Hari ini Sasha menjalani pemeriksaan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, semalam Arka sudah mengingatkannya agar tidak sampai terlupa. Meski dalam hati ia tidak yakin, Sasha tetap meminta Reno menemaninya.
“Mas, hari ini Arka mengundangku untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, kamu ikut nemenin aku, ya!” ajak Sasha lembut. Tangannya terus mengaduk teh yang tersaji di meja, sedangkan Reno sibuk membaca koran.
“Kamu berangkat dulu saja, kalau sempat, aku akan nyusul,” ucap Reno datar, matanya tetap tertuju pada koran di depannya.
“Tapi, Mas ...,” lirih Sasha. Sendok di tangannya berhenti bergerak.
“Apakah kamu tidak dengar Reno bilang apa?” Ratna tiba-tiba muncul, wanita itu duduk di samping Reno. “Reno itu orang sibuk. Kamu bisa berangkat sendiri tanpa merepotkan suami!”
“Aku ….”
Reno menurunkan korannya kasar dan melipatnya asal. “Sudahlah, Sasha, jangan rewel! Aku sibuk,” ketusnya. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berlalu begitu saja, meninggalkan Sasha duduk terpaku di meja.
'Kemarin kita masih baik-baik saja, sekarang kamu sudah sekeras ini. Apa salahku, Mas?' batin Sasha.
Setetes air mata jatuh membasahi pipinya, tapi dengan cepat Sasha menyapunya. “Nggak, Sha, kamu gak boleh sedih,” Sasha menghibur dirinya sendiri.
Sebentar lagi ia akan pergi, dan ia tak mau orang lain melihat wajahnya yang sembab. Sasha membenarkan posisi tubuhnya, menarik napas dan tersenyum, meskipun hatinya masih di liputi rasa sedih.
Sesampainya di sana, Sasha langsung masuk ke ruangan Arka, yang disambutnya dengan senyum lembut.
Deg!
Perasaan aneh dan terlarang yang mati-matian ia tahan kembali menyeruak saat melihat Arka.
"Kamu sudah datang," ucap Arka.
Sasha tersenyum tipis, ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Sesaat mereka hanya bertatapan sampai akhirnya Sasha berdeham, memecah keheningan.
Arka langsung berdiri, mempersilakan Sasha duduk, ia meraih tensimeter. “Kita periksa tensimu dulu.”
Sasha menurut, membiarkan Arka melingkarkan manset di tangannya. Arka melakukannya dengan gerakan hati-hati seperti sedang menyentuh barang yang mudah rusak.
Namun karena tindakannya ini malah membuat jarak keduanya semakin dekat, seolah pasokan udara di sekeliling mereka semakin menipis. Sasha bisa merasakan hembusan napas Arka menyapu wajahnya, hangat, dekat, dan terasa sangat nyata. Sehingga Sasha bisa merasakan aroma mint dari tubuh Arka.
Arka juga merasakan hal yang sama. Wangi lembut tubuh Sasha menyelinap begitu saja, mengusik kewarasannya. Begitu menggiurkan dan memabukan, hingga ia harus beberapa kali menelan salivanya hanya untuk menahan gejolak yang tiba-tiba muncul.
Saat manset dikencangkan, jemari Arka tanpa sengaja bersentuhan dengan pergelangan tangan Sasha. Sentuhan itu seharusnya biasa saja, sekadar bagian dari prosedur. Namun bagi Sasha, seakan ada arus hangat yang menjalar cepat ke seluruh tubuhnya.
Arka memejamkan mata. Ia tahu berada sedekat ini dengan pasien adalah sebuah pelanggaran kode etik yang seharusnya ia buang jauh-jauh. Tapi rasa ingin memiliki, menjaga serta melindungi Sasha terlalu kuat dan sulit untuk dipatahkan.
"Tarik napas ... buang pelan-pelan," suaranya rendah seolah berbisik di telinga Sasha.
Napasnya tercekat, Sasha dibuat merinding seakan perkataan Arka mengundang percikan kecil yang sulit dikendalikan.
Sasha menelan ludahnya pelan, nyaris tanpa suara, saat jemarinya tanpa sengaja menyentuh punggung tangan Arka. Ada getar halus yang menjalar membuat dadanya sesak oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
Namun Arka bergeming. Ia tidak menarik tangannya, tidak pula menunjukkan tanda penolakan. Seolah diamnya itu adalah sebuah persetujuan.
Pintu mendadak terbuka. Reno berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke arah Sasha dan Arka. Sorot matanya dingin, dan datar.
“Apa kalian sibuk?” tanyanya, datar.
Sasha buru-buru menarik tangannya dan berdiri. Wajahnya memucat, matanya bergetar, jelas sekali Sasha gugup. Ruangan yang beberapa menit lalu hangat dan penuh getaran halus, mendadak berubah mencekam.
"Tidak. Kami baru saja selesai pemeriksaan," jawab Arka tenang, meski begitu ia bisa melihat Reno sedang menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh curiga.
“Kamu datang, Mas?” tanya Sasha gugup.
Reno menoleh sekilas, lalu menjawab, “Bukankah tadi pagi istriku ini memintaku untuk datang dan menemani?”
Sasha tersenyum, bukan senyum tulus, melainkan senyum yang dipaksakan untuk menutupi kecanggungannya. Ia berharap, Reno tidak melihat adegannya bersama Arka tadi. Namun, melihat ekspresinya saat ini, mungkinkah Reno menyadari rasa gugup yang dia miliki?
Rasa bersalah menghinggapi hatinya. Ia memang tidak melakukan apa pun dengan Arka, namun kejadian barusan cukup untuk menimbulkan salah paham di mata siapa pun yang melihatnya.
Alih-alih pergi, Reno menutup pintu ruangan, hingga suaranya jelas terdengar, Reno merangkul pinggang Sasha menariknya untuk mendekat. Sasha terkejut, tubuhnya menegang dalam dekapan suaminya.
Reno menarik Sasha untuk duduk di kursi di sampingnya. Tangannya segera meraih dan menggenggam erat tangan Sasha, seakan menancapkan tanda kepemilikan.
“Mungkin saya juga perlu di periksa, Dok?” ucap Reno dingin.
Arka tersenyum samar, bibirnya melengkung tipis nyaris tak terlihat. “Tentu saja Pak Reno, kesehatan Anda adalah yang utama,” jawabnya tenang. “Saya sangat senang Anda mempunyai waktu duduk di sini di tengah kesibukan Anda.”
Reno mengepalkan tangan, rahangnya mengeras hingga giginya bergemeletuk menahan amarah. Ia jelas tahu bahwa itu bukan kalimat yang dimaksudkan Arka untuk diucapkan padanya.
“Tentu saja saya mempunyai banyak waktu untuk menemani istriku.” Reno tersenyum tipis, tangannya terulur mengelus rambut Sasha penuh kelembutan. Namun, di balik nada suaranya, terselip maksud yang lain. Tatapan matanya bukan pada Sasha, melainkan menancap tajam ke arah Arka seolah menyampaikan pesan yang hanya bisa pahami oleh pria.
“Wah, ternyata Pak Reno ini sangat mencintai istrinya.” Arka tersenyum kecil, menjaga nada bicaranya. “Bu Sasha sangat beruntung bisa dicintai dengan begitu besar oleh beliau.”
Reno membalas senyuman itu, tapi tatapannya dingin, penuh arti, seolah menilai setiap kata yang meluncur dari bibir Arka.
Tubuh Sasha membeku, ia merasa seakan terjebak di antara medan magnet yang saling tarik-menarik. Kedua pria itu tidak berbicara dengan nada tinggi, tapi ketegangan di udara membuatnya ingin keluar dari ruangan, dan sekaligus ingin tahu apa yang akan terjadi.
Pada akhirnya, Sasha tak bisa lagi menahan diri. Tangisnya pecah, dan ia menunduk, wajahnya bersembunyi di dada bidang Arka, berusaha meredam suara tangisnya. Arka bergeming membiarkan Sasha menangis melepas rasa sakit. Setelah merasa sedikit lega, Sasha mengangkat kepalanya, menyeka pipi dengan punggung tangannya. “Maaf …,” lirihnya, sesekali isakan kecil masih terdengar. ***Acara gala telah usai. Satu per satu tamu meninggalkan Hotel Grand Marella, hingga akhirnya hanya tersisa bayangan-bayangan yang bertebaran di lobi. Sasha pun melangkah keluar dan Arka berjalan beberapa meter di belakangnya. Sasha mempercepat langkahnya, terlepas dari apa yang terjadi malam ini, wanita itu hanya ingin pulang untuk menenangkan diri. Begitu melewati pintu menuju parkir bawah tanah, tangan besar menahanya, menyentuh pergelangan tangan. “Kita perlu bicara.” Sasha menoleh, Arka berdiri di depannya. Pria itu membuka pintu mobilnya, memberi isyarat. Sasha tidak menolak, dia masuk ke mobil Arka. “
Reno dan Sasha melangkah keluar dari ruangan Arka. Begitu mereka sudah berada di parkiran mobil, Reno tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya dengan kasar.Sasha terhuyung sedikit, menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Mas ….” suaranya pelan nyaris berbisik.“Cukup, Sasha! Jangan bersandiwara di depanku!” bentak Reno.“Apa maksudmu, Mas? Sandiwara apa?”“Apa maksudku harusnya kamu sudah tau!” Reno menaikan nada bicaranya satu oktaf. “Sekarang aku minta penjelasan, penjelasan yang masuk akal bukan yang dimanipulasi dengan polesan kebohongan.”Sasha tertegun, jantungnya berdegup kencang. “Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Mas. Kebohongan apa yang kamu bicarakan?”Reno mendekat, sorot matanya dingin. “Jangan pura-pura polos, Sha! Aku tahu apa yang kamu lakukan di belakangku.”Reno mendorong Sasha hingga punggungnya membentur dinding basement. “Katakan! Katakan padaku apa yang kalian lakukan di dalam ruangan itu sebelum aku datang! Apa kamu menggodanya, hah?!”Sasha
Hari ini Sasha menjalani pemeriksaan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, semalam Arka sudah mengingatkannya agar tidak sampai terlupa. Meski dalam hati ia tidak yakin, Sasha tetap meminta Reno menemaninya.“Mas, hari ini Arka mengundangku untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, kamu ikut nemenin aku, ya!” ajak Sasha lembut. Tangannya terus mengaduk teh yang tersaji di meja, sedangkan Reno sibuk membaca koran.“Kamu berangkat dulu saja, kalau sempat, aku akan nyusul,” ucap Reno datar, matanya tetap tertuju pada koran di depannya.“Tapi, Mas ...,” lirih Sasha. Sendok di tangannya berhenti bergerak.“Apakah kamu tidak dengar Reno bilang apa?” Ratna tiba-tiba muncul, wanita itu duduk di samping Reno. “Reno itu orang sibuk. Kamu bisa berangkat sendiri tanpa merepotkan suami!”“Aku ….”Reno menurunkan korannya kasar dan melipatnya asal. “Sudahlah, Sasha, jangan rewel! Aku sibuk,” ketusnya. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berlalu begitu saja, meninggalkan Sasha duduk te
Arka terduduk, menatap hasil tes yang jelas menyatakan: Sasha sehat, Reno tak mungkin jadi ayah biologis. Rahangnya mengeras, kemarahan memenuhi hatinya saat mengingat bagaimana mamanya menghina Sasha tanpa tahu kebenaran.Ia tahu pilihannya sama-sama berisiko. Diam, berarti membiarkan Sasha hancur oleh tuduhan. Bicara, berarti menelanjangi kelemahan kakaknya dan meruntuhkan martabat keluarga.Arka memijit pangkal hidungnya, napasnya berat. Hatinya ingin melindungi Sasha, tapi darahnya menuntut setia pada keluarga.***Sasha kini berada di ruang kerja mertuanya, tapi entah mengapa dia selalu merasa ada sesuatu yang aneh di keluarga ini. Apalagi saat melihat interaksi antara ibu dan anak di mana Ratna terlihat begitu berbeda cara memperlakukan Reno dan Arka.Namun, Sasha tidak ingin sembarangan, ia ingin mencari tau tentang Arka, serta mengapa pria itu seperti dianggap asing oleh keluarganya?Pandangannya menyapu setiap inci rumah mewah itu, berharap ia akan menemukan sesuatu yang bisa
Sasha terbangun dari tidurnya, matanya langsung melirik ke sisi ranjang, tapi ia tak melihat keberadaan suaminya, bahkan tempatnya pun masih rapih seperti tak tersentuh.“Apa semalam Mas Reno nggak pulang, atau dia berangkat kerja lebih awal?” Sasha bermonolog, ia mengulurkan tangan, mengambil ponsel yang berada di nakas.Sasha menatap layar ponsel yang kini menampilkan nomor suaminya. Ia menekan tombol panggil, lalu mendekatkan ponsel ke telinga. Nada sambung terdengar berulang kali, namun tak juga ada jawaban.“Apa dia benar-benar sesibuk ini sampai tak bisa dihubungi?” Sasha mendesah pelan, lalu meletakan ponselnya. Sampai akhirnya ia teringat jika ia mempunyai janji temu dengan Arka.Sasha segera bersiap, ia sudah memantapkan hati, kenyataan apapun yang akan terjadi, ia akan hadapi. Setelah membersihkan diri, Sasha berdiri di depan cermin, memoles wajahnya dengan bedak tipis dan memberi sedikit rona pada bibirnya, agar dirinya tampak lebih segar.Sebelum Sasha pergi, ia berpapasan
“Kalau perempuan tak bisa punya anak, apa gunanya menikah?”Kalimat itu meluncur begitu saja bagaikan cambuk mematikan. Sendok di tangan Sasha berhenti di udara. Ia bisa merasakan beberapa pasang mata tengah menatap ke arahnya.Sasha memejamkan matanya sejenak, mengambil napas sebanyak mungkin, dadanya kini terasa sesak. Kenapa mertuanya harus mengucapkan hal itu di waktu yang tidak tepat? Tak bisakah sedikit saja wanita itu menghargainya, menerima kenyataan bahwa bagaimanapun ia adalah istri dari anaknya?Di hadapannya, Ratna—ibu mertuanya—duduk dengan tenang, tangannya menyeka mulutnya dengan tisu lalu meletakkannya di sisi piring. Wajahnya terlihat tenang dan datar."Dua tahun kamu menikah, tapi sampai detik ini kamu tidak bisa memberikan saya keturunan, saya curiga kalau kamu mandul.”Lagi, perkataannya menampar Sasha lebih keras dan lebih menyakitkan. Matanya mulai memanas, rasa perih menjalar hingga tenggorokan. Tangisnya hampir pecah, namun sekuat tenaga ia menahannya agar air