Masuk“Aku cuma ... kasihan sama Sara,” potongnya.
Risa mengerjap. “Sara?” “Iya.” Damar melirik ke arah kamar. “Kalau kamu terus-terusan sakit, Sara bakalan nggak Kalimatnya sederhana. Masuk akal. Dan membuat Risa terdiam seketika. Tatapannya kosong, tertampar oleh ucapan Damar yang begitu menusuknya. “Jadi kalau tambah parah,” lanjut Damar, menatapnya singkat. “Bilang. Supaya aku tahu harus ngapain.” Risa mengangguk tanpa sadar. “Iya, Mas. Makasih.” “Hm.” Damar kembali menyandarkan tubuhnya, seolah percakapan usai. Risa masuk ke dalam kamar, menutup pintunya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Begitu pintu tertutup, Damar menarik napas panjang, menahan sesuatu yang tidak ia akui bahkan pada dirinya sendiri. Matanya melirik arah kamar sekali lagi—cepat, sekejap—lalu ia membetulkan posisi duduknya. Risa menatap ara yang masih terbenam dalam tidurnya. Tenang, napas teratur, melihat itu, Risa tersenyum kecil. Setidaknya anaknya tidak rewel hari ini. Itu sudah cukup membuatnya bisa sedikit beristirahat. Ia berbaring perlahan di sisi kasur, menarik selimut sampai menutupi pinggangnya. Matanya terpejam, napasnya diatur sedalam mungkin. Ia benar-benar ingin tidur. Tapi baru beberapa menit ... Sret. Risa menggeliat kecil. Ada rasa sakit, seperti ditarik dari dalam dadanya—nyeri, panas, menusuk. “Aduh...,” bisiknya, hampir tidak terdengar. Ia mengganti posisi tidur. Miring kiri. Lumayan. Tapi hanya beberapa detik. Miring kanan. Tidak nyaman. Telentang. Jauh lebih sakit. Risa menghela napas resah. Ia mencoba menekan area yang bengkak dengan lembut, hanya untuk memastikan apakah sudah membaik atau masih keras. Ternyata belum. Gelombang nyerinya datang seperti ombak kecil, datang ... hilang ... datang lagi... hilang ... tapi kali ini, muncul lagi, lebih sakit. Ia sampai harus meremas ujung bantal untuk menahan diri agar tidak mengeluarkan suara, membuat Sara terbangun. “Kenapa nggak hilang-hilang sih ...,” gumamnya frustasi. Ia mencoba memejamkan matanya lagi. Mencoba tidur meski tubuhnya terus memberontak. Tapi setiap kali ia hampir terlelap, rasa sakit itu kembali membangunkannya. Membuatnya mengerutkan wajah, menahan napas, lalu mencari posisi yang mungkin sedikit lebih nyaman. Tidak ada yang benar-benar membantu. Lima menit... Sepuluh menit... Lima belas menit... Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan denyut jantungnya yang memompa cepat di balik dadanya. Jantungnya ikut berpacu karena rasa tak nyaman itu. Risa akhirnya duduk, bersandar pada kepala ranjang. Menekuk lututnya, memegangi dadanya dengan satu tangan. Ia menunduk, menatap lantai, napasnya naik turun. Ingin menangis karena capek, tapi tidak bisa. Tidak boleh membangunkan Sara. Ia menutup mulut dengan punggung tangan saat nyeri itu datang lagi—lebih panjang, lebih panas, sampai tubuhnya sedikit gemetar. “Astaga ...,” desahnya tertahan, suara hampir tak keluar. Beberapa detik ia hanya terdiam, menunggu rasa nyeri itu mereda. Ia menarik napas panjang, menghembuskan pelan, mengatur napas sebisa mungkin. Saat gelombang sakitnya perlahan hilang, Risa akhirnya merebahkan dirinya lagi ke kasur, kali ini dengan gerakan sepelan mungkin. Namun baru beberapa detik ... nyerinya datang lagi—menusuk dari arah yang sama, membuat tubuhnya spontan menegang. Risa mengusap wajahnya frustrasi. Matanya terasa panas, bukan karena menangis, tapi karena terlalu lelah menahan sakit. “Udah ... cukup ...,” bisiknya lirih, hampir seperti memohon pada tubuhnya sendiri. Ia bangkit. Kali ini tanpa ragu. Menggapai tas kecilnya. Tangannya menyusuri isi tas, dompet, tisu, botol kecil minyak telon, lip balm ... lalu bungkus strip obat pereda nyeri yang diresepkan oleh dokter. Ia menarik napas, melihat obat itu beberapa detik. Dokter memang tidak menyuruhnya minum kecuali jika sangat diperlukan. Tapi nyerinya sudah bolak-balik seperti ini ... kalau dibiarkan, ia bisa demam. Risa membuka bungkus obat itu perlahan, takut jika suaranya membangunkan Sara. “Maafin Mama, Sayang ...,” gumamnya kecil, menatap wajah anaknya yang masih lelap. “Mama capek ... capek banget.” Ia meraih botol berisi minuman di nakas samping tempat tidur. Hap. Ia menelan obat itu cepat, lalu menyesap air minum, beberapa kali. Setelahnya, ia kembali merebahkan dirinya di kasur. Menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Sampai akhirnya, ia tertidur begitu saja. Entah berapa lama. "Risa," dengar Risa, sebelum akhirnya ia terlelap dalam tidurnya.“Mas ...,” lirih Risa hampir tak terdengar, “aku ... pusing ...,” ujarnya, merasakan pandangannya buram.Damar langsung menegang. “Risa?”Kelopak mata Risa berkedut, tubuhnya condong ke depan, hampir jatuh dari sofa. Damar sigap meraih bahunya, menahan tubuh itu sebelum benar-benar ambruk.“Risa!” amar menguncang tubuh Risa beberapa kali, mencoba membuatnya tetap tersadar. “Hei. Jangan merem. Dengar aku.”Tangan Risa meraih udara kosong, gemetar, lalu jatuh lemas ke pangkuannya.“Mas ... aku ... nggak bisa napas ...,” bisiknya parau.Damar membeku sepersekian detik—cukup untuk menunjukkan rasa takutnya—lalu langsung mengangkat wajah Risa dengan kedua tangannya.“Risa, buka mata. Sekarang.”Risa mencobanya ... tapi pandangannya kabur. Badannya dingin. Kepalanya terasa ringan.“Mas ... gelap ...”Tubuhnya terkulai.Damar menahan napas meliat Risa yang semakin lemah.“RISA!”Risa membuka mulutnya sedikit, seperti ingin bicara—tapi tak ada suara yang keluar.Tubuhnya tiba-tiba jatuh penuh
Damar menepis tangan Risa dari pompa itu dengan cepat—keras—pompa itu jatuh ke lantai. Menimbulkan suara yang cukup keras. Damar bergegas menggeser tubuhnya, menghalangi Risa menggapai pumping itu.“RISA!” bentaknya.Risa tersentak, menatap nanar pumping miliknya yang kini teronggok di balik badan Damar. “Mas! Kenapa—”“Karena kamu nyakitin diri sendiri,” jawabnya datar. Sangat datar.Risa mendongak, berlinang air mata. “Aku cuma mau ngeluarin ASI! Tadi udah keluar! Harusnya bisa lebih banyak—”“Risa.”Bentakan Damar tajam. Mengiris. Dingin. “Kamu perahnya sembarangan. Ritmenya nggak bener. Kamu maksa perah ASI sampai merah,” ujar Damar melihat sekilas area dada Risa, melihat sebagai kakak ipar yang cemas, bukan pria bernafsu.Risa menggeleng keras, napasnya tersengal, dadanya naik turun tak karuan. “Awas! Aku harus isi botolnya! Kalau aku nggak perah, nanti ASI-nya makin sedikit—Mas nggak ngerti—”“Aku ngerti.”Damar jarang—sangat jarang—menaikkan suara.Wajahnya mengeras. Rahangnya
Damar mendongak perlahan—sangat perlahan—seolah Risa baru saja menamparnya dengan pertanyaan itu. Tatapannya kosong, sebelum akhirnya ia mengembalikan fokusnya pada Risa.“Jangan paksa aku buat jawab pertanyaan yang bahkan kamu sendiri tahu itu nggak benar,” ucapnya dingin.Nada suaranya rendah, serak, tapi tetap stabil. Tidak ada belaian. Tidak ada pelukan. Hanya ketegasan yang terus menusuk.Risa menggigit bibirnya, bahunya bergetar. “Tapi Mas nggak jawab ... berarti—”“Tuhan, Risa.”Damar mengusap wajahnya sendiri—frustasi—lalu menunduk, seperti menahan amarah yang sudah mencapai batas.“Kalau kamu ngomong kayak gitu terus,” ia menatap Risa tajam, “kamu bukan cuma nyakitin diri kamu sendiri. Kamu nyakitin Sara juga.”Risa terdiam. Napasnya tercekat.“Dia butuh kamu. Ibu kandungnya.”Damar mencondongkan tubuh sedikit, memnyadarkan Risa, tapi suaranya menekan dada Risa seperti beban.“Kamu masih bertahan di sini, masih berani buat nyoba, masih mau nyusuin dia walaupun sakitnya seteng
“Kenapa?”Risa menahan napas, dadanya naik turun cepat. “Mas ... kok ... kok jadi gini?” suaranya pecah, gerakannya terhenti.Damar memicingkan mata, menatap corong pompa. Alat itu masih menempel, masih bergerak, tapi suara hisapannya melemah ... lalu—Ctak.Sebuah suara kecil terdengar dari dalam corong.Risa tersentak. ASI yang tadi sempat mengalir, meskipun masih lemah, kini ... hanya menetes pelan. Lalu berhenti. Benar-benar berhenti.Ia menatap corong dengan seksama “Kok ... berhenti?” Risa menelan ludah, matanya melebar. “Mas ... tadi keluar ... sekarang ... nggak ...,” ujarnya, menatap Damar penuh tanya.“Mungkin penyumbatannya belum sepenuhnya—”“Mas.” Suara Risa bergetar, memotong ucapan Damar. Ia mengangkat alat pumping tepat di wajahnya, mengamati dengan begitu serius.Damar menatap corong dengan fokus, mengecek posisi corongnya., hanya ada satu tetes terakhir yang jatuh ... Setelah itu, tidak ada apa-apa. Tak ada setetes pun.Risa menunduk, bahunya turun drastis, napasnya
“Aku cuma ... kasihan sama Sara,” potongnya.Risa mengerjap. “Sara?”“Iya.” Damar melirik ke arah kamar. “Kalau kamu terus-terusan sakit, Sara bakalan nggak Kalimatnya sederhana. Masuk akal. Dan membuat Risa terdiam seketika. Tatapannya kosong, tertampar oleh ucapan Damar yang begitu menusuknya.“Jadi kalau tambah parah,” lanjut Damar, menatapnya singkat. “Bilang. Supaya aku tahu harus ngapain.”Risa mengangguk tanpa sadar. “Iya, Mas. Makasih.”“Hm.” Damar kembali menyandarkan tubuhnya, seolah percakapan usai.Risa masuk ke dalam kamar, menutup pintunya tanpa menimbulkan suara sedikitpun.Begitu pintu tertutup, Damar menarik napas panjang, menahan sesuatu yang tidak ia akui bahkan pada dirinya sendiri. Matanya melirik arah kamar sekali lagi—cepat, sekejap—lalu ia membetulkan posisi duduknya.Risa menatap ara yang masih terbenam dalam tidurnya. Tenang, napas teratur, melihat itu, Risa tersenyum kecil. Setidaknya anaknya tidak rewel hari ini. Itu sudah cukup membuatnya bisa sedikit ber
“Eum, Mas—”Damar membalikkan badannya, memunggungi Risa. "Aku nggak lihat."“Ini masih panas, Mas.” kata Risa mengeram.Tangannya dicelupkan sebentar sebelum benar-benar mencelupkan handuk hingga basah.“Sebentar. Aku tambahin air dulu,” ujar Damar cepat. Membuat Risa meremas handuk dengan cepat.Risa tersenyum kecil. Sementara Damar berlari ke dapur, Risa membuka kancing piyamanya, mengompresnya perlahan. “Ssshhh ..,” rintihnya menahan nyeri. Satu menit. Dua menit. Rasanya tak kunjung reda, ia menyerah. Tangannya masih menempelkan handuk hangat di dada ketika suara langkah perlahan mendekat ke arahnya.Damar muncul sambil membawa mangkuk air hangat baru—nyaris penuh sampai bibirnya—seakan begitu terburu-buru sampai tidak sempat menjaga langkahnya.“Ris—” Ia langsung mendekat, membuat mangkuk hampir tumpah karena tangannya yang gemetar. Damar terdiam dua detik, matanya jelas panik melihat piyama Risa yang setengah terbuka. Lalu matanya memejam seraya melangkah ke arahnya.Handuk d







