Share

Cunduk

Pagi yang cerah dengan tiupan angin segar, dihiasi sisa jejak hujan semalam. Jalanan begitu ramai, dipenuhi dengan berbagai angkutan yang memecah keheningan pagi. Sebuah mobil mewah mampu menarik hati. Mobil bewarna gading itu dikendarai seorang supir yang membawa  wanita dan bocah kecil di dalamnya, terparkir rapi di halaman rumah sakit. Wanita yang bertubuh kurus dan berkulit sawo, berbalut kemeja dan rok panjang menggandeng masuk bocah laki-laki menuju rumah sakit Sehati. Keduanya berjalan tenang sembari berbincang dengan tatapan bahagia.

“Bunda, apakah Paman tidak terluka parah? Jika iya, aku tidak ingin masuk untuk melihatnya,” ungkap bocah kecil dengan wajah cemberut.

“Tidak, Soga sayang. Paman tidak terluka, kebakaran kemarin hanya menimbulkan banyak asap yang membuat Paman jatuh pingsan. Kamu tidak perlu hawatir, aku yakin Paman akan merasa senang melihat kedatanganmu,” jelas wanita cantik dengan gaya berpakaian yang terlihat kuno, hingga membuat banyak mata menatap heran ke arahnya.

Tatapan pengunjung membuat Soga merasa risih dan dengan segera melepas genggaman tangan wanita yang ia panggil bunda. Malu, membuat Soga dengan menurunkan posisi topinya hingga menutupi wajah sembari menyembunyikan kedua tangan pada saku celana.

“Apakah kamu yakin? Aku harap Bunda bisa menjelaskan kepada Paman, jika nantinya aku berlari keluar saat melihat luka pada tubuh Paman,” ungkap Soga sembari mengernyitkan dahinya.

Wanita itu hanya tersenyum sembari mengangguk lembut, karena ia tahu sedari kecil Soga sudah memiliki hemopobia. Tidak heran jika saat ini ia merasa enggan untuk menjenguk karena takut melihat luka ataupun darah.

Keduanya melangkah tenang menuju lantai lima, tempat di mana ruang VVIP berada. Suasana terasa hening dengan aroma terapi menyentuh lembut penciuman mereka. Rumah sakit ternama yang kerap dihuni pejabat kaya ini juga memiliki pengawasan yang baik. Terlihat dari pendataan keduanya saat hendak memasuki ruangan, pemeriksaan kesehatan pengunjung lengkap hingga menggunakan krisbow disetiap areanya.

“Apa ini?! Bagaimana bisa orang mati bisa menguasai perusahaan? Apa kalian tidak salah?” ungkap Baswara sembari melempar tumpukan kertas yang ada di tangannya.

Dua orang pria hanya merunduk dengan tatapan kecewa. Sedangkan seorang penjaga hanya bisa berdiri tegak diujung pintu menyaksikan keributan yang ada.

“Pergi dan cari informasi yang benar!” teriak Baswara kembali sembari menujuk ke arah pintu.

Kedua pria itu dengan segera melangkah keluar setelah mengumpulkan berkas yang berserakan. Lalu pergi saat penjaga membukakan pintu untuk mereka.

Langkah Soga terhenti tepat di salah satu kamar, suara ribut berupa amukan membuat keduanya menoleh ke dalam ruangan. Tepat saat pintu terbuka, Baswara dan sang wanita saling bertatapan. Namun, pintu kembali tertutup hingga menghalangi pandangan keduanya.

“Kana! Itu Kana!” ucap Baswara yang tergesa-gesa menuruni ranjang. Membuat selang infus terlepas hingga mengeluarkan darah segar. Namun, Baswara tidak perduli dan terus melangkah mendekati pintu. 

Tetapi Baswara terhalang oleh penjaga yang berusaha keras menahan kepergiannya.

“Lepas! Aku harus keluar untuk melihatnya!” teriak Baswara yang terlihat berusaha keras melepas dekapan si penjaga.

“Maaf, Tuan. Tangan Tuan berdarah,” jelas si penjaga yang terlihat kesulitan menahan kuatnya tenaga Baswara.

Keributan ini terdengar hingga keujung jalan tempat di mana para perawat berada. Dengan segera dua perawat pria berjalan memasuki ruangan, disusul dengan seorang perawat wanita yang berlari sambil membawa jarum suntik di tangannya.

Baswara kian buas, tidak hanya menggunakan kedua tangan, bahkan ia turut menggunakan kaki untuk mendorong pintu ruangan hingga menyebabkan lengkungan pada pintu. Suasana berubah menjadi riuh, banyak orang yang melirik ke arah luar untuk melihat akan apa yang terjadi.

Tetapi, keadaan seketika tenang kala jarum suntik berhasil tertancap di tubuh Baswara. Membuat tubuhnya seketika lemah, hilang kendali, terkulai jatuh, terperosot ke atas lantai. Dengan segera mereka menggotong tubuh gagah Baswara menuju ranjang, membaringkan dan menyelimuti tubuhnya.

“Nyonya, saya ingin melaporkan keadaan Tuan Baswara. Baru saja Tuan memberontak ingin memaksa keluar ruangan. Menyebabkan selang infus terlepas hingga mengeluarkan banyak darah. Namun, saya berhasil menahannya. Saat ini, Tuan sedang terbaring setelah seorang perawat menyuntikkan penenang ke tubuh Tuan,” jelas si penjaga melalui gawainya.

“Apakah ada seseorang yang menemui Baswara sebelumnya?” tanya Nyonya presdir.

“Yah, dua orang pemuda membawakan berkas kepada Tuan Baswara. Membuat Tuan kesal dan melemparkan semua berkas mereka. Namun, berkas itu kembali mereka bawa. Saya tidak mengetahui dengan jelas isi berkas tersebut.”

“Baiklah, saya akan segera tiba. Tolong jaga Baswara dengan baik, jangan sampai ia kabur dari rumah sakit.”

Beberapa petugas kebersihan dengan segera melenyapkan jejak tetesan darah. Merapikan kamar dan menyemprotkan antiseptik di area lantai. Begitu pula si penjaga yang kini kembali merapikan pakaiannya, duduk bersandar di sudut ruangan sambil menatap lelah ke arah Baswara.

Nyonya presdir tiba dengan wajah lelahnya. Memilih duduk di depan ruangan untuk memeriksa pesan yang masuk. Seorang bocah lelaki terlihat berlari dengan napas yang terengah-engah. Kemudian duduk di samping nyonya presdir sambil mengipas tubuh menggunakan topi miliknya. Membuat Nyonya presdir kaget dan menatap bingung ke arahnya.

“Soga, mengapa kamu tiba-tiba berlari?” tanya seorang wanita dengan wajah hawatir.

“Aku melihat pria dipenuhi darah,” jelasnya sembari mengendalikan napas.

“Maafkan kami, karena sudah mengganggu Nyonya,” ungkap si wanita dengan santunnya, diikuti kepala yang merunduk.

“Tidak mengapa, apakah dia putramu?” tanya Nyonya presdir dengan tatapan ragu.

Wanita itu terdiam, namun dengan segera Soga menjawab tegas, “ya, dia bundaku.”

“Berapa usiamu, Nak?” tanya Nyonya kembali, diikuti senyuman lebar. Sepertinya ia memiliki pemandangan lain akan keberadaan Soga dan bundanya.

“Sebelas tahun, namaku Soga dan ini bundaku, Kanagara,” ungkap Soga yang kini berdiri dan setengah merunduk sembari memperkenalkan diri.

“Kamu pemuda yang cerdas. Senang berkenalan denganmu, Nak,” balas nyonya presdir sembari menjabat tangan Soga. 

Soga dan Kana pergi, setelah meningucapkan selamat tinggal kepada nyonya presdir. Keduanya melangkah beriringan, sambil berbincang hangat. Pemandangan indah yang berhasil membawa ingatan nyonya presdir akan dirinya di masa lalu. Namun, sayangnya ia tidak bisa hidup tenang seperti mereka berdua. Ada banyak aturan dan pengawal yang membuat keduanya tidak bisa bergerak lepas. Menjadi kaku, tidak seperti berbicara kepada ibu.

“Aku harap bisa memiliki menantu seperti dirinya, hebat dan santun. Memiliki cucu yang tampan dan pemberani pula. Semoga Baswara bisa segera menemukan pasangan hidupnya,” gumam nyonya presdir yang kemudian melangkah masuk menuju ruangan.

Baswara masih terlelap di atas ranjang. Tangannya tidak lagi terpasang selang infus. Hanya ada tempelan kasa dan perban di bagian punggung tangan. Wajah tampan nan rupawan itu kini terlihat sayu dengan kulit yang memucat.

Dering ponsel berbunyi, dengan segera nyonya presdir menerima panggilan masuk.

“Bagaimana keadaannya, Sam? Sebaiknya kamu bawa saja Alea ke apartemen. Minta seorang perawat mengawasinya di sana. Jangan sampai ada yang tahu.”

Tanpa sadar Baswara telah terbangun dengan keributan yang ada. Ia mendengar jelas semua pembicaraan ibunya bersama Sam. 

“Alea diirawat, di apartemen, Jangan ada yang tahu, Apa lagi ini? jangan bilang  kalau Alea yang dimaksud ..,” tanya Baswara di dalam hati. Ia kembali berpura-pura tidur untuk menghindari nasehat sang ibu akan tindakan brutalnya yang baru saja ia perbuat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status