Share

4. PELANGGARAN BATAS

Author: Allina
last update Last Updated: 2025-08-29 16:15:08

Hari ini Sasha menjalani pemeriksaan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, semalam Arka sudah mengingatkannya agar tidak sampai terlupa. Meski dalam hati ia tidak yakin, Sasha tetap meminta Reno menemaninya.

“Mas, hari ini Arka mengundangku untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, kamu ikut nemenin aku, ya!” ajak Sasha lembut. Tangannya terus mengaduk teh yang tersaji di meja, sedangkan Reno sibuk membaca koran.

“Kamu berangkat dulu saja, kalau sempat, aku akan nyusul,” ucap Reno datar, matanya tetap tertuju pada koran di depannya.

“Tapi, Mas ...,” lirih Sasha. Sendok di tangannya berhenti bergerak.

“Apakah kamu tidak dengar Reno bilang apa?” Ratna tiba-tiba muncul, wanita itu duduk di samping Reno. “Reno itu orang sibuk. Kamu bisa berangkat sendiri tanpa merepotkan suami!”

“Aku ….”

Reno menurunkan korannya kasar dan melipatnya asal. “Sudahlah, Sasha, jangan rewel! Aku sibuk,” ketusnya. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berlalu begitu saja, meninggalkan Sasha duduk terpaku di meja.

'Kemarin kita masih baik-baik saja, sekarang kamu sudah sekeras ini. Apa salahku, Mas?' batin Sasha. 

Setetes air mata jatuh membasahi pipinya, tapi dengan cepat Sasha menyapunya. “Nggak, Sha, kamu gak boleh sedih,” Sasha menghibur dirinya sendiri.

Sebentar lagi ia akan pergi, dan ia tak mau orang lain melihat wajahnya yang sembab. Sasha membenarkan posisi tubuhnya, menarik napas dan tersenyum, meskipun hatinya masih di liputi rasa sedih.

Sesampainya di sana, Sasha langsung masuk ke ruangan Arka, yang disambutnya dengan senyum lembut.

Deg!

Perasaan aneh dan terlarang yang mati-matian ia tahan kembali menyeruak saat melihat Arka.

"Kamu sudah datang," ucap Arka.‎

Sasha tersenyum tipis, ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Sesaat mereka hanya bertatapan sampai akhirnya Sasha berdeham, memecah keheningan.

Arka langsung berdiri, mempersilakan Sasha duduk, ia meraih tensimeter. “Kita periksa tensimu dulu.”‎

Sasha menurut, membiarkan Arka melingkarkan manset di tangannya. Arka melakukannya dengan gerakan hati-hati seperti sedang menyentuh barang yang mudah rusak.

Namun karena tindakannya ini malah membuat jarak keduanya semakin dekat, seolah pasokan udara di sekeliling mereka semakin menipis. Sasha bisa merasakan hembusan napas Arka menyapu wajahnya, hangat, dekat, dan terasa sangat nyata. Sehingga Sasha bisa merasakan aroma mint dari tubuh Arka. ‎

Arka juga merasakan hal yang sama. Wangi lembut tubuh Sasha menyelinap begitu saja, mengusik kewarasannya. Begitu menggiurkan dan memabukan, hingga ia harus beberapa kali menelan salivanya hanya untuk menahan gejolak yang tiba-tiba muncul.

Saat manset  dikencangkan, jemari Arka tanpa sengaja bersentuhan dengan pergelangan tangan Sasha. Sentuhan itu seharusnya biasa saja, sekadar bagian dari prosedur. Namun bagi Sasha, seakan ada arus hangat yang menjalar cepat ke seluruh tubuhnya.

Arka memejamkan mata. Ia tahu berada sedekat ini dengan pasien adalah sebuah pelanggaran kode etik yang seharusnya ia buang jauh-jauh. Tapi rasa ingin memiliki, menjaga serta melindungi Sasha terlalu kuat dan sulit untuk dipatahkan.

"Tarik napas ... buang pelan-pelan," suaranya rendah seolah berbisik di telinga Sasha.‎

Napasnya tercekat, Sasha dibuat merinding seakan perkataan Arka mengundang percikan kecil yang sulit dikendalikan.

Sasha menelan ludahnya pelan, nyaris tanpa suara, saat jemarinya tanpa sengaja menyentuh punggung tangan Arka. Ada getar halus yang menjalar membuat dadanya sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Namun Arka bergeming. Ia tidak menarik tangannya, tidak pula menunjukkan tanda penolakan. Seolah diamnya itu  adalah sebuah persetujuan.

Pintu mendadak terbuka. Reno berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke arah Sasha dan Arka. Sorot matanya dingin, dan datar.

“Apa kalian sibuk?” tanyanya, datar. ‎

Sasha buru-buru menarik tangannya dan berdiri. Wajahnya memucat, matanya bergetar, jelas sekali Sasha gugup. Ruangan yang beberapa menit lalu hangat dan penuh getaran halus, mendadak berubah mencekam.

"Tidak. Kami baru saja selesai pemeriksaan," jawab Arka tenang, meski begitu ia bisa melihat Reno sedang menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh curiga.

“Kamu datang, Mas?” tanya Sasha gugup.

Reno menoleh sekilas, lalu menjawab, “Bukankah tadi pagi istriku ini memintaku untuk datang dan menemani?”

Sasha tersenyum, bukan senyum tulus, melainkan senyum yang dipaksakan untuk menutupi kecanggungannya. Ia berharap, Reno tidak melihat adegannya bersama Arka tadi. Namun, melihat ekspresinya saat ini, mungkinkah Reno menyadari rasa gugup yang dia miliki?

Rasa bersalah menghinggapi hatinya. Ia memang tidak melakukan apa pun dengan Arka, namun kejadian barusan cukup untuk menimbulkan salah paham di mata siapa pun yang melihatnya.

Alih-alih pergi, Reno menutup pintu ruangan, hingga suaranya jelas terdengar, Reno merangkul pinggang Sasha menariknya untuk mendekat. Sasha terkejut, tubuhnya menegang dalam dekapan suaminya.

Reno menarik Sasha untuk duduk di kursi di sampingnya. Tangannya segera meraih dan menggenggam erat tangan Sasha, seakan menancapkan tanda kepemilikan.

“Mungkin saya juga perlu di periksa, Dok?” ucap Reno dingin.

Arka tersenyum samar, bibirnya melengkung tipis nyaris tak terlihat. “Tentu saja Pak Reno, kesehatan Anda adalah yang utama,” jawabnya tenang. “Saya sangat senang Anda mempunyai waktu duduk di sini di tengah kesibukan Anda.”

Reno mengepalkan tangan, rahangnya mengeras hingga giginya bergemeletuk menahan amarah. Ia jelas tahu bahwa itu bukan kalimat yang dimaksudkan Arka untuk diucapkan padanya.

“Tentu saja saya mempunyai banyak waktu untuk menemani istriku.” Reno tersenyum tipis, tangannya terulur mengelus rambut Sasha penuh kelembutan. Namun, di balik nada suaranya, terselip maksud yang lain. Tatapan matanya bukan pada Sasha, melainkan menancap tajam ke arah Arka seolah menyampaikan pesan yang hanya bisa pahami oleh pria.

“Wah, ternyata Pak Reno ini sangat mencintai istrinya.” Arka tersenyum kecil, menjaga nada bicaranya. “Bu Sasha sangat beruntung bisa dicintai dengan begitu besar oleh beliau.”

Reno membalas senyuman itu, tapi tatapannya dingin, penuh arti, seolah menilai setiap kata yang meluncur dari bibir Arka.

Tubuh Sasha membeku, ia merasa seakan terjebak di antara medan magnet yang saling tarik-menarik. Kedua pria itu tidak berbicara dengan nada tinggi, tapi ketegangan di udara membuatnya ingin keluar dari ruangan, dan sekaligus ingin tahu apa yang akan terjadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   118. KELELAHAN

    “Nggak!Kamu kebangetan, ih!Kenapa nggak berhenti tadi?” keluh Sasha lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh detak hujan yang jatuh di kaca mobil, tubuhnya masih melekat pada Arka, seolah tulangnya belum kembali utuh setelah dua jam terakhir dipaksa menyerah oleh pria itu.Arka terkekeh pelan, suara rendahnya menggetarkan dada Sasha tempat ia bersandar. “Kamu yang minta,” jawabnya santai sambil mengusap punggung Sasha yang masih naik turun menahan napas.“Aku minta cuma sekali,” protes Sasha kecil, pipinya memanas ketika mengingat bagaimana ia sendiri yang akhirnya memohon agar Arka tidak berhenti. “Kamu yang lanjut terus—”“Kamu yang mulai gemeteran dan narik aku lagi,” balas Arka cepat, nada menggoda namun juga manja. Ia menunduk sedikit, menyentuhkan bibirnya pada pelipis Sasha. “Aku cuma ngikutin istri aku.”“Isshhh…!” Sasha mendesis menangg

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   121. KEBAHAGIAN YANG MENGHILANG DENGAN CEPAT

    Serangkaian tes tentang kehamilan Sasha mulai dilakukan dan hasilnya, ia benar-benar positif hamil. Itu jelas membuat Arka yang sejak awal sedikit ragu, tampak terdiam dengan segenap rasa terkejut yang berkecamuk dalam benaknya.“Selamat, Dokter Arka. Istri lo beneran hamil, usia kandungannya tiga minggu. Kondisi tubuhnya cukup stabil, janin juga sehat dan tekanan darahnya bagus. Cuma, tetap jaga pola makan, tidur dan jangan lupa minum vitamin,” ujar Brata, memberikan wejangan pada Arka. Wejangan yang biasanya Arka berikan pada setiap pasien yang datang, kini justru ia dengar sendiri.“Makasih, Brat.”“Sama-sama,” sahut Brata, lantas meninggalkan Arka dan juga Sasha yang masih menikmati momen kebahagiaan keduanya.Arka menggenggam erat tangan Sasha, mengecupnya berkali-kali dan mengucapkan kalimat penuh kebahagiaannya serta rasa syukurnya karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang ayah.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah kasih aku kebahagiaan.” Suara Arka pecah sedikit s

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   117. MENGULANG SEBUAH KISAH

    Arka menahan senyumannya sendiri ketika mendengar permintaan Sasha, terlebih saat melihat wajahnya merah seperti udang rebus.Mobil yang dibawa Arka dengan segera meninggalkan bibir pantai, menuju bukit yang menjadi tempat pertama mereka menyatu dan memiliki hubungan yang jauh hingga sekarang.Disisi lain, setelah bertemu dengan Sasha di sebuah minimarket SPBU, Ratna kembali ke rumahnya dengan perasaan dongkol. Sepanjang perjalanan, tangannya terus menggenggam kemudi terlalu kuat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat benda pertama yang bisa ia remukkan.Sasha yang biasanya menunduk patuh, selalu sopan, selalu meminta maaf bahkan ketika bukan salahnya, tiba-tiba saja tadi berani melawan.Itu bukan Sasha yang Ratna kenal.Bahkan Ratna bisa melihat jelas kalau ada keberanian di mata Sasha. Keberanian yang tidak pernah ada selama bertahun-tahun Sasha menjadi menantunya. Ada sorot yang tidak lagi memohon, tidak lagi takut, tidak lagi merasa ren

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   116. BUKIT NOSTALGIA

    Perjalanan menuju pantai berlangsung lebih hening daripada sebelumnya. Arka berkendara pelan, sesekali melirik Sasha yang hanya memandang keluar jendela tanpa bersuara. Wajah Sasha sedikit murung, seperti ia sama sekali tidak menikmati apa yang terjadi saat ini.Sasha hanya diam menikmati terpaan angin yang menerbangkan setiap helaian rambutnya. Ia masih tenggelam dalam lamunan, sampai ia tidak menyadari kalau Arka sudah memarkir mobil di titik paling dekat dengan bibir pantai.Arka menghembuskan napas lega.“Akhirnya sampai juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Ia melepas sabuk pengaman dan bersiap turun untuk membuka pintu Sasha.Namun Sasha tetap diam, tanpa ada reaksi apa punsama sekali. Hal itu membuat Arka menoleh ke arahnya.Beberapa kali Arka memanggil Sasha masih saja diam dan tidak bereaksi apa pun.“Sayang, kamu kenapa?”tanya Arka cemas.Sasha masih diam. Dan ketika panggilan ketiga,

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   115. ANAK BUKAN SEGALANYA

    Ratna seketika membeku mendengar ucapan Arka. Ia tidak pernah melihat sisi ini darinya kalimat penuh penekanan dan juga penuh ambisi untuk menghancurkannya.Saat tubuh Ratna membeku, Arka menjauhkan wajahnya dari sisi Ratna, namun masih dengan raut wajah yang sama seperti sebelumnya.“Jangan takut, aku tidak akan mengambilnya sekaligus. Mungkin secara perlahan, sampai kalian memasrahkan semuanya sendiri dengan sukarela,” pungkas Arka, lalu beralih pada Sasha yang masih diam di tempat.“Ayo,kita berangkat, Sayang. Maaf, ya, kamu harus mengalami gangguan dari orang yang nggak waras seperti ini,” ucap Arka, seraya menggandengnya pergi meninggalkan Ratna yang masih mematung.Sasha menggandeng Arka, dan sedikit merebahkan kepalanya di lengan Arka ketika melangkah keluar. Arka mengusap pelan pipinya, dengan hati yang bergemuruh menahan kemarahan.Di luar, udara sore yang mulai dingin menyambut mereka.Arka masih menggen

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   114. MENGAMBILNYA KEMBALI

    Ratna menyeringai melihat Sasha yang hanya membeku mendengar semua cercaannya. Beruntung, di dalam minimarket itu tidak begitu ramai dan hanya ada mereka berdua, jadi tidak ada satu pun yang bisa mendengarkan percakapan mereka yang tengah berdebat dengan nada yang ditekan.“Kenapa? Nggak terima? Emang, iya, kan? Arka itu nggak ada otaknya karena harus nikahin perempuan kosong macam kamu. Nggak bisa kasih keturunan, nggak bisa kasih kehormatan, kedudukan, apalagi ngasih yang jauh lebih dari itu.”Sasha menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Senyum tipis mulai terbit di bibirnya, sesaat sebelum ia mulai bicara.“Jadi, menurut Anda, Arka itu nggak punya otak karena memilih perempuan kosong yang nggak bisa berbuat apa pun? Nggak bisa hamil dan sebagainya? Begitu?”“Iyalah, jelas,” sahut Ratna cepat, dagunya terangkat tinggi seolah ucapannya adalah kebenaran mutlak. “Arka itu buta karena kamu. Dia cuma dibodohi sama tampang polosmu. Kalau dia pakai sedikit saja otaknya, dia ng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status