Share

Janji

Author: Millanova
last update Last Updated: 2025-08-28 01:00:06

Dua hari kemudian, Ivan sedang duduk di ruang kerjanya. Laptopnya terbuka, namun pandangannya kosong, tenggelam dalam pikirannya. Ia tidak lagi menulis, ia hanya mengenang. Di sampingnya, sebuah vas kini terisi bunga. Agnia ada di kamar mandi, menyanyi dengan merdu. Hidup Ivan terasa lengkap.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Samuel muncul di layar. Ivan tersenyum, lalu mengangkatnya.

“Halo, Sam. Apa kabar?” sapa Ivan dengan suara ceria yang tidak pernah ia gunakan sebelumnya.

“Baik, Van. Kamu bagaimana? Kamu baik-baik saja kan?” tanya Samuel dari seberang telepon, nadanya terdengar sedikit khawatir. “Aku menelepon karena aku agak khawatir. Kamu menghilang dua hari ini. Tidak ada kabar. Aku kira ada apa-apa.”

Ivan tertawa. “Aku lebih dari baik, Sam. Aku… aku sedang merayakan. Merayakan kebahagiaan yang tidak pernah aku duga.”

Samuel terdiam sejenak. “Merayakan? Merayakan apa?”

“Merayakan hidupku yang baru, Sam,” jawab Ivan, antusias. “Aku tidak lagi hidup dalam fiksi. Aku tidak lagi hidup dalam imajinasiku. Aku kini… benar-benar hidup.”

“Aku tidak mengerti, Van,” ucap Samuel, nadanya semakin bingung.

“Ingat wanita yang kuceritakan padamu?” tanya Ivan. “Dia… dia kembali. Dia ada di sini. Di sampingku. Kami… kami bersama. Dia nyata, Sam. Dia benar-benar nyata.”

Samuel tidak menjawab. Hanya keheningan di seberang telepon. Ivan tidak peduli. Ia hanya ingin membagikan kebahagiaannya.

“Kau tidak akan percaya, Sam,” Ivan melanjutkan. “Dia adalah wanita yang sempurna. Dia adalah duniaku. Aku… aku merasa lengkap sekarang. Aku tidak lagi merasa kesepian.”

“Ivan….” Samuel mencoba bicara, namun suaranya terdengar ragu-ragu.

“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, Sam,” Ivan memotong. “Tapi aku tahu satu hal, aku tidak akan membiarkannya pergi lagi. Tidak akan pernah.”

Ivan masih terus bercerita dengan antusias, namun ia mendengar suara Agnia dari kamar mandi, memanggil namanya. Ivan tersenyum.

“Sam, aku harus pergi. Agnia memanggilku,” ucap Ivan, suaranya riang.

Terdengar helaan napas dari seberang telepon. “Baik, Van. Dengar baik-baik….” Suara Samuel terdengar lebih serius. “Jika kau ada kesulitan… jika ada sesuatu yang terasa aneh… langsung saja hubungi aku. Jangan sungkan, ya. Aku akan selalu ada untukmu.”

“Aku akan menghubungimu jika ada sesuatu yang menarik untuk ceritaku,” jawab Ivan, salah mengartikan maksud Samuel. “Sampai nanti, Sam!”

Tanpa menunggu jawaban, Ivan langsung menutup teleponnya. Ia tidak menyadari nada suara Samuel yang penuh kekhawatiran, tidak menyadari ketegangan yang ada. Yang Ivan tahu, kini ia hanya ingin segera menghampiri Agnia. Ia meletakkan ponselnya di meja, dan bergegas menuju kamar mandi.

Saat ia membuka pintu kamar mandi, Agnia sudah menunggunya dengan handuk di tangannya. Ia tersenyum, matanya memancarkan kehangatan yang membuat Ivan merasa luluh. 

Ivan melangkah masuk, menutup pintu kamar mandi di belakangnya. Agnia tersenyum, lalu melingkarkan handuk di leher Ivan.

“Ada apa sayang?” tanya Ivan lembut, mengusap pipi Agnia.

Agnia memejamkan matanya, merasakan sentuhan Ivan. “Tidak ada apa-apa,” bisik Agnia. “Aku hanya ingin memastikan kau ada di sini. Aku hanya ingin memastikan ini nyata.”

Ivan tersenyum, ia tahu perasaan itu. “Sangat nyata. Dan tidak akan pernah berakhir.”

Agnia membuka matanya. “Ivan,” ucap Agnia, suaranya dipenuhi ketulusan. “Aku ingin membuat janji padamu. Janji yang tidak akan pernah kulanggar.”

“Janji apa?” Ivan mengerutkan dahinya.

“Aku ingin menjanjikan diriku padamu. Seluruhnya,” jawab Agnia. “Aku ingin menjadi milikmu, Ivan. Aku ingin menjadi wanitamu, budakmu, dan semua yang kau inginkan. Aku ingin kau menjadi tuanku. Aku tahu ini aneh, tetapi aku ingin kau mengendalikan hidupku. Aku ingin kau menjadi satu-satunya orang yang memilikiku. Aku ingin kau menjadi duniaku, dan aku menjadi duniamu.”

Ivan terdiam, terkejut. Kata-kata itu, yang dulu membuatnya takut, kini terasa seperti melodi yang indah. Ivan mengangguk, mencium bibir Agnia dengan lembut.

“Baiklah,” bisik Ivan, suaranya serak. “Aku akan menjadi tuanmu, dan kau akan menjadi wanitaku.”

Agnia menatap Ivan, matanya berkaca-kaca, penuh harap dan sedikit rasa tidak percaya. Meskipun kata-kata itu keluar dari mulutnya sendiri, ia masih membutuhkan konfirmasi. Ia ingin memastikan bahwa ini bukan hanya fantasi yang ia miliki, melainkan kenyataan yang mereka berdua bangun bersama.

"Benarkah itu, Ivan?" bisik Agnia, suaranya bergetar. "Kau... kau sungguh menginginkan itu? Kau tidak akan menyesal?"

Ivan memeluk Agnia dengan erat, menenggelamkan wajahnya di rambut Agnia. Ia menghirup aroma sabun yang menenangkan, dan ia tahu, tidak ada keraguan di dalam hatinya. Semua rasa takut, semua kegelisahan yang selama ini ia rasakan, sirna begitu saja.

"Tidak akan," jawab Ivan, suaranya serak namun penuh keyakinan. "Aku tidak akan pernah menyesal. Agnia, kau tahu, selama ini aku hidup di dalam kepalaku sendiri. Aku menciptakan karakter, aku menciptakan dunia, karena aku takut menghadapi kenyataan."

Ia melepaskan pelukannya, menangkup wajah Agnia dengan kedua tangannya. "Dan kau datang. Kau masuk ke duniaku, kau menghancurkan semua batasan yang aku buat. Kau nyata, Agnia. Kau adalah kenyataan yang paling indah yang pernah aku miliki."

"Aku tidak ingin mengendalikanmu karena aku tidak ingin membuatmu menderita," lanjut Ivan. "Aku ingin mengendalikanmu karena aku ingin melindungimu. Aku ingin memilikimu karena aku ingin memastikan tidak ada satu orang pun yang bisa menyakitimu lagi. Aku ingin kau menjadi duniaku, dan aku... aku akan menjadi duniamu. Aku akan menjadi tuanmu, dan kau akan menjadi ratuku."

Agnia tersenyum, air mata haru mengalir di pipinya. "Kau sudah menjadi duniaku, Ivan. Sejak malam itu."

Ivan menarik napas panjang, membenamkan Agnia dalam pelukan yang hangat dan erat. Semua keraguan, semua ketakutan, semua kegelisahan yang selama ini ia rasakan kini telah sirna. Ia mengecup kening Agnia, lalu turun ke bibirnya, menciumnya dengan lembut dan penuh cinta. Ciuman itu adalah sebuah janji, sebuah awal yang baru.

Ivan melepaskan pelukannya perlahan, menatap mata Agnia. Wajah Agnia terlihat damai, senyumnya begitu menenangkan. Ia mengusap rambut Agnia, merapikan anak rambutnya yang berantakan.

“Tidurlah, Agnia,” bisik Ivan, suaranya dipenuhi ketenangan yang luar biasa. “Tidurlah di sampingku. Aku akan menceritakan kepada dunia tentang wanitaku. Tentang keberanianmu. Tentang ketulusanmu. Tentang semua yang kau ajarkan kepadaku.”

Agnia menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak perlu,” bisik Agnia. “Tidak perlu. Aku hanya ingin kau menceritakannya kepadaku, Ivan. Hanya kepadaku.”

“Agnia, kau adalah inspirasiku,” bantah Ivan. Ia menuntun Agnia ke tempat tidur, menyelimutinya dengan hati-hati. “Aku tidak bisa menyimpannya sendiri. Aku harus menceritakannya. Aku harus menuliskannya. Aku akan menulis tentang wanita yang datang di malam hujan. Aku akan menulis tentang wanita yang mengajariku arti keberanian.”

“Aku tidak ingin menjadi terkenal, Ivan,” gumam Agnia, matanya mulai terpejam. “Aku hanya ingin kau mencintaiku.”

“Aku akan mencintaimu, Agnia,” balas Ivan, mencium keningnya. “Dan aku akan menceritakan kepada dunia tentang dirimu. Aku akan memastikan semua orang tahu, bahwa di suatu tempat, di sebuah rumah kecil, ada seorang wanita yang begitu berani, yang mengubah hidup seorang penulis menjadi sebuah karya yang sempurna. Aku akan menceritakan kepada dunia tentang wanitaku, dan aku akan memastikan kau menjadi wanita paling bahagia di dunia.”

beberapa saat setelah itu Ivan bertanya "bolehkah aku besok pergi Agnia?".

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Agnia dan Cermin Pecah   Buku gambar

    Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, Ivan membawa buku gambar dan sekotak pensil warna. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menuangkan pikirannya. Ia berharap, dengan menggambar, Sarah bisa menemukan dirinya yang hilang.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar. Ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Ia hanya ingin Sarah mengingat, agar ia bisa kembali normal. Namun, ia juga tidak ingin Sarah mengingat, karena ia takut, Sarah akan meninggalkannya.Ia membuka pintu ruangan Sarah. Di sana, Sarah duduk di ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela. Wajahnya terlihat murung.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Senyum tipis terukir di bibirnya. “Ivan. Kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia menaruh buku gambar dan sekotak pensil warna di atas meja.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku pikir, kau bisa menuangkan pikiranmu di sini. Mungkin… kau bisa menem

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hubungan baru

    Siang itu, Ivan kembali ke rumah sakit. Di tangannya, bukan bingkisan buah, melainkan sebuah buku bersampul lusuh. Itu adalah novel pertamanya, sebuah karya yang ia tulis di masa-masa paling sepi dalam hidupnya. Buku itu adalah saksi bisu dari dirinya yang dulu—pria yang hanya hidup dalam imajinasi.Ivan melangkah di koridor yang sama, jantungnya berdebar dengan perasaan yang berbeda. Kali ini, bukan hanya rasa bersalah, melainkan juga rasa ingin tahu. Pintu kamar rawat Sarah terbuka, dan Ivan melihatnya duduk di ranjang, menatap kosong ke luar jendela.“Selamat siang, Sarah,” sapa Ivan lembut, berusaha menarik perhatiannya.Sarah menoleh. Wajahnya terlihat jauh lebih segar, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. “Ivan, kau datang lagi.”Ivan melangkah mendekat, lalu duduk di kursi di samping ranjang. Ia meletakkan buku yang ia bawa di atas meja kecil, di samping bingkisan buah yang sudah terbuka.“Ini untukmu,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Novel pertamaku.”Sarah menatap buku itu,

  • Agnia dan Cermin Pecah   Benar benar hilang

    Dokter melepaskan stetoskop dari telinganya. Ia tersenyum lembut, tangannya memegang sampel darah Ivan. Ivan, yang masih terdiam, merasakan kehangatan di lengannya.“Baik, Tuan Ivan,” ucap dokter itu, suaranya tenang. “Kami sudah selesai. Anda tidak perlu khawatir. Kami hanya perlu melakukan beberapa tes lagi.”Ivan mengangguk, namun ia tidak bertanya apa-apa. Pikirannya kosong. Ia hanya ingin kembali ke rumah. Ia hanya ingin kembali ke Agnia.Dokter itu kemudian mengeluarkan selembar kertas kecil, lalu memberikannya kepada Ivan. “Ini resep, Tuan. Anda harus menebusnya di apotek terdekat. Obat-obat ini akan membantu Anda merasa lebih baik.”Ivan mengambil resep itu, tangannya gemetar. Ia membaca nama-nama obat di dalamnya. Chlorpromazine, Paliperidone, Chlordiazepoxide. Ia tidak tahu apa itu, tetapi ia tahu, ia harus meminumnya.“Minumlah secara rutin, Tuan Ivan,” ucap dokter itu lagi. “Ini akan membantu Anda untuk kembali normal.”Ivan mengangguk. Ia tidak tahu apa yang normal. Ia ti

  • Agnia dan Cermin Pecah   Hilang

    Pertanyaan polisi itu terasa seperti palu yang menghantam kepala Ivan. Bagaimana bisa ia tidak punya foto Agnia? Ia tidak bisa menjawab. Pikirannya kosong. Ia hanya bisa menatap jalan yang kosong, tempat Agnia menghilang."AARRRRGGGGGGGHHHHHHHHHH!"Ivan tiba-tiba berteriak. Sebuah teriakan yang keras, dipenuhi rasa sakit, frustasi, dan keputusasaan. Ivan tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia membiarkan semua emosinya keluar. Ia berteriak, suaranya bergetar, seolah ia sedang mencoba merobek langit.Kedua polisi itu terkejut. Mereka saling bertukar pandang, lalu menatap Ivan. Kali ini, tatapan mereka bukan lagi tatapan rasa prihatin, melainkan tatapan kebingungan. Mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Ivan. Mereka hanya tahu, mereka harus membawanya pergi.Teriakan Ivan begitu keras, mengoyak kesunyian malam. Ia berteriak dan berteriak lagi, seolah mencoba mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Namun, teriakan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tib

  • Agnia dan Cermin Pecah   Cermin yang Retak

    Makan malam itu terasa begitu sempurna, seolah semua keraguan Ivan telah lenyap. Setelah membereskan meja, Ivan kembali ke laptopnya. Agnia duduk di sampingnya, membaca novel yang belum selesai. Ivan tidak bisa berhenti memikirkan nama Sarah Cruz. Ia harus mencari tahu.Ivan membuka mesin pencari, tangannya gemetar. Ia mengetik nama Sarah Cruz, berharap menemukan sesuatu. Namun, yang ia temukan hanyalah keheningan. Tidak ada satu pun berita, tidak ada satu pun media sosial, tidak ada satu pun artikel yang membahas nama itu. Ivan merasa bingung, dan juga sedikit takut. Apakah Sarah adalah nama yang ia ciptakan? Apakah ia hanya berhalusinasi?Namun, Ivan tidak menyerah. Ia terus mencari, hingga akhirnya ia menemukan sebuah blog kecil yang membahas real estat. Blog itu membahas tentang properti-properti mewah di negara bagian itu, dan salah satu artikelnya membahas tentang keluarga paling kaya di sana. Di dalam artikel itu, sebuah nama muncul: Sarah Cruz.Ivan membaca artikel itu, matany

  • Agnia dan Cermin Pecah   Kenangan dan kenyataan

    “Agnia,” ucap Ivan, suaranya pelan. “Aku… aku ingin menjenguk Sarah.”Agnia menoleh, senyumnya tidak pudar. Ia menutup novel Ivan, lalu meletakkannya di atas meja. “Baiklah,” jawabnya. “Kau ingin aku menemanimu?”“Tidak, sayang,” balas Ivan. “Aku ingin kau di sini saja. Aku… aku ingin memastikan kau aman.”Agnia mengangguk. “Baiklah. Kau ingin aku siapkan apa? Roti? Kopi?”“Tidak,” jawab Ivan. “Aku ingin memberikannya buah. Buah apa yang harus kubawa untuknya?”Agnia berpikir sejenak. “Aku tidak tahu,” jawabnya, nadanya terdengar bingung. “Aku… aku tidak tahu buah apa yang ia suka.”“Aku tahu kau tidak tahu,” balas Ivan. “Tapi… aku hanya ingin mendengar pendapatmu. Aku ingin kau memilihkan untukku.”Agnia tersenyum, lalu memegang tangan Ivan. “Kalau begitu, bawakan saja buah delima,” jawabnya, matanya menatap Ivan dengan penuh arti. “Delima melambangkan kebangkitan. Kebangkitan dari kegelapan.”Ivan tersenyum. Ia tidak tahu mengapa Agnia memilih delima, tetapi ia yakin, itu adalah pil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status