"Siera kamu sudah coba bolu kukus buatan Farah, belum?" Ana membawa piring kecil di tangan, berjalan menuju dapur yang dihuni Siera.
Saat melihat sosok menantunya di depan wastafel, wanita itu mendesah. "Nak, kamu tidak perlu mencuci piring. Ada Bu Ratna yang bisa melakukan itu." Ia menghampiri, tersenyum teduh pada gadis dengan gaun biru lembut selutut itu.
Hari ini, karena Dean menolak mengadakan acara syukuran besar-besaran, keluarga mereka hanya menggelar acara kumpul dan makan siang bersama di hari Minggu ini.
Ana terpaksa menurut saja, sebab tak ingin menantunya ikut-ikutan kesulitan karena harus membujuk Dean yang keras kepala.
Hari ini berjalan dengan baik. Seperti dugaan Ana, semua kerabat yang diundang menyukai Siera, bahkan di pertemuan pertama.
Ana paham mengapa itu terjadi. Siera memang tipe gadis yang manis, bahkan untuk orang asing yang baru melihatnya. Aura gadis itu sederhana dan mudah didekati.
"Ini bekas aku, Ma." Siera melirik cangung pada mertuanya. Sedikit malu akan sebutan baru yang Ana suruh gunakan mulai hari ini. Mama.
"Kamu ini, ada saja alasannya." Ana mengangkat satu buah bolu kukus warna hijau yang ia bawa. Membawanya ke depan Siera, lantas meminta perempuan itu membuka mulut.
Dengan senang hati Siera menerima suapan itu. Mengunyah makanan kecil tersebut, rasa manis menjalar sampai ke hati.
Hari ini Siera sangat bahagia. Pikirnya, keluarga besar Dean, bahkan Ana dan Mike akan bersikap tidak baik. Mereka asing, pendekatan belum sempat, sudah pasti akan canggung dan berjarak. Namun, itu salah.
Ana dan Mike memperlakukannya kelewat baik. Siera jadi besar kepala sebab tadi saat makan, Mike dengan senang hati menaruh daging ikan yang sudah dibuang tulangya ke priring untuk bisa Siera nikmati.
Bukan hanya Ana dan MIke, sepupu, paman dan bibi Dean juga bersikap sangat ramah padanya. Siera jadi heran, dari mana Dean mendapat ekspresi tak ramah yang acap kali pria itu tunjukkan.
"Enak?" Si mertua menatap penuh minat.
Siera mengangguk dengan mata berembun. Hatinya hangat, seolah saat ini sedang menyaksikan Atla dan bukannya Ana. Gadis itu merasa ibunya ada bersamannya dalam bentuk ibunya Dean.
Haru, Siera menghambur ke pelukan Ana. "Makasih banyak, Ma. Aku ngerasa yang menyuapi tadi adalah ibuku."
Ana membalas pelukan itu. Pelan, ia usap punggung Siera dengan tangan yang bebas. Bisa ia rasakan ketulusan dari kalimat yang barusan didengar.
Kedatangan Siera memang mendadak. Mereka belum terlalu dekat, tetapi Ana punya firasat. Siera adalah pilihan yang tepat untuk bisa mendampingi Dean.
Poin pertama yang paling Ana suka dari Siera adalah, aura di sekitar gadis itu. Sederhana dan manis. Kedua, kesimpulan yang Ana ambil setelah mendengar Siera bercerita tentang mendiang ayah dan ibu.
Siera amat mencintai ayah dan ibunya. Kesimpulan itu Ana milki setelah melihat gadis itu berurai air mata hanya karena mengenang orang tuanya. Karena itulah, ia semakin yakin bahwa Siera adalah menantu yang selama ini ia inginkan. Bukannya perempuan bernama Nara yang selalu putranya bela.
"Sama-sama, Sayang. Mama tidak keberatan kamu anggap seperti ibu sendiri," balas Ana.
"Bener, Ma?" Siera menarik tangan dari pinggang Ana. "Berarti Mama enggak marah, 'kan?"
Menyudahi pelukan, Ana menaikkan satu alis pada menantunya. "Marah karena?"
Siera mengangkat kedua tangan yang masih berbusa. "Aku belum cuci tangan dan udah meluk Mama. Bajunya Mama kotor. Enggak akan dimarahi, 'kan?"
Sempat terdiam karena terkejut, Ana mengalunkan suara tawa. Ia memukul lengan Siera pelan. "Mama kira apa."
"Aku cucikan bajunya," balas Siera sembari kembali memeluk si ibu mertua.
***"Tadi bicara apa saja dengan Ibu?" Pertanyaan itu Dean suarakan saat ia dan Siera dalam perjalan pulang. Memegangi kemudi, pria itu menoleh sebentar pada gadis di kursi sebelah.
"Banyak." Siera menyandarkan kepala ke kaca mobil. Sudah pukul sepuluh, kantuk mulai datang. Diperparah oleh perut yang sudah terisi penuh. Perempuan itu memejam, memanfaatkan waktu untuk tidur sesaat.
"Salah satunya?"
Jelas Dean penasaran. Seharian ini istrinya itu terus berada di sekitar Ana atau Mike. Ada saja yang mereka bicarakan. Terkadang tertawa, mengobrol serius bahkan Dean sempat memergoki ibunya memeluk Siera di dapur.
Pria ini bingung mengapa dalam waktu singkat ayah dan ibunya bisa sangat dekat dengan Siera, sementara dengan Nara tidak.
"Mama tanya soal malam pertama."
Rahang Dean tampak kaku. Ia dan Siera belum membicarakan cerita yang harus diceritakan pada orang tua soal ranah yang satu itu. "Kamu jawab apa?"
"Aku bilang enggak ada malam pertama." Suara Siera semakin pelan, perempuan itu mulai pulas.
Dean menginjak pedal rem, menepi dari jalanan. Ia menajamkan pandangan pada Siera. "Kenapa kamu menjawab begitu?"
Mobil terasa tidak berjalan, Siera membuka mata. "Lantas aku harus jawab apa?"
"Ya, kamu bisa mengarang. Ibu saya pasti sudah curiga bahwa pernikahan ini hanya pura-pura." Lelaki itu menggigit bibir, memegang erat kemudi. Otaknya sedang menyusun ulang rencana, mencari solusi atas kejadian ini. Secepatnya celah itu harus ditutupi.
Melihat wajah tegang Dean, Siera tertawa dengan mata kembali tertutup. "Tenang aja, Pak. Mama enggak akan curiga."
"Kamu tidak tahu apa-apa soal ibu saya. Dia punya insting yang ku--"
"Datang bulan." Siera menyela, memperbaiki posisi punggung agar lebih nyaman.
"Apa?"
"Aku mengaku lagi datang bulan, karenanya kita belum punya malam pertama." Kekehan mengejek muncul di ujung kalimatnya. Siera senang sudah bisa mengerjai Dean, meski tak disengaja.
Seketika Dean mengatupkan bibir. Lelaki itu melempar pandang ke luar jendela di sampingnya. Diam-diam menghela napas lega.
"Udah tenang, 'kan, Pak. Udah, yok, jalan lagi. Biar cepat sampai. Aku udah ngantuk."
Dean menoleh pada Siera. Tangannya bergerak untuk mengatur letak sandaran kursi agar Siera nyaman.
"Kenapa enggak dari tadi begini?" Siera melipat tangan di depan dada. Punggung dan pinggang sudah lebih nyaman sekarang. Matanya semakin rapat tertutup.
Dean membuka jas yang dikenakan, kemudian menyampirkannya di depan tubuh si gadis. Sudah akan menyentuh kepala Siera, ia tersadar, lalu segera kembali ke kursi kemudi.
Apa itu tadi? Dirinya ingin melakukan apa?
"Makasih, Pak Dean."
Mobil sudah kembali melaju, Dean menoleh ke arah Siera. "Itu bukan apa-apa."
"Berkat orang tua Bapak, aku bisa kembali merasakan enaknya punya ayah dan ibu. Terima kasih banyak."
Si lelaki tertegun. Pikirnya Siera mengucapkan terima kasih karena sudah diaturkan posisi kursi dan diizinkan menggunakan jasnya. Ternyata bukan itu.
Pria itu teringat saat Siera bercerita perihal Hari dan Atla, orang tua si gadis yang sudah meninggal.
Kembali fokus ke jalan di depan, hati Dean diserang rasa bersalah. Tak seharusnya ia memperlakukan Siera sejahat yang sudah diperbuat.
Dean yang sudah sangat mengantuk dan hampir lelap berbalik untuk menatap Siera. Istrinya itu terus bergerak gelisah sejak setengah jam tadi. Mengubah posisi tidur terus-terusan, sesekali memukuli bantal.Apa sedang cari perhatian?"Kenapa, Siera? Enggak bisa tidur?" Dean menumpu kepala dengan tangan.Yang ditanya mengangguk. Matanya mengerjap cepat, seolah sedang membujuk."Kenapa? Lapar?" Dean menebak.Si istri menggeleng."Sakit perut?" Dean membawa tubuhnya duduk bersila."Pengin makan sesuatu, Paksu."Diam-diam Dean menelan ludah hati-hati. Kalimat itu adalah sesuatu yang sejak seminggu lalu ia takutkan. Akhirnya muncul juga."Apa?" Alis Dean mengait tak ramah."Belimbing."Matanya melebar, Dean kemudian mengusap wajah. Pria itu menggaruk rambut. Sampai sekarang, mereka belum juga memeriksakan keadaan Siera. Belum berani. Namun, dari ting
Mengendarai motor tak tentu arah selama berjam-jam, Dean akhirnya memilih mendatangi rumah Mike. Itu sekitar pukul dua belas malam, kedatangannya disambut raut heran sang ayah."Ayah tidur aja. Aku cuma mau numpang sampai besok pagi."Mike mengabaikan usiran halus itu. Ia duduk di samping sang putra. "Bertengkar dengan Siera? Tumben sampai minggat." Lelaki tua itu berusaha bercanda. Namun, Dean hanya merespon dengan senyum yang dipaksakan.Bungkam selama beberapa menit, Dean membuka bibir. "Aku takut, Ayah. Aku takut anak-anakku nanti akan menerima akibat dari perbuatanku dulu."Misal Siera melahirkan anak laki-laki. Bagaimana jika Dean tidak becus mendidiknya? Dirinya saja yang mendapat didikan benar dari Mike, sempat melenceng. Konon anaknya nanti. Dean pesimis dirinya sudah layak menjadi seorang ayah."Kalau dia perempuan, gimana, Ayah? Gimana kalau dia ketemu laki-laki yang kayak aku? Gimana kalau dia disakiti sama
"Mau beli apa, Nak? Mau jajan apa?"Siera mengulum senyum saat mendapati dua orang pelanggan datang ke warungnya. Hari ini giliran Siera yang berjaga, Dean sedang mengurus keperluan pembukaan warung makan mereka yang akan digelar minggu depan.Setahun menggeluti usaha warung kelontong, Dean berhasil mengumpulkan modal untuk membuka warung makan. Pria itu memang gigih dan berbakat dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ekonomi mereka berangsur makin stabil, semua baik, kecuali satu."Susu formulanya satu, ya, Buk. Yang biasa." Pelanggan tadi meminta dengan sopan pada Siera.Siera mengambilkan barang itu. Matanya kembali memandangi gadis kecil yang pelanggannya tadi gendong. Mereka ayah dan anak yang memang biasa belanja. Setiap sore begini, si ayah yang pulang bekerja akan membawa anaknya membeli jajan ke warung Siera ini.Kebersamaan ayah dan anak itu membuat hati Siera senang, sekaligus sedih tiap kali melihatnya.
Suasana kamar sore itu semakin hangat. Siera merasa dirinya terbakar oleh tiap sentuhan dan kecupan Dean. Pria itu memang selalu andal membuatnya terbang.Terbaring di atas ranjang mereka, Siera mendongakkan wajah kala sapuan telapak tangan Dean mampir di paha. Laki-laki itu membuatnya terbuka dan siap untuk berkelana ke nirwana.Saat Siera merasa jarak mereka sudah sangat dekat, tiba-tiba saja Dean bangkit dari atas tubuhnya. Pria itu menarik laci, mengambil sebuah benda dari sana. Dalam usahanya mengatur napas yang terengah, Siera melihat pria itu memakai pengaman.Seminggu sejak mereka menikah, Dean mulai melakukan ini. Pria itu melapisi dirinya dengan benda karet itu. Saat ditanya kenapa, jawabannya membuat Siera sedih."Kamu udah periksa ke dokter, 'kan, Paksu? Kamu sehat, untungnya. Kenapa pakai itu?"Tanya itu Siera berani suarakan di pergumulan mereka yang kesepuluh. Dean langsung memasang wajah sedih kala itu.
Siera yang baru saja pulang dari rumah Mike memutuskan turun di warung milik Dean, alih-alih langsung ke rumah. Perempuan itu khawatir suaminya lelah melayani pembeli sejak pagi hingga sore, dan akan menawarkan bantuan. Dean bisa pulang dan dia yang menjaga warung.Sebulan pernikahan, Siera benar-benar bahagia. Dean makin hari semakin perhatian. Pria itu mulai mengabaikan sedikit gengsi dan sudah lebih sering menunjukkan rasa peduli.Satu contohnya, Dean sudah tak perlu diingatkan untuk menghubungi Mike atau menjenguk ayah mereka itu. Dean bahkan pernah tanpa sepengetahuannya membelikan si ayah mertua sepatu.Tiba di warung kecil mereka, Siera melempar senyum pada si pria berkaus abu-abu. Rasanya sedikit aneh. Biasanya, saat bekerja, Dean akan mengenakan kemeja dan celana kain fromal. Tidak sesantai sekarang. Hanya kaus dan celana pendek. Namun, tetap saja ketampanan suaminya itu tak berkurang."Capek, Paksu? Mau gantian?" Siera me
"Aku udah jual rumah ini. Uangnya udah habis."Dean menanti, mengamati dengan cermat raut wajah istrinya. Awalnya perempuan itu terkejut, kemudian meringis kesal. Siera melempar diri ke sofa, berulang kali menarik dan membuang napas."Kamu enggak mau tanya kenapa aku jual rumahnya dan ke mana uangnya?"Perempuan itu menoleh. Satu tangannya terangkat. "Bentar. Aku napas dulu. Siap-siap dulu," ujarnya dengan dahi berkerut.Di tempatnya berdiri, Dean mengulum senyum. Hah, dia menyesal setengah mati. Kenapa tidak dari dulu memilih perempuan itu sebagai teman hidup? Walau ditempatkan di situasi yang buruk, Siera tetap berusaha tenang. Garis bawahi, berusaha. Bukan Dean tidak tahu jika sekarang emosi istrinya sedang mendidih.Siera memilih mendinginkan kepala dulu, mengambil waktu untuk bersiap, padahal jika langsung mengamuk pun, itu sangat wajar. Kenapa dulu Dean malah terjebak dengan seseorang yang sesuka hati melam
"Apa, sih, gunanya hape?"Siera melempar ponselnya ke atas sofa, setelah panggilan yang ditujukan pada Dean kembali tidak dijawab. Duduk di samping gawainya, si perempuan bersedekap dengan wajah ditekuk. Melirik sebentar ke arah pintu, lalu mengerutkan dahi.Sekarang sudah pukul sembilan malam. Dean belum pulang dan mengabaikan semua panggilan dan pesan Siera. Membuat si istri cemas, tetapi juga kesal.Ke mana Dean pergi? Mencari kerja seperti yang tadi pagi ia suruh? Yang benar saja! Sampai jam segini? Siera curiga Dean malah sedang berduaan dengan Intan di suatu tempat.Membuang napas kasar, Siera mengusap dada. Harus konsisten dan tanggung jawab atas pilihan. Kalau pun misal Dean memang sedang bersama Intan maka Siera akan ....Siera akan menjambak dan memukul Dean. Sungguh, bila benar suaminya itu kembali mengulang kesalahan seperti saat bersama Nara, maka Siera tak akan bersikap lembut lagi.Tak lama,
Setelah pernikahan, lalu apa?Ya bermesraan. Saling mengungkapkan cinta dengan cara yang lebih intim. Mungkin jalan-jalan ke tempat baru, menghabiskan hari dengan bekencan dan sebagainya yang menyenangkan.Atau, di rumah saja. Seharian di kasur, membicarakan dan merancang masa depan. Mungkin mendiskusikan soal jumlah anak dan nama mereka. Namun, itu tidak berlaku untuk Siera. Sebab setelah resmi menjadi istri Dean lagi, perempuan itu malah didiamkan.Selepas acara sederhana dengan keluarga, mereka pulang ke rumah Dean yang lama. Makan, mandi, lalu istirahat, karena lelah. Setelahnya? Hanya saling bertatapan beberapa kali lalu diam.Jika alasannya lelah, Siera bisa paham. Namun, yang Dean tunjukkan ini bukan sikap pengantin pria yang kelelahan sehabis acara pernikahan dan tidak berselera melakukan apa pun. Pria itu memang sengaja membuat jarak. Menjauh darinya, sejauh mungkin.Bayangkan. Semalam, Dean menaruh guling di
Dean dengan sengaja merebahkan tubuh di sofa. Pria itu memejam dengan satu satu lengan di dahi. Bersikap selayaknya tak mendengarkan ocehan perempuan di sana.Tidak sendiri di ruang tamu rumah Mike, sekarang pukul sepuluh. Sang ayah sudah istirahat, Bu Ratna juga, tersisa ia dan Siera. Dan lagi, Siera sedang membicarakan ajakan menikah. Seolah tak lelah dan bosan."Kamu tidur, Dean? Kamu enggak dengerin aku?"Tidak dengar apanya? Seminggu lebih menelan semua bujuk rayu Siera, Dean mampu jika disuruh mengulang, walau tanpa teks. Hapal. Dean sudah hapal."Ayo nikah lagi. Kamu enggak kasihan sama aku? Aku ini mantan istri kamu, yang jatuh cinta sama kamu, dan sekarang ngemis untuk dinikahi. Enggak kasihan? Enggak mau? Udah ada pacar baru kamu?"Masih mempertahankan posisi berbaring, si lelaki tidak menjawab. Sampai sekarang, benar ia belum bisa memutuskan apakah harus memulai lagi hubungan dengan Siera atau tidak. Walau s