Share

18. Jangan Berharap

Author: Indy Shinta
last update Last Updated: 2025-12-02 22:56:40

Amara mencengkeram garpu di tangannya.

‘Haruskah kutusuk saja mulut pedasnya pakai benda ini?’ pikirnya, mendadak psycho.

Ia mencoba mengatur napasnya agar tenang.

Chandra mengangkat tatapannya. Mata mereka bentrok di udara.

Tak ada kata, tapi kediaman antara mereka justru lebih menusuk.

Akhirnya Amara bicara.

“Jadi, kamu mau bantu aku atau nggak?” tanyanya, dengan nada selembut kapas, yang sebenarnya sudah siap jadi amplas.

Chandra menyandarkan tubuh, menyilangkan tangan santai. Senyuman tipisnya muncul lagi. Senyum yang sukses membuat Amara ingin melempar roti ke wajahnya.

“Aku sudah jawab,” katanya santai. “Kamu cantik. Tanpa salon, tanpa makeover.”

Amara mendengus kecil.

“Aku tahu aku cantik,” ia mengangguk cepat. “Tapi buat apa cantik kalau bukan tipenya David?”

Sorot mata Chandra langsung berubah dingin. Satu alisnya terangkat. “David?” ulangnya, seperti mengucap kata yang menggelikan di telinganya.

Amara mengangguk mantap.

“Iya. David.”

Ia menegakkan punggung. Dagunya terangk
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   48. Nilai Seratus

    Ingatan yang langsung menghinggapi kepala Amara adalah bagaimana pria itu pernah mencium pacarnya. Ciuman yang membuatnya keki, patah hati, sekaligus sadar di detik yang sama bahwa ia tak boleh kepincut lagi padanya.‘Ganteng sih, tapi sayangnya udah sold out. Cuma bisa dikagumi, nggak boleh diingini.’ Amara hanya diam sepanjang lelaki itu mengobrol ringan dengan Chandra, tapi ia sadar lelaki itu sedang mencuri-curi pandang ke arahnya. Entahlah, apa dia ingat pernah bertemu dengan Amara, atau cuma sekedar tatapan kepo ia pacarnya Chandra atau bukan.Sampai akhirnya. “Pacarmu? Nggak mau kenalin ke aku?” bisiknya, pelan tapi Amara masih bisa mendengarnya.Chandra hanya terkekeh pelan. Amara melirik adik lelakinya itu, agak jengkel karena Chandra sepertinya enggan memperkenalkan dirinya sebagai kakak pada orang lain.Kenapa? Apa penampilanku masih kurang terlihat meyakinkan sebagai Nona Sanjaya?Amara menyesap kopinya perlahan dengan gerakan elegan, tapi suhu kopi yang masih panas langs

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   47. Apa Kabar?

    Chandra menyetir dengan tenang, satu tangan bertumpu ringan di setir, tangan satunya bertengger santai di dekat tuas persneling. Mobil sedan mewah itu melaju stabil, seperti pemiliknya tahu persis ke mana arah hidup dan jalan yang sedang ia ambil.Di dalam kabin, lagu Perfect milik Ed Sheeran mengalir dari speaker mobil. Volumenya cukup jelas untuk didengar, cukup tenang untuk tidak menguasai percakapan. Nada-nadanya mengisi ruang sempit di antara mereka, menyatu dengan dengung mesin dan ritme jalanan sore.“I found a love… for me…”Suara Chandra terdengar lirih dan merdu, enak di telinga dengan cara yang bikin orang lupa sedang di mobil. Ia menyanyi sambil menyetir dengan satu tangan, santai, seperti ini hal paling normal di dunia.Amara melirik ke arahnya, pura-pura tidak terlalu memperhatikan. Padahal ia mendengarkan. Setiap baitnya. Cara Chandra menyanyikannya ringan, hampir malas-malasan, tapi justru itu yang membuatnya terasa… keren. Seperti suaranya itu tidak sedang dipamerkan

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   46. Naik Level

    Begitu kaki Amara menginjak lantai butik itu, insting hidupnya langsung bereaksi. Bukan reaksi kagum, tapi reaksi waspada—jenis rasa yang biasanya muncul saat seseorang sadar dirinya sedang berada di tempat yang terlalu berbahaya.Ini tempat mahal.Benar-benar mahal yang membuat orang refleks melangkah lebih pelan, takut-takut kalau sampai menyenggol sesuatu lalu harus menjual ginjal demi ganti rugi. Salah gerak sedikit saja, dompet bisa trauma seumur hidup.Amara mengedarkan pandangan. Lantainya mengilap, rak-raknya rapi berlebihan, jarak antar pakaian seperti sengaja dibuat agar tidak ada yang sembarangan menyentuh.Lampunya terang, putih, dan jujur. Terlalu jujur. Jenis cahaya yang tidak peduli apakah seseorang siap atau tidak untuk dilihat apa adanya: orang kaya silakan masuk, yang miskin tolong menyingkir. Tanpa basa-basi.Aroma yang tercium di udara pun bukan aroma mall biasa. Bukan wangi popcorn, bukan juga kopi yang mengundang orang untuk duduk santai. Udara di sini dipenuhi

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   45. Persis yang Kubayangkan

    Amara menatap pantulan dirinya dengan dahi berkerut.Itu… bukan dia.Atau—tunggu—itu dia, tapi versi yang seperti baru saja kabur dari kehidupan lamanya dan memutuskan untuk tidak menoleh ke belakang sama sekali.Rambut pixie cut itu membingkai wajahnya dengan cara yang kejam sekaligus jujur. Tidak ada lagi helai panjang untuk disibakkan ke depan saat ia ingin bersembunyi. Tidak ada tirai aman untuk menutupi pipi atau rahang. Segalanya terbuka. Terlalu terbuka, bahkan.Ryo berdiri di belakangnya, menilai hasil akhirnya dengan ekspresi puas yang sangat profesional dan sangat tidak peduli pada krisis identitas yang sedang terjadi di kursi itu.“Sekarang alis,” katanya singkat, seolah ini hanya langkah lanjutan yang tak perlu diperdebatkan.Alis.Oh Tuhan, sekarang giliran alis.Amara ingin bertanya, ‘seberapa jauh lagi hidupku akan diutak-atik hari ini?’ tapi hanya mengangguk patuh, bertekad untuk terus maju. Ia dipindahkan ke kursi lain. Lebih kecil. Lebih dekat ke cermin. Lampunya le

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   44. Siap Berubah

    Amara duduk di kursi itu dengan kain penutup bahu.Cermin besar di depannya memantulkan wajahnya dari sudut yang tidak biasa. Cahaya lampu jatuh lembut, merata, membuat kulitnya terlihat… lebih tenang. Lebih rapi. Seolah wajah itu sedang bersiap menjadi milik seseorang yang baru.Sang hair stylist tidak banyak bicara.Ryo berdiri di belakangnya dengan sikap yang tenang namun penuh perhatian, mengamati Amara bukan seperti orang menilai penampilan, melainkan seperti seseorang yang sedang membaca karakter. Jari-jarinya bergerak ringan, menyentuh rambut Amara, mengangkat beberapa helai, menjepitnya di antara dua jari, memiringkan kepala, lalu mundur setengah langkah. Gerakannya presisi dan penuh perhitungan—seperti arsitek yang sedang menatap lahan kosong, membayangkan bangunan apa yang paling tepat berdiri di sana.Amara menelan ludah.Ini cuma potong rambut. Anggap saja buang sial. Santai, Mara. Itu cuma rambut, bukan nyawamu.Ia mengulang kalimat-kalimat itu di kepalanya seperti mantr

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   43. Yang Ketiga

    Amara tahu tempat ini mahal hanya dari caranya bernapas.Udara di dalam salon itu bersih—dingin, tenang, dan rapi. Bukan wangi parfum yang berusaha menarik perhatian, melainkan aroma ruang yang terbiasa menerima orang-orang penting tanpa perlu membuktikan apa pun.Segalanya bergerak anggun dan rapi.Tidak ada suara hair dryer meraung seperti mesin pabrik. Tidak ada tawa berlebihan. Tidak ada obrolan kosong. Bahkan langkah kaki para staf terdengar seolah sudah disepakati ritmenya sejak lama.Salon ini tidak menyambut dengan heboh. Ia hanya membuka pintu—dan mengharapkan tamunya pantas berada di dalam.Dan anehnya, Amara tidak merasa salah tempat.Ia melangkah masuk di samping Chandra dengan punggung tegak. Tidak menunduk. Tidak celingukan. Tidak merasa harus meminta maaf pada ruang semewah ini karena pernah hidup di tempat yang… sama mewahnya sih, tapi pengunjungnya khusus pria dewasa.Chandra menanggalkan kacamata hitamnya. Gerakannya santai dan enak dilihat Seperti seseorang yang tid

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status