tokk... Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Wajahnya yang semula tenang, langsung berubah datar dan dingin. "Siapa?" tanyanya tegas. "Ini Mbok Marni, Nyonya," sahut suara dari balik pintu. "Masuk, Mbok," ucap Nayla, kali ini lebih lembut. Pintu kamar terbuka perlahan. Mbok Marni masuk sambil membawa nampan berisi cake dan segelas jus apel. Wajahnya berbinar, senyum hangat menghiasi bibirnya yang mulai menua. "Akhirnya... Nyonya pulang juga. Mbok sepi kalau Nyonya nggak ada di rumah," katanya sambil meletakkan nampan di atas nakas di samping ranjang. Nayla tersenyum tipis. "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri, Mbok. Nggak ke mana-mana." Mbok Marni menatapnya dengan sorot mata kasihan. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata lirih, "Nyonya nggak apa-apa, kan? Mbok yakin, Nyonya kuat. Pasti bisa lewati semuanya." Nayla mengangguk pelan. "Terima kasih, Mbok. Doanya selalu aku butuhkan." Mbok Marni membalas dengan anggukan kecil. Ia kemudian beranjak keluar dari kamar majikannya, lalu menutup pintu dengan perlahan. Namun sebelum melangkah menjauh, ia mengusap sudut matanya yang mulai basah. "Yaa Allah, tolong beri majikanku kekuatan," gumamnya penuh harap. Sementara itu, Nayla mengambil sepotong cake di atas nampan. Ia menggigitnya perlahan, lalu matanya melirik botol air minumnya yang kosong. Nayla menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang dan mengambil botol itu. Dengan langkah tenang, ia keluar dari kamar menuju dapur. Namun, saat menuruni tangga, pandangannya menangkap Rendy yang sedang menggandeng Meira menaiki tangga dengan manja. "Dih, lebay," gumam Nayla sinis, tapi dia mempertahankan wajahnya yang dingin dan datar. Mereka berpapasan di anak tangga. Meira dan Rendy sempat melirik ke arahnya, berharap mendapat reaksi Nayla seperti biasa saat melihat mereka berdua bermesraan, entah menangis atau membentak. Tapi Nayla sama sekali tidak mengindahkan mereka berdua dan terus berjalan tanpa menoleh. Rendy menatap punggung Nayla dengan alis bertaut. "Ada apa dengan dia?" batinnya bingung. Sementara itu, Meira menggertakkan gigi. Sorot matanya tajam, penuh kebencian. "Sial! Wanita jalang itu mulai melawan!" geramnya dalam hati.Rendy mengepalkan tangan erat. Sorot matanya menyala-nyala penuh amarah, seolah siap untuk membunuh Nayla sekarang juga. Dalam hati, ia sudah membayangkan Nayla terkapar di lantai tak berdaya. Sementara itu, diam-diam Meira tersenyum miring penuh kepuasan melihat raut marah Rendy."Tontonan menarik. Hari ini dia pasti babak belur lagi," batinnya licik. "Selamat datang di nerakamu, Nayla. Waktumu muncul nggak tepat, jalang!" gumamnya dalam hati yang merasa puas.Rendy melepaskan tangan Meira yang melingkar di lengannya, lalu melangkah dengan cepat menghampiri Nayla. Gadis itu masih duduk santai, seraya menyesap jusnya tanpa terlihat terganggu sedikit pun. Saat melihat Rendy mendekat dengan penuh amarah, Nayla segera berdiri. Ia melipat tangannya di dada, menatap lurus lelaki itu. Rendy sedikit terkejut saat melihat Nayla yang berani menatap matanya, tatapan itu terasa asing baginya. Namun, Rendy tidak peduli, amarah telah menguasai dirinya.PLAAKK! PLAAKK!Sebuah tamparan keras men
Sementara itu, Rendy berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap lalu membuka pintu utama. Tanpa berkata sepatah kata pun, Ia masuk ke dalam mobil dan memberi isyarat kepada sopirnya untuk segera berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, pandangan Rendy tak lepas dari layar ponselnya. Jari-jemarinya menggeser foto demi foto bersama Meira, sesekali bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat melihat wajah imut wanitanya. "Semoga kamu cepat sembuh," gumamnya.Namun, senyum itu perlahan menghilang. Sorot matanya berubah dingin saat bayangan Nayla melintas di benaknya, wanita yang dengan berani kabur dari rumah sakit dan hampir membahayakan nyawa kekasihnya."Berani-beraninya kau kabur... Awas saja kalau kau kembali. Aku bakalan menghukummu habis-habisan. Dasar wanita jalang," bisiknya penuh amarah. Beberapa menit kemudian, mobilnya sudah meluncur masuk ke area lobi perusahaan. Sang sopir buru-buru turun, lalu berlari membukakan pintu mobil untuknya. Rendy melangkah keluar dengan per
Rendy membuka sebagian kancing kemejanya yang terasa pengap, sorot matanya menajam seperti predator yang sedang memburu mangsanya. "NAYLAA!!!" teriaknya sekali lagi, tapi hanya kesunyian yang menjawab. Tidak ada tanda-tanda Nayla akan berlari menemuinya seperti biasa. "Ke mana perempuan sialan itu?" gumamnya dingin. Dia berjalan cepat menaiki tangga. Dengan kasar, ia menggedor pintu kamar Nayla. "Nayla! Keluar kau sekarang! Aku tahu, kau ada di dalam!" suara Rendy semakin meninggi. Kini, kesabarannya semakin menipis saat melihat tidak ada tanda-tanda pintu akan di buka. Rendy menghantam pintu kamar Nayla dengan brutal. "NAYLAA! KELUAR SEKARANG!" Pintu terbuka dengan kasar, tapi dia melihat kamar itu kosong. Ranjang yang rapi, udara yang pengap. Semua menunjukkan bahwa Nayla belum pulang sejak semalam. "Sial!" makinya, Rendy menendang lemari kecil Nayla dengan keras hingga roboh. Dari balik pintu, seorang ART yang bernama Marni mengintip dengan wajah pucat. "P-Pak
Dengan napas terengah-engah, dr. Andika, dokter bedah utama, bergegas menghampiri keluarga Meira yang masih diliputi amarah. "Ada kabar baik!" serunya sambil mengusap keringat yang membasahi dahinya. Rendy langsung berdiri dari duduknya, sorot matanya masih berkilat tajam. "Apa itu? Katakan cepat! Perempuan itu sudah ditemukan?" "Belum, Pak. Tapi kami baru saja menerima donor organ dari pasien yang kecelakaan," jelas dr. Andika dengan cepat. "Perempuan muda, usia 25 tahun. Dia sudah... sudah tidak tertolong." Ibu Dewi segera menyela dengan nada tak sabar. "Lalu? Ginjalnya cocok untuk Meira, kan?" "Kami belum bisa memastikan," jelas sang dokter. "Tapi kami akan segera lakukan tes kecocokan." Rangga mengangguk, wajahnya penuh harap. "Lakukan apa pun yang terbaik untuk putriku, Dok," tegas Rangga. "Tentu, Pak," ucap dr. Andika sambil mengangguk. Rendy memandang dr. Andika dengan tatapan penuh arti. "Pastikan ini berhasil, Dok. Uang bukan masalah, tolong selamatkan kekasihku."
Nayla perlahan membuka matanya. Pandangannya masih sedikit kabur, tapi ia bisa melihat sekeliling ruang operasi yang terang benderang. Tubuhnya terasa ringan, seolah anestesi itu tidak bekerja sama sekali. "Aneh... aku harusnya nggak bisa bergerak? Apa mungkin karena perempuan itu?" pikirnya. Dia menggerakkan jari-jemarinya dengan hati-hati. Ya, dia masih bisa merasakan semuanya. Perlahan, Nayla mengangkat sedikit kepalanya dan melihat ke sekeliling ruangan. Ruangan itu sepi. Hanya ada satu orang dokter yang berdiri membelakanginya, dokter itu sibuk menyiapkan alat-alat bedah di atas nampan logam. Suara dentingan alat-alat itu menggema di ruangan yang sunyi. Nayla menelan salivanya susah payah. "Sekarang, aku harus pergi dari sini." Dengan hati-hati, dia melepaskan selang infus dari tangannya. Darah mengalir sedikit dari bekas infus itu, tapi Nayla tidak peduli. Perlahan, dia menggeser tubuhnya ke pinggir meja operasi. "Gimana caranya aku keluar dari sini?" gumamnya lirih, menc
Plak! Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Nayla. Ia merasakan pipinya kebas usai di tampar oleh suaminya sendiri. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya yang tirus dan pucat pasi. "Aku ini suamimu! Harusnya kamu nurut sama aku!" hardik Rendy Baskara dengan mata membelalak. Perlahan, Nayla mengangkat wajahnya. Kantung matanya yang hitam terlihat jelas, menandakan betapa tersiksa hidupnya selama ini. Bibirnya bergetar saat melihat tidak ada jejak belas kasih di mata suaminya. "Ta—tapi, Mas... Aku ini istrimu. Kenapa kamu lebih belain selingkuhanmu itu?!" Nayla meninggikan sedikit suaranya, walaupun terdengar bergetar. Rendy melonggarkan dasinya dengan kasar. Tatapannya tajam ke arah Nayla, seperti tak lagi mengenal perempuan yang dulu ia nikahi. "Jaga mulutmu! Jangan pernah kau hina dia lagi! Dia tetap kakakmu!" desisnya geram, air liurnya menyembur ke wajah Nayla. "Tapi..." Nayla mencoba bicara, namun lagi-lagi dipotong. "Aku nggak mau tahu!" tukas