Reno dan Sasha melangkah keluar dari ruangan Arka. Begitu mereka sudah berada di parkiran mobil, Reno tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya dengan kasar.
Sasha terhuyung sedikit, menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Mas ….” suaranya pelan nyaris berbisik. “Cukup, Sasha! Jangan bersandiwara di depanku!” bentak Reno. “Apa maksudmu, Mas? Sandiwara apa?” “Apa maksudku harusnya kamu sudah tau!” Reno menaikan nada bicaranya satu oktaf. “Sekarang aku minta penjelasan, penjelasan yang masuk akal bukan yang dimanipulasi dengan polesan kebohongan.” Sasha tertegun, jantungnya berdegup kencang. “Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Mas. Kebohongan apa yang kamu bicarakan?” Reno mendekat, sorot matanya dingin. “Jangan pura-pura polos, Sha! Aku tahu apa yang kamu lakukan di belakangku.” Reno mendorong Sasha hingga punggungnya membentur dinding basement. “Katakan! Katakan padaku apa yang kalian lakukan di dalam ruangan itu sebelum aku datang! Apa kamu menggodanya, hah?!” Sasha membeku, matanya melebar. “Mas … apa yang kamu bicarakan? Aku tidak melakukan apa pun!” “Jangan bohong!” Reno mendekatkan wajahnya, napasnya memburu. Tangannya mencengkram pipi Sasha dengan kasar. “Aku dengan jelas meihat caramu menatap dia, cara kalian berkomunikasi. Katakan sekarang, atau ….” Suara Reno tertahan, tangannya mengepal di samping kepala Sasha, menahan amarah yang hampir tak terkendali. Sasha gemetar, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. “Mas, dengarkan aku … aku tidak melakukan apa-apa. Dia hanya dokter, dan aku pasiennya. Tidak lebih!” Reno terdiam, netranya menatap Sasha dengan lekat, mencari jejak kebohongan di matanya. “Dengar baik baik, kalau sampai aku tahu kamu berkhianat di belakangku, aku bersumpah akan menghancurkanmu sampai menjadi debu,” desisnya. Setelah itu Reno melepaskan cengkramannya dengan kasar membuat Sasha menoleh ke samping. Seperti biasa Reno berlalu begitu, tanpa peduli bagaimana kacaunya Sasha, rasa sesak kembali menghimpit dadanya. Tak pernah Sasha bayangkan pernikahannya akan seperti ini. Salah paham, penghinaan, diabaikan lalu nanti apa lagi? Dengan perasaan yang masih berkecamuk, Sasha masuk ke mobil. Tanpa bisa dicegah, air matanya jatuh. Ia memalingkan wajah, menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia tidak boleh menangis, ia tak ingin orang melihat wajahnya yang sembab. Sasha tidak memperhatikan ketika mereka akhirnya sampai di pelataran rumah mewah. Mesin mobil telah dimatikan, Reno mengambil selembar tisu, tanpa kehangatan, ia berkata, “Hapus air matamu, jangan sampai mama melihat wajah jelekmu.” Reno bersandar ke kursi, menutup mata seolah lelah. Tak sekalipun ia menoleh pada istrinya, sedangkan Sasha hanya membersihkan wajah dari air mata. Bibirnya diam, tapi pikiranya begitu berisik. “Sudah, Mas.” Reno turun dan langsung disambut wajah cerah Ratna. Ia memeluk putra sulungnya dengan senyum lebar. “Reno … anakku, bagaimana hasilnya?” Reno membalas pelukan ibunya. “Aku baik-baik saja, Ma.” Ratna mengangguk. “Sudah mama duga, yang bermasalah pasti bukan kamu!” Matanya menatap Sasha sekilas, senyumnya seketika hilang, berganti menjadi tatapan tak suka. * Suasana di ruang makan begitu mencekam, seolah ini bukan tempat makan melainkan tempat penghukuman. Sasha duduk berhadapan dengan suaminya, sedangkan Ratna duduk di kursi besar, kursi yang mempunyai ukiran yang berbeda, mewah. Reno meletakkan sendoknya di atas piring, lalu berkata, “Istri siapa sih yang betah banget di rumah sakit?” Reno menatap Sasha. “Mungkin wanita itu lebih betah tinggal di rumah sakit dari pada di rumah,” Bu Ratna menimpali. Tatapannya tajam menatap Sasha dari atas hingga bawah. Sasha diam mencoba bersikap tenang, meskipun sebenarnya ia ingin memberontak. “Reno … kalau saja dulu kamu menuruti apa yang mama katakan, menikah dengan wanita ... subur, mungkin sekarang mama sudah menggendong cucu.” Itu lagi, sudah Sasha duga jika mertuanya ini pasti mempunyai maksud tertentu, apakah dia tidak ada topik lain yang lebih baik dari pembahasan cucu. Reno menoleh pada ibunya, lalu kembali melirik Sasha. Senyum tipis yang penuh arti terbit. “Mama benar, mungkin aku memang terlalu keras kepala waktu itu.” Sasha menongak, menatap suaminya dengan mata membelalak. Kata-kata itu lebih tajam daripada pisau. Ia tidak menyangka Reno akan mengucapkannya begitu saja, di depan ibunya. Apakah Reno kini menyesal menikah dengannya? Pertanyaan itu bergema di kepalanya. Sasha Ingin sekali membela diri, ingin menjelaskan bahwa dirinya pun tersiksa oleh keadaan, bahwa tidak ada wanita yang rela dituduh tak subur, apalagi dibandingkan dengan bayangan perempuan lain. Namun, tenggorokannya terasa mati. “Itulah yang seharusnya kamu lakukan, Nak. Mama hanya ingin yang terbaik buat kamu.” Ratna tersenyum puas. Sasha kali ini tidak tahan lagi. Darahnya mendidih, emosinya tersulut oleh sindiran bertubi-tubi yang dilontarkan suami dan mertuanya. Ia ingin berteriak, ingin melabrak Reno, ingin membungkam mulut mertuanya yang selalu menjatuhkannya. Namun sebelum bibirnya sempat terbuka, suara dari ponsel di tasnya terdengar. Sasha merogoh tasnya dengan gerakan gugup, lalu melirik layar ponsel. Sebuah pesan singkat masuk. Arka [Besok malam, temui aku di gala amal Hotel. Ada sesuatu yang harus kamu lihat sendiri.] “Siapa?” tanya Reno dingin tapi tatapannya menyiratkan kecurigaan. Sasha buru buru memasukan ponselnya kedalam tas. “Bukan siapa-siapa, hanya pesan biasa,” jawabnya gugup. * Malam itu aula Hotel Grand Marella berkilau oleh cahaya kristal, musik orkestra mengalun elegan. Para tamu tampil glamor dengan gaun dan jas mewah. Di tengah kemewahan itu, Sasha berdiri dengan gaun merah sederhana yang membalut tubuh rampingnya. Tak semegah tamu lain, namun justru membuatnya menonjol. Sasha melihat ke sekeliling, mencari seseorang, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada Arka. Pria itu berdiri di sudut ruangan sedang berbincang dengan beberapa tamu yang pastinya Sasha sendiri tidak tau. Sejenak mata mereka bertemu, Arka mengangguk pelan lalu melanjutkan obrolannya. Sasha tidak berani mendekat, langkahnya justru terhenti di tengah aula. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat jelas bagaimana Arka masih berbincang dengan para tamu undangan. Senyumnya tenang, gesturnya penuh wibawa, seolah tak ada satu pun yang bisa menandingi kharismanya malam ini. Bahkan sampai detik ini Sasha tidak mengerti mengapa di setiap pertemuannya dengan Arka, ia selalu merasakan gelenyar aneh, setiap menatap matanya, jantungnya berdegup kencang dan itu selalu ia rasakan hanya ketika bersama Arka. “Kenapa kamu berdiri di sini?” suara itu terdengar hangat, mengejutkan Sasha, wanita itu menoleh cepat. Wajahnya memerah saat melihat Arka berdiri di hadapannya. “Kamu kok di sini, bukanya kamu lagi ….” Sasha menoleh ke tempat dimana Arka berbincang dengan tamu tadi. “Aku sudah selesai,” ucapnya pelan. Posisi mereka sangat dekat, kini Arka berdiri tepat di samping Sasha. Aroma maskulin parfumnya terasa samar, membuat Sasha menelan ludah tanpa sadar. Arka mencondongkan tubuhnya sedikit, tangan besarnya terulur pelan, menyentuh punggung putih Sasha yang terbuka karena gaun merahnya. Sentuhan itu lembut, seolah hanya sebuah tiupan udara, tapi cukup membuat seluruh tubuh Sasha menegang. “Arka ….” suaranya tercekat, nyaris seperti desahan. Arka menelan salivanya, ada desiran aneh saat namanya disebut. Perlahan, Arka mendorong Sasha membawanya ke sudut ruangan. Tubuh Sasha merapat ke dinding, dadanya naik-turun cepat. Napasnya beradu dengan udara hangat milik Arka yang kini berdiri sangat dekat, terlalu dekat. Jarak mereka hanya sejengkal, cukup untuk membuat jantung Sasha berdetak tak terkendali. Arka memiringkan tubuhnya, lalu berbisik tepat di telinga Sasha, “Lihat ke kanan.” Sasha menurut, perlahan menggeser pandangan. Begitu matanya menangkap sosok di sisi lain ruangan, tubuhnya seakan membeku! Seluruh badannya gemetar, bahkan ia tak mampu untuk menopang bobot tubuhnya, jika saja Arka tidak menahannya, sudah di pastikan Sasha ambruk saat itu juga, perlahan air matanya menetes.Sebelumnya, tak pernah terlintas sedikitpun dalam benaknya bahwa Reno memiliki wanita lain. Sasha selalu percaya bahwa suaminya adalah lelaki yang setia. Kini, matanya terbuka lebar kata sibuk dan lembur yang dulu dianggapnya wajar ternyata hanyalah topeng, sebuah alasan untuk menutupi perselingkuhannya.
Sasha maju satu langkah, ia tak bisa hanya dia dan menyaksikan, Hatinya berteriak ingin menghadapi Reno, menuntut penjelasan atas pengkhianatan yang menghancurkan dunia yang selama ini ia bangun.
Namun, sebelum itu Arka lebih dulu menahanya, pria itu seperti tau apa yang akan di lakukan oleh Sasha.
“Sekarang bukan waktu yang tepat, jangan mempermalukan dirimu sendiri, Sha.”
Sasha menoleh, matanya merah menatap pria di sampingnya. Arka mengangkat tangannya seolah ingin mengusap air mata wanita yang ada di hadapannya, namun urung, ia menjatuhkan kembali tangannya. Ia membawa Sasha pergi ke tempat yang tidak akan ada satu orang pun menemukan mereka.
Pada akhirnya, Sasha tak bisa lagi menahan diri. Tangisnya pecah, dan ia menunduk, wajahnya bersembunyi di dada bidang Arka, berusaha meredam suara tangisnya. Arka bergeming membiarkan Sasha menangis melepas rasa sakit. Setelah merasa sedikit lega, Sasha mengangkat kepalanya, menyeka pipi dengan punggung tangannya. “Maaf …,” lirihnya, sesekali isakan kecil masih terdengar. ***Acara gala telah usai. Satu per satu tamu meninggalkan Hotel Grand Marella, hingga akhirnya hanya tersisa bayangan-bayangan yang bertebaran di lobi. Sasha pun melangkah keluar dan Arka berjalan beberapa meter di belakangnya. Sasha mempercepat langkahnya, terlepas dari apa yang terjadi malam ini, wanita itu hanya ingin pulang untuk menenangkan diri. Begitu melewati pintu menuju parkir bawah tanah, tangan besar menahanya, menyentuh pergelangan tangan. “Kita perlu bicara.” Sasha menoleh, Arka berdiri di depannya. Pria itu membuka pintu mobilnya, memberi isyarat. Sasha tidak menolak, dia masuk ke mobil Arka. “
Reno dan Sasha melangkah keluar dari ruangan Arka. Begitu mereka sudah berada di parkiran mobil, Reno tiba-tiba melepaskan genggaman tangannya dengan kasar.Sasha terhuyung sedikit, menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Mas ….” suaranya pelan nyaris berbisik.“Cukup, Sasha! Jangan bersandiwara di depanku!” bentak Reno.“Apa maksudmu, Mas? Sandiwara apa?”“Apa maksudku harusnya kamu sudah tau!” Reno menaikan nada bicaranya satu oktaf. “Sekarang aku minta penjelasan, penjelasan yang masuk akal bukan yang dimanipulasi dengan polesan kebohongan.”Sasha tertegun, jantungnya berdegup kencang. “Aku sungguh tidak mengerti maksudmu, Mas. Kebohongan apa yang kamu bicarakan?”Reno mendekat, sorot matanya dingin. “Jangan pura-pura polos, Sha! Aku tahu apa yang kamu lakukan di belakangku.”Reno mendorong Sasha hingga punggungnya membentur dinding basement. “Katakan! Katakan padaku apa yang kalian lakukan di dalam ruangan itu sebelum aku datang! Apa kamu menggodanya, hah?!”Sasha
Hari ini Sasha menjalani pemeriksaan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, semalam Arka sudah mengingatkannya agar tidak sampai terlupa. Meski dalam hati ia tidak yakin, Sasha tetap meminta Reno menemaninya.“Mas, hari ini Arka mengundangku untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, kamu ikut nemenin aku, ya!” ajak Sasha lembut. Tangannya terus mengaduk teh yang tersaji di meja, sedangkan Reno sibuk membaca koran.“Kamu berangkat dulu saja, kalau sempat, aku akan nyusul,” ucap Reno datar, matanya tetap tertuju pada koran di depannya.“Tapi, Mas ...,” lirih Sasha. Sendok di tangannya berhenti bergerak.“Apakah kamu tidak dengar Reno bilang apa?” Ratna tiba-tiba muncul, wanita itu duduk di samping Reno. “Reno itu orang sibuk. Kamu bisa berangkat sendiri tanpa merepotkan suami!”“Aku ….”Reno menurunkan korannya kasar dan melipatnya asal. “Sudahlah, Sasha, jangan rewel! Aku sibuk,” ketusnya. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berlalu begitu saja, meninggalkan Sasha duduk te
Arka terduduk, menatap hasil tes yang jelas menyatakan: Sasha sehat, Reno tak mungkin jadi ayah biologis. Rahangnya mengeras, kemarahan memenuhi hatinya saat mengingat bagaimana mamanya menghina Sasha tanpa tahu kebenaran.Ia tahu pilihannya sama-sama berisiko. Diam, berarti membiarkan Sasha hancur oleh tuduhan. Bicara, berarti menelanjangi kelemahan kakaknya dan meruntuhkan martabat keluarga.Arka memijit pangkal hidungnya, napasnya berat. Hatinya ingin melindungi Sasha, tapi darahnya menuntut setia pada keluarga.***Sasha kini berada di ruang kerja mertuanya, tapi entah mengapa dia selalu merasa ada sesuatu yang aneh di keluarga ini. Apalagi saat melihat interaksi antara ibu dan anak di mana Ratna terlihat begitu berbeda cara memperlakukan Reno dan Arka.Namun, Sasha tidak ingin sembarangan, ia ingin mencari tau tentang Arka, serta mengapa pria itu seperti dianggap asing oleh keluarganya?Pandangannya menyapu setiap inci rumah mewah itu, berharap ia akan menemukan sesuatu yang bisa
Sasha terbangun dari tidurnya, matanya langsung melirik ke sisi ranjang, tapi ia tak melihat keberadaan suaminya, bahkan tempatnya pun masih rapih seperti tak tersentuh.“Apa semalam Mas Reno nggak pulang, atau dia berangkat kerja lebih awal?” Sasha bermonolog, ia mengulurkan tangan, mengambil ponsel yang berada di nakas.Sasha menatap layar ponsel yang kini menampilkan nomor suaminya. Ia menekan tombol panggil, lalu mendekatkan ponsel ke telinga. Nada sambung terdengar berulang kali, namun tak juga ada jawaban.“Apa dia benar-benar sesibuk ini sampai tak bisa dihubungi?” Sasha mendesah pelan, lalu meletakan ponselnya. Sampai akhirnya ia teringat jika ia mempunyai janji temu dengan Arka.Sasha segera bersiap, ia sudah memantapkan hati, kenyataan apapun yang akan terjadi, ia akan hadapi. Setelah membersihkan diri, Sasha berdiri di depan cermin, memoles wajahnya dengan bedak tipis dan memberi sedikit rona pada bibirnya, agar dirinya tampak lebih segar.Sebelum Sasha pergi, ia berpapasan
“Kalau perempuan tak bisa punya anak, apa gunanya menikah?”Kalimat itu meluncur begitu saja bagaikan cambuk mematikan. Sendok di tangan Sasha berhenti di udara. Ia bisa merasakan beberapa pasang mata tengah menatap ke arahnya.Sasha memejamkan matanya sejenak, mengambil napas sebanyak mungkin, dadanya kini terasa sesak. Kenapa mertuanya harus mengucapkan hal itu di waktu yang tidak tepat? Tak bisakah sedikit saja wanita itu menghargainya, menerima kenyataan bahwa bagaimanapun ia adalah istri dari anaknya?Di hadapannya, Ratna—ibu mertuanya—duduk dengan tenang, tangannya menyeka mulutnya dengan tisu lalu meletakkannya di sisi piring. Wajahnya terlihat tenang dan datar."Dua tahun kamu menikah, tapi sampai detik ini kamu tidak bisa memberikan saya keturunan, saya curiga kalau kamu mandul.”Lagi, perkataannya menampar Sasha lebih keras dan lebih menyakitkan. Matanya mulai memanas, rasa perih menjalar hingga tenggorokan. Tangisnya hampir pecah, namun sekuat tenaga ia menahannya agar air