“Kenapa gak diangkat, ya? Apa dia lagi sibuk?” gumam Ayas. Ia mengenal Manager HRD yang sedang dihubungi.
Sehingga Ayas bisa menghubungi ponselnya secara langsung. Sebab mereka bekerja di satu lantai.
Setelah beberapa kali Ayas berusaha menghubungi HRD. Akhirnya telepon itu dijawab.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Ayas.
“Pagi Mbak Ayas, ada apa?” sahut HRD di seberang telepon.
“Begini, saya mohon izin karena sedang kurang sehat,” jawab Ayas.
“Oh iya, Mbak. Kalau memang kurang sehat, istirahat saja dulu! Jangan dipaksakan,” sahut HRD.
“Terima kasih, Pak. Tapi saya ingin bertanya satu hal.”
“Apa itu?”
“Kalau saya mau mengajukan resign, apa bisa langsung mengajukan sekarang?” tanya Ayas.
“Lho, kenapa mau resign, Mbak?”
“Gak apa-apa, Pak. Saya lagi mau istirahat aja. Kalau diizinkan, saya ingin resign secara baik-baik dari kantor,” jelas Ayas.
“Hem … bisa saja, sih. Tapi prosedurnya setelah mengajukan itu Mbak Ayas masih harus bekerja dulu sampai kami mendapat penggantinya,” jelas HRD.
Ayas merasa kecewa karena tidak sesuai harapan. Padahal hatinya sudah tidak nyaman jika harus kembali ke kantor itu lagi. Seandainya bisa, bahkan ia tidak ingin menginjakkan kaki lagi di sana.
“Maksimal berapa lama ya, Pak?” tanya Ayas, lemas.
“Normalnya sih satu bulan ya, Mbak. Jika Mbak Ayas mengikuti prosedur, maka kami akan memberikan uang pesangon dan surat keterangan pengalaman bekerja. Jika tidak, maka Mbak Ayas dianggap mengundurkan diri secara tidak terhormat,” jelas HRD.
Ayas tercenung. ‘Satu bulan? Apa aku sanggup berada di kantor itu selama satu bulan? Bagaimana jika aku bertemu dengan iblis itu lagi?’ pikirnya.
“Apa ada yang ingin ditanyakan lagi, Mbak?” tanya HRD paruh baya itu.
“Tidak, Pak. Terima kasih banyak atas infonya, ya?” sahut Ayas. Ia pun memutus sambungan teleponnya.
Ayas kembali tercenung. Ia mempertimbangkan apa yang harus dilakukan. Jika mengikuti prosedur, ia khawatir akan bertemu dengan pria itu meski tidak sengaja.
Namun, jika langsung keluar begitu saja, ia tidak akan mendapat surat keterangan pengalaman kerja yang sangat dibutuhkan untuk melamar pekerjaan di tempat lain. Saat ini pun mobil Ayas masih ada di basement kantor. Ia belum berniat untuk mengambilnya.
“Satu bulan itu lama banget ya ampun … apa gak bisa satu minggu aja?” gumam Ayas. Ia merasa itu sangat berat.
Di tempat lain, HRD sedang menghadap Tira yang baru saja tiba di ruangannya. Ia memanfaatkan momen ini agar bisa lebih dekat dengan Tira.
“Bagaimana?” tanya Tira yang sedang duduk di kursi kerjanya. Matanya tetap fokus membaca berkas yang ada di tangannya.
“Dugaan Tuan memang benar. Barusan Mbak Laras menghubungi saya untuk mengajukan pengunduran diri,” ujar HRD.
Tira menyeringai. Ia sedikit lega karena sudah mengantisipasi hal itu. Sebelum Ayas berhasil menghubungi HRD, Tira sudah meneleponnya lebih dulu dan meminta HRD untuk mempersulit jika Ayas ingin mengundurkan diri.
“Lalu apa dia tetap mengundurkan diri?” tanya Tira.
“Untuk sementara beliau belum memberi keputusan. Mungkin besok atau nanti jika Mbak Ayas sudah kembali bekerja, Tuan,” jelas HRD.
“Oke, tolong laporkan apa pun yang menyangkut dirinya. Jangan sampai ada yang terlewat!” pinta Tira.
“Baik, kalau begitu saya permisi dulu.” HRD pun meninggalkan ruangan Tira. Ia tidak ingin tahu ada hubungan apa antara Tira dan Ayas. Yang terpenting baginya adalah ia bisa mencuri simpatik Tira dengan mengikuti semua perintahnya.
Saat HRD meninggalkan ruangannya, Tira menaruh berkas itu. Kemudian ia memutar kursi menghadap ke jendela raksaasa yang ada di sampingnya.
“Kamu terlalu mudah untuk aku tebak. Silakan saja jika kamu mau berusaha lari dari aku. Tapi aku pastikan kamu tidak akan bisa lolos,” gumam Tira dengan angkuhnya.
Ia sangat yakin Ayas tidak akan lolos dari genggamannya. Untuk sementara Tira bisa bersantai sambil memantau pergerakan Ayas. Ia bahkan sudah menyiapkan beberapa orang untuk mengawasi Ayas. Termasuk menjaga rumahnya.
***
Hari ini Ayas datang ke kantor untuk menyerahkan pengajuan resign. Namun ia tetap harus bekerja agar bisa mendapatkan surat keterangan pengalaman kerja.
“Oke, satu bulan. Aku pasti bisa. Anggap saja ini persiapan aku untuk pergi dari kota ini,” gumam Ayas. Ia harus menyiapkan banyak hal agar bisa pergi dari kota itu.
Ayas bahkan ingin menjual mobilnya untuk ia jadikan modal. Saat ini ia belum yakin akan pergi ke kota mana. Namun, tekadnya sudah bulat ingin meninggalkan kota tersebut.
Apalagi jika sampai dirinya mengandung. Meski tidak mengharapkan hal itu, tetapi Ayas sudah memutuskan untuk mengurus anaknya sendiri apabila hal itu sampai terjadi.
Ayas datang ke kantor dengan mengenakan masker. Meski orang lain tidak mengetahui masalah yang ia alami. Namun Ayas merasa malu. Ia pun takut tiba-tiba berpapasan dengan Tira dan itu pasti akan membuat mentalnya semakin down.
Saat tiba di dekat lobby, Ayas melihat mobil Tira berhenti di sana. Ia pun segera melipir dan bersembunyi di balik pilar. Sayangnya Tira yang sudah terlanjur terpesona olehnya itu sangat mengenali Ayas meski hanya melihatnya dari belakang. Ia ingat bagaimana bentuk kaki, punggung dan rambut Ayas.
Ketika turun dari mobil, Tira menoleh ke arah Ayas. “Apa aku sangat menakutkan sampai dia bersembunyi seperti itu?” gumam Tira sambil menyeringai.
Ia merasa Ayas sangat menggemaskan karena berusaha bersembunyi darinya. Tira yang sadar Ayas sedang berusaha menghindar pun tidak ingin mengusiknya untuk sementara waktu. Sambil menunggu laporan Panji mengenai wanita selingkuhan Ady.
Tira masuk ke lobby dan naik ke eskalator yang ada di depan pintu lobby. Kemudian, ia menoleh ke arah Ayas yang sedang bersembunyi di balik pilar. Hingga tatapan mereka bertemu.
Deg!
Ayas langsung memalingkan wajahnya. Ia terkejut kala Tira menatapnya. Rasanya ia ingin menangis. Melihat Tira membuatnya teringat akan malam yang menyakitkan itu.
“Kamu terlalu naif,” gumam Tira. Ia merasa Ayas sangat bodoh karena berusaha keras menghindarinya. Padahal sudah jelas kuasanya cukup besar. Sehingga Ayas tidak mungkin lolos dari pandangannya. Itulah yang ia yakini hingga saat ini.
Setelah beberapa saat, Ayas masuk ke gedung dan menuju ruangan HRD untuk memberikan surat resignnya.
Tuk, tuk, tuk!
Ayas mengetuk pintu ruang manager HRD.
“Masuk!” sahut HRD dari dalam.
Cklek!
Ayas membuka pintunya. “Permisi, Pak,” ucapnya.
“Oh, silakan masuk, Mbak!” jawab HRD ramah. Ia tahu Tira sedang memperhatikan Ayas. Sehingga HRD itu bersikap ramah terhadap Ayas.
Ayas pun masuk dan duduk di hadapan HRD.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya HRD lagi.
“Ini, saya ingin menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Ayas sambil menyerahkan surat tersebut.
“Jadi Mbak Laras sudah yakin ingin mengundurkan diri dari sini? Sayang sekali, ya. Padahal kinerja Mbak Laras cukup baik dan saya yakin gaji di sini pun menjanjikan,” ujar HRD. Ia masih berusaha menahan Ayas karena itulah permintaan Tira.
“Iya, Pak. Jujur saya sendiri memang betah kerja di sini. Perusahaan memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Tapi ada hal lain yang membuat saya terpaksa harus mengundurkan diri dari sini,” jelas Ayas.
“Hem … tapi Mbak Ayas tidak langsung pergi, kan?”
“Tidak, Pak. Saya akan tetap menjalankan prosedurnya,” jawab Ayas.
“Baiklah kalau begitu. Jika Mbak Ayas sudah yakin, saya pun tidak bisa memaksanya.” HRD cukup lega karena Ayas sudah memutuskan untuk bertahan sampai bulan depan.
“Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya?”
“Baik, silakan!”
Setelah Ayas pergi dari ruangannya, HRD segera mengabari Tira melalui sambungan intercom (Telepon lokal perusahaan).
“Ternyata dia sangat nekat,” gumam Tira setelah selesai menerima telepon dari HRD. Padahal Tira yakin perusahaannya sangat bergengsi sehingga hampir tidak pernah ada karyawan yang ingin mengundurkan diri dari sana.
Mengetahui hal itu, Tira semakin yakin bahwa Ayas memang menghindarinya. Ia pun memikirkan cara agar bisa mengikat Ayas.
***
Hari ini Ayas pulang tepat waktu. Ia tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di kantor itu. Ia pun berjalan ke basement untuk mengambil mobilnya yang sudah dua hari terparkir di sana.
Sebenarnya Ayas trauma karena terakhir kali ia diculik di tempat itu. Namun, Ayas tidak memiliki pilihan lain. Ia harus mengambil mobilnya. Setelah itu mungkin besok Ayas tidak akan membawa mobil itu lagi ke kantor.
Nit-nit!
Ayas menekan tombol sensor kunci dari kejauhan sambil mendekat ke arah mobil itu. Kemudian Ayas pun masuk dan menyalakan mesin mobil. Namun hal tak terduga terjadi. Tiba-tiba ada seseorang masuk dan langsung duduk di sampingnya.
“Apa kabar?” sapa Tira.
Saat ini Atas sedang di rumah dan ditemani oleh Gita.“Gimana ya, kok belum ada kabar?” gumam Ayas, khawatir.Ayas ingin menghubungi Tira tapi ia khawatir akan menggangu, sedangkan Tira sengaja tidak menghubungi Ayas karena ingin memberi dia kejutan.“Sabar, Yas. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang,” ucap Gita. Ia berusaha menenangkan Ayas.“Semoga aja bener begitu.”Ayas senang di saat seperti ini ada Gita yang menemani, awalnya Yoga juga ada di sana. Tapi ia harus pergi karena ada urusan lain.“Oh, iya. Kamu jadi nikah dengan Mas Yoga?” tanya Ayas, pada Gita. Ia berpikir lebih baik mengobrol dengan Gita daripada terus seperti tadi.“Katanya sih, jadi!” jawab Gita.Ayas mengerutkan kening, “Lho, kok gitu?” tanyanya.“Ya emang begitu, hehehe!” sahut Gita, cengengesan.Ayas berpikir Gita itu seperti tidak niat menikah dengan Yoga, “Kalau kamu gak suka mendingan gak usah, Git!” ucapnya.“Enak aja! Siapa bilang aku gak suka? Oops!” Gita kelepasan.Melihat respon Gita yang seper
Dengan raut wajahnya yang datar Tira menatap James dan Ady, “Kalian berdua memang sepertinya sudah bosan hidup,” ucap Tira.James dan Ady saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tertawa.Hahaha!“Sepertinya kepala kamu habis terbentur benda keras, ya?” ledek Ady.“Atau mungkin orang yang sudah mau mati kelakuannya memang aneh?” timpal James.Hahaha!James dan Ady kembali menertawai Tira yang hanya diam dan tidak membalas.“Maaf ya, kalau kamu ingin menyalahkan seseorang. Salahkan Ayahmu dan orang ini,” ucap James.Ady hanya tertawa karena ia pikir itu memang benar, “Awalnya aku pikir Anda hanya bekerja untukku, tapi ternyata Anda juga bekerja untuk orang lain,” sahut Ady.“Tuan Ady, kita itu hidup harus bisa memanfaatkan semua kesempatan yang ada. Lagipula hal tersebut tidak melanggar kontrak kerja sama kita,” balas James.Awalnya saat Ady tahun kalau James juga bekerja untuk orang lain, ia sempat marah pada James dan menuding James memanfaatkan dirinya.Namun, setelah James memb
“Apa itu, Tuan James?” tanya Ady.James menyeringai, “Mereka sudah datang,” jawab James.“Hah? Mereka? Siapa?”“Tentu saja tamu yang kita undang, mereka datang sesuai dengan rencanaku,” ucap James. Ia merasa bangga karena Tira dan rombongannya telah terjebak.“Tapi Tuan, kalau mereka mati. Rasanya kurang puas,” balas Ady.“Aku yakin dia tidak akan mati semudah itu, tapi kalau memang dia mati. Mau bagaimana lagi, kan?” sahut James.Ady pun berpikir tidak masalah kalau memang Tira mati sebelum berhasil menemukan putranya, bagi Ady itu sudah cukup memuaskan karena telah memberikan Tira balasan yang setimpal.Sementara itu di mobil yang Tiran dan Daren tumpangi.“Suara ledakan apa itu?” tanya Tira.“Baru saja aku menerima laporan, kalau ternyata akses menuju ke tempat James berada sudah dipasangi jebakan. Anak buah James juga lumayan banyak,” sahut Daren.“Jadi, bagaimana caranya kita ke sana?” tanya Tira.Daren menyeringai, “Jangan khawatir, Tuan. Tentara dan Polisi berpihak pada kita, j
Setelah Tira mengantar Ayas pulang, ia langsung pergi menemui Daren di bandara, Daren bergegas menghubungi Tira saat ia menerima tugas.Tidak butuh waktu lama Tira telah sampai di bandara, mobil yang ia tumpangi berhenti di dekat sebuah pesawat jet pribadi.Seorang pria berpakaian serba hitam dengan sebuah kacamata hitam, berdiri di dekat tangga pesawat dan langsung membungkuk saat Tira berjalan ke arahnya.“Tuan, ayo kita selamatkan Putra Anda!” ucap pria itu, yang tidak lain adalah Daren.“Maaf sudah merepotkan, terima kasih karena kamu sudah mau datang dari jauh untuk membantu,” balas Tira.“Tuan dan Nyonya besar sudah sangat berjasa padaku, mana mungkin aku tidak mau membantu.”“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Tira. Bagaimanapun juga Daren adalah kepala pengawal Ayahnya Tira.“Lebih baik kita bergegas, Tuan. Aku khawatir pada Putra Anda,” ucap Daren.Sudah lama tidak bertemu dengan Daren membuat Tira banyak mengajukan pertanyaan, akhirnya Tira dan Daren masuk ke dalam pesawat.Setel
“Sayang, tunggu!” Sontak Tira langsung mengejar Ayas.Tap!Tira meraih tangan Ayas dan menariknya.“Kalau gak ada yang peduli, biar aku sendiri yang nolong Vano!” ucap Ayas, agak berteriak.Tira menghela napas kasar, “Kamu tenang dulu, sayang. Kita serahkan pada Mama, tapi aku juga gak bisa tinggal diam. Aku juga akan ikut mencari Vano,” ucap Tira.Saat itu Atas yang sedang kesal merasa bodoh, “Sebentar, tadi Papi bilang apa?” tanyanya.“Hem, yang mana?” Tira bertanya balik.“Yang tadi, yang Papi bilang serahkan pada Mama. Apa maksud Papi?”“Oh, itu. Jadi sebenarnya Mamah marah karena Vano hilang, dia bilang menjaga anak satu aja gak bisa,” jelas Tira.Ayas tercenung, “Hah? Mamah marah karena itu?” tanyanya.“Iya, jadi kamu cuman salah paham aja. Justru Mamah malah marah sama kita karena kita gak bisa jagain Vano dengan benar.”Mendengar penjelasan Tira, membuat Ayas merasa menjadi seorang Ibu yang buruk. Ia tidak menyangka kalau Ibu mertuanya justru sangat peduli.“Terus aku harus gi
“Tira, sini kamu!” panggil Sisca, dengan mata melotot.“Iya, Mah!” jawab Tira. Ia lalu menghampiri mamahnya.“Laras, kamu tunggu di sini!” ucap Sisca.“I-iya, Mah!” jawab Ayas, kikuk.Sementara Tira di ajak pergi oleh mamahnya, Ayas duduk di sofa seorang diri. Ia masih agak canggung dengan Ibu mertuanya itu, Ayas juga tidak tahu harus berbuat apa saat ini.Tira diajak oleh mamahnya ke sebuah ruangan, “Duduk!” ucap Sisca, dengan sikap yang dingin.“Iya, mah.” Tira pun duduk di sebuah sofa.Sudah lama Tira dan Mamahnya tidak bicara seserius ini, terakhir kali mereka berbicara serius adalah saat Tira memutuskan untuk menikahi Ayas.“Tira, kamu tau kenapa mamah memanggil kamu ke sini?” tanya Sisca, serius.Tira hanya menggeleng dan tidak menjawab.“Kamu ini sudah punya anak, seharusnya kamu tidak lagi mementingkan diri kamu sendiri!” ucap Sisca. Ia memarahi putranya itu.“Jadi mamah memang sudah tahu kalau—“ Belum selesai Tira berbicara, Sisca sudah tampak emosi.Brakk!“Tau kalau Vano di