LOGINMalam itu, rumah terasa semakin sunyi. Jam di dinding berdetak pelan, seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan meskipun tanpa kehadiran Bara.
Risa duduk di ruang tamu, membiarkan lampu kuning temaram menerangi sebagian wajahnya yang diselimuti kabut kesedihan. Sesekali, ia masih merasakan dadanya nyeri, membuatnya harus meringis kesakitan setiap kali rasa sakit itu kembali menerjang.
Damar keluar dari dapur dengan membawa segelas air hangat di tangannya. Ia menaruhnya di meja tepat di hadapan Risa. “Kamu udah minum obat dari dokter?” tanyanya.
Risa mengangguk pelan. “Udah, Mas. Katanya nanti kalau demam baru harus balik lagi.”
Damar menatapnya sejenak, lalu duduk di kursi seberang. “Bara udah ngabarin?”
Risa menggeleng. “Nggak.” Jawaban singkat yang kembali mengurai perasaan ‘tidak diinginkan’ dalam diri Risa.
Damar menunduk. “Tadi aku beli bubur. Mau makan dulu?” Ia menunjuk plastik kecil di atas meja. “Masih hangat.”
Risa sempat ingin menolaknya, tapi perutnya yang kosong mulai terasa perih. Ia mengambil sendok dengan perlahan, dan menyendokkan satu suapan. Rasanya hambar—atau mungkin karena nafsu makannya yang semakin hari semakin menurun.
Damar memperhatikannya dalam diam. Ia menatap bagaimana tangan Risa yang memegang sendok dengan sedikit gemetar, seperti menahan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa lapar.
Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Damar memberanikan untuk kembali berbicara, “Ris, kamu cinta dengan Bara?”
Risa berhenti mengunyah. Pandangannya kosongnya jatuh di atas meja, perasaannya tengah berperang dengan pikirannya sendiri. “Kenapa mas tiba-tiba bilang gitu?’
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi berhasil membuat Damar terdiam. Ia menatap perempuan itu dalam, perempuan yang hancur dari dalam tapi tetap berusaha tenang demi anaknya.
“Gapapa. Aku nanya aja.” katanya akhirnya.
“Aku gak bisa jawab mas.” lirihnya, meletakkan sendok. “Kalau gak cinta kenapa bisa ada Sara? Tapi sayangnya, makin lama perasaanku kayak tergerus.”
Damar mengerutkan dahinya, mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. “Cape ya?”
Risa menghela napas, menatap mata Damar dalam keheningan yang terlalu jujur untuk bisa diungkapkan. Suara jam yang berdentang dan desiran angin menjadi satu-satunya saksi di antara keduanya.
Ia mengalihkan pandangan cepat ke arah lain, jemarinya bergerak menyeka air mata di ujung matanya.
Keheningan kembali menyelimuti keduanya. Risa menatap tangan Damar yang masih di atas meja—hanya beberapa senti dari tangannya sendiri. Jarak yang begitu dekat... tapi tetap terasa jauh.
“Mas,” katanya akhirnya. “Mas… Terima kasih ya.”
Damar kembali terdiam. Bibirnya mengatup sesaat sebelum kembali berbicara, “Misalkan… Misalkan Bara—”
“Ooooeeek ... ooeeeek.”
Teriakan kencang dari dalam kamar membuat keduanya terlonjak.
“Aku aja,” ujar Damar singkat, menghentikan Risa yang sudah bangkit dari duduknya.
Damar setengah berlari menuju kamar menimang Sara yang kinin terisak dalam tangisnya. Ia menimang bayi tak berdosa itu penuh kelembutan, membisikkan kata-kata cinta untuknya dan membawanya meneumui Risa.
Risa menatap keduanya penuh haru, hal yang tak pernah ia lihat dari Bara. Damar, bahkan lebih ‘luwes’ menimang Sara daripada ayahnya sendiri.
*
Entah jam berapa, Risa terbangun oleh rasa nyeri yang ia rasakan. Dadanya menegang lagi—sakit, seperti diremas dari dalam. Ia bangkit dari tempat tidur dengan perlahan agar tak membangunkan anaknya.
Tangannya mencoba memberi pijatan ringan, tapi rasa sakitnya justru makin terasa.
“Ya Tuhan,” desisnya menggigit sudut bibirnya.
Ia melangkah tertatih menuju dapur, mengambil air hangat untuk mengompress ASI-nya.
Damar yang kebetulan masih terjaga di ruang tamu, menoleh cepat, “Ris? Kamu kenapa?” paniknya berdiri, menghampiri Risa.
Risa menunduk, panik, ingin menyembunyikan rasa sakitnya. “Nggak papa, Mas. Cuma ... kambuh lagi,” bisiknya lemah.
Damar meraih bahu Risa lembut, “Sini, duduk dulu,” katanya, menuntun Risa ke sofa.
Ia menatap wajahnya yang pucat, rambut yang berantakan, keringat kecil di pelipis, dan suhu badan yang terasa lebih panas. “Kamu demam,” ucapnya pelan sambil meraba keningnya.
Risa menunduk meahan malu. “Tadi udah dikompres, Mas. Tapi masih bengkak.”
Damar menghela napas pendek, menatap baskom kecil di meja—air hangat yang tadi siang digunakan untuk mengompress. “Mau aku bantu?” tanyanya hati-hati.
Risa terdiam. “Aku sendiri aja, Mas. Tolong air hangatnya aja,” pintanya lemah.
Damar mengangguk, ia mengambil handuk kecil di dapur dan menuangkan air hangat yang sengaja disiapkan sebelumnya.
“Sini,” ujarnya menyuruh Risa sedikit mendekat. Ia merendam handuk sebentar ke dalam air hangat, lalu memerasnya perlahan. “Bilang kalau terlalu panas, ya.”
“Eum, Mas—”Damar membalikkan badannya, memunggungi Risa.“Ini masih panas, Mas.” kata Risa mengeram.Tangannya dicelupkan sebentar sebelum benar-benar menaruh handuk ke bagian dada.“Sebentar. Aku tambahin air dulu.”Risa tersenyum kecil. Sementara Damar berlari ke dapur, Risa membuka kancing piyamanya, mengompresnya perlahan. “Ssshhh ..,” rintihnya menahan nyeri. “Aduh,” rintihnya menggigit sudut bibirnya.Satu menit. Dua menit. Rasanya tak kunjung reda, ia menyerah. Tangannya masih menempelkan handuk hangat di dada Risa ketika pintu kamar terdengar terbuka.Damar muncul sambil membawa mangkuk air hangat baru—nyaris penuh sampai bibirnya—seakan begitu terburu-buru sampai tidak sempat menutup pintu kembali.“Ris—”Ia langsung mendekat, mangkuk hampir tumpah karena tangannya gemetar. Damar terdiam setengah detik, matanya jelas panik melihat piyama Risa setengah terbuka. Lalu matanya memejam seraya melangkah ke arahnya.Handuk di dada Risa jatuh sedikit. Ia buru-buru menutupnya saat
Malam itu, rumah terasa semakin sunyi. Jam di dinding berdetak pelan, seperti mengingatkan bahwa waktu terus berjalan meskipun tanpa kehadiran Bara.Risa duduk di ruang tamu, membiarkan lampu kuning temaram menerangi sebagian wajahnya yang diselimuti kabut kesedihan. Sesekali, ia masih merasakan dadanya nyeri, membuatnya harus meringis kesakitan setiap kali rasa sakit itu kembali menerjang.Damar keluar dari dapur dengan membawa segelas air hangat di tangannya. Ia menaruhnya di meja tepat di hadapan Risa. “Kamu udah minum obat dari dokter?” tanyanya.Risa mengangguk pelan. “Udah, Mas. Katanya nanti kalau demam baru harus balik lagi.”Damar menatapnya sejenak, lalu duduk di kursi seberang. “Bara udah ngabarin?”Risa menggeleng. “Nggak.” Jawaban singkat yang kembali mengurai perasaan ‘tidak diinginkan’ dalam diri Risa.Damar menunduk. “Tadi aku beli bubur. Mau makan dulu?” Ia menunjuk plastik kecil di atas meja. “Masih hangat.”Risa sempat ingin menolaknya, tapi perutnya yang kosong mul
Risa duduk di kursi tunggu ruang laktasi dengan wajah sedikit menahan nyeri.Blusnya basah di bagian dada, sementara Sara tertidur pulas di gendongan.Damar berdiri di sampingnya, canggung. Tangannya disilangkan di depan dada, tak tahu harus melakukan apa.Beberapa menit kemudian, seorang perawat memanggil nama Risa, lalu membawanya masuk ke ruangan pemeriksaan.Ia menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan gugupnya. “Mas, nanti kalo Mas Bara pulang—”“Dia bilang meeting luar negeri. Mungkin nggak balik cepat.” Jawaban itu datar, tapi ada nada lain yang tak ia ucapkan.Risa hanya mengangguk. Ia tahu, tak ada gunanya bertanya lebih jauh.Sesampainya di pintu, Damar membantu mengambil alih tas dan menggendong Sara tanpa banyak bicara. Risa menatap sekilas. Mengapa rasanya makin tak karuan?“Bu Risa Prameswari?”Risa berdiri, lalu menoleh ke Damar. “Mas, tunggu sini aja—”Belum sempat ia melangkah, perawat menatap ke arah Damar. “Bapak ikut aja, ya. Dokternya mau jelasin juga soal p
“Mau ke mana?”Suara bariton itu menghentikan langkah Bara yang baru kembali dari luar.“Ambil paspor, Mas. Ada meeting mendadak di luar negeri, sekalian opening cabang baru,” jawabnya datar, tanpa menatap Damar.Damar bersandar di kursi, kedua tangan bersilang di dada, mengamati adiknya yang menenteng koper kecil dan tas selempang. Terlalu rapi untuk disebut “mendadak.”“Kerjaan, ya?” gumam Damar pelan. “Atau… liburan sama pacar kamu itu?”Tatapan Bara langsung berubah tajam. “Mas Damar ngomong apa, sih?”“Aku tau, kamu masih main belakang sama perempuan itu.”Nada Damar meninggi, menahan amarah yang sudah lama mengendap.Bara menghela napas kasar. “Aku juga butuh waktu buat diri sendiri! Aku capek, Mas!”“Waktu buat diri sendiri?” Damar mendekat, tatapannya tajam menusuk. “Kamu punya istri di rumah, punya anak kecil yang masih butuh kamu. Risa nggak pernah minta apa-apa, tapi bukan berarti kamu boleh kabur seenaknya!”“Kamu gak tau anak kamu rewel dan istri kamu sakit? Pergi gitu aj
Semalaman, entah mengapa tidurnya terasa tenang.Tak ada tangisan Sara yang biasanya membangunkannya untuk menyusu—rasanya damai, anehnya.Pagi itu, Risa mengganti popok Sara sambil menahan nyeri di dadanya. Payudaranya menegang– sudah beberapa hari seperti itu. Dulu ASI-nya tak keluar sama sekali, dan sekarang justru mulai menegang dan kencang saat Sara sudah terbiasa pada susu formula.Terlambat. Seperti dirinya yang selalu datang terlambat dalam segalanya.“Risa!”Suara Bara memecah pagi.Risa menoleh, lalu menunduk cepat-cepat. “Ngapain aja semaleman? Rumah berantakan, cucian numpuk, makanan nggak ada! Hari libur gini, aku pengen santai, bukan ngeliat kapal pecah kayak gini!”BRAK!Pintu terguncang. Sara nyaris menangis. Risa refleks memeluknya, tubuhnya ikut bergetar.“Mas … aku semaleman jagain Sara, dia rewel terus. Aku belum sempat—”“Alasan terus!”Bentakan itu menampar telinganya.Dari kamar, Damar mendengar semua. Suaranya datar saat akhirnya keluar, tapi dingin.“Cukup, B
“Risa! Urusin anak kamu itu! Berisik banget!”Hentakkan itu membuat Risa mendongak. Pasalnya, dari pagi ia menahan sakit di tubuhnya. “Tapi Sara nangis terus dari tadi, Mas. Badanku masih lemes banget ...,” lanjut Risa sembari mengayun tubuh Sara penuh kelembutan. Sebulir keringat mulai bercucuran menandakan bagaimana rasa lelah yang ia derita.“Kamu baru segitu aja ngeluh. Gimana aku yang baru pulang kerja! Aku tuh capek! Urus anak kamu yang berisik banget!”Pelipisnya makin basah oleh keringat, satu tangan menimang Sara yang terus menangis tanpa jeda. Matanya sayu, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil di bawah lampu redup yang nyaris padam.Risa menahan napas, menatap bayinya yang menangis di pelukannya.“Aku cuma minta tolong bikinin susu, Mas,” bisiknya.“Ya udah, gendong aja. Ntar juga diem sendiri,”Suara Bara membelah kamar sempit itu seperti cambuk. Jemarinya sibuk menggulir ponsel, seakan dunia Risa dan anak mereka hanya suara latar yang mengganggu.Risa menatap suaminya lama







