Home / Romansa / Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam / 6. PERTEMUAN TANPA SAKSI

Share

6. PERTEMUAN TANPA SAKSI

Author: Allina
last update Last Updated: 2025-09-11 15:38:02

Pada akhirnya, Sasha tak bisa lagi menahan diri. Tangisnya pecah, dan ia menunduk, wajahnya bersembunyi di dada bidang Arka, berusaha meredam suara tangisnya. Arka bergeming membiarkan Sasha menangis melepas rasa sakit. 

Setelah merasa sedikit lega, Sasha mengangkat kepalanya, menyeka pipi dengan punggung tangannya. 

“Maaf …,” lirihnya, sesekali isakan kecil masih terdengar. 

***

Acara gala telah usai. Satu per satu tamu meninggalkan Hotel Grand Marella, hingga akhirnya hanya tersisa bayangan-bayangan yang bertebaran di lobi. Sasha pun melangkah keluar dan Arka berjalan beberapa meter di belakangnya. Sasha mempercepat langkahnya, terlepas dari apa yang terjadi malam ini, wanita itu hanya ingin pulang untuk menenangkan diri. 

Begitu melewati pintu menuju parkir bawah tanah, tangan besar menahanya, menyentuh pergelangan tangan. 

“Kita perlu bicara.” 

Sasha menoleh, Arka berdiri di depannya. Pria itu membuka pintu mobilnya, memberi isyarat. Sasha tidak menolak, dia masuk ke mobil Arka. 

“Ada apa, Arka?” 

Arka merogoh saku di balik jasnya, Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang cukup tebal dan menyerahkannya ke Sasha tanpa banyak kata.

“Ini apa?” sasha mengerutkan kening, membolak balikan amplop tersebut. 

“Liat saja,” Arka menjawab singkat. 

Tangan Sasha gemetar membuka amplop tersebut. Matanya membesar saat melihat isinya.

“Dia tidak hanya selingkuh … tapi sudah melakukannya setahun yang lalu.”

Tangannya bergetar hebat hingga foto yang ia genggam pun ikut berguncang. Ia menatap gambar Reno bersama wanita tadi tertawa, berpelukan, bahkan berfoto di sebuah hotel, keduanya tampak bahagia seakan tidak ada rasa bersalah sama sekali.

Hatinya kembali teriris, perih. Dadanya terasa sesak, napasnya tercekat seolah ada beban berat yang menindih. Untuk sesaat, dunia seakan berhenti berputar. 

Foto itu hampir terlepas dari tangannya, menandakan betapa terguncang jiwanya oleh kenyataan yang baru saja menamparnya.

Arka perlahan mengambil foto yang masih berada di genggaman Sasha. Ia meletakkannya begitu saja di kursi, tak ingin Sasha semakin tersakiti dengan menatapnya lebih lama.

Tangannya kemudian menyentuh jemari Sasha yang masih gemetar. Kali ini, ia tidak melepaskannya tapi menggenggam dengan erat, seolah ingin memberikan kekuatan lewat sentuhan itu.

“Tenanglah, Sasha,” ucapnya pelan, nadanya sedikit lembut. Berharap Sasha tidak terus larut dalam kesedihan.

“Dia berselingkuh,” Sasha berujar lirihnya di barengi isakan kecil. 

“Aku tahu … tapi kamu nggak pantas menangisi pria seperti dia.” Suaranya terdengar rendah, Arka mengulurkan tangannya mengelus jemari Sasha dengan lembut. 

“Kami hidup selama dua tahun Arka! Gimana aku bisa nggak nangis? Dua tahun itu bukan waktu yang sebentar!”

“Kamu benar. Dan karena itulah aku ada di sini. Sha …,” ucapnya lagi, suaranya terdengar berat, “sekarang kamu harus tahu, apa pun yang terjadi … kamu nggak sendirian. Ada aku, yang akan selalu ada untuk kamu,” ujarnya. Kalimat yang lebih mirip seperti sebuah janji. 

Arka mendekat, menciptakan jarak yang begitu tipis hingga Sasha bisa merasakan hangat hembusan napasnya. Tatapan keduanya terkunci, tak ada ruang untuk berpaling.

“Jangan sedih lagi, oke?” Tangan Arka terulur, menyentuh pipinya dengan lembut. Jemarinya mengusap perlahan, menyeka sisa air mata yang masih membekas di wajah Sasha. Sentuhan itu membuat tubuh Sasha bergetar halus, seolah aliran listrik menyusup ke setiap nadinya.

Dadanya bergejolak panas bukan karena amarah pada Reno, tapi karena kedekatan mereka yang membuat pasokan udara terasa begitu menipis. Napasnya memburu, seakan terperangkap di ruang sempit yang kini dipenuhi oleh kehadiran Arka.

Lampu mobil lain melintas, menyapu interior dengan kilatan terang sesaat. Sasha refleks menjauh, tubuhnya tersentak seolah baru tersadar betapa dekatnya jarak mereka barusan. Napasnya masih tersengal, dadanya naik turun cepat seperti habis maraton. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang memanas.

Seorang staf hotel melintas di area parkir, sempat melirik ke arah mereka dengan tatapan penuh tanda tanya. Rasa bersalah langsung menghantam jiwa Sasha, hingga wanita itu tertunduk. 

“Sekarang udah larut. Biar aku anterin kamu pulang,” ujar Arka. 

Sasha menggigit bibir, ingin menolak tapi kakinya terasa lemas untuk berjalan sendirian di gelapnya malam. Foto-foto itu, berefek dahsyat pada tubuhnya. “Iya, maaf kalau aku merepotkanmu,” ucap Sasha lirih.

Arka menoleh sekilas, menatapnya dan tersenyum lembut. “Nggak, Sha. Kamu sama sekali nggak ngerepotin aku.”

Arka memutar kunci, mesin mobil menyala, lampu dashboard memantulkan cahaya redup. “Pakai sabuk pengamannya.” 

Sasha meraih sabuk pengaman, namun gerakanya kikuk. Tanpa berkata apapun, Arka mencondongkan tubuh, tangannya meraih sabuk itu dan membantunya mengaitkan ke pengunci. 

Hanya keheningan yang menghiasi perjalanan mereka, malam ini ada beberapa hal yang terjadi dan tentunya menguras energinya. 

“Aku … turun di belokan depan aja. Aku nggak mau Reno, salah paham tentang kita.” 

Arka menoleh sekilas, menatapnya dengan sorot mata getir. 'Wanita ini, sudah disakiti begitu dalam, masih saja memikirkan orang itu,' Arka membatin.

“Oke, kalau itu mau kamu.”

Sasha mengangguk pelan, mobil berhenti tepat di pertigaan arah rumah mereka. “Arka, terima kasih banyak untuk hari ini. Kamu udah bantu aku membuka mataku tentang Mas Reno, dan … terima kasih udah nganterin aku pulang.”

Pria itu tersenyum tipis senyum yang jarang sekali ditampilkan di hadapan banyak orang. Ada sesuatu dalam tatapannya, seolah dia ingin menenangkan hati Sasha. 

Arka membungkuk sedikit, tangannya terulur membantu Sasha membuka kunci pengaman di sisi kursi. 

Sasha hendak berbalik, tangannya sudah menyentuh gagang pintu mobil. Namun sebelum sempat mendorong, suara rendah Arka terdengar begitu dekat di telinganya.

“Besok malam … datanglah ke klinik, aku akan tunjukkin bukti lain. Kali ini … pintunya akan terkunci,” bisik Arka 

Sasha menatap Arka dalam, matanya berusaha menembus lapisan misteri yang seakan sengaja disembunyikan pria itu. Ada sesuatu di balik sorot mata tajam Arka, sesuatu yang tidak ia mengerti. 

'Setelah ini … besok ada kejutan apalagi?' batinnya bergetar.

Arka hanya menautkan senyum samar, senyum yang entah, dia seperti pria misterius penuh dengan teka-teki dan kejutan. 

“Beristirahatlah, Sha,” ucapnya, seolah bisa membaca kebingungan yang sedang berkecamuk di benaknya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   118. KELELAHAN

    “Nggak!Kamu kebangetan, ih!Kenapa nggak berhenti tadi?” keluh Sasha lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh detak hujan yang jatuh di kaca mobil, tubuhnya masih melekat pada Arka, seolah tulangnya belum kembali utuh setelah dua jam terakhir dipaksa menyerah oleh pria itu.Arka terkekeh pelan, suara rendahnya menggetarkan dada Sasha tempat ia bersandar. “Kamu yang minta,” jawabnya santai sambil mengusap punggung Sasha yang masih naik turun menahan napas.“Aku minta cuma sekali,” protes Sasha kecil, pipinya memanas ketika mengingat bagaimana ia sendiri yang akhirnya memohon agar Arka tidak berhenti. “Kamu yang lanjut terus—”“Kamu yang mulai gemeteran dan narik aku lagi,” balas Arka cepat, nada menggoda namun juga manja. Ia menunduk sedikit, menyentuhkan bibirnya pada pelipis Sasha. “Aku cuma ngikutin istri aku.”“Isshhh…!” Sasha mendesis menangg

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   121. KEBAHAGIAN YANG MENGHILANG DENGAN CEPAT

    Serangkaian tes tentang kehamilan Sasha mulai dilakukan dan hasilnya, ia benar-benar positif hamil. Itu jelas membuat Arka yang sejak awal sedikit ragu, tampak terdiam dengan segenap rasa terkejut yang berkecamuk dalam benaknya.“Selamat, Dokter Arka. Istri lo beneran hamil, usia kandungannya tiga minggu. Kondisi tubuhnya cukup stabil, janin juga sehat dan tekanan darahnya bagus. Cuma, tetap jaga pola makan, tidur dan jangan lupa minum vitamin,” ujar Brata, memberikan wejangan pada Arka. Wejangan yang biasanya Arka berikan pada setiap pasien yang datang, kini justru ia dengar sendiri.“Makasih, Brat.”“Sama-sama,” sahut Brata, lantas meninggalkan Arka dan juga Sasha yang masih menikmati momen kebahagiaan keduanya.Arka menggenggam erat tangan Sasha, mengecupnya berkali-kali dan mengucapkan kalimat penuh kebahagiaannya serta rasa syukurnya karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang ayah.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah kasih aku kebahagiaan.” Suara Arka pecah sedikit s

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   117. MENGULANG SEBUAH KISAH

    Arka menahan senyumannya sendiri ketika mendengar permintaan Sasha, terlebih saat melihat wajahnya merah seperti udang rebus.Mobil yang dibawa Arka dengan segera meninggalkan bibir pantai, menuju bukit yang menjadi tempat pertama mereka menyatu dan memiliki hubungan yang jauh hingga sekarang.Disisi lain, setelah bertemu dengan Sasha di sebuah minimarket SPBU, Ratna kembali ke rumahnya dengan perasaan dongkol. Sepanjang perjalanan, tangannya terus menggenggam kemudi terlalu kuat, seolah ingin melampiaskan kekesalan lewat benda pertama yang bisa ia remukkan.Sasha yang biasanya menunduk patuh, selalu sopan, selalu meminta maaf bahkan ketika bukan salahnya, tiba-tiba saja tadi berani melawan.Itu bukan Sasha yang Ratna kenal.Bahkan Ratna bisa melihat jelas kalau ada keberanian di mata Sasha. Keberanian yang tidak pernah ada selama bertahun-tahun Sasha menjadi menantunya. Ada sorot yang tidak lagi memohon, tidak lagi takut, tidak lagi merasa ren

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   116. BUKIT NOSTALGIA

    Perjalanan menuju pantai berlangsung lebih hening daripada sebelumnya. Arka berkendara pelan, sesekali melirik Sasha yang hanya memandang keluar jendela tanpa bersuara. Wajah Sasha sedikit murung, seperti ia sama sekali tidak menikmati apa yang terjadi saat ini.Sasha hanya diam menikmati terpaan angin yang menerbangkan setiap helaian rambutnya. Ia masih tenggelam dalam lamunan, sampai ia tidak menyadari kalau Arka sudah memarkir mobil di titik paling dekat dengan bibir pantai.Arka menghembuskan napas lega.“Akhirnya sampai juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Ia melepas sabuk pengaman dan bersiap turun untuk membuka pintu Sasha.Namun Sasha tetap diam, tanpa ada reaksi apa punsama sekali. Hal itu membuat Arka menoleh ke arahnya.Beberapa kali Arka memanggil Sasha masih saja diam dan tidak bereaksi apa pun.“Sayang, kamu kenapa?”tanya Arka cemas.Sasha masih diam. Dan ketika panggilan ketiga,

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   115. ANAK BUKAN SEGALANYA

    Ratna seketika membeku mendengar ucapan Arka. Ia tidak pernah melihat sisi ini darinya kalimat penuh penekanan dan juga penuh ambisi untuk menghancurkannya.Saat tubuh Ratna membeku, Arka menjauhkan wajahnya dari sisi Ratna, namun masih dengan raut wajah yang sama seperti sebelumnya.“Jangan takut, aku tidak akan mengambilnya sekaligus. Mungkin secara perlahan, sampai kalian memasrahkan semuanya sendiri dengan sukarela,” pungkas Arka, lalu beralih pada Sasha yang masih diam di tempat.“Ayo,kita berangkat, Sayang. Maaf, ya, kamu harus mengalami gangguan dari orang yang nggak waras seperti ini,” ucap Arka, seraya menggandengnya pergi meninggalkan Ratna yang masih mematung.Sasha menggandeng Arka, dan sedikit merebahkan kepalanya di lengan Arka ketika melangkah keluar. Arka mengusap pelan pipinya, dengan hati yang bergemuruh menahan kemarahan.Di luar, udara sore yang mulai dingin menyambut mereka.Arka masih menggen

  • Adik Ipar, Jangan Terlalu Dalam   114. MENGAMBILNYA KEMBALI

    Ratna menyeringai melihat Sasha yang hanya membeku mendengar semua cercaannya. Beruntung, di dalam minimarket itu tidak begitu ramai dan hanya ada mereka berdua, jadi tidak ada satu pun yang bisa mendengarkan percakapan mereka yang tengah berdebat dengan nada yang ditekan.“Kenapa? Nggak terima? Emang, iya, kan? Arka itu nggak ada otaknya karena harus nikahin perempuan kosong macam kamu. Nggak bisa kasih keturunan, nggak bisa kasih kehormatan, kedudukan, apalagi ngasih yang jauh lebih dari itu.”Sasha menghela napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Senyum tipis mulai terbit di bibirnya, sesaat sebelum ia mulai bicara.“Jadi, menurut Anda, Arka itu nggak punya otak karena memilih perempuan kosong yang nggak bisa berbuat apa pun? Nggak bisa hamil dan sebagainya? Begitu?”“Iyalah, jelas,” sahut Ratna cepat, dagunya terangkat tinggi seolah ucapannya adalah kebenaran mutlak. “Arka itu buta karena kamu. Dia cuma dibodohi sama tampang polosmu. Kalau dia pakai sedikit saja otaknya, dia ng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status