ログインAmara melangkah keluar dari kamar mandi, jantungnya berdetak seperti orang lagi lomba lari estafet. Tapi, tentu saja, dia menahan diri untuk tidak menunjukkan “penyiksaan kardio” itu di depan Chandra.“Sudah selesai?”Suara Chandra terdengar dari ranjang. Dia terlihat santai, satu tangan bertumpu di bantal, kaki diselonjorkan sembarangan, rambut sedikit berantakan, tapi tetap terlihat effortlessly cool. Pose adiknya itu seperti model untuk iklan sprei mahal. Santai, tapi memancarkan daya tarik yang memukau. Tatapan setengah mengantuk dan senyum tipis di bibirnya, ditambah tangan menumpu kepala, membuat Amara berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kontrol.Pantulan lampu kamar yang menyorot lembut wajah Chandra membuatnya semakin menawan, dan detak jantung Amara semakin kacau. “Gawat… fase luteal-ku,” gerutunya dalam hati. Otaknya bertarung antara logika “dia adik lelakiku!” dan respons alami tubuhnya yang sedang berada di fase luteal. Aroma mint dari busa odol Chandra tadi b
Amara berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan masa depan bangsanya. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam yang kehilangan induk. “Gosok gigi… atau nggak ya?”Pilihan yang terdengar sepele bagi manusia normal, tapi bukan untuk Amara. Skip sikat gigi malam ini? Duh, joroknya. Nanti kalau sampai sakit gigi, gimana? Amara langsung merinding. Tidak. Ia kapok sakit gigi. Gara-gara giginya rusak berlubang, ia harus cabut gigi di puskesmas waktu itu. Berhadapan dengan dokter muda yang sama sekali tidak ramah dan suntikan tajam yang menusuk gusinya tanpa ampun, masih bikin trauma.Ia juga selalu ingat omelan Bik Harni yang tertanam dalam alam bawah sadarnya sejak kecil. “Ayo, Mara! Sikat gigi sebelum tidur, atau semua gigimu nanti bisa berlubang.” Begitu katanya, mirip seperti kutukan. Bayangkan! Satu gigi berlubang saja sakitnya setengah hidup, apalagi semuanya?Dan ancaman itu rupanya lebih efektif daripada film horor.Kebiasaan gosok gigi sebelu
Chandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya. Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun. Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra
PLAK!“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. “Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. “Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”Plak!Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang
Amara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya. “Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.Amara membalas tatapan Chandra.“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos. Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori y
Dering ponsel milik Nyonya Lydia menyela pembicaraan. Ia mengelap mulutnya sebentar dengan ujung tisu, sebelum mengangkat telepon.“Halo, Jeng Ratna. Apa kabar?” sambutnya sambil tersenyum cerah, hampir tak pernah secerah itu saat kepada Amara. “Wah. Pasti mau bahas soal arisan kita dengan Bu Menteri, kan?” Nyonya Lydia sudah berdiri bahkan sebelum kalimatnya selesai, berlalu ke teras dengan langkah tergesa. Sementara itu, dering ponsel yang lain mengisi udara lagi. Kali ini panggilan telepon untuk Tuan Arman. “Halo. Ya, bagaimana?” Suara Presiden Direktur Sanjaya Construction & Estate itu merendah, dengan nada profesional. Sambil menerima telepon, Tuan Arman segera meninggalkan meja makan menuju ruang kerja pribadinya. “Bukankah saya sudah bilang kalau proyek itu….”Tinggallah Amara dan Chandra di meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Amara menunduk. Perjodohannya dengan si David itu sepertinya sudah final hanya dalam hitungan menit. Ditimbang tanpa







