Se connecterCeline berdiri diam di tempat. Pipinya masih panas, bekas tamparan ibu tirinya terasa perih hingga menjalar ke dadanya. Pandangannya buram oleh air mata yang akhirnya tak sanggup lagi ia tahan.
Begitu langkah ayahnya menghilang di balik koridor, keheningan itu berubah menjadi lebih dingin, lebih kejam, dan semakin menyesakkan dada. “Lihat tuh,” suara Maya terdengar lagi, penuh kepuasan. “Gadis sepertimu memang pantas diperlakukan begitu. Kalau kamu nggak terus bikin masalah, aku nggak bakal begini sama kamu.” Celine menunduk, bahunya gemetar. “Aku... nggak maksud bikin masalah, Ma—” “Berhenti panggil aku Mama!” potong Maya cepat, suaranya setajam pisau “Kamu bukan anakku. Dan aku nggak pernah anggap kamu bagian dari keluarga ini.” Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan barusan. Celine memejamkan mata, menahan air mata yang makin deras mengalir. Sementara itu, Sasha melangkah mendekat, pura-pura lembut menyentuh bahu ibunya. “Sudahlah, Ma… jangan terlalu keras.” Lalu ia menatap Celine, bibirnya terangkat sinis. “Lagipula buat apa dimarahi terus? Dia kan emang nggak punya harga diri dari sananya.” Tawa kecil Sasha menggema di ruangan itu, pelan namun menusuk. Celine memejamkan mata, ingin bicara, ingin melawan—tapi tenggorokannya seperti terkunci. Ia hanya berdiri di sana, menunduk dalam, menggigit bibir sampai nyaris berdarah. Maya menarik napas dalam, lalu duduk di sofa. Matanya menatap Celine dengan dingin. “Sudahlah, jangan nangis lagi. Aku nggak akan luluh cuma karena air mata murahanmu itu. Sekarang, tuangkan teh untuk aku dan kakakmu.” Dengan tangan gemetar, Celine menuruti. Ia melangkah pelan menuju meja, menuang teh dari teko porselen. Asap hangat menari di udara, kontras dengan dinginnya suasana ruangan itu. Begitu selesai, ia menyerahkan cangkir itu dengan dua tangan. Namun, detik berikutnya— PRANG! Cangkir itu terlepas dari tangan Maya, menghantam lantai marmer dan pecah berantakan. Cairan panas tumpah mengenai tangan Celine, membuatnya tersentak kecil menahan perih. Itu sengaja. Celine tahu betul itu sengaja. “Dasar anak nggak berguna! Lihat apa yang kamu lakukan!” bentak Maya. Celine buru-buru menggeleng, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku... nggak sengaja, Ma. Cangkirnya tadi—” “Diam!” potong Maya cepat, nadanya meninggi. “Udah bikin lantai kotor, masih berani membantah juga?! Bersihkan sekarang!” Celine menelan ludah, langkahnya goyah. “Aku... ambil sapu dulu, Ma.” “Nggak perlu! Bersihkan langsung pakai tanganmu!” “Tapi, Ma—” “Nggak ada tapi! Bersihkan sekarang!” Napas Celine tercekat. Ia tahu percuma melawan. Maka perlahan, ia berlutut di lantai. Jemarinya gemetar saat memunguti pecahan porselen satu per satu. Beberapa serpihan kecil menusuk kulitnya, meninggalkan garis merah dan perih yang membuat dadanya semakin sesak. Namun, Celine tetap diam. Tak ada keluhan, tak ada air mata—hanya isak yang tertahan dalam tenggorokannya. Sasha yang duduk di samping ibunya menatap Celine dengan tatapan puas. “Ma, jangan disuruh bersihin pakai tangan gitu, dong,” ujarnya ringan, pura-pura prihatin. “Kasihan nanti tangannya lecet. Eh, tapi ya… mungkin dia udah biasa, kerja kasar.” Maya tertawa kecil, dingin. “Biarin aja. Setidaknya kali ini dia bisa ngelakuin sesuatu yang berguna.” Celine berhenti sejenak. Air matanya jatuh, menetes di antara pecahan porselen yang memantulkan wajahnya—wajah pucat, rapuh, dan nyaris tanpa harapan. Suara tawa Maya dan Sasha kembali terdengar, lembut namun lebih menyakitkan daripada jeritan. Dan di tengah semua itu, Celine berbisik pada dirinya sendiri agar tetap kuat—meski sebenarnya ia tahu, kekuatannya hampir habis. . . Celine masih berlutut di lantai, memunguti pecahan cangkir satu per satu. Punggung tangannya sudah memerah karena air panas, sementara jemarinya berdarah akibat serpihan porselen. Tapi ia tetap menunduk, menahan perih dan gemetar yang menjalar hingga ke siku. Di atas sofa, Maya dan Shasa tetap duduk santai, seolah keberadaan Celine hanyalah bayangan tak berarti. “Ma,” suara Shasa lirih, tapi cukup jelas terdengar di telinga Celine. “Sejak kemarin kepalaku nggak tenang. Mantan suamiku terus nelpon, minta ketemu. Katanya nyesel… pengin rujuk.” Nada Sasha terdengar getir, tapi juga menyimpan harapan kecil. Maya menoleh pelan, bibirnya terangkat dingin. “Sudahlah, Sha. Laki-laki kayak dia nggak pantas dikasih kesempatan kedua. Kalau memang nyesel, dia nggak bakal selingkuh waktu itu, kan?” Shasa menunduk, tapi tetap mencoba membela. “Tapi, Ma—” “Udah,” potong Maya cepat. “Jangan bodoh. Pria yang udah ninggalin kamu sekali, bisa ngelakuin hal yang sama untuk kedua kalinya.” Suaranya tajam, lalu melunak sesaat kemudian. “Mending kamu fokus ke hal yang lebih berharga. Hari ini Papa ada rapat penting sama CEO dari Aldevra Group. Kamu ikut aja temani.” Shasa mengangkat wajahnya cepat. “Aldevra Group? Yang perusahaan besar itu?” “Iya.” Senyum tipis muncul di wajah Maya. “Katanya CEO-nya duda, anak satu. Masih muda, sukses, dan mapan. Tipe pria yang ideal banget buat kamu.” Di sisi lain, Celine berhenti memungut pecahan kaca. Gerakan tangannya terhenti di udara, napasnya nyangkut di tenggorokan. Aldevra Group? Nama itu… terasa tak asing di telinganya. Shasa menatap ibunya ragu. “Maksud Mama, aku harus—” “—menarik perhatiannya.” Maya menyelesaikan kalimat itu dengan tenang, hampir tanpa ekspresi. “Kamu cantik, pintar, dan tahu cara bermain peran. Gunakan itu. Kalau kamu bisa dekat dengan dia, posisi kita akan lebih kuat.” Senyum tipis dan licik perlahan merekah di bibir Shasa. “Baiklah, Ma. Sepertinya itu ide yang menarik.” “Bagus, Nak.” Maya menepuk tangan Shasa lembut. “Jangan buang waktu untuk masa lalu. Fokuslah pada masa depan yang bisa menjamin hidupmu.” Tawa mereka pelan tapi menusuk. Celine menunduk lebih dalam, sibuk memungut serpihan cangkir yang tersisa. Tapi entah kenapa, dadanya bergetar dan pikirannya dipenuhi tanda tanya. CEO Aldevra Group. Duda. Satu anak. Entah mengapa, tiga kata itu terus berputar di kepalanya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat tanpa ia mengerti alasan pastinya. Setelah membersihkan semua pecahan, Celine berdiri perlahan. Jemarinya yang sempat terluka kini memerah, tapi ia tidak peduli. Napasnya berat, bahunya terasa lelah. Tanpa sepatah kata, ia melangkah menuju kamarnya. Langkahnya pelan, menapak di lantai marmer yang dingin. Begitu pintu tertutup di belakangnya, keheningan langsung menyelimuti ruangan itu. Kamar kecil di ujung lorong—satu-satunya tempat yang mampu memberinya ketenangan… meski hanya sesaat. Ia duduk di tepi ranjang, menatap satu-satunya foto yang tersisa di atas meja kecil. Wajah lembut seorang wanita dengan senyum yang selalu menenangkan, ibunya. “Ma…” suaranya bergetar. Ia meraih bingkai itu dan menggenggamnya erat. Air mata mulai jatuh, menetes di permukaan kaca. “Andai Mama masih ada… aku nggak akan sendirian kayak gini.” Tangisnya pecah, pelan namun menyayat hati. Semua luka yang ia pendam di depan Maya dan Sasha tumpah begitu saja. Ia menatap foto itu lama, seolah ingin berbicara dengan sosok di dalam bingkai. Tapi semakin lama matanya menatap, dadanya justru makin sesak. Tiba-tiba sebuah ingatan lama menyeruak—sirene meraung, cahaya lampu ambulans, dan tubuh ibunya yang terbaring tak bernyawa di antara kaca mobil yang remuk. Celine memejamkan mata, berusaha mengusir bayangan itu, tapi tak mampu. Orang bilang itu kecelakaan. Tapi... kenapa sebelum kabar kecelakaan Mama datang malam itu, Papa pulang dengan wajah tegang, tangan gemetar, dan setitik noda darah di lengan kemejanya? Kenapa sejak hari itu, setiap kali nama Mama disebut, Papa selalu tersulut emosi—tatapannya seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan? Dan sejak Papa menikah dengan Maya, sikapnya semakin berubah… seolah ada sesuatu yang sengaja ia sembunyikan dariku. Celine menggigit bibirnya pelan. Dadanya bergetar, seolah ada sesuatu yang menekan dari dalam. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar takut dengan pikiran yang tiba-tiba muncul di benaknya. “Apa mungkin… Mama nggak benar-benar meninggal karena kecelakaan?” bisiknya nyaris tak terdengar. Jemarinya gemetar saat mengusap permukaan kaca itu. Tatapannya buram oleh air mata, sekaligus oleh rasa curiga yang mulai tumbuh di dalam dada. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu—tapi firasatnya berkata, ada sesuatu yang memang tidak beres. *****Celine berdiri diam di tempat. Pipinya masih panas, bekas tamparan ibu tirinya terasa perih hingga menjalar ke dadanya. Pandangannya buram oleh air mata yang akhirnya tak sanggup lagi ia tahan. Begitu langkah ayahnya menghilang di balik koridor, keheningan itu berubah menjadi lebih dingin, lebih kejam, dan semakin menyesakkan dada. “Lihat tuh,” suara Maya terdengar lagi, penuh kepuasan. “Gadis sepertimu memang pantas diperlakukan begitu. Kalau kamu nggak terus bikin masalah, aku nggak bakal begini sama kamu.” Celine menunduk, bahunya gemetar. “Aku... nggak maksud bikin masalah, Ma—” “Berhenti panggil aku Mama!” potong Maya cepat, suaranya setajam pisau “Kamu bukan anakku. Dan aku nggak pernah anggap kamu bagian dari keluarga ini.” Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan barusan. Celine memejamkan mata, menahan air mata yang makin deras mengalir. Sementara itu, Sasha melangkah mendekat, pura-pura lembut menyentuh bahu ibunya. “Sudahlah, Ma… jangan terlalu keras.” Lalu
Aldean hanya menggeleng pelan, memalingkan wajah sejenak sambil berusaha menekan napas berat yang nyaris lolos dari dada. Bukan karena marah, tapi karena ia tahu… kalau ia menuruti emosinya sekarang, semuanya bisa jadi lebih rumit. “Jangan berlebihan,” ucapnya akhirnya, datar tapi tegas. Di sisi lain, Celine mendengus pelan, semakin kesal. Aldean berdiri dan berjalan santai ke arah lemari dapur. Ia mengambil gelas, menuang air dari dispenser, lalu kembali ke meja pantry. Berdiri di samping Celine, ia meneguk air perlahan. Gerakannya tenang, kontras dengan suasana hati Celine yang masih gelisah di kursinya. Celine melirik pria itu diam-diam. Entah kenapa, setiap Aldean bersikap tenang seperti itu… justru membuat dadanya makin tak tenang. Keheningan itu menggantung. Cahaya lampu dapur yang redup memantul lembut di wajah Aldean, menambah aura tenangnya yang sulit dijelaskan. “Om…” panggil Celine akhirnya, pelan. “Hm?” Aldean menoleh setengah, alisnya terangkat ringan. “Aku mau mi
Aldean menghela napas dalam, mencoba menghapus bayangan malam itu dari pikirannya. Tapi semakin ia berusaha melupakannya, semakin pikirannya terjebak. Karena kini, gadis yang pernah berbagi malam panas bersamanya, tengah berdiri di hadapannya, menunduk kikuk dengan senyum gugup. Kayra tertawa kecil di samping ayahnya, sama sekali tak menyadari betapa tegangnya suasana antara ayah dan sahabatnya. Sementara Celine hanya bisa tersenyum kaku, menunduk, berharap lantai di bawahnya terbuka dan menelannya hidup-hidup. “Papa, ayo makan malam sekarang!” seru Kayra riang, memecah suasana yang sejak tadi menegang. “Aku udah minta Mbok Sumi masakin menu favorit Papa, loh.” Tanpa menunggu jawaban, Kayra langsung menggandeng tangan Celine dan menariknya dengan semangat. “Ayo, Cel!” katanya ceria. Celine hanya mampu mengangguk pelan, setengah napasnya seolah tertinggal di ruang itu. Aldean menatap keduanya sebentar, lalu ikut melangkah. “Baiklah. Ayo kita makan.” Nada suaranya datar, tapi ba
“Cel, kenalin, ini Papa aku.” Nada ceria Kayra mengalir ringan, tanpa beban sedikit pun. Namun bagi Celine, kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. “Apa?!” serunya refleks, suaranya bergetar. “Papa kamu?” Pandangan Celine membeku. Sosok pria di depannya berdiri tegap dengan aura yang begitu akrab di ingatannya. Wajahnya tampan dan berwibawa, sorot matanya tajam, serta ketenangan yang nyaris mustahil dilupakan. Pria itu—pria yang seminggu lalu menghabiskan malam bersamanya di kamar hotel. Pria yang ia kira seorang gigolo, pesanan bodohnya di tengah mabuk dan patah hati. Kini, pria yang sama berdiri di hadapannya, berbalut kemeja elegan… dan dipanggil dengan sebutan “Papa” oleh sahabatnya, membuat otaknya langsung blank total. Jantung Celine berdebar semakin keras, seolah menghantam rusuknya berkali-kali. Darahnya seakan berhenti mengalir, berganti hawa panas yang menjalar dari leher hingga ujung jari. ‘Mampus aku… ini mimpi, kan? Tolong bilang ini cuma mimpi,’ b
“Engh… ah… pelan-pelan.” Suara lirih gadis itu pecah di antara helaan napas dan desis seprai yang berkeresek. Lampu temaram memantulkan bayangan dua tubuh yang saling menyesap panas malam. Pria di atasnya menatap lekat wajah polos yang menahan malu dan rasa asing. Keringat menetes di pelipis, tapi gerakannya tetap terukur, lembut, seolah tengah membaca setiap reaksi tubuh gadis itu. “Aku terlalu kasar?” suaranya serak, bergetar di antara detak jantung mereka. Gadis itu hanya menggeleng, matanya terpejam rapat. Nyeri samar yang tadi terasa kini berubah menjadi sensasi aneh yang mengaduk perasaannya—antara takut, bingung, dan candu yang tak bisa ia pahami. Hening sejenak. Lalu pria itu tersenyum kecil. “Kau berbeda,” bisiknya di telinga. “Tidak seperti yang kubayangkan.” Gadis itu menatap balik, jantungnya berdebar tanpa alasan. Ada yang salah. Pria itu bukan sekadar gigolo—dan itu justru yang membuatnya takut. . . “Ah… sepertinya aku sudah gila…” Celine menatap jemarinya yan







