Ayas terkesiap saat menyadari bahwa klien Yoga adalah orang yang ia kenal.
Mendengar nama Ayas disebut dengan panggilan yang asing, Yoga langsung menoleh ke arahnya. “Kamu kenal Pak Fajar?” tanya Yoga.
“Iya, Fajar ini temen kuliah aku,” jawab Ayas. Ia menyebut nama karena mereka memang satu angkatan. Oleh karena itu Fajar pun mengetahui nama panggilan Ayas.
“Oh, pantesan … dunia sempit sekali, ya?” gumam Yoga untuk mencairkan suasana.
“Apa kabar, Yas?” Fajar terlihat antusias bisa bertamu dengan Ayas di Solo.
Akhirnya mereka pun basa basi, kemudian membahas pekerjaan mereka. Selama pembahasan itu Ayas gelisah. Ia khawatir Fajar akan mengatakan keberadaannya di Solo pada rekan yang lain dan Tira akan mengetahui hal itu.
Setelah selesai membahas pekerjaan, Ayas mengajak Fajar untuk berbicara empat mata. &ld
Panji bingung melihat Tira tiba-tiba berbelok dan mengejar seorang wanita. “Laras!” panggil Tira. Ia bahkan berlari kecil demi mengejar wanita yang ia yakini adalah Laras. Padahal selama ini Tira tidak pernah berlari demi menjaga wibawanya. Hingga akhirnya Tira dapat meraih tangan wanita itu dan langsung menarik ke pelukannya. “Kamu ke mana aja? Aku sampai putus asa mencari kamu ke mana-mana,” desis Tira sambil memeluk wanita tadi. “Maaf, Anda siapa?” tanya wanita itu. Deg! Tira menyadari ada yang salah. Suara wanita tersebut jauh berbeda dengan Laras. Ia pun segera melepaskan pelukannya. Benar saja, dia memang bukan Laras. “Maaf, saya salah orang,” ucap Tira, kikuk. Ia pun langsung berbalik dan kembali melanjutkan jalannya. Wanita yang Tira peluk hampir marah. Namun, ketika melihat wajah Tira begitu tampan dan aroma tubuhnya h
Ayas sudah tiba di hotel. Sebelumnya ia sudah melakukan reservasi di hotel tersebut dengan nama lain. Saat turun dari mobil, Ayas mengenakan masker dan kacamata hitam.Ia bahkan mengubah penampilannya agar tak dikenali oleh Tira seandainya mereka tak sengaja bertemu.“Huuh, akhirnya selamat,” gumam Ayas. Ia sangat lega karena berhasil lolos dari Tira. Padahal ia memang tidak bertemu Tira sama sekali. Hanya saja Ayas selalu merasa dikejar oleh pria itu.Saat ini Ayas baru saja tiba di kamarnya. Ketika ia hendak duduk, bel pintu kamarnya berbunyi.Ting-tong!Ayas mengerutkan keningnya. “Apa itu Mamah, ya?” gumam Ayas.Ia sedikit gugup karena jika Sri melihat perutnya yang sudah mulai membesar, pasti akan sangat shock. “Oke, aku sudah siap.” Ia pun melangkah ke arah pintu dan mengintip dari lubang pintu tersebut.Ayas m
Tebakkan Panji benar. Tira terkesiap setelah mendengar ucapan Panji. “Maksud kamu apa?” tanyanya. Ia sedang tidak bisa berpikir dengan jernih.“Kemungkinan Nona Laras ada di hotel tersebut, Tuan,” jawab Panji.Tira pun langsung berdiri. “Maaf, saya ada urusan mendesak. Selebihnya bisa kita atur ulang jadwal untuk membahas hal ini lagi,” ucap Tira. Kemudian ia berlalu.“Kenapa kamu tidak mengatakan sejak tadi?” tanya Tira, kesal.“Maaf, Tuan. Saya pun baru mendapat laporan. Tadi mereka melihat orang tua Nona Laras masuk ke hotel dan ketika mereka keluar dari hotel, kondisi mereka terlihat seperti sedang kesal serta bersedih,” jelas Panji sambil membuntuti Tira.Tira langsung mengehntikan langkahnya. “Jadi, maksud kamu kemungkinan mereka bersedih dan kesal karena mengetahui kehamilan Laras?” tebak Tira.
“Jangan khawtair! Aku sudah menyewa jet pribadi dan data kamu akan aman,” ujar Yoga.Ayas ternganga mendengar jawaban Yoga. “Serius, Mas? Ngapain Mas buang-buang uang kayak gitu, sih?” Ayas tahu berapa biaya untuk menyewa pesawat jet.“Pake nanya lagi, ya demi kamu, lah,” sahut Yoga sambil tersenyum.Raut wajah Ayas langsung berubah. “Mas ini susah banget dibilangin, ya? Lagian heran, deh. Apa sih bagusnya aku? Udah bukan gadis, lagi hamil pula,” keluh Ayas.Ia tak habis pikir mengapa Yoga masih menaruh hati padanya. Padahal dilihat dari segi mana pun dia merasa tidak ada hal yang istimewa darinya. Justru Ayas merasa memiliki banyak kekurangan.“Kelebihan kamu itu bisa mengusik yang ada di sini, Vi,” ucap Yoga sambil menyentuh dadanya.“Sejak pertama kali kita ketemu di bandara, kamu udah narik
“Laras, kenapa kamu meninggalkan aku? Aku tersiksa hidup tanpa kamu, Ras,” lirih Tira.“Bagaimana caranya agar kamu mau memaafkan aku? Aku akan melakukan apa pun demi kamu dan anak kita.” Tira bersimpuh di hadapan Ayas. Ia memohon agar Ayas mau menerimanya.Namun, Ayas tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya bergeming sambil memalingkan wajahnya. Seolah tak sudi melihat Tira. Ia bahkan menggendong erat anaknya. Seakan Tira hendak merebut anak itu dari tangannya.“Tolong izinkan aku menggendong anak kita! Aku mohon,” ucap Tira dengan wajah memelas.Akan tetapi, bukannya memberikan anak itu, Ayas justru pergi menjauh, meninggalkan Tira.“Ras, jangan pergi! Aku ingin menggendong anak kita!” Tira berusaha mengejar Ayas.Ayas seolah tak mendengar ucapan Tira. Ia terus melangkah meninggalkan pria itu dan lama ke l
Yoga menelan salivanya. “I-iya, Dok,” jawabnya, gugup. Ia tak berani menolak permintaan dokter. Padahal Yoga belum siap jika harus mendampingi Ayas melahirkan.Akhirnya Yoga beranjak dan masuk ke ruang bersalin. Saat melihat Ayas sedang terbaring dengan kaki yang terbuka lebar, Yoga langsung memalingkan wajahnya. Ia tidak tega melihat sesuatu yang tidak pantas ia lihat. Lututnya pun terasa lemas.Sementara itu, Ayas yang sedang kesakitan sudah tidak dapat memikirkan apa pun. Ia hanya fokus pada rasa sakit dan memikirkan cara agar rasa itu segera hilang.Yoga diarahkan untuk duduk di dekat kepala Ayas. “Silakan duduk di sini, Pak!” ucap suster.“Iya, Sus,” jawab Yoga, kikuk. Jantungnya berdebar hebat. Ini kali pertama Yoga mendampingi orang melahirkan. Padahal dirinya sendiri belum menikah.“Bapak bisa beri treatment Ibu supaya lebih tenan
"Kamu sudah cari di mana saja, Ji?" tanya Tira saat mereka sedang berada di perjalanan."Saya sudah meminta mereka untuk mencari di seluruh rumah sakit Bali, Jakarta dan beberapa kota besar seperti Bogor, Surabaya serta Bandung, Tuan," jelas Panji."Oke, fokuskan di Bali dan Jakarta lebih dulu. Mungkin sebenarnya dia memang masih berada di Jakarta," pinta Tira.Mereka sama sekali tidak dapat menebak di mana Ayas bersembunyi. Shingga Tira dan Panji tidak terpikirkan sama sekali dengan kota Solo. Terlebih selama ini Tira meyakini bahwa Ayas ada di Bali.***“Vi, kamu gak mungkin kan ngurus bayi sendirian? Gimana kalau pulang dari rumah sakit, kamu tinggal di rumah aku dulu?” tawar Yoga.Ayas tersenyum mendengar pernawaran Yoga. Sampai kapan pun ia tidak akan mau tinggal di rumah pria itu. Sebab, Ayas tidak ingin memberi harapan palsu pada Yoga.&ldqu
Jantung Tira berdebar cepat setiap kali membayangkan bahwa dirinya sudah memiliki anak dari Ayas.“Kira-kira anakku laki-laki atau perempuan ya, Ji?” gumam Tira. Hatinya berbunga-bunga memikirkan anaknya. Ia yakin anaknya akan sangat lucu dan menggemaskan.Panji sangat bingung melihat sikap bosnya. Ia tidak tega jika sampai Tira tidak dapat menemukan Ayas. Selama ini Tira tidak pernah secinta itu pada seorang wanita. Terlebih hubungan mereka hanya kesalahpahaman.Pertemuan mereka pun masih bisa dihitung jari. Namun mengapa perasaan Tira begitu dalam untuk Ayas.Meski tidak dijawab oleh Panji, Tira tidak mempermasalahkannya. Ia memang hanya ingin mengungkapan pikirannya. Tidak membutuhkan jawaban apa pun.“Ji, bagaimana mengenai rencana pembangunan kantor cabang baru?” tanya Tira.“Saat ini masih tahap proses pembebasan lahan, Tua