Share

Bab 3: Sekedar Mengagumi

Lula adalah adik perempuanku, usianya lebih muda 5 tahun dari usiaku. Selagi kecil ia sering sekali dimanja oleh ayah, semua keinginannya pasti dituruti.

Kebiasaannya yang sering malas-malasan dan berkata kasar terjadi ketika ayah sakit-sakitan dan meninggal dunia. Kami semua terpukul atas kepergian ayah, apalagi ibu, ia menangis seharian. Rupanya setelah ayah pergi Lula masih tak terima, ia selalu menyalahkan ibu kenapa tidak membawa ayah ke rumah sakit, padahal ayah sendiri yang tidak mau dibawa saat itu, mungkin karena kondisi keuangan kami yang sangat kekurangan.

Kebiasaan hangout dengan teman-temannya waktu SMA menjadikan Lula mempunyai gengsi yang cukup tinggi, ia lebih mementingkan perawatan wajah dan pakaiannya dibandingkan dengan kondisi ibu.

Sebulan setelah kepergian ayah, ibu masih dalam keadaan normal dan baik-baik saja. Hingga suatu hari ibu mendapatkan kabar bahwa sebelum ayah meninggal dunia, ia telah menjual sebelah ginjalnya untuk biaya sekolah Lula dan aku saat itu. Kejadian itu rupanya berdampak pada kondisi mental ibu yang mulai memburuk, awalnya ia hanya uring-uringan di rumah, namun kadang ibu berhalusinasi bahwa ayah datang, dan ia berbicara dengannya. Sampai suatu waktu ibu berteriak dan menangis histeris tanpa sebab apapun, dan sejak saat itu, ketika diajak berbicara dua arah sering tidak menyambung.

Melihat kondisi ibu yang seperti itu, mau tak mau aku harus survive dengan kehidupanku. Sebagai seorang kakak aku berjuang juga sebagai tulang punggung untuk menjemput rezeki di luar. Meski belum mendapatkan pekerjaan tetap, aku kadang membantu Tante Maya mencuci pakaian di rumahnya karena ia membuka jasa laundry di rumahnya. 

Tante Maya adalah sepupu ayah, orang tua ayah yang berarti nenekku merupakan adik dari orang tua Tante Maya, sehingga kami masih tergolong keluarga dekat. Tante Maya mempunya suami yang bekerja sebagai sales roti. Mereka mempunyai satu orang anak perempuan yang berusia sekitar 10 tahun, namanya Intan. Ia anak yang baik, ceria, dan cantik. Mungkin keparasan wajah ibunya menurun kepadanya.

Upah dari mencuci pakaian di laundry Tante Maya setiap harinya tidak menentu, jika cucian banyak aku bisa dikasih upah 50 ribu, namun jika cucian sedikit aku kadang hanya dikasih 30 ribu. Cukup untuk makan sehari kami bertiga di rumah, walau dengan menu sederhana.

Karena ingin mendapatkan penghasilan tambahan aku mencoba jualan online, dengan handphone seadanya. Memorynya yang tak banyak, kamera yang tak jernih serta casing yang mulai kusam menjadi satu-satunya handphone yang kumiliki. Awalnya aku mencoba jadi marketer jualan sahabatku, hingga akhirnya aku mencoba menjadi reseller dengan modal 500 ribu, hasil dari tabunganku selama 5 bulan.

"Lula, hari ini aku mau ke bank mengambil uang transferan konsumen kemarin, sekalian mau bikin ATM, tolong jaga Ibu ya, di atas meja ada telur dadar dan mie goreng, kalau Ibu lapar bisa kamu berikan itu," pintaku pagi ini kepada Lula yang baru saja bangun tidur. Ia menguap lebar sambil menggerutu.

"Iya … iya, bawel banget sih."

"Lula, kalau nguap ditutup, nanti ditertawa kan syetan," sahutku.

"Berisik ah … sana pergi ke bank, nanti Lula minta 50 ribu untuk beli skincare, baru Lula jaga Ibu." 

"Iya, nanti habis aku dari bank." 

Aku melirik jam yang terpajang di dinding rumah, jarum pendeknya ke arah angka delapan, aku bergegas pamit ke ibu, kucium tangan dan dahinya yang tampak keriput. Sambil membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Ibu baik-baik ya di rumah, Dinda pergi dulu, nanti Dinda bawakan roti kesukaan Ibu."

Ia bertepuk tangan kegirangan. Lalu sibuk memainkan jari sambil berucap.

"Ayah datang … ayah datang."

Ibu sering sekali akhir-akhir ini berbicara sendiri, seolah sedang bersama ayah. Aku sangat sedih melihat kondisinya seperti ini, namun tak banyak yang bisa kulakukan untuk ibu sekarang. Begitu besar harapanku semoga ibu bisa disembuhkan, dan kembali menjalankan aktivitasnya seperti dahulu, layaknya orang normal pada umumnya.

Setelah berpamitan dengan ibu aku melangkahkan kaki keluar rumah, mengambil sepeda yang sudah menunggu tuannya. Sambil sesekali menengok ke arah jendela kamar Lula yang masih tertutup.

"Andai saja kamu tau rasanya Lula, betapa beratnya perjuangan Ayah dan Ibu dalam menjemput rezeki untuk keluarganya, pastilah hatimu meleleh karena kasih sayang mereka," batinku.

Di tengah perjalanan aku berhenti karena mendengar seseorang memanggil dari arah belakang, aku menoleh dan memalingkan wajah mencari siapa pemilik suara itu.

"Dinda … Dinda!" 

Mata ini terus mencari sumber suara itu, ternyata berasal dari rumah Dimas, aku menghampiri dan menatap ke pintu rumah Dimas, dimana Ibunya Dimas yang berada di sana, berdiri sambil memegang sapu.

"Dinda ayo sini, " panggilnya sambil melambaikan tangan ke arahku.

"Iya Umi, ada apa Umi," jawabku sembari memegang sepeda satu-satunya. 

Sepeda ini adalah hadiah yang diberikan ibu saat aku berhasil mendapatkan peringkat pertama di sekolahku. Kutaksir sekitar 10 tahun yang lalu.

"Umi mau minta tolong, besok ada acara syukuran pernikahan kami yang sudah 25 tahun, jadi Umi mau minta bikinin kue, katanya kamu pandai bikin kue enak"

"Masya Allah Umi, kue brownies coklat atau pandan Umi ?" tanyaku memberikan pilihan.

Di daerah tempatku tinggal bernama desa Harumsari jaraknya lumayan jauh dari kota. Memerlukan transportasi darat sekitar 60 menit, kemudian naik kapal fery untuk menyeberang, karena harus melewati sungai besar untuk sampai ke kota. Namun ada jalan alternatif jika tak ingin melewati sungai namun harus berputar arah lebih jauh sehingga waktu yang diperlukan juga lebih lama sekitar dua jam. Di  desa ini sebagian orang memang mengenalku sebagai pembuat kue brownies yang enak, sehingga kadang jika mendekati lebaran Haji atau Idul Fitri pesanan kue berdatangan. Kadang aku sampai tak tidur karena harus menyelesaikan orderan yang ada.

"Dua-duanya saja Din, nanti besok kamu antar ke rumah ya, ini saya kasih 100 ribu buat DP nya dulu ya, nanti sisanya, biar kamu bisa beli bahannya."

"Iya Umi, insya Allah, besok pagi Dinda antar kuenya, terima kasih banyak Untuk," ucapku dengan senyum mengembang di wajah. Sehingga lesung pipit yang ada di pipi ini terlihat jelas.

"Dinda pamit dulu Umi, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam Dinda, hati-hati," balas Ibunya Dimas.

Kulanjutkan menaiki sepeda dan mengayuh nya, tak sengaja mataku tertuju pada jendela samping rumah Dimas, tampak kulihat samar ia menatap ke arahku dari sudut jendela.

"Ya Allah, melihatnya saja aku sudah deg-degan, semoga Allah memberikan jodoh terbaik buatmu Dimas, perempuan yang bisa menjadi bidadari bumi dan langitmu." 

Setidaknya aku belajar mengagumi seseorang bukan berarti harus memilikinya, melihatnya bahagia saja sudah lebih dari cukup. Aku tak berani memimpikan untuk menjadi istrinya, karena impian itu sangat tinggi, aku takut terjatuh dan tak bisa bangkit. Biarlah hanya aku dan Rabbku saja yang tau tentang hati ini. Aku yakin Allah akan memberikan takdir terbaik dalam kehidupanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status