Share

Bab 6. Satu Atap

Author: Indy Shinta
last update Last Updated: 2025-11-25 13:55:03

PLAK!

“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.

“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. 

“Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”

Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”

“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.

“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. 

“Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”

"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”

Plak!

Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang mulai hari ini tinggallah kenangan.

Lelaki itu meringis sambil memandang Amara lagi, dengan sorot yang lebih sadar ancaman.

KAK,” Amara menegaskan, menekankan setiap huruf seraya melotot tajam pada sang adik.

Chandra menurunkan tangannya dari kepala, ekspresinya kembali datar, seolah tidak pernah terjadi gaplokan barusan.

Tatapannya yang semula datar kini merayap dari wajah Amara sampai ke ujung dagunya, pelan, tenang… tapi tajam seperti pisau yang baru diasah.

“Sudah selesai dramanya?” ucap Chandra dingin, suaranya rendah tapi menggigit.

Amara mendengus. “Heh. Dengar ya—”

“KAK,” Chandra memotong cepat, nadanya dingin tapi tajam. “Kalau itu yang kamu mau dengar, aku sudah bilang barusan. Puas?”

Amara membuka mulut hendak membalas, tapi Chandra sudah lebih dulu mencondongkan tubuh mendekatinya. Hanya sedikit saja, cukup membuat Amara terdiam tanpa sadar.

“Padahal aku cuma panggil nama kamu ‘Amara’, bukan maki-maki,” Chandra melanjutkan, tatapannya mengunci mata Amara tanpa berkedip. “Kalau itu cukup untuk membuatmu histeris seperti barusan… mungkin kamu perlu bikin jadwal dengan psikiater.”

Napas Amara tercekat. 

Kurang ajar!

Kalimat itu rasanya seperti hantaman keras tepat di ulu hati.

“Wah… wah… apa ini?” Amara mendengus. “Lihat… kamu memang ‘anak Mama’ ya? Gaya bicara kalian aja mirip banget. Pelan, tapi nyubit!”  

Chandra tidak tersenyum. Juga tidak berkedip.

“Kamu merasa tercubit?” Chandra balas mendengus. “Padahal aku cuma bicara apa adanya,” katanya datar. “Konon katanya… orang hanya akan bereaksi berdasarkan tabungan emosi yang ia punya, suka marah-marah… berarti—”

“Berarti APA?” sambar Amara tambah emosi, untuk sejenak kandung kemihnya seakan takut mengingatkannya untuk segera pipis.

Chandra terdiam, namun sorot matanya tampak berbicara banyak.

“Apa?!” bentak Amara yang tak suka dengan tatapan yang terlalu meneliti si adik lelakinya itu.

“Kak,” Chandra menghela napas sebentar, “...kalau kamu ingin dihormati, belajarlah dulu agar terlihat pantas dihormati.”

Seketika Amara merasakan darahnya mendidih, tapi bibirnya gemetar tak bisa mengeluarkan balasan yang tajam.

Sementara itu, Chandra malah tersenyum miring.

Sialan. Apa arti senyumnya itu?

“Jangan kurang ajar. Aku ini kakakmu, ya!”

“Dan itu tidak mengubah apa pun,” sahut Chandra pelan namun menghantam. “Usia tidak otomatis memberimu martabat, Kak.”

Mulut Amara ternganga. 

Nah, benar kan… Chandra yang sekarang, bukan lagi Chandra yang dulu. 

Adiknya itu benar-benar sudah berubah total. 

“Lain kali kalau mau jitak orang,” tambahnya, suaranya menurun menjadi sangat tenang, terdengar berbahaya, “pastikan kamu sudah siap menerima balasannya, Kak.”

Amara spontan mundur selangkah tanpa sadar, degup jantungnya menggila.

Chandra mengalihkan pandangannya perlahan, seolah membiarkan tatapan itu pergi, tapi meninggalkan bekas yang tidak akan hilang dalam satu napas.

Ia melangkah santai melewati Amara, lengannya yang keras hampir bersenggolan dengan bahu Amara.

“Dan satu hal lagi.”

Suara Chandra terdengar rendah tepat di telinga Amara saat ia berhenti sesaat di sisi kakaknya itu.

“Aku tidak pernah, sekalipun, menganggap kamu tidak layak dipanggil kakak.” Ia menoleh sedikit, sorot matanya dingin namun menyimpan sesuatu yang tak terucap.

“Yang membuatnya sulit adalah… cara kamu melihat dirimu sendiri.”

Lalu ia melangkah pergi begitu saja.

Tenang. Tegas. 

Meninggalkan Amara dengan tangan yang terkepal marah di sisi tubuh. 

Amara mematung di tempat, dadanya naik-turun cepat, seperti baru saja selesai berlari dari marathon yang tidak pernah ia persiapkan.

“Astaga, panasnya hatiku ini ya, Lord…” Ia bergumam lirih seraya mengipasi dadanya dengan tangannya sendiri, dengan gerakan yang dramatis.

Ia ingin marah, ingin membalas, ingin meledak. Tapi kata-kata Chandra membuat lidahnya kelu.

Oh. Sial. Sial.Sial.

Adik lelakinya yang sekarang sudah bisa membalas omelannya dengan sama tajamnya. 

Amara melirik sewot pada sosok Chandra yang melangkah ringan dan stabil, kontras dengan gemuruh di dalam dadanya saat ini.

Adik lelakinya itu berjalan tanpa menoleh lagi, sikapnya terlalu tenang, seperti tak ada apa-apa barusan. Seolah keributan tadi cuma kerikil kecil yang cukup ia singkirkan dengan satu tendangan kaki.

Namun, yang membuat Amara semakin keki adalah… saat melihat Chandra memasuki sebuah kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya.

What the hell…” desahnya betul-betul frustrasi.

Kamar mereka bahkan bersebelahan?

Amara berkedip, napasnya terhenti sesaat.

Sementara di balik pintu itu, ada senyum tipis yang terbit di sudut bibir Chandra, sesaat setelah ia memasuki kamarnya.

Good night, Kak.”

Lalu, pintu itu tertutup rapat.

Amara membeku di koridor, menatap kosong ke pintu itu, seakan pintu tersebut baru saja menelan semua oksigen dari paru-parunya.

Mereka tinggal satu lantai dan satu atap sekarang? Bagus banget!

Di tengah rasa frustrasi, kandung kemihnya tiba-tiba kembali mengirim sinyal yang tak bisa diabaikan lagi.

Amara ngacir ke kamar mandi, melupakan sejenak segala masalah hidupnya.

“Oh… nikmatnya,” desah Amara saat air pipisnya mengalir dan menimbulkan bunyi gemericik ramai di kloset yang ia duduki.

“Andaikan saja… semua beban hidupku bisa kuubah menjadi pipis, aku rela beser tiap hari ya, Lord,” gerutunya sambil menekan tombol flush.

Dan pada saat itulah akhirnya Amara menyadari ada sesuatu yang sedang merambati kakinya. 

"Haa...?"

Amara memucat. Dia benci kecoa. Geli, takut.

"Toloong!"

Dia langsung histeris. Berjingkat-jingkat geli karena kecoa itu justru terbang ke sana kemari seolah menikmati ketakutannya.

BRAK!

Pintu kamar mandi terbuka lebar.

“Kak! Kenapa?”

Chandra berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit terengah karena ia berlari. Tatapannya waspada, siap menghadapi ancaman besar… sampai ia melihat sumber kekacauan itu.

Seekor kecoa kecil, mengibaskan sayapnya dengan angkuh di lantai.

Amara bersembunyi di bawah wastafel, berjinjit seperti kucing yang ketakutan, wajahnya pucat pasi.

“I-itu...!" serunya panik. 

Chandra mendesah sambil mengusap wajahnya yang sempat tegang dengan ekspresi 'astaga, kukira apa'.

Adiknya itu melangkah santai menangkap kecoa, seolah ia berhadapan dengan hal paling sepele di seantero bumi, tapi kerap bikin heboh para perempuan. Ia melemparnya ke kloset dan segera menekan tombol flush. 

Amara melongo melihat betapa santainya Chandra menangkap makhluk menjijikkan itu.

“Sudah,” ujar Chandra ringan. “Ancaman berakhir.”

Amara menghela napas lega sambil bangkit berdiri. Tapi, tiba-tiba saja ia sadar dan menoleh ke bawah...

Oh, Shit!

Celana dalam yang belum sempat ia pakai kembali dengan sempurna gara-gara kaget melihat kecoa sialan itu kini tampak menggantung pasrah di pergelangan kakinya.

Amara membeku.

Chandra terpaku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 9. Capek Menghindar Terus, Hadapi Saja

    Amara melangkah keluar dari kamar mandi, jantungnya berdetak seperti orang lagi lomba lari estafet. Tapi, tentu saja, dia menahan diri untuk tidak menunjukkan “penyiksaan kardio” itu di depan Chandra.“Sudah selesai?”Suara Chandra terdengar dari ranjang. Dia terlihat santai, satu tangan bertumpu di bantal, kaki diselonjorkan sembarangan, rambut sedikit berantakan, tapi tetap terlihat effortlessly cool. Pose adiknya itu seperti model untuk iklan sprei mahal. Santai, tapi memancarkan daya tarik yang memukau. Tatapan setengah mengantuk dan senyum tipis di bibirnya, ditambah tangan menumpu kepala, membuat Amara berusaha menahan napas agar tidak kehilangan kontrol.Pantulan lampu kamar yang menyorot lembut wajah Chandra membuatnya semakin menawan, dan detak jantung Amara semakin kacau. “Gawat… fase luteal-ku,” gerutunya dalam hati. Otaknya bertarung antara logika “dia adik lelakiku!” dan respons alami tubuhnya yang sedang berada di fase luteal. Aroma mint dari busa odol Chandra tadi b

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 8. Pinjam Kamar Mandinya Sebentar

    Amara berdiri di dekat ranjang dengan ekspresi seperti sedang mempertimbangkan masa depan bangsanya. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam yang kehilangan induk. “Gosok gigi… atau nggak ya?”Pilihan yang terdengar sepele bagi manusia normal, tapi bukan untuk Amara. Skip sikat gigi malam ini? Duh, joroknya. Nanti kalau sampai sakit gigi, gimana? Amara langsung merinding. Tidak. Ia kapok sakit gigi. Gara-gara giginya rusak berlubang, ia harus cabut gigi di puskesmas waktu itu. Berhadapan dengan dokter muda yang sama sekali tidak ramah dan suntikan tajam yang menusuk gusinya tanpa ampun, masih bikin trauma.Ia juga selalu ingat omelan Bik Harni yang tertanam dalam alam bawah sadarnya sejak kecil. “Ayo, Mara! Sikat gigi sebelum tidur, atau semua gigimu nanti bisa berlubang.” Begitu katanya, mirip seperti kutukan. Bayangkan! Satu gigi berlubang saja sakitnya setengah hidup, apalagi semuanya?Dan ancaman itu rupanya lebih efektif daripada film horor.Kebiasaan gosok gigi sebelu

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 7. Malunya Sampai ke Ubun-Ubun

    Chandra yang tadi sempat terpaku akhirnya tersadar dan buru-buru memalingkan wajahnya. Namun telinganya jelas memerah. Lelaki itu tampak kikuk, sangat kikuk, belum pernah sekikuk itu sepanjang sejarah hidupnya. Ia menoleh sedikit, seperti sekadar memastikan Amara sudah selesai membereskan kekacauannya.Tatapan lelaki itu sempat jatuh pada betis Amara… naik ke paha… dan begitu mendekati puncak larangan, Chandra buru-buru membuang pandangan lagi. Rahangnya mengeras seperti hendak pecah.Sementara itu, Amara dengan gerakan secepat kilat menarik celana dalamnya naik sambil mengerang malu setengah mati.“Astaga… RIP harga diriku.” Amara membatin sambil meringis, rasa malunya menusuk sampai tembus ubun-ubun. Ia menyumpah serapah dalam hati, ingin kabur ke dimensi lain. Tapi, gimana caranya? Anybody help?“Ck. Kamar mandi sultan kok ada kecoa sih? Ini namanya menistakan kemewahan!” gerutunya, berusaha menutupi rasa malunya dengan marah-marah.Amara yang sudah selesai, melirik pada Chandra

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 6. Satu Atap

    PLAK!“Awww—!” Chandra kaget bukan main, lelaki itu meringis sambil memegang kepalanya yang baru saja kena gaplok Amara.“Kurang ajar! Jangan panggil-panggil namaku sembarangan, ya!” omel Amara, matanya melotot kesal. “Panggil aku: ‘Kak’. Ngerti?!”Chandra mengerjap, menatap Amara dengan ekspresi “apaan sih?”“Apa liat-liat?” tantang Amara sengit, membalas tatapan Chandra yang memandangnya seperti sedang melihat alien yang baru turun ke bumi.“Masih kurang keras ya jitakanku di kepalamu itu, heh?” Amara mendorong dada Chandra menjauh, masih dengan emosi, seperti orang yang sengaja ngajak gelut. “Denger ya, ‘anak Mama’... Kamu boleh lebih tinggi dan lebih besar dari aku sekarang, tapi tetap aja… aku yang duluan jadi penduduk bumi ketimbang kamu. Jadi… hormati aku. Oke?”"Astaga." Chandra memutar bola matanya dengan dramatis. “Kamu tuh—”Plak!Satu gaplokan Amara lagi di kepala Chandra, tidak sekeras yang tadi tapi cukup menyadarkan Chandra, bahwa sepertinya… hari-harinya yang tenang

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 5. Adikku Sudah Dewasa

    Amara meletakkan garpu dan sendoknya. Ia tidak bisa melanjutkan lagi. Tidak bisa pura-pura makan padahal perutnya sudah kembung menerima tatapan Chandra yang dingin dan asing.“Aku duluan,” katanya, sambil melipat serbet dari pangkuannya. “Habiskan dulu makananmu.” Chandra menyahut cepat dengan nada yang sedatar suaranya.Amara membalas tatapan Chandra.“Hanya mulutku yang berhak mengatur apa yang ingin kumakan atau tidak.”Bersama ucapannya itu, ia berdiri. Tatapannya masih bertaut pada sepasang mata Chandra yang mengunci setiap gerakannya.Tatapan yang terlalu dingin, tapi tajam. Tidak seperti tatapan adik yang dulu sering menatapnya dengan polos. Tidak. Tatapan Chandra yang sekarang adalah tatapan seorang pria dewasa yang sadar betul apa yang sudah terjadi di antara mereka.Dan itu membuat Amara merinding, membuat lututnya hampir goyah.Ia takut, bukan pada Chandra, tapi pada dirinya sendiri. Pada fakta bahwa ia bisa merasakan setiap tatapan itu seolah menyalakan kembali memori y

  • Adik Angkatku, Kekasih Gelapku   Bab 4. Hidupku yang Luar Biasa

    Dering ponsel milik Nyonya Lydia menyela pembicaraan. Ia mengelap mulutnya sebentar dengan ujung tisu, sebelum mengangkat telepon.“Halo, Jeng Ratna. Apa kabar?” sambutnya sambil tersenyum cerah, hampir tak pernah secerah itu saat kepada Amara. “Wah. Pasti mau bahas soal arisan kita dengan Bu Menteri, kan?” Nyonya Lydia sudah berdiri bahkan sebelum kalimatnya selesai, berlalu ke teras dengan langkah tergesa. Sementara itu, dering ponsel yang lain mengisi udara lagi. Kali ini panggilan telepon untuk Tuan Arman. “Halo. Ya, bagaimana?” Suara Presiden Direktur Sanjaya Construction & Estate itu merendah, dengan nada profesional. Sambil menerima telepon, Tuan Arman segera meninggalkan meja makan menuju ruang kerja pribadinya. “Bukankah saya sudah bilang kalau proyek itu….”Tinggallah Amara dan Chandra di meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Amara menunduk. Perjodohannya dengan si David itu sepertinya sudah final hanya dalam hitungan menit. Ditimbang tanpa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status