Se connecterAldean hanya menggeleng pelan, memalingkan wajah sejenak sambil berusaha menekan napas berat yang nyaris lolos dari dada. Bukan karena marah, tapi karena ia tahu… kalau ia menuruti emosinya sekarang, semuanya bisa jadi lebih rumit.
“Jangan berlebihan,” ucapnya akhirnya, datar tapi tegas. Di sisi lain, Celine mendengus pelan, semakin kesal. Aldean berdiri dan berjalan santai ke arah lemari dapur. Ia mengambil gelas, menuang air dari dispenser, lalu kembali ke meja pantry. Berdiri di samping Celine, ia meneguk air perlahan. Gerakannya tenang, kontras dengan suasana hati Celine yang masih gelisah di kursinya. Celine melirik pria itu diam-diam. Entah kenapa, setiap Aldean bersikap tenang seperti itu… justru membuat dadanya makin tak tenang. Keheningan itu menggantung. Cahaya lampu dapur yang redup memantul lembut di wajah Aldean, menambah aura tenangnya yang sulit dijelaskan. “Om…” panggil Celine akhirnya, pelan. “Hm?” Aldean menoleh setengah, alisnya terangkat ringan. “Aku mau minta sesuatu. Tapi tolong jangan marah dulu, ya.” Aldean meletakkan gelasnya di meja. “Katakan aja, Cel.” Celine menunduk, suaranya ragu. “Tolong jangan sampai Kayra tau… soal malam itu.” Suasana langsung hening. Hanya napas mereka yang terdengar. “Aku cuma… nggak mau dia salah paham,” lanjut Celine pelan. “Dia sahabatku, Om. Aku nggak tau harus jelasin gimana. Aku malu banget.” Aldean menatapnya lama, dalam, dan tanpa kata. Ada sesuatu di sorot matanya, bukan amarah juga bukan penyesalan. Lebih seperti… pengertian yang dewasa dan rumit. “Kamu tenang aja, Cel,” akhirnya ia bicara, suaranya rendah tapi mantap. “Aku nggak akan bilang ke siapa pun. Termasuk ke Kayra.” Celine menatapnya. Ada kelegaan di matanya, tapi juga sedikit gugup yang belum sepenuhnya reda. “Makasih, Om,” ucapnya lirih. Aldean menghela napas pelan, lalu menyandarkan punggung di meja pantry. “Sudah malam,” katanya lembut tapi tegas. "Baliklah ke kamar. Istirahat. Kamu udah cukup pusing malam ini.” “Iya, Om…” gumam Celine pelan, mencoba menutupi rasa canggung yang menelusup di dadanya. Ia berdiri cepat, tapi tumitnya malah tersangkut di kaki kursi bar. “Ah—!” pekiknya refleks. Tubuhnya oleng ke depan, dan sebelum sempat jatuh, tangan kuat Aldean sudah menahan pinggangnya. Gerakan itu cepat, refleks. Dalam sekejap, jarak di antara mereka lenyap. Napas mereka nyaris bertemu, wajah mereka hanya beberapa senti terpisah. Celine tertegun. Hangat napas pria itu menyentuh kulitnya, membuat jantungnya berdetak gila. Tapi detik berikutnya, matanya membelalak, menyadari sesuatu yang membuat darahnya naik ke pipi. “Om!” serunya refleks. “Itu… tangan Om—” Aldean menunduk, menyadari posisi tangan kirinya yang tanpa sadar menyentuh bagian dada Celine. Ia segera menarik diri, wajahnya tetap tenang tapi sedikit kikuk. “Maaf. Refleks,” ucapnya datar, berusaha menutupi canggung dengan suara stabil. “Refleks apaan! Pegang gitu dibilang refleks?” Celine berseru kesal sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, pipinya merah padam antara malu dan jengkel. Aldean menahan tawa yang nyaris pecah. “Kalau aku nggak refleks,” ujarnya tenang, “kamu udah nyium lantai tadi.” Celine mendengus keras, membuang muka. “Ugh! Om Dean nyebelin banget sih!” ujarnya, lalu berbalik buru-buru meninggalkan dapur dengan langkah cepat. Aldean menatap punggung Celine yang menjauh, tawa kecil lolos dari bibirnya. Ia menggeleng pelan sambil meneguk sisa air di gelas. “Anak itu…” gumamnya pelan, senyum tipis tersungging di bibir. ** Pagi datang dengan langit mendung. Sisa hujan dini hari masih menempel di kaca jendela. Mobil Celine berhenti di depan pagar besar rumah keluarga Surya. Tempat yang seharusnya disebut rumah, tapi tak pernah benar-benar terasa seperti itu. Begitu melangkah masuk, suara nyaring langsung menyambutnya. “Baru pulang, ya?!” Maya, ibu tirinya, duduk di sofa ruang keluarga. Pakaian rapi, parfum mahal, dan tatapan sinis yang seolah bisa menelanjangi Celine dari kepala sampai kaki. Senyum tipisnya terangkat, tapi dingin. “Udah bisa pergi dan pulang seenaknya sekarang?” ujarnya tajam. “Maaf, Ma. Aku nginep di rumah temen,” jawab Celine pelan, menunduk. “Temen?” Maya mendengus. “Muka kusut begitu? Kamu pikir aku bodoh?” Celine menahan diri. Percuma menjelaskan, wanita licik itu selalu bisa membalikkan keadaan. Tak lama, langkah berat terdengar dari arah ruang kerja. Surya muncul, wajahnya kaku dan matanya dingin. “Cel,” suaranya datar. “Mama kamu bilang kamu pergi tanpa izin lagi?” “Pa, aku izin juga percuma. Toh nggak ada yang peduli,” balas Celine lirih tapi berani. “Jangan ngelawan!” sela Maya cepat, nadanya meninggi. “Dasar anak nggak tahu diri!” “Cukup, Maya,” sahut Surya, tapi nadanya hambar—lebih seperti ingin mengakhiri keributan daripada membela putrinya. “Enggak cukup, Pa!” Maya langsung berdiri, emosinya memuncak. “Aku capek! Tiap hari anakmu ini selalu bawa masalah! Rumah ini nggak pernah tenang gara-gara dia!” Tiba-tiba, langkah berirama terdengar dari arah tangga. Sasha, kakak tiri Celine, muncul dengan dress rapi dan wajah sok polos. Tapi senyumnya menohok. “Ada apa sih pagi-pagi udah ribut?” tanyanya manis. Pandangannya meluncur ke arah Celine. “Oh… adik manis baru pulang, ya? Seru banget kayaknya, nongkrong sampai pagi?” “Kak Sasha, diam,” ucap Celine pelan, berusaha menahan emosi yang nyaris pecah. “Aku cuma nanya, kok,” Sasha mengangkat bahu ringan, tapi tatapannya menusuk. “Jangan baper, dong. Nanti dikira emang abis ngapa-ngapain lagi.” Wajah Celine menegang. Tapi sebelum sempat ia membalas, suara Maya sudah lebih dulu meledak. “Lihat! Sasha aja tahu batas! Cuma kamu yang enggak!” PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi Celine. Suaranya menggema di seluruh ruang keluarga, menembus dada yang mulai sesak. Celine terpaku di tempat. Matanya berair, kulitnya perih. Tapi yang lebih menyakitkan adalah suara ayahnya yang terdengar sesaat kemudian. “Sudah. Naik ke kamar,” ucap Surya datar, bahkan tanpa menatapnya. “Aku nggak mau dengar kamu bikin ribut lagi.” Celine menatapnya lama, berharap sedikit empati dari ayah kandungnya. Namun yang ia dapat hanyalah tatapan dingin dan punggung yang berbalik pergi tanpa menoleh. Keheningan turun perlahan, menelan segalanya. Yang tersisa hanyalah perih di pipinya dan perasaan kosong yang menekan dadanya begitu kuat hingga sulit bernapas. Untuk sesaat, Celine tak tahu harus marah, sedih, atau tertawa pahit. Yang jelas, pagi itu untuk kesekian kalinya… ia kembali diingatkan bahwa di rumahnya sendiri, ia hanyalah tamu yang tak diinginkan. *****Celine berdiri diam di tempat. Pipinya masih panas, bekas tamparan ibu tirinya terasa perih hingga menjalar ke dadanya. Pandangannya buram oleh air mata yang akhirnya tak sanggup lagi ia tahan. Begitu langkah ayahnya menghilang di balik koridor, keheningan itu berubah menjadi lebih dingin, lebih kejam, dan semakin menyesakkan dada. “Lihat tuh,” suara Maya terdengar lagi, penuh kepuasan. “Gadis sepertimu memang pantas diperlakukan begitu. Kalau kamu nggak terus bikin masalah, aku nggak bakal begini sama kamu.” Celine menunduk, bahunya gemetar. “Aku... nggak maksud bikin masalah, Ma—” “Berhenti panggil aku Mama!” potong Maya cepat, suaranya setajam pisau “Kamu bukan anakku. Dan aku nggak pernah anggap kamu bagian dari keluarga ini.” Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan barusan. Celine memejamkan mata, menahan air mata yang makin deras mengalir. Sementara itu, Sasha melangkah mendekat, pura-pura lembut menyentuh bahu ibunya. “Sudahlah, Ma… jangan terlalu keras.” Lalu
Aldean hanya menggeleng pelan, memalingkan wajah sejenak sambil berusaha menekan napas berat yang nyaris lolos dari dada. Bukan karena marah, tapi karena ia tahu… kalau ia menuruti emosinya sekarang, semuanya bisa jadi lebih rumit. “Jangan berlebihan,” ucapnya akhirnya, datar tapi tegas. Di sisi lain, Celine mendengus pelan, semakin kesal. Aldean berdiri dan berjalan santai ke arah lemari dapur. Ia mengambil gelas, menuang air dari dispenser, lalu kembali ke meja pantry. Berdiri di samping Celine, ia meneguk air perlahan. Gerakannya tenang, kontras dengan suasana hati Celine yang masih gelisah di kursinya. Celine melirik pria itu diam-diam. Entah kenapa, setiap Aldean bersikap tenang seperti itu… justru membuat dadanya makin tak tenang. Keheningan itu menggantung. Cahaya lampu dapur yang redup memantul lembut di wajah Aldean, menambah aura tenangnya yang sulit dijelaskan. “Om…” panggil Celine akhirnya, pelan. “Hm?” Aldean menoleh setengah, alisnya terangkat ringan. “Aku mau mi
Aldean menghela napas dalam, mencoba menghapus bayangan malam itu dari pikirannya. Tapi semakin ia berusaha melupakannya, semakin pikirannya terjebak. Karena kini, gadis yang pernah berbagi malam panas bersamanya, tengah berdiri di hadapannya, menunduk kikuk dengan senyum gugup. Kayra tertawa kecil di samping ayahnya, sama sekali tak menyadari betapa tegangnya suasana antara ayah dan sahabatnya. Sementara Celine hanya bisa tersenyum kaku, menunduk, berharap lantai di bawahnya terbuka dan menelannya hidup-hidup. “Papa, ayo makan malam sekarang!” seru Kayra riang, memecah suasana yang sejak tadi menegang. “Aku udah minta Mbok Sumi masakin menu favorit Papa, loh.” Tanpa menunggu jawaban, Kayra langsung menggandeng tangan Celine dan menariknya dengan semangat. “Ayo, Cel!” katanya ceria. Celine hanya mampu mengangguk pelan, setengah napasnya seolah tertinggal di ruang itu. Aldean menatap keduanya sebentar, lalu ikut melangkah. “Baiklah. Ayo kita makan.” Nada suaranya datar, tapi ba
“Cel, kenalin, ini Papa aku.” Nada ceria Kayra mengalir ringan, tanpa beban sedikit pun. Namun bagi Celine, kalimat itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. “Apa?!” serunya refleks, suaranya bergetar. “Papa kamu?” Pandangan Celine membeku. Sosok pria di depannya berdiri tegap dengan aura yang begitu akrab di ingatannya. Wajahnya tampan dan berwibawa, sorot matanya tajam, serta ketenangan yang nyaris mustahil dilupakan. Pria itu—pria yang seminggu lalu menghabiskan malam bersamanya di kamar hotel. Pria yang ia kira seorang gigolo, pesanan bodohnya di tengah mabuk dan patah hati. Kini, pria yang sama berdiri di hadapannya, berbalut kemeja elegan… dan dipanggil dengan sebutan “Papa” oleh sahabatnya, membuat otaknya langsung blank total. Jantung Celine berdebar semakin keras, seolah menghantam rusuknya berkali-kali. Darahnya seakan berhenti mengalir, berganti hawa panas yang menjalar dari leher hingga ujung jari. ‘Mampus aku… ini mimpi, kan? Tolong bilang ini cuma mimpi,’ b
“Engh… ah… pelan-pelan.” Suara lirih gadis itu pecah di antara helaan napas dan desis seprai yang berkeresek. Lampu temaram memantulkan bayangan dua tubuh yang saling menyesap panas malam. Pria di atasnya menatap lekat wajah polos yang menahan malu dan rasa asing. Keringat menetes di pelipis, tapi gerakannya tetap terukur, lembut, seolah tengah membaca setiap reaksi tubuh gadis itu. “Aku terlalu kasar?” suaranya serak, bergetar di antara detak jantung mereka. Gadis itu hanya menggeleng, matanya terpejam rapat. Nyeri samar yang tadi terasa kini berubah menjadi sensasi aneh yang mengaduk perasaannya—antara takut, bingung, dan candu yang tak bisa ia pahami. Hening sejenak. Lalu pria itu tersenyum kecil. “Kau berbeda,” bisiknya di telinga. “Tidak seperti yang kubayangkan.” Gadis itu menatap balik, jantungnya berdebar tanpa alasan. Ada yang salah. Pria itu bukan sekadar gigolo—dan itu justru yang membuatnya takut. . . “Ah… sepertinya aku sudah gila…” Celine menatap jemarinya yan







