LOGINDua hari kemudian, Ivan sedang duduk di ruang kerjanya. Laptopnya terbuka, namun pandangannya kosong, tenggelam dalam pikirannya. Ia tidak lagi menulis, ia hanya mengenang. Di sampingnya, sebuah vas kini terisi bunga. Agnia ada di kamar mandi, menyanyi dengan merdu. Hidup Ivan terasa lengkap.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Samuel muncul di layar. Ivan tersenyum, lalu mengangkatnya.
“Halo, Sam. Apa kabar?” sapa Ivan dengan suara ceria yang tidak pernah ia gunakan sebelumnya.
“Baik, Van. Kamu bagaimana? Kamu baik-baik saja kan?” tanya Samuel dari seberang telepon, nadanya terdengar sedikit khawatir. “Aku menelepon karena aku agak khawatir. Kamu menghilang dua hari ini. Tidak ada kabar. Aku kira ada apa-apa.”
Ivan tertawa. “Aku lebih dari baik, Sam. Aku… aku sedang merayakan. Merayakan kebahagiaan yang tidak pernah aku duga.”
Samuel terdiam sejenak. “Merayakan? Merayakan apa?”
“Merayakan hidupku yang baru, Sam,” jawab Ivan, antusias. “Aku tidak lagi hidup dalam fiksi. Aku tidak lagi hidup dalam imajinasiku. Aku kini… benar-benar hidup.”
“Aku tidak mengerti, Van,” ucap Samuel, nadanya semakin bingung.
“Ingat wanita yang kuceritakan padamu?” tanya Ivan. “Dia… dia kembali. Dia ada di sini. Di sampingku. Kami… kami bersama. Dia nyata, Sam. Dia benar-benar nyata.”
Samuel tidak menjawab. Hanya keheningan di seberang telepon. Ivan tidak peduli. Ia hanya ingin membagikan kebahagiaannya.
“Kau tidak akan percaya, Sam,” Ivan melanjutkan. “Dia adalah wanita yang sempurna. Dia adalah duniaku. Aku… aku merasa lengkap sekarang. Aku tidak lagi merasa kesepian.”
“Ivan….” Samuel mencoba bicara, namun suaranya terdengar ragu-ragu.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Sam,” Ivan memotong. “Tapi aku tahu satu hal, aku tidak akan membiarkannya pergi lagi. Tidak akan pernah.”
Ivan masih terus bercerita dengan antusias, namun ia mendengar suara Agnia dari kamar mandi, memanggil namanya. Ivan tersenyum.
“Sam, aku harus pergi. Agnia memanggilku,” ucap Ivan, suaranya riang.
Terdengar helaan napas dari seberang telepon. “Baik, Van. Dengar baik-baik….” Suara Samuel terdengar lebih serius. “Jika kau ada kesulitan… jika ada sesuatu yang terasa aneh… langsung saja hubungi aku. Jangan sungkan, ya. Aku akan selalu ada untukmu.”
“Aku akan menghubungimu jika ada sesuatu yang menarik untuk ceritaku,” jawab Ivan, salah mengartikan maksud Samuel. “Sampai nanti, Sam!”
Tanpa menunggu jawaban, Ivan langsung menutup teleponnya. Ia tidak menyadari nada suara Samuel yang penuh kekhawatiran, tidak menyadari ketegangan yang ada. Yang Ivan tahu, kini ia hanya ingin segera menghampiri Agnia. Ia meletakkan ponselnya di meja, dan bergegas menuju kamar mandi.
Saat ia membuka pintu kamar mandi, Agnia sudah menunggunya dengan handuk di tangannya. Ia tersenyum, matanya memancarkan kehangatan yang membuat Ivan merasa luluh.
Ivan melangkah masuk, menutup pintu kamar mandi di belakangnya. Agnia tersenyum, lalu melingkarkan handuk di leher Ivan.
“Ada apa sayang?” tanya Ivan lembut, mengusap pipi Agnia.
Agnia memejamkan matanya, merasakan sentuhan Ivan. “Tidak ada apa-apa,” bisik Agnia. “Aku hanya ingin memastikan kau ada di sini. Aku hanya ingin memastikan ini nyata.”
Ivan tersenyum, ia tahu perasaan itu. “Sangat nyata. Dan tidak akan pernah berakhir.”
Agnia membuka matanya. “Ivan,” ucap Agnia, suaranya dipenuhi ketulusan. “Aku ingin membuat janji padamu. Janji yang tidak akan pernah kulanggar.”
“Janji apa?” Ivan mengerutkan dahinya.
“Aku ingin menjanjikan diriku padamu. Seluruhnya,” jawab Agnia. “Aku ingin menjadi milikmu, Ivan. Aku ingin menjadi wanitamu, budakmu, dan semua yang kau inginkan. Aku ingin kau menjadi tuanku. Aku tahu ini aneh, tetapi aku ingin kau mengendalikan hidupku. Aku ingin kau menjadi satu-satunya orang yang memilikiku. Aku ingin kau menjadi duniaku, dan aku menjadi duniamu.”
Ivan terdiam, terkejut. Kata-kata itu, yang dulu membuatnya takut, kini terasa seperti melodi yang indah. Ivan mengangguk, mencium bibir Agnia dengan lembut.
“Baiklah,” bisik Ivan, suaranya serak. “Aku akan menjadi tuanmu, dan kau akan menjadi wanitaku.”
Agnia menatap Ivan, matanya berkaca-kaca, penuh harap dan sedikit rasa tidak percaya. Meskipun kata-kata itu keluar dari mulutnya sendiri, ia masih membutuhkan konfirmasi. Ia ingin memastikan bahwa ini bukan hanya fantasi yang ia miliki, melainkan kenyataan yang mereka berdua bangun bersama.
"Benarkah itu, Ivan?" bisik Agnia, suaranya bergetar. "Kau... kau sungguh menginginkan itu? Kau tidak akan menyesal?"
Ivan memeluk Agnia dengan erat, menenggelamkan wajahnya di rambut Agnia. Ia menghirup aroma sabun yang menenangkan, dan ia tahu, tidak ada keraguan di dalam hatinya. Semua rasa takut, semua kegelisahan yang selama ini ia rasakan, sirna begitu saja.
"Tidak akan," jawab Ivan, suaranya serak namun penuh keyakinan. "Aku tidak akan pernah menyesal. Agnia, kau tahu, selama ini aku hidup di dalam kepalaku sendiri. Aku menciptakan karakter, aku menciptakan dunia, karena aku takut menghadapi kenyataan."
Ia melepaskan pelukannya, menangkup wajah Agnia dengan kedua tangannya. "Dan kau datang. Kau masuk ke duniaku, kau menghancurkan semua batasan yang aku buat. Kau nyata, Agnia. Kau adalah kenyataan yang paling indah yang pernah aku miliki."
"Aku tidak ingin mengendalikanmu karena aku tidak ingin membuatmu menderita," lanjut Ivan. "Aku ingin mengendalikanmu karena aku ingin melindungimu. Aku ingin memilikimu karena aku ingin memastikan tidak ada satu orang pun yang bisa menyakitimu lagi. Aku ingin kau menjadi duniaku, dan aku... aku akan menjadi duniamu. Aku akan menjadi tuanmu, dan kau akan menjadi ratuku."
Agnia tersenyum, air mata haru mengalir di pipinya. "Kau sudah menjadi duniaku, Ivan. Sejak malam itu."
Ivan menarik napas panjang, membenamkan Agnia dalam pelukan yang hangat dan erat. Semua keraguan, semua ketakutan, semua kegelisahan yang selama ini ia rasakan kini telah sirna. Ia mengecup kening Agnia, lalu turun ke bibirnya, menciumnya dengan lembut dan penuh cinta. Ciuman itu adalah sebuah janji, sebuah awal yang baru.
Ivan melepaskan pelukannya perlahan, menatap mata Agnia. Wajah Agnia terlihat damai, senyumnya begitu menenangkan. Ia mengusap rambut Agnia, merapikan anak rambutnya yang berantakan.
“Tidurlah, Agnia,” bisik Ivan, suaranya dipenuhi ketenangan yang luar biasa. “Tidurlah di sampingku. Aku akan menceritakan kepada dunia tentang wanitaku. Tentang keberanianmu. Tentang ketulusanmu. Tentang semua yang kau ajarkan kepadaku.”
Agnia menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak perlu,” bisik Agnia. “Tidak perlu. Aku hanya ingin kau menceritakannya kepadaku, Ivan. Hanya kepadaku.”
“Agnia, kau adalah inspirasiku,” bantah Ivan. Ia menuntun Agnia ke tempat tidur, menyelimutinya dengan hati-hati. “Aku tidak bisa menyimpannya sendiri. Aku harus menceritakannya. Aku harus menuliskannya. Aku akan menulis tentang wanita yang datang di malam hujan. Aku akan menulis tentang wanita yang mengajariku arti keberanian.”
“Aku tidak ingin menjadi terkenal, Ivan,” gumam Agnia, matanya mulai terpejam. “Aku hanya ingin kau mencintaiku.”
“Aku akan mencintaimu, Agnia,” balas Ivan, mencium keningnya. “Dan aku akan menceritakan kepada dunia tentang dirimu. Aku akan memastikan semua orang tahu, bahwa di suatu tempat, di sebuah rumah kecil, ada seorang wanita yang begitu berani, yang mengubah hidup seorang penulis menjadi sebuah karya yang sempurna. Aku akan menceritakan kepada dunia tentang wanitaku, dan aku akan memastikan kau menjadi wanita paling bahagia di dunia.”
beberapa saat setelah itu Ivan bertanya "bolehkah aku besok pergi Agnia?".
itu adalah teriakan terakhir, penuh dengan kebencian dan keputusasaan yang mutlak. "KAU dan PSIKIATERMU bisa pergi ke neraka!"Koneksi terputus. Bunyi beep yang monoton terdengar di telinga Sarah.Dia berdiri di sana, telepon masih menempel di telinganya, tubuhnya gemetar tak terkendali. Air mata mengucur deras. Rasa sakitnya begitu hebat, lebih dari sebelumnya. Bukan hanya karena penolakannya, tetapi karena kebenaran dalam kata-kata Ivan. Dalam upayanya untuk membantu, dia telah, di mata Ivan, mengkhianatinya. Dia telah menjadi musuh yang bersekutu dengan dunia yang ingin menghancurkan dunianya.Dia telah mencoba untuk menjangkau pria yang dicintainya, tetapi yang dia temui adalah benteng yang dijaga ketat oleh naga bernama Agnia. Dan hari ini, naga itu telah menyemburkan api, membakar habis jembatan terakhir yang menghubungkan mereka.Sementara di seberang kota, Ivan berdiri di tengah-tengah ruang kerjanya yang berantakan. Sebuah vas pecah berantakan di lantai, air dan bunga-bunga k
Dua minggu setelah konsultasi pertamanya dengan Dr. Maya, Sarah merasa dipersenjatai dengan sedikit lebih banyak pengetahuan dan strategi. Keputusasaan telah berubah menjadi sebuah tekad yang tenang. Dia telah menghadiri satu sesi lanjutan, dan Dr. Maya telah membantunya menyusun pendekatan yang diharapkan bisa menembus tembok pertahanan Ivan.Strateginya sederhana: lembut, tidak mengancam, dan berfokus pada keprihatinan, bukan tuduhan. Dr. Maya juga mengenalkannya pada seorang kolega, seorang psikiater bernama Dr. Arif, yang dikenal dengan pendekatannya yang hangat dan tidak menakutkan. Rencananya, Sarah akan mengajak Ivan untuk menemui seorang "teman" yang adalah seorang ahli yang bisa membantu orang-orang dengan "kebuntuan kreatif" dan "stres". Kata "psikiater" atau "gangguan jiwa" akan dihindari seperti api.Hari itu, dengan jantung berdebar kencang, Sarah menelepon Ivan. Dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya. Apakah Ivan akan mengangkat teleponnya? Apakah dia masih marah?Tele
Kepergian Sarah dari apartemen Ivan meninggalkan luka yang dalam dan getir. Hari-hari berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan. Sarah kembali ke kehidupannya sendiri, ke apartemen kecilnya yang tiba-tiba terasa sangat luas dan sunyi. Barang-barang peninggalan Ivan—sebuah sweter yang tertinggal, buku yang pernah mereka baca bersama—menjadi pengingat yang menyakitkan akan hubungan yang telah hancur.Dia mencoba melanjutkan rutinitasnya: bekerja sebagai perencana event, bertemu teman-teman, bahkan keluar untuk mencoba bersosialisasi. Namun, wajah Ivan selalu hadir di pikirannya. Bukan wajahnya yang marah atau bingung saat pertengkaran terakhir, tetapi wajahnya yang lembut saat mereka berdua tertawa bersama, atau wajahnya yang serius ketika dia tenggelam dalam dunia menulis. Sarah menyadari sebuah kebenaran yang pahit: dia masih mencintai Ivan. Cintanya bukanlah cinta yang buta; dia melihat
Pintu yang tertutup itu bukan lagi sekadar pintu. Itu adalah sebuah pemutus, sebuah pemisahan yang final. Bunyinya yang menggema di apartemen yang tiba-tuta sunyi itu seperti gong yang menandai berakhirnya sebuah babak dalam hidup Ivan. Dia tetap terduduk di lantai ruang kerjanya, punggungnya bersandar pada kaki meja kayu, tubuhnya terasa hampa bagaikan kulit udang yang ditinggalkan isinya.Beberapa menit berlalu, atau mungkin sejam—Ivan kehilangan semua sense of time. Matanya kosong, menatap lurus ke arah buku catatan yang masih tergeletak di lantai, terbuka pada halaman yang mengutuknya. Wajah Sarah, yang digambarkan dengan sempurna namun diisi dengan jiwa orang lain, seakan menatapnya dengan tatapan hampa dari kertas itu. Sebuah pengingat akan pengkhianatannya yan
Sudah seminggu sejak pertengkaran terakhir mereka tentang kebiasaan menulis Ivan yang kembali intens. Suasana antara Ivan dan Sarah masih sedikit tegang, bagaikan udara sesaat sebelum badai. Sarah berusaha untuk memahami, benar-benar memahami, bahwa menulis adalah bagian tak terpisahkan dari diri Ivan. Namun, ketakutannya akan kembalinya "sang hantu" selalu hadir di benaknya, seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah mereka.Hari itu, Ivan harus menghadiri pertemuan dengan editornya di pusat kota. Sarah, yang jadwal kerjanya lebih fleksibel, memutuskan untuk menyambangi apartemen Ivan setelah dia pulang kerja. Dia ingin mencoba mencairkan suasana. Mungkin dengan memasakan makan malam spesial, atau sekadar menunggu kedatangannya dengan senyum. Itulah cara Sarah menunju
Dua minggu kemudian, hubungan mereka masih terlihat manis di permukaan. Tapi Ivan mulai berubah. Dia menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun. Saat bersama Sarah, dia kadang-kadang tidak sepenuhnya "hadir". Pikirannya berada di tempat lain, di dunia tulisannya.Sarah memperhatikannya. Perubahan itu halus, tetapi bagi seseorang yang seobservatif Sarah, itu terlihat."Ivan, apa kau baik-baik saja?" tanyanya suatu sore saat mereka berbelanja bahan makanan. "Kau terlihat... jauh akhir-akhir ini."Ivan tersentak dari pikirannya. "Hmm? Oh, tidak. Aku baik-baik saja. Hanya... ada ide untuk menulis sedikit."Sarah mengangkat alis. "Menulis? Itu bagus!" Tapi ada kekhawatiran di matanya. "Kau masih minum obat, kan?"Ivan merasa sedikit tersinggung, tapi dia berusaha menyembunyikannya. "Tentu saja. Kenapa?""Tidak ada. Hanya... aku senang kau bisa menulis lagi. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya? Kesehatanmu yang utama."Peringatan Sarah itu wajar, tapi bagi Ivan, itu terasa seperti sebu







