Setiap orang yang tahu hiburan di Indonesia pasti kenal dengan Raenira Aslein. Lebih dikenal dengan nama Rhea, gadis itu merajai dunia perfilman dengan menjadi antagonis yang paling dibenci. Sifat aslinya tidak membantunya dari reputasinya yang tercemar. Lahir dari keluarga konglomerat, lulus dari Universitas Yale di Amerika, memiliki fitur tubuh dan wajah yang cantik, hingga kemudian memiliki pacar tampan dan berkualitas menjadikannya sebagai sumber keirian karena begitu sempurna. Sehingga ketika Rhea terkena skandal tengah memarahi asistennya, ia segera menjadi bulan-bulanan di media sosial, reputasi buruknya mulai menyebar seperti api. Ditambah dengan karirnya sebagai wanita jahat, ia sukses menjadi artis paling dibenci dalam setiap poling yang diadakan.
Dia merajai tagar hari ini. Sisi positifnya itu bukan karena skandal atau peran lain yang akan ia mainkan. Itu karena berita pernikahannya yang akan dilaksanakan hari ini.
Wanita itu sekarang tengah berada di ruang rias dengan MUA yang tengah menjalin rambutnya untuk menjadi kepangan rumit ketika pintu dibuka dan menampilkan wanita bersetelan kebaya datang.
Rhea mendongak dan tersenyum. "Halo ibu."
Nyonya Christina Aslein tidak mencoba berpura-pura untuk menikmati pernikahan putrinya hari ini. Menurutnya, Rhea terlalu muda untuk menikah, dan meski dia tidak menginginkan bahwa calon suami anaknya harus berasal dari golongan yang sama dengan mereka, entah kenapa dia tidak merasa cocok dengan pilihan anaknya itu.
"Masih ada waktu untuk pembatalan pernikahan." Ucapnya blak-blakan.
Senyum Rhea memudar mendengar perkataan ibunya. "Ibu, Rangga akan menjadi suami yang baik. Dia setia mendampingiku sejak SMA. Kenapa ibu selalu membencinya?" Dia menerangkan.
Ibunya tidak mendebatnya lagi dan memilih duduk di kursi disamping Rhea.
"Lagipula apa kau ingin anakmu jadi bahan tertawaan se- Indonesia?" Lanjut Rhea.
"Siapa yang ingin menjadi artis?" Gerutu nyonya Aslein. "Lebih baik segera pensiun dan bekerja membantu ayahmu di perusahaan."
Rhea mencibir. "Dan hidup dengan kertas-kertas yang membosankan? Ayolah Bu, kita sudah membahas hal ini berkali-kali. Lagipula aku suka berakting."
"Ya, berakting menjadi gadis jahat yang merundung istri sah orang, menjadi penyihir keji, orang ketiga, pencuri yang mati mengenaskan, hingga menjadi selir yang dibakar. Tidak ada peran normal yang pernah kamu mainkan!"
Amukan ibunya berhasil membuat tangan MUA terhenti sesaat saat ingin menyampirkan veil ke kepala Rhea.
Rhea meringis. Memang benar bahwa peran yang diambilnya semuanya antagonis. Tapi salahkan wajahnya ini, hampir setiap sutradara film yang melihatnya langsung menawarkan peran jahat untuknya.
"Sisi baiknya aku akan menjadi legenda film. Juga, aku tidak tahu ibu menonton setiap film yang ada aku didalamnya."
Pintu kembali dibuka dan menampilkan pria paruh baya bersetelan jas hitam. Pria itu adalah Theodorus Aslein, pemimpin perusahaan Theseus yang bergerak di bidang game. Dia menatap bolak-balik antara ibu dan anak itu.
"Pernikahannya akan dimulai. Rhea, kurang lebih lima menit kamu harus sudah siap,-" Theodorus beralih ke istrinya. "- dan sayang, kenapa kamu tidak pergi menyapa tamu yang hadir?"
"Ibu menyarankan pembatalan pernikahan." Adu Rhea, ia mendapat pelototan ibunya akan hal ini.
Ayahnya adalah pihak netral yang tidak mendukung atau menentang pernikahan ini. Menurutnya, Rhea sudah dewasa untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
"Sayang, pernikahan ini tidak bisa dibatalkan lagi. Para tamu sudah datang, Rhea akan menikah sekarang." Terang Theodorus.
Tiara telah disematkan, dan kini Rhea siap untuk berjalan diatas altar. Kedua orang tuanya berjalan di sisinya untuk pergi kedepan.
Pacarnya bukan dari keluarga kaya. Dia hanyalah laki-laki sederhana yang berprofesi menjadi manager di salah satu perusahaan multinasional. Meski karir Rhea lebih bagus dan berpenghasilan lebih besar, Rangga tetap mendukungnya untuk terus maju dan mensupportnya setiap saat. Dia bukan laki-laki murah yang menahan karir pacarnya karena takut tersaingi. Rangga bukan laki-laki seperti itu. Itulah kenapa Rhea mencintainya dan hubungan mereka langgeng sampai ke pelaminan sekarang.
Dia melihat adik satu-satunya yang ditugaskan untuk menyalami tamu sementara. Rhea memeluknya.
"Kamu tampak cantik, kak." Puji Eda.
"Tentu saja." Rhea menyombongkan dirinya.
Ia memandangi kursi-kursi tamu yang sebagian besar telah terisi. Mereka yang akan menjadi saksi pernikahannya. Tamu dibagi menjadi tiga kategori, tamu dari pihak ayahnya yang rata-rata pebisnis dan petinggi perusahaan, tamu dari keluarga Rangga yang rata-rata teman karyawannya, dan dari pihaknya yang dihadiri oleh para sutradara film kenalannya dan sedikit artis yang cukup dekat dengannya untuk dia undang.
"Apakah sudah dimulai?" Theo seperti ayah yang baik yang menginginkan hari bahagia anaknya menjadi sesempurna mungkin. Dia merapikan dasinya dan menawarkan lengannya kepada Rhea yang segera dia sambut.
Entah kenapa firasat Rhea menjadi tidak enak akan hal ini. Musik pernikahan telah berbunyi dan hadirin berdiri. Rupanya kecemasannya terlihat oleh ayahnya yang berbisik menenangkannya. "Jangan cemas, rileks."
Panjang altar itu sekitar 6 meter. Rhea menatap ke depan dan melihat Rangga tampak tenang dan tampan dengan setelan jas putihnya. Mereka saling bertatapan dan melemparkan senyum setelahnya.
Benar, ini hari pernikahannya. Tetapi melihat Rangga tidak membuat kecemasannya berkurang. Waktu terasa berjalan dengan lambat. Setiap langkah yang Rhea ambil membuatnya teringat dengan kenangan masa lalunya. Ia mengenal Rangga karena mereka berada di SMA yang sama. Meski begitu, Rhea baru mengenalnya sebagai teman ketika kelas tiga dimana mereka satu kelas karena sebelumnya Rhea selalu disibukkan sengan syuting film dan studinya. Mereka berdiskusi tentang pelajaran dan menjadi dekat setelah berada di kelompok yang sama.
Langkah kaki berhenti dan ayahnya melepaskan lengannya. Dia menatap Rangga dan mengangguk sebelum turun dari panggung dan duduk di kursinya sendiri.
"Kamu tampak cantik." Bisik Rangga.
"Kamu orang kedua yang mengatakan hal itu." Balas Rhea.
"Siapa yang pertama?"
Rhea tertawa kecil ketika Rangga terdengar cemburu. "Tenang saja, itu adikku."
Pendeta berdehem dan mereka kembali serius untuk upacara pernikahan.
Rhea tidak mendengar jelas perkataan pendeta didepannya. Kecemasanya semakin meningkat dan dia benci tidak mengetahui penyebabnya.
'Seharusnya aku meminum obat penenang terlebih dahulu', Batinnya.
Rangga yang menyadari Rhea tampak tidak nyaman mencoba menenangkannya dengan memegang tangannya. Langkah yang sia-sia karena yang Rhea pikirkan sekarang hanyalah cara agar upacara ini cepat selesai agar dia bisa beristirahat. Tampaknya melewatkan sarapan dan tidak tidur hampir 24 jam bukan langkah cerdas yang dia ambil.
"Apakah saudari Raenira Aslein bersedia?"
Rhea masih tersesat dalam pikirannya. Ia baru tersadar ketika Rangga menyenggolnya dan melihat bahwa suasana menjadi hening dan pendeta tengah menatapnya dengan pandangan serius.
"Apakah saudari Raenira Aslein bersedia?" Pendeta itu mengulangi kalimatnya.
"Aku-" Rhea melihat Rangga memandangnya. Dia menguatkan diri.
"Aku bers-" suaranya terpotong oleh jeritan keras tiba-tiba, disusul suara teriakan yang bergema di aula.
"Aku tidak mengijinkannya!"
Mereka berdua berbalik.
Seorang wanita tiba-tiba berdiri dan keluar dari tempat duduknya, dia berjalan ke altar dengan air mata berlinang di wajahnya.
"Aku tidak mengijinkannya!" Ulang wanita itu.
Senyum Rhea runtuh. Dahinya berkerut saat melihat wanita asing keluar dari tempat duduknya, dengan berani beraninya mengacau dan menyela sumpahnya. Dia tidak kenal perusuh dadakan itu. Dia menoleh kesamping dan melihat Rangga menjadi gelisah ditempatnya. Kecurigaan mulai timbul di benak Rhea.
"Rangga siapa wanita itu?" Ia meminta penjelasan.
Sebelum Rangga bisa menjawab, wanita itu lebih cepat bersuara.
"Aku pacar Rangga! Aku mengandung anaknya!"
Rhea menatap dirinya di cermin. Jelas dia sedang tidak dalam keadaan baik. Rambutnya kusut karena ia sendiri lupa kapan menyisir rambut. Pelupuk matanya sedikit bengkak karena habis menangis satu malam. Rhea tidak menyukai tampilannya.Dia melewatkan sarapan bersama pagi ini karena ingin menghindari ibunya. Dia juga akan keluar rumah hari ini, pergi ke tempat baru yang akan ia tuju mengikuti seberapa jauh dia bisa mengendarai mobilnya. Sendirian, tanpa memberitahu Kay atau siapapun. Dia ingin menghilang sejenak, menenangkan diri, dan berpikir mengenai masa depannya yang baru.Dia memakai jaket dengan kaos putih dibaliknya dan ripped jeans yang ia beli beberapa tahun yang lalu yang untungnya masih muat. Dia memakai pakaian yang seadanya yang masih tertinggal di lemarinya.Ketika dia keluar, dia berpapasan dengan Eda.Adiknya bertanya, "Mau kemana?""Pergi." Balasnya singkat.Eda menatapnya selama beberapa detik sebelum mengangguk, lalu pergi.
Dua hari setelah dia bangun dari koma dan dinyatakan sehat, dia akhirnya bisa meninggalkan rumah sakit. Rhea senang dengan hal itu karena dia tidak menyukai berlama-lama tinggal di ruangan dengan alat-alat kesehatan dan bau obat yang menguar di setiap dindingnya.Berbeda dengan sikap penuh bunga yang ditampilkan Rhea. Christina menampilkan aura sebaliknya. Bukan karena dia tidak suka anaknya sembuh, Christina bahkan hampir gila ketika menunggui Rhea agar terbangun dari komanya yang berjalan selama sepuluh hari. Hanya saja, dia sebal dan ingin mulutnya gatal untuk memarahi anak sulungnya itu yang sekarang duduk di kursi belakang mobil suaminya dengan Edward disampingnya.Rhea tidak seharusnya pulang kerumahnya. Dia harusnya pulang bersama Hansa, bukan bersama mereka.Christina sebagai ibu sudah menyadari hubungan Rhea dengan suaminya sedang kisruh alias tidak sedang baik-baik saja. Itu membuatnya bingung, dia hanya tidak mengerti jalan pikiran anaknya yang sepert
Hansa seketika mematung. Dia sangat terkejut dengan perkataan Rhea yang tiba-tiba mengungkit soal perceraian. Tangannya berhenti bergerak dan dia menatap Rhea yang sekarang tengah memalingkan muka dan menolak menatapnya.Kedua mertuanya yang berdiri disampingnya juga sangat terkejut atas perkataan Rhea. Bagaimana tidak? Kalimat pertama yang diucapkan Rhea selepas terbangun dari komanya adalah meminta perceraian didepan suaminya yang merawatnya dengan baik ketika dia tenggelam dalam koma."Rhea, apa kau sadar apa yang kau katakan?" Christina bertanya dengan penuh kehati-hatian. Dia melirik menantunya yang wajahnya langsung berubah drastis dari kebahagiaan menjadi penuh tanda tanya.Rhea menolak untuk melihat mereka. Matanya menunduk dan lebih memilih melihat selang infus yang menyalurkan nutrisi ke tubuhnya."Kalian keluar saja. Aku ingin sendirian bersama Hansa." Ucapnya enggan.Christina ingin mendebat namun tangan Theodorus yang menyentuh bahunya
Rhea terduduk saking tidak bisa berdirinya dia setelah mengetahui akhir kisah dari Sekar yang ada dalam mimpinya. Itu bukan kisah yang akan dia harapkan. Rhea tidak pernah menebak Sekar akan berakhir mati di tangan Arya, juga tidak pernah menebak kehidupan pernikahan Sekar akan lebih sering terselimuti duri dibanding bahagia.Tanpa sadar air mata telah mengalir dari kedua matanya yang ia tujukan kepada Sekar yang masih duduk didepannya."Sekarang kamu telah tahu ceritaku." Sekar menatap Rhea dengan pandangan yang tak terbaca.Itu membuat Rhea semakin tidak mengerti kenapa dia harus memiliki pengalaman seperti ini. Dia sendiri tidak tahu dia masih hidup atau mati, dan sekarang dia sedang berhadapan dengan tokoh di mimpinya. Rasa-rasanya Rhea sudah tahu seperti apa keterkaitan antara mereka berdua tetapi dia mencoba untuk tidak berpikir kearah itu."Jatuh cinta membuat kita bodoh bukan?" Tanya Sekar, melanjutkan kisahnya dengan
Tepat hari minggu pertama sejak istana berduka atas kematian permaisuri, alun-alun kota ramai dengan berbagai kalangan yang kesemuanya punya satu tujuan. Melihat perang tanding antara rajanya dengan patihnya hingga salah satu diantara mereka mati.Mereka semua sudah tahu mengenai berita cinta segitiga diantara raja ratu dan patihnya. Rakyat biasa mengira itu hanyalah rumor yang dibuat untuk mencoreng nama permaisuri. Namun sekarang melihat dua pria itu bertanding yang kabarnya berhubungan dengan kematian Sekar membuat mereka tertarik mendengar gosip lebih dalam lagi.Pertandingan masih akan dimulai di sore hari namun saat siang alun-alun sudah padat dengan orang. Para pejabat kerajaan sudah berdiri di poskonya masing-masing. Terbagi menjadi dua kubu. Kubu pendukung Ayudhipa dan kubu pendukung Arya yang rata-rata dari prajurit bekas perang terakhir.Ketika matahari mulai tergelincir dari puncaknya, rombongan Aryalah yang pertama kali muncul. Dia
Arya langsung melepaskan gagang pedangnya. Seluruh tubuhnya gemetar ketika menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Tidak," bisiknya.Dia terduduk lemas ditanah. Matanya menatap siapa yang ia hunus dengan pandangan tidak percaya.Ini semua tidak ada dalam rencananya.Ayudhipa lah yang ingin dia bunuh. Bukan perempuan yang dicintainya yang sekarang tengah berbaring di tanah didepannya dengan darah bersimbah di perutnya."Sekar!" Teriak Ayudhipa.Pria itu menatap pedang yang menancap di perut Sekar dengan ketakutan. Dia segera bersimpuh dan memangkunya."Rwanda!" Teriaknya. Memanggil bawahannya yang izin buang air kecil.Senopati muda itu datang tergopoh-gopoh mendengar teriakan rajanya. Matanya melihat kejadian didepannya dan keterkejutan serta ketakutan terlihat di matanya."Panggil tabib! Cepat!" Perintah Ayudhipa. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya telah berkac
Laksita memberitahunya kabar. Kabar yang membuat dia langsung menebaskan pedangnya ke kumpulan bambu didepannya saking inginnya untuk membunuh seseorang. Tidak peduli dia tengah dilihat oleh pasukannya dibelakangnya.Mereka telah memenangkan pertarungan berdarah selama lima bulan sejak dia diutus memimpin wilayah barat. Arya telah mengerahkan seluruh kemampuan mengatur strateginya untuk menaklukkan pasukan koalisi tiga kadipaten paling barat yang ternyata lebih tangguh dari prediksinya. Lalu apa yang dia dapatkan? Hukuman mati dari raja menantinya di ibukota dengan tuduhan perselingkuhan yang tidak pernah dia lakukan bersama Sekar."Tenang Arya, kami disini berada disisimu." Ucap salah satu senopatinya yang segera diangguki yang lain.Namun itu tak menyurutkan kemarahan Arya yang ditujukan kepada rajanya."Bagaimana keadaan permaisuri?" Tanyanya kepada Laksita yang memang tidak ikut dengannya ke perang terakhir.
Sekar jelas-jelas sangat terkejut dan tersinggung dengan tuduhan yang Ayushita arahkan kepadanya. Bagaimana tidak? Dia tidak peduli dan sama sekali tidak ikut campur dengan kehamilan Ayushita sejak awal. Jika bukan karena adat pun dia tak akan mengunjungi selir itu. Kemarin pun dia datang hanya untuk kunjungan singkat. Kegilaan apa yang tengah Ayushita miliki hingga berani menuduhnya seperti itu?"Jaga ucapanmu selir Ayushita. Kau tahu sendiri aku tidak pernah berhubungan denganmu selain kemarin, itupun kau tahu sendiri aku melakukan apa di rumahmu." Balasnya dengan penuh penekanan.Tuduhan semacam ini hanya akan memunculkan rumor yang semakin menyudutkannya."Sebelum kedatanganmu, bayiku sehat-sehat saja. Tapi gara-gara kamu, aku harus kehilangan anakku!" Balas Ayushita histeris. Dia masih menangis terisak dengan tangan memegangi perutnya. Disampingnya seorang dayangnya tengah mencoba menenangkannya."Yang Mulia, kamu harus bersik
Bulan-bulan berlalu seperti lintasan sekejap mata. Kediaman Sekar masih tertutup dan tampak terlihat dingin dibanding rumah-rumah lainnya. Dia lebih suka tinggal di pendopo belakang rumahnya sambil menyesap teh dan melihat senja berakhir.Hubungannya dengan Ayudhipa masih renggang, sesekali dia menerima pria itu datang dan bermalam di rumahnya tapi hubungan mereka tidak sebagus sebelum mereka menikah.Hari ini dia akan menemui salah satu selir. Kehamilan selir Ayushita telah berusia lima bulan dan sesuai adat istiadat, sang permaisuri harus mengunjunginya dan memberi berkat ke bayi itu. Karena sesuai legalitas, setiap anak yang dilahirkan selir akan menjadi milik permaisuri dan anak itu akan memanggil permaisuri dengan sebutan 'ibunda'.Sekar memakai pakaian resminya yang berwarna merah. Dia naik tandu untuk pergi ke kediaman selir yang dituju dengan sepuluh dayang dan kasimnya yang mengikuti dari belakang."Salam Kanjeng Ratu." Serempak