LOGIN“Ngomong-ngomong, tumben Sisi mau kamu tinggal?”
Ella tertawa. “Aku bilang mau ketemu kamu. Dia kalau sama kamu gak takut, makanya tadi malah mau ikut. Coba kalau kubilang mau ketemu dokter lain, pasti nggak boleh.”
Ardi jadi tertawa. Diam-diam senang mendengar kenyataan ini.
“Apa dia masih suka menanyaimu sudah menemukan obat ajaib apa belum?”
“Ya. Dan itu yang membuatku sebagai Ibu merasa gimana gitu.”
Obat ajaib yang Sisi maksud adalah darah tali pusat.
Itulah kenapa Ella masih aktif cari donor darah tali pusat sampai akhirnya minta Mario menghamilinya. Bahkan kepikiran untuk haploidentik.
Karena tidak mau menghancurkan harapan hidup Sisi dan harapannya sendiri yang tidak mau kehilangan anak.
“Andai Sisi tahu harapan hidupnya,” celetuk Ardi, terlalu jujur.
“Itulah tujuanku kesini Ar, aku sudah mengambil keputusan, akan membawa Sisi pulang ke negaraku agar bisa melakukan transplantasi haploidentik.”
Ardi terkejut.
“Ella … kondisi Sisi saat ini masih tidak memungkinkan untuk melakukan transplantasi.”
“Aku tahu. Tapi itu bukan satu-satunya keputusanku.”
Ella mengambil makanan yang tadi dia bawa. Lalu mengulurkan satu untuk Ardi.
“Apa itu?” Ardi menerima makanan dari Ella.
“Aku akan cerai.”
Ella tertawa tapi tidak dengan Ardi.
Waktu seolah berhenti bagi Ardi. Selama ini dia gagal move on dari Ella. Sekarang, tiba-tiba Ella bilang akan cerai. Apa ini kesempatan kedua baginya?
Tapi, apa Ella masih mau dengannya yang miskin ini setelah punya suami sekaya Mario?
“Aku tadi beli 4. Kata penjualnya sih tahan sampai malam. Mudah-mudahan benar supaya ibumu dan Poppy bisa mencobanya. Tapi saranku masukin ke kulkas, biar aman,” kata Ella.
Ardi tak menjawab. Hanya memperhatikan Ella yang mengeluarkan makanan itu satu persatu dari paper bag.
Pikiran Aldi berkelana ke masa lalu.
Dulu, Ardi serasa mimpi mempunyai kekasih secantik dan sekaya Ella. Dia sangat menyayangi Ella bahkan sampai di level tergila-gila.
Tapi mimpi itu hanya sekejab. Karena baru 6 bulan pacaran, Ella diperkosa Mario saat pria itu mabuk dan terkena obat perangsang kuat.
“Ardi, kenapa kamu lihatin aku seperti itu?” Ella membuyarkan lamunan Ardi.
Ardi menarik nafas dalam dan kembali ke kenyataan. “Ada masalah apa sampai mau cerai?”
“Malas aku cerita. Makan yuk, laper banget aku.”
Ardi mencoba tersenyum lalu membuka makanannya.
Ella juga membuka bungkus makanannya. Lalu menyuap makanan ke dalam mulut dan menikmatinya.
Dulu dia sedih setiap mau cerai dengan Mario, karena tidak mau Sisi jadi korban perceraian, seperti dirinya.
Tapi, setelah Mario mengatakan tidak peduli dengan Sisi, ditambah dengan kasus sopir hari ini, rasanya Ella ingin cepat-cepat angkat kaki dari rumah pria itu, cerai, dan pergi jauh dari sini.
“Kamu membuatku seperti tersambar petir. Kupikir rumah tanggamu baik-baik saja,” ujar Ardi.
Ella tertawa.
“Ardi, sambil kita makan, bisakah kamu jelaskan padaku tentang transplantasi haploidentik ini?” pinta Ella.
“Tentu.”
Ardi menuang air minum ke gelas Ella sebelum cerita.
“Terima kasih, Ar.”
“Ya. Tranplanstasi haploidentik, selain resikonya tinggi, prosesnya juga panjang. Paling tidak, memakan waktu sekitar 1 tahun. Karena setelah transplantasi Sisi masih harus dicek secara rutin.”
Ella mengangguk-angguk.
“Aku sebagai pendonor, apa ada resiko?” lanjut Ella sebelum menyuap makanan.
“Ada, tapi jarang terjadi. Seperti mual atau nyeri selama beberapa hari.”
Ella jadi berpikir. Siapa yang akan dia jadikan teman untuk menjaga Sisi bila dia mengalami efek samping itu.
Meski disana ada Ayah dan Ibu kandungnya, tapi sudah seperti orang asing. Karena mereka sudah punya keluarga baru. Karena itu Ella benci perceraian. Punya orang tua serasa tidak punya.
Seperti Mario tidak pernah menyentuh Sisi, seperti itulah Ella tidak pernah disentuh orang tuanya sejak mereka bercerai. Padahal, saat itu usianya masih 10 tahun. Dia sangat butuh kehadiran dan pelukan orang tuanya.
“Ok,” kata Ella.
“Tapi pengobatan kanker di negaramu lebih maju dari pada di sini,” imbuh Ardi. “Siapa tahu di sana Sisi mendapat donor darah tali pusat.”
“Aku harap juga begitu.”
Ardi dan Ella melanjutkan makan sembari terus membahas Sisi. Tanpa tahu jika Zega sekarang menunggu mereka di luar rumah.
Zega bersandar di pohon. Merokok sembari membaca plat mobil yang lewat, seperti kurang kerjaan.
Zega tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Sejak kemarin tak sengaja mendengar Mario menyuruh Ella mencari pria lain untuk menghamilinya, dia tak bisa berhenti berpikir kotor.
Akhirnya, setelah Ella pergi, dia mencari tahu alamat Dokter Ardi dari susternya Sisi.
Di sinilah dia sekarang. Menyusul Ella karena takut wanita itu bermain gila dengan Dokter Ardi!
Sekarang, perasaannya tidak jelas. Antara masuk ke rumah Dokter Ardi atau pulang. Kalau dipikir-pikir, untuk apa dia melarang Ella main gila dengan dokter onkologi itu?
Zega baru saja mengambil keputusan untuk pulang, ketika melihat Ella keluar dari rumah Ardi. Tidak heran Ella terkejut melihat. Anak kecil itu pasti tidak menyangka akan dia susul.Zega membuang rokoknya ke tong sampah lalu berjalan ke rumah Ardi.“Siang, Dok,” sapa Zega, dingin tapi sopan, seperti biasa.“Siang, Zega,” Ardi menyalami Zega sembari mengulas senyum. Heran, tumben sekali wakil direktur operasional grup MD ini jam segini tidak ngantor. “Lagi libur?”Zega menatap Ella sekilas. “Enggak.”“Tapi?”“Nyoba kerjaan baru,” jawab Zega jujur.“Oh ya? Kerja apa sekarang?”“Jadi—”Zega terkejut pingangnya tiba-tiba dicubit Ella. Zega tahan sakit tapi tidak tahan geli. Dicubit seperti ini gelinya menyebar ke seluruh tubuh. Zega berjuang mati-matian agar tetap berdiri tegak.“Jadi apa?” tanya Ardi, penasaran.“Jadi pedagang,” padahal tadi Zega ingin mengatakan jadi sopir.Ardi tersenyum, meski cukup terkejut. Aneh saja, kenapa Zega mencoba jadi pedagang padahal sudah enak jadi wakil di
“Ngomong-ngomong, tumben Sisi mau kamu tinggal?”Ella tertawa. “Aku bilang mau ketemu kamu. Dia kalau sama kamu gak takut, makanya tadi malah mau ikut. Coba kalau kubilang mau ketemu dokter lain, pasti nggak boleh.”Ardi jadi tertawa. Diam-diam senang mendengar kenyataan ini.“Apa dia masih suka menanyaimu sudah menemukan obat ajaib apa belum?”“Ya. Dan itu yang membuatku sebagai Ibu merasa gimana gitu.”Obat ajaib yang Sisi maksud adalah darah tali pusat.Itulah kenapa Ella masih aktif cari donor darah tali pusat sampai akhirnya minta Mario menghamilinya. Bahkan kepikiran untuk haploidentik.Karena tidak mau menghancurkan harapan hidup Sisi dan harapannya sendiri yang tidak mau kehilangan anak.“Andai Sisi tahu harapan hidupnya,” celetuk Ardi, terlalu jujur.“Itulah tujuanku kesini Ar, aku sudah mengambil keputusan, akan membawa Sisi pulang ke negaraku agar bisa melakukan transplantasi haploidentik.”Ardi terkejut.“Ella … kondisi Sisi saat ini masih tidak memungkinkan untuk melakuka
Tak sampai 10 menit, Zega melihat Ella menuju arahnya. Matanya sembab dan itu membuatnya semakin merasa bersalah.Ella masuk ke jok baris kedua.“Duduklah depan,” Zega meminta.“Sini aja.”Zega melirik Ella dari spion dalam. Merasa bersalah. Tapi tak ada niatan untuk mengakhiri balas dendamnya.“Tadi aku denger kamu mau ke rumah Dokter Ardi. Dimana alamatnya?”“Aku nggak jadi kesana,” suara lemas Ella.“Kenapa? aku gak masalah kalau kamu mau menemuinya dulu baru kita ke hotel.”“Zega! Nyebelin banget sih kamu hari ini?!”Zega menahan tawa. “Nyebelin gimana?”“Kita nggak akan ke hotel dan nggak akan begituan!”Ella tahu harusnya Mario yang dia marahi, bukan Zega. Tapi dia tidak paham kenapa Zega terkesan tidak berpikir kritis.Apa Zega tidak berpikir kalau hal ini terjadi ayahnya bisa menggantung mereka bertiga?“Ok, aku paham kalau kamu saat ini belum siap.”Belum siap?Memang tidak akan pernah siap!“Zega, aku tidak mau kita berantem gara-gara Mario. Aku akan membayarmu 4 milyar perb
Ella mengepalkan tinju, Mario benar-benar penjajah.Karena masalah sopir ini ranah pribadinya. Mario tidak punya hak untuk menentukan sopir baginya. Apalagi tanpa memberitahu atau membicarakan terlebih dulu dengannya seperti ini.“Zega, maaf sebelumnya. Aku baru mendengar hal ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu sampai Mario menyuruhmu menjadi sopirku,” ucap Ella, gugup.“Aku diusir dan dipecat Ayah,” jawab Zega, lirih, dalam, dan tenang. Sudah menerima kenyataan.“Oh no. Aku turut sedih mendengarnya,” Ella menunjukkan simpati.Zega menganguk, lalu berjalan beriringan dengan Ella menuju garasi.Jantung Ella deg-degan seperti mau diterkam macan. Gugup dan bingung. Dia sungkan setengah mati dengan adik iparnya ini. Dan takut keceplosan lagi seperti sebelumnya.Tapi dia tahu, yang harus dia labrak Mario, bukan Zega.Diam-diam Ella melirik Zega sekilas. Wibawa dan karismanya benar-benar mengintimasi Ella. Ella sadar dia sedang berjalan di samping manusia. Tapi entah kenapa rasany
“Haploidentik?” Zega tidak paham, apalagi ini.Haploidentik?Ella sontak menutup mulut, lalu menatap mata kelabu dan wajah tampan Zega. Kenapa dia bisa keceplosan lagi ke adik iparnya ini?!Tidak, ini tidak baik!Waktu itu keceplosan masalah kondisi Sisi yang resistance terhadap kemo. Sekarang keceplosan lagi masalah haploidentik.“Lupakan, jalan lainnya adalah menunggu keajaiban, bukan tranplantasi haploidentik.”Ella mengurung niatnya untuk balas budi kepada Zega, lalu buru-buru pergi. Ella Heran, kenapa kontrol dirinya sering kali mati saat dekat dengan Zega. Padahal, ke orang lain apalagi lawan jenis kontrol dirinya berfungsi dengan baik. Dia tidak bisa cerita selancar dan seterbuka ini.Zega ingin menahan Ella tapi Ito menuju arahnya.“Nyonya kenapa, Tuan?” tanya Ito, setelah dekat dengan Zega.Zega mengedikkan bahu. Dia tidak benar-benar tahu tentang wanita. Kadang suka bicara setengah-setengah.“Ya sudah, tak usah dipikir, Tuan. Ini kopinya.”“Makasih, Ito.”***’Pukul 8 pagi E
“Terima kasih,” Ella jadi sungkan.Pada dasarnya, Ella memang sungkan kepada Zega. Bukan karena adik iparnya ini lebih tua dari dia, tapi karena Zega pria! Kalau Zega wanita, mungkin beda cerita. Entah kenapa dari dulu Ella paling malu dengan lawan jenis.Karena itu meski hubungan mereka tidak ada masalah, juga tidak bisa dibilang dekat.Sehingga bantuan seperti ini sudah sangat membuat Ella gugup tak karuan. Tidak enak hati, merasa merepotkan dan hutang budi.“Ibu … dimana Ibu?”Isak Sisi menarik-narik Ella, tapi dia tetap tidak berani masuk ke dalam sana. Akhirnya Ella menuju kamarnya. Dia membasuh wajah sebelum melihat punggungnya yang panas dan perih setelah dicambuki oleh Mario.Selama ini, Ella menyembunyikan semua keburukan Mario. Bukan karena cinta, tapi demi Sisi. Dia tidak mau Sisi jadi korban perceraian, seperti dirinya.Ella mengompres punggungnya dengan air Es sembari merenung. Dia bingung, jika Mario tidak peduli dengan Sisi, masih perlukah dia mempertahankan rumah tangg







