Home / Romansa / Ah! Sentuh Aku Lagi, Om / Awal Yang Mengubah Segalanya

Share

Awal Yang Mengubah Segalanya

last update Last Updated: 2025-11-10 16:16:23

Keesokan harinya.

Menjelang siang, sebuah mobil hitam elegan meluncur tenang di antara padatnya lalu lintas kota.

Di kursi belakang, Aldean bersandar diam. Setelan formalnya rapi, pandangannya menembus kaca jendela, seolah menatap sesuatu yang jauh di luar sana. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyimpan beban yang sulit dijelaskan.

Evan, sang asisten, melirik lewat kaca spion depan.

“Tuan,” panggilnya hati-hati, “Anda terlihat gelisah. Ada yang mengganggu pikiran?”

Aldean tak langsung menjawab. Hening memenuhi kabin.

Beberapa detik berlalu sebelum ia menatap Evan lewat pantulan kaca.

“Van… aku ingin kamu menyelidiki seseorang.” Suaranya tenang, tapi tajam.

Evan sempat mengernyit. “Seseorang, Tuan?”

“Ya.” Tatapan Aldean kembali ke luar jendela. Jari-jarinya mengetuk pelan di atas pahanya. “Wanita yang bersamaku malam itu.”

Keheningan kembali menyelimuti mobil. Hanya deru mesin yang terdengar.

Evan tertegun, lalu melirik spion, memastikan ia tak salah dengar. “Maksud Anda… Nona Celine?”

Aldean mengangguk pelan. “Ya.”

“Baik. Apa yang ingin Anda ketahui?”

“Segalanya,” jawab Aldean datar. “Latar belakang, keluarga, tempat tinggal, kehidupannya sekarang. Aku ingin tahu semua.”

Evan mengencangkan genggamannya di setir. Melalui pantulan kaca, ia memperhatikan ekspresi sang CEO yang tampak berbeda dari biasanya.

“Kalau boleh tahu… ada alasan tertentu, Tuan?” tanyanya hati-hati.

Aldean tetap memandang keluar. Wajahnya penuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan—penyesalan, penasaran, dan sedikit rindu yang enggan diakui.

“Anggap saja…” ucapnya akhirnya, lirih, “aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”

Evan menatap spion sekali lagi, lalu mengangguk pelan. “Baik, Tuan. Saya akan urus secepatnya.”

Aldean membalas dengan anggukan singkat. Tatapannya tetap tertuju ke luar, pada pemandangan kota yang berlari di balik kaca.

Ia menarik napas dalam. Entah kenapa… hari itu terasa berbeda.

Sementara itu, di sisi lain kota.

Celine berdiri di depan pintu utama Aldevra Group, menatap logo perak di puncak gedung. Simbol kekuasaan yang seolah terpatri di setiap dinding kacanya.

Hatinya berdebar, tapi matanya tetap mantap.

Ia menarik napas panjang, memperbaiki letak blazernya, lalu melangkah masuk.

Begitu pintu otomatis terbuka, suasana lobi langsung menyambutnya. Para karyawan berlalu-lalang dengan ekspresi sibuk dan profesional, sebagian sempat menoleh ke arah Celine yang baru datang.

“Selamat siang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” sapa resepsionis dengan ramah.

“Selamat siang. Saya Celine Arsyila, ada jadwal wawancara untuk posisi magang,” jawab Celine sopan.

Resepsionis itu mengecek daftar di layar. “Ah, benar. Ibu Rara dari HRD sudah menunggu di lantai lima belas. Silakan ke lift sisi kanan.”

“Terima kasih,” ucap Celine sambil menunduk kecil.

Ia baru saja berbalik hendak menuju lift, namun langkahnya mendadak terhenti.

Sebuah suara terdengar tak jauh darinya, suara tawa ringan yang ia kenal betul.

“Papa, aku senang banget bisa ikut meeting. Aku yakin, kita pasti dapetin kerja sama itu.”

Celine menoleh perlahan. Dan di sana, tepat beberapa meter darinya, Shasa dan Surya baru saja melangkah masuk.

Shasa tampil memesona dengan dress merah marun, sementara Surya berjalan di sampingnya, tegap dan berwibawa.

Celine membeku sejenak. Detik itu juga, udara terasa berubah.

Shasa langsung menatapnya, seulas senyum miring terbit di bibirnya.

“Eh,” ujarnya sinis, nada suaranya ringan tapi menusuk. “Aku nggak salah lihat, kan? Ini… Celine?”

Surya ikut menoleh. Wajahnya sempat terkejut, lalu berganti datar.

“Kamu ngapain di sini, Cel?” tanyanya pendek.

Celine menegakkan tubuh, berusaha tetap tenang. “Wawancara. Aku diterima magang di sini, Pa.”

“Magang?” sela Shasa, terkekeh pelan sambil menatap Celine dari ujung kepala sampai kaki. “Lucu juga. Kamu yakin bisa ngikutin ritme kerja di sini? Ini bukan tempat magang sembarangan, Cel. Ini Aldevra Group.”

Nada suara itu terdengar manis, tapi racunnya jelas terasa.

Celine menatapnya tanpa emosi. “Justru karena itu aku ke sini. Aku mau belajar langsung dari tempat terbaik.”

Surya menyipit, menimbang ucapan putrinya.

“Belajar?” katanya datar. “Kamu yakin tempat sebesar ini cocok buat kamu?”

Celine tak menunduk sedikit pun. “Kalau nggak yakin, aku nggak akan datang ke sini, Pa.”

Surya mendesah, nadanya mengandung teguran. “Kamu bahkan nggak bilang apa-apa ke Papa. Minimal izin dulu.”

Celine menatap ayahnya lama, menahan gemuruh di dadanya.

“Seingatku, Papa juga nggak pernah tanya apa yang sebenarnya aku mau,” ucapnya pelan tapi tegas. “Jadi rasanya adil kalau kali ini aku ambil keputusan sendiri.”

Shasa berdeham kecil, mencoba mencairkan suasana, atau mungkin menutupi rasa tidak nyamannya sendiri.

“Yah, terserah deh,” ujarnya sambil tersenyum tipis. “Tapi semoga aja kamu nggak keburu nyerah di minggu pertama.”

Celine membalas senyum itu, datar. “Tenang aja. Aku nggak terbiasa nyerah, apalagi cuma buat nyenengin orang lain.”

Senyum Shasa perlahan menipis, matanya berkilat tajam.

“Kalau kamu sampai gagal…” ucapnya pelan, nyaris berbisik. “Jangan salahin siapa-siapa.”

Celine menatapnya sejenak. Tidak ada balasan. Ia menarik napas, menahan semua kata yang sebenarnya ingin keluar, lalu memutuskan untuk tidak memberi Shasa kepuasan sekecil apa pun.

Dengan langkah tegap, ia berbalik hendak meninggalkan ruangan itu. Namun tiba-tiba—

“Akhh!” seru Celine refleks saat sesuatu menahan langkahnya. Kakinya tersandung, atau lebih tepatnya dijegal.

Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke depan. Segalanya terasa melambat, detik-detik penuh ketegangan memenuhi udara.

Sebelum tubuhnya menghantam lantai, sebuah tangan kuat menangkapnya. Lengan kokoh melingkari pinggangnya, menahan tubuhnya dengan erat namun lembut. Napas hangat menyapu sisi telinganya.

Deg.

Celine membeku, napasnya tertahan. Wangi maskulin yang lembut menembus penciumannya, berpadu dengan degup jantungnya yang mendadak kacau.

“Celine? Kamu ngapain di sini?”

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Aku Mau Di Sini Sama Kamu

    Aldean mendekatkan tubuhnya rapat ke Celine, dagunya menyentuh bahu sang kekasih. Napasnya mengusap lembut tengkuk putih dan mulus itu sebelum sebuah kecupan halus mendarat di sana. Bukan terburu-buru, bukan pula menuntut, hanya penuh rasa memiliki.Celine pun refleks mendesah lirih, menutup matanya sejenak. Jantungnya berdegup tak beraturan, namun tangannya tetap sibuk mengaduk masakan di atas kompor.“Harumnya,” ucap Aldean rendah, nyaris berbisik. “Masakannya… atau orangnya ya?”“Om Dean…” Celine tersenyum malu. “Jangan ganggu. Nanti gosong.”Aldean terkekeh pelan. Lengannya mengencang sedikit di pinggang Celine, seolah enggan melepaskan.“Aku cuma kangen,” katanya jujur. “Dari tadi pengin peluk.”Kalimat sederhana itu membuat dada Celine terasa hangat dan nyeri bersamaan.“Kangen padahal baru ketemu,” balas Celine pelan.“Justru karena itu,” sahut Aldean lembut. “Aku pengin pastiin kamu ada. Baik-baik aja.”Celine menelan ludah. Senyumnya masih ada, tapi matanya mulai terasa panas

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Keputusan Celine

    Celine tersentak. Langkahnya terhenti mendadak.Ia menoleh. Aldean berdiri tak jauh darinya. Jasnya masih rapi, rambutnya sedikit berantakan diterpa angin malam.“Om?” Celine terkejut. “Kok Om ada di sini? Bukannya tadi Om pulang?”“Nggak jadi.” Aldean mendekat beberapa langkah. Tatapannya langsung mengunci wajah Celine.“Aku kepikiran kamu.”Jantung Celine berdegup tak karuan.“Jadi... tadi habis lihat Kayra pergi, Om langsung ke sini,” ucapnya pelan.Aldean hanya mengangguk singkat.Ia berhenti tepat di depan Celine. Dari jarak sedekat itu, raut murung di wajah Celine tak luput dari perhatiannya. Mata Celine yang berkaca-kaca dan senyum yang dipaksakan.“Ada apa?” tanyanya rendah. Tidak mendesak, hanya peduli.Celine menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Om.”Aldean tahu itu bohong. Tapi ia memilih tidak memaksa.“Oke. Kalau gitu, kita masuk, ya,” ucapnya lembut.Ia mengulurkan tangan.Celine menyambutnya dan mengangguk kecil.Genggaman Aldean hangat dan tenang. Sedikit demi sedikit, se

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Saat Kebenaran Datang, Celine Mungkin Akan Kehilangan Sahabatnya

    “Kay—!”Celine refleks meraih ponselnya lagi. Tubuhnya condong ke depan, tangannya lebih cepat. Dalam satu tarikan panik, ponsel itu berhasil kembali ke genggamannya.Tanpa buang waktu, Celine langsung menyelipkan ponsel itu ke dalam tas, menutup resletingnya rapat seolah nyawa rahasianya ada di sana.“Cel!” Kayra mendengus kesal. “Ih, pelit amat sih? Cuma lihat doang juga.”Celine tertawa kecil, berusaha santai meski jantungnya masih lompat-lompat. “Bukan pelit. Cuma… nggak enak aja.”“Nggak enak kenapa?” Kayra memicingkan mata, curiga setengah bercanda. “Chat apaan sih sampai segitu dijagain?”“Beneran, Kay. Grup kantor,” jawab Celine cepat. “Aku malu aja kalau kamu baca.”“Malu?” Kayra mendelik. “Lah, kenapa malu?”Celine terdiam sepersekian detik. Otaknya bekerja keras.“Karena…” ia menggaruk pipinya. “Mereka lagi gosipin aku.”“Hah?” Kayra langsung antusias. “Gosip apaan? Serius! Aku pengin tahu.”Celine menghela napas pura-pura pasrah. “Digosipin sama cowok kantor.”“Ohhh—” Kayr

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Pengintaian Hari Pertama...

    Surya baru saja tiba di rumah. Suara pintu utama terbuka membuat dua wanita di ruang keluarga menoleh hampir bersamaan.Maya dan Shasa tengah duduk santai di sofa, masing-masing dengan cangkir teh di tangan.“Gimana, Pa?” tanya Maya cepat, matanya berbinar penuh harap. “Tuan Aldean nerima tawaran makan malam itu?”Surya meletakkan jasnya di sandaran sofa, lalu duduk di seberang Maya dan Shasa.“Sudah,” jawabnya datar. “Semuanya beres.”Shasa langsung mencondongkan tubuh, senyumnya lebar. “Bagus! Akhirnya dia luluh juga.”Maya menaruh cangkir tehnya pelan di meja, bibirnya terangkat licik.“Berarti tinggal jalankan rencana kita nanti. Harus tepat sasaran, nggak boleh meleset sedikit pun.”Shasa terkekeh kecil. “Tenang, Ma. Aku udah siap kok. Kali ini Tuan Aldean nggak bakal bisa kabur dari permainan kita.”Surya mengernyit. “Permainan apa, sih? Dari kemarin Papa tanya, kalian nggak pernah mau cerita.”Maya beranjak, mendekat ke arah Surya. Ia menunduk, lalu berbisik pelan di telinganya

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Akulah Perempuan Itu

    Celine dan Aldean refleks melepas pelukan. Keduanya menoleh bersamaan ke arah pintu.Di ambang sana, Evan berdiri terpaku.Ketegangan yang sempat menggantung di antara Celine dan Aldean langsung luruh begitu mereka menyadari siapa yang datang. Bukan Kayra, bukan siapa pun yang berbahaya, hanya Evan.Evan sendiri tampak kikuk. Tatapannya segera turun, tubuhnya sedikit menunduk.“Maaf, Tuan,” ucapnya cepat. “Saya tidak tahu Tuan sedang—”“Tidak apa,” potong Aldean singkat. Suaranya kembali dingin. “Ada apa?”Evan menarik napas. “Ada hal penting yang perlu saya sampaikan.”Aldean mengangguk pelan, lalu menoleh ke Celine. “Cel... aku harus bahas pekerjaan dengan Evan.”Celine langsung mengerti. Ia gegas berdiri. “Kalau begitu aku balik kerja dulu, Om.”Aldean ikut bangkit dari sofa. Saat Celine hendak melangkah pergi, tangannya menahan Celine sesaat. Ia meraih pundak Celine dan mencium keningnya singkat, enang, protektif, dan penuh makna.“Jaga diri,” ucapnya rendah.Begitu pintu tertutup

  • Ah! Sentuh Aku Lagi, Om   Pengintaian Kayra

    Keesokan paginya, Celine duduk di balik meja kerjanya. Layar laptopnya penuh dengan coretan revisi. Tangannya bergerak cepat, penuh fokus.Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Nama Kayra muncul di layar. Celine melirik jam, menghela napas tipis, lalu mengangkat panggilan.“Halo, Kay?”“Cel, kamu lagi sibuk nggak?” Suara Kayra terdengar antusias dari seberang.Celine menahan ponsel di antara bahu dan pipinya, matanya tetap fokus menatap layar desain. Jarinya bergerak lincah di atas keyboard.“Hmm… iya. Lagi revisi desain. Setengah jam lagi harus beres. Kenapa?”“Aku mau bahas tentang Papa.” Nada Kayra terdengar singkat tapi tegas.Jari Celine refleks berhenti. Hening sejenak.Kayra melanjutkan, suaranya lebih rendah. “Nanti pas jam istirahat siang, kamu bisa ketemu aku?”Celine menelan ludah. “Bisa.”“Kita ketemu di kafe depan kantor ya.”“Oke,” jawab Celine cepat.Klik.Panggilan terputus.Celine menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat apa pun. Jantungnya berdetak lebih cepat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status