LOGINZega baru saja mengambil keputusan untuk pulang, ketika melihat Ella keluar dari rumah Ardi. Tidak heran Ella terkejut melihat. Anak kecil itu pasti tidak menyangka akan dia susul.
Zega membuang rokoknya ke tong sampah lalu berjalan ke rumah Ardi.
“Siang, Dok,” sapa Zega, dingin tapi sopan, seperti biasa.
“Siang, Zega,” Ardi menyalami Zega sembari mengulas senyum. Heran, tumben sekali wakil direktur operasional grup MD ini jam segini tidak ngantor. “Lagi libur?”
Zega menatap Ella sekilas. “Enggak.”
“Tapi?”
“Nyoba kerjaan baru,” jawab Zega jujur.
“Oh ya? Kerja apa sekarang?”
“Jadi—”
Zega terkejut pingangnya tiba-tiba dicubit Ella. Zega tahan sakit tapi tidak tahan geli. Dicubit seperti ini gelinya menyebar ke seluruh tubuh. Zega berjuang mati-matian agar tetap berdiri tegak.
“Jadi apa?” tanya Ardi, penasaran.
“Jadi pedagang,” padahal tadi Zega ingin mengatakan jadi sopir.
Ardi tersenyum, meski cukup terkejut. Aneh saja, kenapa Zega mencoba jadi pedagang padahal sudah enak jadi wakil direktur operasional di perusahaan sebesar grup MD milik keluarganya.
Ardi baru mau tanya Zega dagang apa, tapi Zega dan Ella sudah pamit pulang.
Zega dan Ella berjalan beriringan menuju mobil.
“Mana kunci mobilnya,” pinta Zega.
“Aku aja yang nyetir.”
Zega menatap Ella.
Ella membuka pintu mobilnya. Dia tidak mau disetiri Zega karena takut dibelokin ke hotel.
Zega menyusul Ella, lalu duduk di depan.
Ella terkejut. “Kamu … mau duduk di sini?”
“Iya … kenapa? kamu keberatan?”
Ella menarik nafas dalam dan menghembuskan kasar. Jelas keberatan!
“Enggak, cuma tanya,” terpaksa Ella memilih duduk berdampingan dengan Zega, dari pada disetiri adik iparnya ini.
Ella menjalankan mobilnya.
Zega melandaikan jok kursinya lalu tidur.
“Kenapa kamu tidur?” Ella heran.
“Ngantuk.”
Akhirnya Ella senang, punya kesempatan untuk menegur Zega. “Kalau ngantuk harusnya tidur, bukan nyusul aku ke rumah Ardi.”
“Aku nyusul karena takut kamu main gila dengan Dokter Ardi.”
Main gila?
“Kenapa kamu menuduhku seperti itu?”
“Karena tidak biasanya kamu dandan.”
Tidak biasa dandan?
Ella tertawa. Pria memang aneh! Masak mentang-mentang dia tidak pernah dandan begitu dandan langsung dicurigai main gila dengan Ardi?!
Ella menoleh ke Zega yang memejamkan mata dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Kalaupun iya, apa urusanmu?” Ella agak kesal sebenarnya.
“Aku yang akan menghamilimu bukan Ardi,” Zega melanjutkan godaannya, tanpa sadar jika yang mendengarnya sekarang bergidik ngeri.
“Aku sudah membayarmu 4 milyar, kenapa kamu masih mau menghamiliku?” suara Ella gemetar, karena Zega terdengar niat banget untuk menghamilinya.
“Kamu belum membayarku, baru ngomong.”
Ella terdiam. Dia memang belum mentrasfer Zega.
“Sebenarnya salahku dimana?” tanya Ella. “Kan dimana-mana orang kerja dulu baru gajian, bukan gajian di depan.”
“Kamu tidak salah. Masalahnya Kakak memberiku gaji di depan karena tahu aku tidak punya sama sekali setelah diusir Ayah.”
Ella melongo.
“Aku transfer kamu sekarang,” kata Ella pada akhirnya.
“Jangan transfer. ATMku disita Ayah.”
Ella kembali menoleh ke Zega yang memejamkan mata di sampingnya.
“Cash?” Ella memastikan.
“Ya.”
“Apa Mario juga memberimu cash?”
“Ya.”
Ella tidak punya jalan lain selain memberi Zega cash.
Ella tidak betah, ingin cepat-cepat mengambil uang di bank untuk diberikan kepada Zega. Tapi, waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 dan sekarang jalanan macet. Sepertinya Ella harus menunggu sampai besok.
Sesekali Ella melirik Zega. Ella tidak percaya Zega benar-benar tidur pulas.
1 jam kemudian,
Ella menepi di pom bensin untuk mengisi bahan bakar dan nitrogen.
Sementara Zega ke toilet.
Saat kembali, Zega membawa dua gelas kopi.
“Ini,” kata Zega.
Ella enggan menerima.
“Nggak ada obat biusnya,” imbuh Zega.
Ella tidak percaya. Dia tetap tidak mau menerima kopi dari Zega demi keamanannya.
“Kalau kamu nggak percaya, kita tukar,” kata Zega.
Akhirnya Ella terima. Ella mengambil kopi yang seharusnya untuk Zega. “Makasih.”
Zega tidak menjawab. Dia menyeruput kopinya sembari memperhatikan jalanan yang macet parah.
“Zega! Kok kamu nggak bilang kalau kopimu pahit?!”
“Kamu nggak nanya.”
“Aku nggak suka kopi pahit.” Ella menyerahkan kopinya ke Zega.
“Karena itu aku beliin kamu cappuccino,” Zega menyerahkan kopinya ke Ella.
Ella ragu untuk menerima.
“Aku senang kamu tidak sembarangan menerima minuman dari orang lain. Tapi aku bukan pria brengsek yang gunain trik murahan itu untuk dapatin kamu.” Zega melempar kopinya ke tong sampah.
Ella tercengang.
Tapi dia membiarkan situasi yang rusak ini. Intinya, Ella tidak akan seperti ini kalau Zega tak mengatakan disuruh Mario menghamilinya.
Ella menunduk, tidak sadar kalau diperhatikan Zega.
Zega menatap Ella yang bersandar pada mobil. “Ngomongin apa tadi sama Dokter Ardi?”
“Sisi.”
“Kenapa Sisi?” imbuh Zega.
“Ya nggak apa sih,” Ella menjaga kontrol dirinya tetap aktif.
“Kalau nggak ada apa-apa kenapa diomongin?”
Zega sengaja mencecar.
“Atau sengaja mencari alasan untuk menemui Dokter Ardi?” kata Zega, sarkas.
Ella terdiam.
Dia menatap Zega karena tersinggung dengan ucapan adik iparnya itu.
“Kenapa sih kamu ingin tahu?” Ella heran, hari ini Zega terkesan cerewet, nethink, seperti seorang suami yang posesif.
“Karena aku peduli denganmu dan Sisi.”
Zega baru saja mengambil keputusan untuk pulang, ketika melihat Ella keluar dari rumah Ardi. Tidak heran Ella terkejut melihat. Anak kecil itu pasti tidak menyangka akan dia susul.Zega membuang rokoknya ke tong sampah lalu berjalan ke rumah Ardi.“Siang, Dok,” sapa Zega, dingin tapi sopan, seperti biasa.“Siang, Zega,” Ardi menyalami Zega sembari mengulas senyum. Heran, tumben sekali wakil direktur operasional grup MD ini jam segini tidak ngantor. “Lagi libur?”Zega menatap Ella sekilas. “Enggak.”“Tapi?”“Nyoba kerjaan baru,” jawab Zega jujur.“Oh ya? Kerja apa sekarang?”“Jadi—”Zega terkejut pingangnya tiba-tiba dicubit Ella. Zega tahan sakit tapi tidak tahan geli. Dicubit seperti ini gelinya menyebar ke seluruh tubuh. Zega berjuang mati-matian agar tetap berdiri tegak.“Jadi apa?” tanya Ardi, penasaran.“Jadi pedagang,” padahal tadi Zega ingin mengatakan jadi sopir.Ardi tersenyum, meski cukup terkejut. Aneh saja, kenapa Zega mencoba jadi pedagang padahal sudah enak jadi wakil di
“Ngomong-ngomong, tumben Sisi mau kamu tinggal?”Ella tertawa. “Aku bilang mau ketemu kamu. Dia kalau sama kamu gak takut, makanya tadi malah mau ikut. Coba kalau kubilang mau ketemu dokter lain, pasti nggak boleh.”Ardi jadi tertawa. Diam-diam senang mendengar kenyataan ini.“Apa dia masih suka menanyaimu sudah menemukan obat ajaib apa belum?”“Ya. Dan itu yang membuatku sebagai Ibu merasa gimana gitu.”Obat ajaib yang Sisi maksud adalah darah tali pusat.Itulah kenapa Ella masih aktif cari donor darah tali pusat sampai akhirnya minta Mario menghamilinya. Bahkan kepikiran untuk haploidentik.Karena tidak mau menghancurkan harapan hidup Sisi dan harapannya sendiri yang tidak mau kehilangan anak.“Andai Sisi tahu harapan hidupnya,” celetuk Ardi, terlalu jujur.“Itulah tujuanku kesini Ar, aku sudah mengambil keputusan, akan membawa Sisi pulang ke negaraku agar bisa melakukan transplantasi haploidentik.”Ardi terkejut.“Ella … kondisi Sisi saat ini masih tidak memungkinkan untuk melakuka
Tak sampai 10 menit, Zega melihat Ella menuju arahnya. Matanya sembab dan itu membuatnya semakin merasa bersalah.Ella masuk ke jok baris kedua.“Duduklah depan,” Zega meminta.“Sini aja.”Zega melirik Ella dari spion dalam. Merasa bersalah. Tapi tak ada niatan untuk mengakhiri balas dendamnya.“Tadi aku denger kamu mau ke rumah Dokter Ardi. Dimana alamatnya?”“Aku nggak jadi kesana,” suara lemas Ella.“Kenapa? aku gak masalah kalau kamu mau menemuinya dulu baru kita ke hotel.”“Zega! Nyebelin banget sih kamu hari ini?!”Zega menahan tawa. “Nyebelin gimana?”“Kita nggak akan ke hotel dan nggak akan begituan!”Ella tahu harusnya Mario yang dia marahi, bukan Zega. Tapi dia tidak paham kenapa Zega terkesan tidak berpikir kritis.Apa Zega tidak berpikir kalau hal ini terjadi ayahnya bisa menggantung mereka bertiga?“Ok, aku paham kalau kamu saat ini belum siap.”Belum siap?Memang tidak akan pernah siap!“Zega, aku tidak mau kita berantem gara-gara Mario. Aku akan membayarmu 4 milyar perb
Ella mengepalkan tinju, Mario benar-benar penjajah.Karena masalah sopir ini ranah pribadinya. Mario tidak punya hak untuk menentukan sopir baginya. Apalagi tanpa memberitahu atau membicarakan terlebih dulu dengannya seperti ini.“Zega, maaf sebelumnya. Aku baru mendengar hal ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu sampai Mario menyuruhmu menjadi sopirku,” ucap Ella, gugup.“Aku diusir dan dipecat Ayah,” jawab Zega, lirih, dalam, dan tenang. Sudah menerima kenyataan.“Oh no. Aku turut sedih mendengarnya,” Ella menunjukkan simpati.Zega menganguk, lalu berjalan beriringan dengan Ella menuju garasi.Jantung Ella deg-degan seperti mau diterkam macan. Gugup dan bingung. Dia sungkan setengah mati dengan adik iparnya ini. Dan takut keceplosan lagi seperti sebelumnya.Tapi dia tahu, yang harus dia labrak Mario, bukan Zega.Diam-diam Ella melirik Zega sekilas. Wibawa dan karismanya benar-benar mengintimasi Ella. Ella sadar dia sedang berjalan di samping manusia. Tapi entah kenapa rasany
“Haploidentik?” Zega tidak paham, apalagi ini.Haploidentik?Ella sontak menutup mulut, lalu menatap mata kelabu dan wajah tampan Zega. Kenapa dia bisa keceplosan lagi ke adik iparnya ini?!Tidak, ini tidak baik!Waktu itu keceplosan masalah kondisi Sisi yang resistance terhadap kemo. Sekarang keceplosan lagi masalah haploidentik.“Lupakan, jalan lainnya adalah menunggu keajaiban, bukan tranplantasi haploidentik.”Ella mengurung niatnya untuk balas budi kepada Zega, lalu buru-buru pergi. Ella Heran, kenapa kontrol dirinya sering kali mati saat dekat dengan Zega. Padahal, ke orang lain apalagi lawan jenis kontrol dirinya berfungsi dengan baik. Dia tidak bisa cerita selancar dan seterbuka ini.Zega ingin menahan Ella tapi Ito menuju arahnya.“Nyonya kenapa, Tuan?” tanya Ito, setelah dekat dengan Zega.Zega mengedikkan bahu. Dia tidak benar-benar tahu tentang wanita. Kadang suka bicara setengah-setengah.“Ya sudah, tak usah dipikir, Tuan. Ini kopinya.”“Makasih, Ito.”***’Pukul 8 pagi E
“Terima kasih,” Ella jadi sungkan.Pada dasarnya, Ella memang sungkan kepada Zega. Bukan karena adik iparnya ini lebih tua dari dia, tapi karena Zega pria! Kalau Zega wanita, mungkin beda cerita. Entah kenapa dari dulu Ella paling malu dengan lawan jenis.Karena itu meski hubungan mereka tidak ada masalah, juga tidak bisa dibilang dekat.Sehingga bantuan seperti ini sudah sangat membuat Ella gugup tak karuan. Tidak enak hati, merasa merepotkan dan hutang budi.“Ibu … dimana Ibu?”Isak Sisi menarik-narik Ella, tapi dia tetap tidak berani masuk ke dalam sana. Akhirnya Ella menuju kamarnya. Dia membasuh wajah sebelum melihat punggungnya yang panas dan perih setelah dicambuki oleh Mario.Selama ini, Ella menyembunyikan semua keburukan Mario. Bukan karena cinta, tapi demi Sisi. Dia tidak mau Sisi jadi korban perceraian, seperti dirinya.Ella mengompres punggungnya dengan air Es sembari merenung. Dia bingung, jika Mario tidak peduli dengan Sisi, masih perlukah dia mempertahankan rumah tangg







