LOGINArka terduduk, menatap hasil tes yang jelas menyatakan: Sasha sehat, Reno tak mungkin jadi ayah biologis. Rahangnya mengeras, kemarahan memenuhi hatinya saat mengingat bagaimana mamanya menghina Sasha tanpa tahu kebenaran.
Ia tahu pilihannya sama-sama berisiko. Diam, berarti membiarkan Sasha hancur oleh tuduhan. Bicara, berarti menelanjangi kelemahan kakaknya dan meruntuhkan martabat keluarga.
Arka memijit pangkal hidungnya, napasnya berat. Hatinya ingin melindungi Sasha, tapi darahnya menuntut setia pada keluarga.
***
Sasha kini berada di ruang kerja mertuanya, tapi entah mengapa dia selalu merasa ada sesuatu yang aneh di keluarga ini. Apalagi saat melihat interaksi antara ibu dan anak di mana Ratna terlihat begitu berbeda cara memperlakukan Reno dan Arka.
Namun, Sasha tidak ingin sembarangan, ia ingin mencari tau tentang Arka, serta mengapa pria itu seperti dianggap asing oleh keluarganya?
Pandangannya menyapu setiap inci rumah mewah itu, berharap ia akan menemukan sesuatu yang bisa memberikannya petunjuk meskipun kecil kemungkinan ia bisa mendapatkannya.
Sasha berhenti di sebuah lemari kayu tua di ruang baca, lemari itu sedikit berbeda dengan yang lainnya. Ia menatapnya sejenak, tangannya tanpa sengaja menempel pada permukaan kayu.
Matanya menyipit, kerutan di dahinya semakin dalam. Lemari ini tampak berbeda.
Ia mengamati deretan buku yang tersusun rapi di dalamnya satu per satu, netranya bergerak liar seolah tidak ingin ada yang terlewat. Sampai akhirnya tatapannya tertuju pada sebuah amplop yang tampak sedikit usang. Sasha mengerutkan kening, jemarinya terulur mengambil amplop, namun saat ia hendak membukanya, sebuah suara menghentikannya.
“Jangan sentuh barang itu!” Ratna merebut amplop itu dan menatapnya dingin.
“Meskipun kamu menantu di keluarga ini, tapi jangan pernah bertingkah seolah kamu pemilik rumah ini,” tegasnya, suaranya begitu dingin. “Tidak semua barang di sini bisa kamu sentuh sesuka hati,” imbuhnya lagi.
“Ma-maafkan aku, Ma,” ucapnya gugup, Sasha menunduk.
“Sudahlah ... awas kalau kamu berani menyentuhnya lagi!” Ratna mengancam, tatapannya tajam, seolah bisa menusuk Sasha kapan pun jika dia berani melanggar perintahnya.
“Oh ya, bagaimana? Apakah kamu sudah periksakan tes kesuburanmu sama Arka?” tanya Ratna.
“Sudah, Ma,” Sasha menjawab.
“Bagus, lalu bagaimana hasilnya?” Ratna terlihat tidak sabar.
Sasha menelan saliva, teringat ucapan Arka bahwa ia tidak bermasalah, membuatnya ragu mengatakan kejujuran. "Untuk hasilnya akan dikirim nanti.”
Suasana berubah hening sesaat, Ratna menatap Sasha dengan lekat memastikan apakah menantunya ini layak dipercaya atau tidak.
"Nanti?" ulang Ratna dingin.
"Iya, Ma. Tadi hasilnya belum keluar, Arka akan mengabari lagi nanti."
"Baiklah, jangan sampai kamu mengecewakan saya! Kamu tahu 'kan apa yang dipertaruhkan di keluarga ini?" ucap Ratna setiap kata yang diucapkan penuh dengan penekanan
Sasha mengangguk pelan, ia menunduk menyembunyikan wajah gelisah di balik rambutnya.
'Jangan sampai kamu mengecewakan saya! Kamu tahu 'kan apa yang dipertaruhkan di keluarga ini?'
Kata-kata itu terngiang seperti alarm. Di telinganya, kalimat itu bukan hanya sekadar peringatan, melainkan ancaman pembuangan jika ia tidak bisa menghasilkan keturunan.
Sasha bergerak gelisah, bahkan untuk masalahnya sendiri ia tidak bisa menanganinya.
Sasha memijit pelipisnya yang terasa pusing, mencoba menenangkan diri. Masalah yang di hadapinya begitu berat, ia seakan membawa beban ratusan kilo, dan ia sama sekali tidak tahu harus memulai dari mana. Ia melangkah lesu, membuka laci di samping tempat tidur, matanya mencari sesuatu yang bisa memberinya sedikit semangat, seperti … vitamin.
Matanya membulat saat melihat sesuatu yang penting di dalamnya. “Ini, kan …?” bisiknya pelan, hampir tak percaya.
Sasha mengambil map tergesa, ia bergegas menuju klinik tempat Arka bekerja. Setibanya di klinik, Sasha berdiri di depan pintu dan mengetuknya perlahan.
“Arka, ini aku, Sasha. Apakah aku boleh masuk?”
Dari dalam, terdengar suara Arka, “Masuklah.”
Sasha menurut, ia masuk ke dalam ruangan kerja Arka dan langsung duduk di hadapan Arka.
“Ada apa mencariku?” tanya Arka.
“Sejujurnya aku juga tidak tau apa yang aku lakukan ini benar atau salah, tapi entah mengapa naluriku mengatakan jika aku harus menemuimu,” ucap Sasha pelan.
“Untuk ...?” Arka mengerutkan kening.
“Ini.” Sasha memberikan amplop yang sedari tadi di genggamnya.
Arka menerima berkas itu dari tangan Sasha. Jemarinya menyentuh ujung jemari Sasha secara tak sengaja, dan detik itu terasa seperti aliran listrik yang menembus keduanya.
Sasha menahan napas, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Pandangannya terpaku pada Arka, seolah waktu berhenti sejenak, hanya menyisakan kedekatan yang tak sengaja.
Arka menarik berkas itu perlahan, matanya tetap mengunci Sasha. Namun sejenak, pandangannya turun tanpa disengaja ke bibir Sasha. Dan di detik itu, Arka menelan ludah. Bibirnya yang kecil dan merah bagaikan ceri membuat sesuatu dalam dirinya bangkit, sebuah perasaan yang sulit ia kendalikan.
"Ekhem ...." Sasha berdehem untuk mengalihkan perhatian dan rasa canggung yang tiba-tiba datang.
Arka cepat-cepat mengalihkan pandangannya berpura-pura membaca berkas yang di berikan Sasha. “Jadi, sebelumnya kamu pernah periksa?” Arka menutup berkasnya.
“Iya,” jawab Sasha singkat.
“Dan ini berkas medis lamamu?” Arka kembali bertanya.
“Iya, aku pikir aku perlu memberitahumu.”
Arka mengangkat wajahnya menatap Sasha lamat-lamat bahkan lebih dalam. “Kalau kamu mau tahu kebenaran … jangan percaya satu katapun dari suamimu,” ucap Arka pelan.
“Maksud kamu?”
“Kamu akan tau nanti di mana kebenaran akan terungkap,” jawab Arka ambigu.
Sasha terdiam sejenak mencerna apa yang baru saja di katakan oleh Arka, sesuatu yang mengandung makna lebih dalam dan mungkin sesuatu yang tidak pernah diketahuinya. Ini bukan soal peringatan atau ancaman tapi lebih dari sekedar itu.
“Nggak!Kamu kebangetan, ih!Kenapa nggak berhenti tadi?” keluh Sasha lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh detak hujan yang jatuh di kaca mobil, tubuhnya masih melekat pada Arka, seolah tulangnya belum kembali utuh setelah dua jam terakhir dipaksa menyerah oleh pria itu.Arka terkekeh pelan, suara rendahnya menggetarkan dada Sasha tempat ia bersandar. “Kamu yang minta,” jawabnya santai sambil mengusap punggung Sasha yang masih naik turun menahan napas.“Aku minta cuma sekali,” protes Sasha kecil, pipinya memanas ketika mengingat bagaimana ia sendiri yang akhirnya memohon agar Arka tidak berhenti. “Kamu yang lanjut terus—”“Kamu yang mulai gemeteran dan narik aku lagi,” balas Arka cepat, nada menggoda namun juga manja. Ia menunduk sedikit, menyentuhkan bibirnya pada pelipis Sasha. “Aku cuma ngikutin istri aku.”“Isshhh…!” Sasha mendesis menangg
Serangkaian tes tentang kehamilan Sasha mulai dilakukan dan hasilnya, ia benar-benar positif hamil. Itu jelas membuat Arka yang sejak awal sedikit ragu, tampak terdiam dengan segenap rasa terkejut yang berkecamuk dalam benaknya.“Selamat, Dokter Arka. Istri lo beneran hamil, usia kandungannya tiga minggu. Kondisi tubuhnya cukup stabil, janin juga sehat dan tekanan darahnya bagus. Cuma, tetap jaga pola makan, tidur dan jangan lupa minum vitamin,” ujar Brata, memberikan wejangan pada Arka. Wejangan yang biasanya Arka berikan pada setiap pasien yang datang, kini justru ia dengar sendiri.“Makasih, Brat.”“Sama-sama,” sahut Brata, lantas meninggalkan Arka dan juga Sasha yang masih menikmati momen kebahagiaan keduanya.Arka menggenggam erat tangan Sasha, mengecupnya berkali-kali dan mengucapkan kalimat penuh kebahagiaannya serta rasa syukurnya karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang ayah.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah kasih aku kebahagiaan.” Suara Arka pecah sedikit s
Arka menahan senyumannya sendiri ketika mendengar permintaan Sasha, terlebih saat melihat wajahnya merah seperti udang rebus.Mobil yang dibawa Arka dengan segera meninggalkan bibir pantai, menuju bukit yang menjadi tempat pertama mereka menyatu dan memiliki hubungan yang jauh hingga sekarang.Disisi lain, setelah bertemu dengan Sasha di sebuah minimarket SPBU, Ratna kembali ke rumahnya dengan perasaan dongkol. Sepanjang perjalanan, tangannya terus menggenggam kemudi terlalu kuat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat benda pertama yang bisa ia remukkan.Sasha yang biasanya menunduk patuh, selalu sopan, selalu meminta maaf bahkan ketika bukan salahnya, tiba-tiba saja tadi berani melawan.Itu bukan Sasha yang Ratna kenal.Bahkan Ratna bisa melihat jelas kalau ada keberanian di mata Sasha. Keberanian yang tidak pernah ada selama bertahun-tahun Sasha menjadi menantunya. Ada sorot yang tidak lagi memohon, tidak lagi takut, tidak lagi merasa ren
Perjalanan menuju pantai berlangsung lebih hening daripada sebelumnya. Arka berkendara pelan, sesekali melirik Sasha yang hanya memandang keluar jendela tanpa bersuara. Wajah Sasha sedikit murung, seperti ia sama sekali tidak menikmati apa yang terjadi saat ini.Sasha hanya diam menikmati terpaan angin yang menerbangkan setiap helaian rambutnya. Ia masih tenggelam dalam lamunan, sampai ia tidak menyadari kalau Arka sudah memarkir mobil di titik paling dekat dengan bibir pantai.Arka menghembuskan napas lega.“Akhirnya sampai juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Ia melepas sabuk pengaman dan bersiap turun untuk membuka pintu Sasha.Namun Sasha tetap diam, tanpa ada reaksi apa punsama sekali. Hal itu membuat Arka menoleh ke arahnya.Beberapa kali Arka memanggil Sasha masih saja diam dan tidak bereaksi apa pun.“Sayang, kamu kenapa?”tanya Arka cemas.Sasha masih diam. Dan ketika panggilan ketiga,
Ratna seketika membeku mendengar ucapan Arka. Ia tidak pernah melihat sisi ini darinya kalimat penuh penekanan dan juga penuh ambisi untuk menghancurkannya.Saat tubuh Ratna membeku, Arka menjauhkan wajahnya dari sisi Ratna, namun masih dengan raut wajah yang sama seperti sebelumnya.“Jangan takut, aku tidak akan mengambilnya sekaligus. Mungkin secara perlahan, sampai kalian memasrahkan semuanya sendiri dengan sukarela,” pungkas Arka, lalu beralih pada Sasha yang masih diam di tempat.“Ayo,kita berangkat, Sayang. Maaf, ya, kamu harus mengalami gangguan dari orang yang nggak waras seperti ini,” ucap Arka, seraya menggandengnya pergi meninggalkan Ratna yang masih mematung.Sasha menggandeng Arka, dan sedikit merebahkan kepalanya di lengan Arka ketika melangkah keluar. Arka mengusap pelan pipinya, dengan hati yang bergemuruh menahan kemarahan.Di luar, udara sore yang mulai dingin menyambut mereka.Arka masih menggen
Ratna menyeringai melihat Sasha yang hanya membeku mendengar semua cercaannya. Beruntung, di dalam minimarket itu tidak begitu ramai dan hanya ada mereka berdua, jadi tidak ada satu pun yang bisa mendengarkan percakapan mereka yang tengah berdebat dengan nada yang ditekan.“Kenapa? Nggak terima? Emang, iya, kan? Arka itu nggak ada otaknya karena harus nikahin perempuan kosong macam kamu. Nggak bisa kasih keturunan, nggak bisa kasih kehormatan, kedudukan, apalagi ngasih yang jauh lebih dari itu.”Sasha menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Senyum tipis mulai terbit di bibirnya, sesaat sebelum ia mulai bicara.“Jadi, menurut Anda, Arka itu nggak punya otak karena memilih perempuan kosong yang nggak bisa berbuat apa pun? Nggak bisa hamil dan sebagainya? Begitu?”“Iyalah, jelas,” sahut Ratna cepat, dagunya terangkat tinggi seolah ucapannya adalah kebenaran mutlak. “Arka itu buta karena kamu. Dia cuma dibodohi sama tampang polosmu. Kalau dia pakai sedikit saja otaknya, dia ng







