Panji terkesiap. Ia yakin saat ini Tira sudah 'melakukannya'. Namun bagaimana bisa salah orang. “Baik, Tuan,” jawabnya. Ia tidak berani membantah ataupun berkomentar.
Setelah itu, Tira langsung menutup pintu dan menghampiri Ayas. Kemudian ia duduk di samping Ayas dan mengobati luka di pergelangan tangan wanita itu.
“Maaf jika tadi aku berbuat kasar. Aku terlalu gegabah sampai melakukan kesalahan seperti ini,” gumam Tira. Ia tak tega melihat Ayas tersiksa seperti itu.
Meski dirinya sendiri yang telah menyiksa Ayas. Hatinya ikut perih membayangkan betapa hancurnya perasaan Ayas karena kesuciannya telah direnggut paksa.
Tira bahkan mengecup tangan Ayas sebagai permintaan maafnya. “I’m so sorry … kamu harus jadi milikku,” gumam Tira. Entah mengapa ia begitu yakin bahwa Ayas bukanlah wanita yang merebut Ady dari Putri.
***
Saat sinar matahari menembus jendela kamar itu, Ayas pun terbangun karena merasakan hangatnya sentuhan sinar mentari pagi yang membelai kulitnya.
“Astaga!” Ayas langsung terduduk saat ia ingat apa yang terjadi semalam. Saat Ayas menoleh ke samping, ia melihat Tira masih terlelap memunggunginya. Semalaman pria itu tidak bisa tidur dengan nyenyak karena rasa bersalahnya terhadap Ayas.
Tira mengingat-ingat apa saja yang telah ia lakukan. Ia sangat menyesal atas perbuatan kasarnya yang bahkan sampai menampar wajah mulus gadis itu.
Ayas yang merasakan perih di ujung bibirnya pun langsung meringis dan menyentuh bibirnya. Namun, ternyata Tira sudah membalutnya dengan plester kecil. Ia pun menyadari bahwa pergelangan tangannya sudah diobati.
Kening Ayas mengerut. “Siapa yang melakukannya?” gumam Ayas sambil melihat tangannya itu. Ia tidak yakin Tira melakukan hal seperti itu. Namun, di sana tidak ada orang lain lagi.
“Apa dia tidak waras? Semalam dia menyiksaku seperti iblis. Lalu kenapa dia juga mengobati lukaku?” Ayas tidak habis pikir bagaimana Tira bisa bersikap seperti orang yang memiliki kepribadian ganda.
“Lebih baik aku segera pergi dari tempat terkutuk ini,” ucap Ayas. Ia tidak ingin Tira bangun sebelum dirinya meninggalkan tempat itu. Ayas pun buru-buru turun dari tempat tidur dan memunguti pakaiannya yang semalam dilucuti oleh Tira.
Awalnya Ayas ingin mandi terlebih dahulu. Namun ia takut tidak sempat melarikan diri dari Tira. Hingga akhirnya Ayas memutuskan untuk langsung mengenakan pakaiannya dan kabur dari tempat itu.
Dengan tangan gemetar, Ayas membuka kunci pintu kamar tersebut. “Aku harap tidak pernah bertemu dengan manusia iblis itu lagi,” gumam Ayas sambil menoleh sekilas. Kemudian ia meninggalkan kamar itu.
Rasa takutnya terhadap Tira mengalahkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ayas mengambil ponsel untuk memesan taksi online agar ketika ia tiba di lobby, tidak perlu menunggu lama lagi.
Pagi itu wajah Ayas terlihat pucat. Ia pun tak berani pulang ke rumah orang tuanya. “Aku harus pulang ke mana?” gumam Ayas. Ia melihat begitu banyak panggilan tak terjawab dari orang tuanya. Ayas bingung harus berkata apa jika ia pulang ke rumah. Sebab, saat ini kondisi tubuhnya terluka dan pasti akan dipertanyakan.
“Ah iya, ke apartemen Gita aja, kebetulan deket dari sini,” ucap Ayas. Ia mengetahui lokasi hotel itu dari map taksi online yang akan ia pesan. Setelah memutuskan akan pulang ke tempat Gita, Ayas pun segera memesan taksi online tersebut.
“Semoga gak lama,” harapnnya. Ia khawatir jika terlalu lama menunggu di lobby, Tira atau anak buahnya akan menemukannya. Sebab, Ayas yakin Tira belum puas hanya menyiksanya seperti itu.
Beruntung tak jauh dari hotel itu banyak taksi yang standby. Sehingga ketika Ayas tiba di lobby, taksi pesanannya pun sudah datang. Ayas bergegas masuk seperti orang yang sedang dikejar penjahat.
“Huuh! Akhirnya,” gumam Ayas. Ia baru bisa bernapas lega setelah masuk ke mobil itu.
Sopir taksi tidak menanyakan apa pun. Ia hanya melirik sekilas dari kaca spion tengah. Seorang wanita cantik keluar dari hotel sepagi ini dengan kondisi wajah yang pucat, membuat sopir taksi itu mengira bahwa Ayas adalah wanita panggilan.
Sebenarnya Ayas sangat malu keluar dari hotel sepagi itu. Namun ia tak memiliki pilihan lain. Menunggu sampai siang sama saja menyerahkan diri pada singa yang sedang lapar.
Sepanjang jalan Ayas melamun. Ia masih tidak habis pikir mengapa Tira melakukan hal itu padanya. ‘Apa salahku sampai dia tega menghancurkan masa depanku? Tapi semalam dia mengatakan bahwa aku telah mengusiknya. Pasti dia salah orang, kan?’ batinnya.
Saat ini Ayas menatap kosong ke luar jendela mobil yang ia tumpangi. Air matanya masih terus mengalir karena mengingat masa depannya sudah dirusak oleh Tira. ‘Jika memang salah orang, keterlaluan sekali dia merenggut kesucianku padahal aku yakin bukan aku orang yang dia maksud,’ gumam Ayas dalam hati.
Rasanya Ayas ingin menghajar pria itu. Namun ia sadar bahwa dirinya tidak mungkin menjangkau Tira. Ayas sendiri tidak berniat minta pertanggung jawaban dari Tira. Sebab ia yakin pria itu tidak mungkin mau menikahinya. Terlebih semalam ia terlihat seperti menaruh dendam terhadap Ayas.
Lagi pula, Ayas sudah terlanjur benci pada Tira. Seandainya Tira berniat untuk tanggung jawab pun, ia tidak akan sudi menerimanya. Sebab, Ayas trauma atas perlakuan kasar Tira yang telah memperlakukannya seperti binatang.
‘Tapi bagaimana jika aku hamil? Semalam dia melepaskannya di dalam, kan?’ pikirnya. Saat ini pikiran Ayas sedang kalut. Begitu banyak spekulasi kemungkinan yang akan terjadi. Hal itu membuat Ayas semakin gelisah.
Tiba di apartemen, Ayas langsung menuju kamar Gita. Sebelumnya ia sudah sering bermalam di sana. Sebab apartemen Gita terletak di dekat kantor Ayas. Ia bahkan sudah diberi aksess kode pintu masuk apartemen tersebut karena persahabatannya dengan Gita sudah sangat dekat.
“Mudah-mudahan si Gita udah berangkat ke kantor. Bisa heboh dia kalau lihat kondisi aku kayak gini,” gumam Ayas. Ia sadar kondisinya saat ini sangat tidak layak. Orang terdekatnya pasti dapat menebak bahwa telah terjadi sesuatu terhadapnya.
Dengan gugup, Ayas masuk ke apartemen tersebut. “Good morning,” lirihnya. Ia berharap tidak ada yang menjawab.
“Yess, aman.” Ayas senang karena tidak ada jawaban. Ia pun bisa masuk dengan lega.
Tiba di dalam, Ayas segera menghubungi Gita untuk meminta izin istirahat dan meminjam pakaian Gita. Tak lupa ia pun menghubungi orang tuanya dan mengatakan bahwa semalam dirinya lembur. Sehingga bermalam di apartemen Gita.
Setelah itu, Ayas bergegas membersihkan tubuhnya. Ia sudah merasa jijik pada dirinya sendiri. Ayas ingin menghilangkan jejak pria jahat itu. Namun, ia kesal setiap kali mengingat apa yang ia lakukan semalam.
“Bodoh kamu, Yas! Bisa-bisanya kamu malah menikmati padahal sudah jelas dia sedang memaksamu!” maki Ayas pada dirinya sendiri.
Selesai mandi, Ayas mengenakan pakaian. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di atas sofa. Hari ini Ayas tidak berniat masuk ke kantor. Ia menghubungi bagian HRD untuk Izin dengan alasan sakit.
“Aku harus resign dari kantor itu. Aku tidak ingin bertemu dengan pria iblis itu lagi. Aku pun tidak sudi makan uang dari perusahaannya,” gumam Ayas. Sepertinya ia sudah sangat anti dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Tira.
Ayas pun mengambil ponsel yang sedang ia charge. Ia mencabut kabel casan, kemudian menghubungi HRD tempat ia bekerja untuk konsultasi mengenai masalah resign.
Di tempat lain, Tira baru saja terbangun. Saat membuka matanya, hal pertama yang ingin ia lihat adalah Ayas. Namun sayang, ia tidak dapat menemukan wanita itu.
“Ke mana, dia?” gumam Tira. Ia bergegas turun dari tempat tidur dan mencari Ayas ke kamar mandi.
“Laras, kamu di mana?” panggil Tira. Ia mengingat nama gadis yang telah melewati malam bersama dirinya itu.
Saat berdiri di depan pintu kamar mandi, ia melihat pintunya tidak dikunci. Tira pun langsung membukanya dan Ayas tidak ada di sana. Kemudian Tira mengecek pakaian serta barang Ayas. “Dia pergi? Kenapa dia bisa pergi dari sini? Kenapa dia tidak mengatakan apa pun?”
Seolah tanpa dosa. Tira bingung karena Ayas pergi meninggalkannya begitu saja. Ia pikir Ayas tidak akan melakukan hal itu dan pasti meminta pertanggung jawabannya. “Aku harus segera menghubungi HRD,” gumam Tira. Ia ingin mengantisipasi kemungkinan Ayas mengundurkan diri karena perbuatannya.
“Kenapa gak diangkat, ya? Apa dia lagi sibuk?” gumam Ayas. Ia mengenal Manager HRD yang sedang dihubungi.Sehingga Ayas bisa menghubungi ponselnya secara langsung. Sebab mereka bekerja di satu lantai.Setelah beberapa kali Ayas berusaha menghubungi HRD. Akhirnya telepon itu dijawab.“Selamat pagi, Pak,” sapa Ayas.“Pagi Mbak Ayas, ada apa?” sahut HRD di seberang telepon.“Begini, saya mohon izin karena sedang kurang sehat,” jawab Ayas.“Oh iya, Mbak. Kalau memang kurang sehat, istirahat saja dulu! Jangan dipaksakan,” sahut HRD.“Terima kasih, Pak. Tapi saya ingin bertanya satu hal.”“Apa itu?”“Kalau saya mau mengajukan resign, apa bisa langsung mengajukan sekarang?” tanya Ayas.“Lho, kenapa mau resign, Mbak?”“Gak apa-apa, Pak. Saya lagi mau istirahat aja. Kalau diizinkan, saya ingin resign sec
Ayas sangat familiar dengan suara itu. Suara dari orang yang sangat ia hindari. Ia pun langsung menoleh ke sampingnya.“Mau apa Anda di sini?” tanya Ayas dingin.“Saya akan bertanggung jawab. Mari kita menikah!” ajak Tira to the point.Ayas menyeringai. Ia menganggap itu hanya sebagai lelucon. Ia pun memalingkan wajah karena tidak sudi melihat wajah yang membuatnya trauma itu.“Apa Anda masih belum puas mempermainkan saya? Apa masih kurang, Anda menghancurkan masa depan saya?” tanya Ayas dengan suara bergetar.“Justru itu saya mau bertanggung jawab. Dengan begitu masa depan kamu akan aman,” ujar Tira yakin.Ayas tersenyum getir. “Mungkin bagi orang seperti Anda, semua bisa dilakukan dengan mudah. Menyakiti orang lain, kemudian memberinya uang atau fasilitas untuk menebus dosa. Padahal ada hal yang jauh leb
Ayas tercengang setelah mendengar pernyataan dokter. Sementara hati Tira berdesir. Dengan begitu harapannya untuk menikahi Ayas bisa terwujud.“M-maksud dokter?” tanya Tira gugup.“Nyonya Laras sedang mengandung. Saat ini usia kehamilannya sudah memasuki satu bulan …,” jelas dokter.Dokter pun menjelaskan secara rinci apa saya yang harus dilakukan dan dihindari oleh Ayas. Ia menyarankan agar Ayas segera memeriksakan kandungannya ke SPOg.Tira sangat ingin tersenyum. Namun ia berusaha menahannya demi menjaga image di depan Ayas.“Terima kasih banyak ya, Dok,” sahut Tira. Ia bingung ingin mengatakan apa lagi. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah rencana pernikahannya dengan Ayas. Ia pun berniat untuk segera memberitahu orang tuanya.“Iya, Tuan. Kalau begitu saya permisi dulu,” sahut dokter. Ia pun menin
Medengar ucapan Tira, Ayas pun langsung panik. “Jangan! Saya tidak mau orang tua saya tahu tentang hal ini atau saya bisa dibunuh oleh Ayah saya,” ucap Ayas, gugup. Ia sangat khawtair orang tuanya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya tengah mengandung. “Saya tidak akan mengatakan bahwa kamu sedang hamil. Saya akan mengatakan kita menikah karena cinta,” ucap Tira. Meski ucapannya lembut, tetapi tatapan mata pria itu begitu menakutkan bagi Ayas. Ia ingat betul bagaimana kedua bola mata itu menatapnya dengan tatapan menjijikan kala kesuciannya tengah direnggut waktu itu. Ayas berpikir keras. Sampai kapan pun ia tidak ingin hidup dengan pria menakutkan seperti Tira. Melihat rumahnya yang dijaga ketat saja sudah membuat Ayas takut. Apalagi jika harus tinggal di rumah itu. Ditambah sikap Tira yang berubah-ubah, membuat Ayas semakin yakin untuk menjauhi pria itu. “Oke, saya akan
Ayas terperanjat saat mendengar pintu terbuka. Ia pun langsung menyembunyikan pisau alat yang ia pegang. Jantungnya berdebar hebat. Ia takut Tira kembali ke rumah itu.“Nona sedang apa?” tanya seorang pelayan yang masuk ke kamar itu.Ayas bisa bernapas lega. Setidaknya itu bukan Tira yang datang. Sehingga ia tidak akan mengalami pemaksaan lagi untuk sementara waktu.“Lagi lihat pemandangan aja,” jawab Ayas singkat. Ia malas banyak bicara. Ayas yakin pelayan itu pasti akan melaporkan apa pun pada Tira.“Ini makan siang untuk Nona. Silakan dimakan!” ucap pelayan. Sebenarnya ia mencurigai sesuatu. Namun pelayan itu merasa kasihan pada Ayas. Sehingga ia memilih untuk pura-pura tidak tahu.“Terima kasih. Saya belum lapar,” jawab Ayas. Ia masih belum beralih dari tempatnya berdiri. Sebab Ayas ingin menutupi bagian tralis yang sudah berhas
Ayas terbelalak. Ia sangat takut mereka benar-benar mengecek ke dalam pos. ‘Gimana ini? Aku gak mau kembali ke rumah itu,’ batin Ayas. Ia sangat ketakutan sampai lututnya terasa lemas. “Maaf, Pak. Pos itu termasuk privacy saya. Jadi tidak pantas jika kalian masuk ke sana,” jawab satpam. Mereka pun curiga karena satpam itu berusaha menghalangi mereka. “Kenapa Anda berusaha menghalangi kami? Apa Anda menyembunyikan sesuatu di dalam sana?” tanya pengawal. “Bukan urusan kalian. Lebih baik kalian pergi dari sini!” pinta satpam itu, tegas. “Maaf, kami harus mengeceknya.” Deg! Ayas semakin panik. Kali ini ia sudah tidak dapat menghindar lagi. Pengawal itu pun memaksa masuk ke dalam pos. “Kenapa kalian tidak sopan sekali? Saya punya hak untuk melarang kalian masuk ke pos saya,”
”Bagaimana?” tanya Tira saat sudah tiba di bandara. Ia sengaja mendatangi bandara lebih dulu karena Tira pikir kemungkinan besar Ayas akan naik pesawat menuju ke Bali. Panji hanya menggelengkan kepala. Ia bingung bagaimana cara menjawabnya. Sebab, jawaban apa pun akan salah selama Ayas tidak ditemukan. “Argh! Kenapa mencari satu wanita saja kalian tidak becus?” bentak Tira. Suaranya menggelegar hingga mengalihkan pandangan semua orang. “Maaf, Tuan. Tapi sepertinya Nona Laras tidak datang ke bandara,” ujar Panji, gugup. Tira yang sedang kesal pun terhenyak. “Apa kamu sudah mengirim orang ke stasiun?” tanya Tira lagi. “Sudah, Tuan. Tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda kedatangan Nona Laras di stasiun mana pun,” jawab Panji lagi. Tira pun berpikir keras. Ia bingung bagaimana cara mencari Ayas. “TERMINAL!” Ia baru teringat
Ketika sedang mewawancarai Ayas, HRD mendapat telepon dari asisten Yoga yang bernama Vito.Kring! Kring!“Maaf, tunggu sebentar!” ucap HRD pada Ayas. Ia pun mengangkat telepon yang ada di mejanya.Ayas mempersilakannya, kemudian ia menunggu dengan tenang.Telepon terhubung.“Ya, halo,” sapa HRD.“Halo, Pak. Saya Vito,” jawab Vito di seberang telepon.“Oh iya, Mas Vito. Ada apa?” tanya HRD.“Begini. Pak Yoga minta agar Bapak menerima calon staf yang saat ini sedang diinterview,” ujar Vito.HRD langsung menoleh ke arah Ayas.“Oh, iya Mas,” jawabnya. Dengan melihat penampilan Ayas, ia sudah dapat menebak mengapa Yoga memintanya untuk menerima Ayas.“Baik kalau begitu. Tapi tolong ja