MasukSuara itu… rendah, tegas, dan begitu familiar.
Celine menegakkan kepala, napasnya tercekat. Matanya langsung bertemu dengan sepasang mata gelap di depannya. Dan seketika, dunia seolah berhenti. Jantungnya berdetak cepat bukan karena hampir jatuh, tapi karena orang yang menolongnya adalah Aldean. “O-Om Dean…” gumamnya lirih, hanya cukup untuk didengar oleh mereka berdua. Ia hendak mundur, tapi genggaman Aldean di pinggangnya belum sepenuhnya lepas. Pria itu baru melepaskan perlahan setelah memastikan Celine benar-benar berdiri tegak dan aman. “Kamu kok bisa di sini, Cel?” suara Aldean terdengar lagi, tenang dan dalam, tapi tetap berwibawa. “Ada perlu apa?” “A-Aku mau wawancara magang,” jawab Celine cepat, berusaha menstabilkan suaranya meski jantungnya masih berdebar kencang. Aldean menatapnya lama. Pandangannya seolah menelusuri wajah Celine, penuh kehati-hatian. Campuran antara terkejut dan sesuatu yang tidak ingin ia tunjukkan. Namun sebelum ia sempat bicara lagi, langkah sepatu terdengar mendekat dengan cepat. “Ah, Tuan Aldean!” Suara Surya memecah keheningan. Ia bergegas menghampiri dengan senyum rapi yang terlalu dipaksakan. “Senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung. Hari ini kita ada rapat bersama. Semoga semuanya berjalan lancar.” Aldean tak langsung menanggapi. Tatapannya bergeser sejenak ke jam di pergelangan tangannya, jarumnya menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh lima menit. Masih ada waktu. Ia menatap singkat pada asistennya yang berdiri tak jauh. “Evan.” “Ya, Tuan?” Evan segera mendekat, siaga. “Tolong tangani Tuan Surya untuk sementara. Aku ada urusan lain,” ucap Aldean datar. Suaranya tenang, tapi punya bobot yang tak bisa dibantah. “Baik, Tuan.” Evan mengangguk cepat. Surya sempat membuka mulut, namun belum sempat berbicara lebih jauh, Aldean sudah berbalik. Tangannya terulur menyambar tangan Celine dengan gerakan lembut namun tegas. Celine terkejut. “Eh—Om Dean, kita mau ke mana?!” “Udah, ikut aja.” Nada suara Aldean tetap rendah, tapi tegas. Tak memberi ruang untuk membantah. Celine berusaha mengikuti langkah panjang pria itu menuju lift di ujung lorong. Jantungnya berdebar, wajahnya memanas, apalagi genggaman tangan Aldean terasa hangat dan mantap, menariknya tanpa memberi kesempatan untuk berpikir. Suasana di lobi mendadak sunyi. Semua karyawan menatap pemandangan itu dalam diam—seorang gadis muda baru saja digandeng langsung oleh Aldean Devantara. Surya terpaku. Senyum ramah yang tadi dibuat-buat perlahan menguap, berganti raut tak percaya. Sementara Shasa menatap tajam, matanya berkilat dingin. Jari-jarinya mengepal, kuku hampir menembus kulit telapak tangannya. ‘Celine...’ batinnya murka. ‘Kamu pikir kamu siapa? Berani-beraninya tampil kayak gitu di depan semua orang—apalagi di depan Tuan Aldean. Tunggu aja. Aku pastiin kamu bakal nyesel.’ Lift VIP menutup perlahan, menelan siluet mereka berdua di balik pintu logam yang berkilat. Dan bersamaan dengan itu, udara di ruangan terasa jauh lebih dingin. . . Di dalam lift, suasana terasa sunyi. Hanya ada suara lembut mesin yang naik perlahan di antara mereka. Celine masih mencoba mengatur napasnya. “Om… tadi kenapa tiba-tiba—” Aldean menatapnya sekilas. Tatapannya dalam dan tenang, tapi cukup untuk membuat Celine menelan ludah. “Kamu sadar sekarang jam berapa?” suaranya rendah, nyaris seperti teguran. “E-eh, sebelas dua puluh delapan…” jawab Celine pelan, melirik jam di pergelangan tangannya. Aldean mengangguk kecil, sudut bibirnya terangkat samar. “Dan wawancaramu dimulai jam berapa?” “Sebelas tiga puluh…” bisik Celine makin lirih. “Nah.” Nada Aldean tegas, tapi tidak meninggi. “Lain kali jangan buang waktu untuk hal yang nggak penting.” Celine menunduk, pipinya memanas. “Aku nggak bermaksud—” “Aku tahu.” Aldean memotong tenang, lalu kembali menatap ke depan. “Kalau mau sukses di dunia kerja, biasakan datang lima belas menit lebih awal. Jangan datang mepet waktu begini. Ingat, Cel... dunia profesional nggak menunggu siapa pun.” Kata-kata itu membuat Celine diam. Tapi entah kenapa, alih-alih merasa ditegur, ada sesuatu di dadanya yang justru terasa hangat. Ada nada perhatian di balik ketegasan itu—dan justru itu yang membuat jantungnya berdebar tak karuan. “Ya ampun, Om Dean galak banget…” gumamnya pelan, mencoba mencairkan suasana. Aldean tak menjawab. Tapi dari raut wajahnya yang nyaris tak berubah, jelas ia sedang menahan senyum kecil. Ting! Suara lift terdengar. Pintu terbuka perlahan. Aldean melangkah lebih dulu, langkahnya mantap dan berwibawa. “Fokus di wawancaramu. Jangan pikirin yang lain,” ucapnya, datar tapi terdengar protektif. Celine mengangguk cepat. “Baik, Om.” “Jangan cuma bilang baik. Buktiin.” Celine spontan berhenti. “Emangnya Om Dean siapa? Sok nyuruh-nyuruh gitu,” protesnya setengah kesal, setengah gugup. Aldean menoleh sekilas. Tatapannya sulit diterjemahkan—tenang, dalam, dan penuh kendali. Tapi bukannya menjawab, ia hanya menatap Celine beberapa detik… lalu tersenyum tipis tanpa sepatah kata. Ia berbalik, melangkah santai ke arah ruang wawancara. Celine mengerutkan dahi, masih belum paham, tapi akhirnya ikut berjalan di belakangnya. Begitu mereka tiba di depan ruangan itu, semua orang yang ada di sana—para staf, HR, dan asisten—serempak berdiri. “Selamat siang, Tuan Aldean,” sapa mereka hampir bersamaan sambil menunduk sopan. Celine membeku di tempat. Matanya membulat, menatap pria di depannya yang kini menoleh perlahan dan menatap balik dengan pandangan tenang namun berwibawa. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Bibirnya bergetar pelan saat gumaman kecil lolos tanpa sadar. “Loh… kok mereka semua hormat banget? Apa jangan-jangan… Om Dean—” *****Ting.Sesampainya di depan lift, pintu terbuka dengan bunyi pelan.Kayra melangkah masuk lebih dulu. “Ayo cepetan, Cel.”Celine terpaku sepersekian detik sebelum akhirnya ikut masuk. Begitu pintu lift menutup, ruang sempit itu terasa semakin menekan.Celine buru-buru mengeluarkan ponselnya. Jarinya gemetar saat mengetik.Celine: [Om. Kayra ada di sini. Dia maksa naik. Om di kamar aja ya. Jangan keluar.]Bip.Pesan terkirim, tapi tak ada balasan.Lift mulai bergerak naik, membuat detik-detik terasa begitu panjang. Celine kembali melirik layar ponselnya. Masih sunyi. Tidak ada pesan masuk dari Aldean. Jantungnya semakin berdebar.‘Apa Om Dean masih mandi? Atau udah di dapur dan ponselnya ditinggal? Astaga… kalau iya, Kayra bakal lihat dia nanti.’Kayra menoleh. “Kamu kenapa dari tadi pegang HP terus?”“Enggak,” Celine cepat menyimpan ponselnya. “Cuma… bales chat.”Kayra menatapnya beberapa detik. “Cel… kamu yakin kamu nggak nyembunyiin apa-apa dari aku?”Pertanyaan itu membuat dada Cel
BRAK.Pintu mobil Kayra tertutup keras.Wajahnya tegang sejak keluar dari rumah. Sejak semalam, panggilan ke ponsel ayahnya tak satu pun terjawab, meski ia sudah mencoba menghubunginya berkali-kali. Hingga pagi ini, kesabarannya benar-benar habis.Tanpa ragu, Kayra melangkah cepat menuju lobi apartemen elit itu. Namun, baru kakinya menjejak anak tangga, seorang petugas keamanan langsung menghentikannya.“Maaf, Nona. Tidak bisa masuk tanpa konfirmasi penghuni,” ujar pria itu tegas.Kayra berhenti tepat di depan petugas itu. Rahangnya mengeras.“Aku mau cari Papaku. Aldean Devantara. Dia di sini,” ucapnya dingin, tanpa basa-basi.Petugas itu tetap tenang. “Maaf, Nona. Kami tetap tidak bisa mengizinkan—”“Dari semalam aku telpon Papaku, tapi nggak ada jawaban,” potong Kayra, suaranya meninggi. “Ponselnya bahkan nggak aktif. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Papaku, siapa yang tanggung jawab?”Beberapa penghuni yang melintas mulai melirik. Ketegangan di depan lobi naik seketika.“Kami tet
Pagi menyelinap perlahan ke dalam kamar lewat celah tirai.Celine terbangun lebih dulu. Tubuhnya masih terkurung hangat dalam dekapan Aldean. Lengan pria itu melingkar di pinggangnya dari belakang, sementara satu tangannya terlipat di bawah kepala Celine, menjadi bantal yang kokoh dan menenangkan. Napas Aldean terasa teratur di tengkuknya.Celine tersenyum kecil. Ia menarik napas pelan, menikmati detik-detik itu. Keheningan pagi yang tenang. Kehangatan yang diberikan Aldean. Rasa aman yang jarang ia rasakan, tapi kini terasa begitu nyata.Perlahan, Celine berbalik menghadap Aldean agar tak membangunkannya. Wajah pria itu begitu dekat. Garis rahangnya tegas, alisnya sedikit berkerut, dan ekspresi tenang yang jarang orang lihat.Celine mengangkat tangan. Mengusap kening Aldean, turun ke hidung, lalu ke dagunya. Sentuhannya ringan, tapi penuh rasa.Aldean mengeliat kecil. Matanya terbuka perlahan, masih setengah mengantuk. Begitu fokusnya menangkap wajah Celine, kerut di dahinya menghila
“Om Dean, aku... aku... udah mau. Ah—aku kayaknya... aku udah gila, Om.” gumam Celine, matanya yang sayu menatap penuh hasrat pada Aldean. Aldean juga, dia tak berkedip sedikitpun menatap wajah Celine yang menggoda, terlihat begitu cantik dan memikat. Melihatnya, Aldean tak mampu lagi menahan gejolak dalam dirinya yang semakin memuncak. Kenikmatan itu pun berkumpul pada satu titik di tubuhnya. “Oh, Bebi... aku nggak tahan lagi...” ungkap Aldean. Napasnya terengah-engah. Tanpa menunggu lama, dia semakin mempercepat tempo tekanannya hingga tak terkendali, rahang tegasnya mengeras, kepalanya mendongak ke atas. “Arghh, Celine...!” erang Aldean, suaranya berat dan sensual, sangat seksi dan menggoda. Hingga sepuluh menit berikutnya, Aldean tak tahan lagi dan akhirnya menyemburkan bibit unggulnya di dalam sana, membuat tubuh Celine bergetar hebat, merasakan hangat dan penuh di dalam dirinya saat gelombang kenikmatan itu menghantamnya tanpa ampun. Bruk! Tubuh Aldean yang kekar se
Aldean mengatupkan rahang saat mendengar desahan merdu yang terus keluar dari mulut Celine. Goyangan amatir yang dilakukan Celine membuat Aldean mengeram tertahan, terhanyut oleh sensasi luar biasa yang ia rasakan. Meski masih amatir, gerakan Celine berhasil membuat Aldean kehilangan kewarasannya. Tatapannya yang penuh hasrat itu menelusuri perut ramping Celine, lalu naik ke da da sintalnya yang menggoda. Matanya berhenti sejenak di ujung merah jambu yang mengeras, kemudian menyusuri leher hingga wajah Celine yang tampak sangat menggoda dan seksi. “Engh... Om Dean... aahh ini... ini rasanya gila banget, Om,” rancau Celine tak terkendali, menikmati setiap penyatuan itu. “Ough... ahhh... kamu nikmat dan bikin aku candu, Bebi...” balas Aldean di sela desahnya. Satu tangan Aldean yang berada di pinggang Celine perlahan bergerak ke perut Celine yang rata dan mengelusnya, lalu beralih ke atas, menangkup bantalan kenyal dan besar itu. “Da da mu makin besar, Cel. Oh—kamu seksi bang
Aldean menunduk sedikit, hidungnya menyentuh pelipis Celine.“Nanti Kayra nungguin Om,” ujar Celine lirih. “Kalau Om nggak pulang, nanti dia bakal—”“Aku yang jelasin,” potong Aldean lembut, namun tegas. Tangannya mengusap punggung Celine perlahan. Menenangkan, tapi juga tak memberi ruang untuk dibantah. “Aku bilang malam ini ada urusan mendadak.”“Kalau dia curiga?”“Aku yang urus.”Celine mendongak, menatap Aldean ragu. “Om yakin?”“Aku yakin.” Tatapan Aldean mantap. “Aku mau di sini. Sama kamu. Bukan karena aku bisa, tapi karena aku yang milih.”Kalimat itu menghantam dada Celine pelan tapi dalam. Ia memejamkan mata sesaat, membiarkan hangat itu meresap bersamaan dengan rasa perih yang tak bisa sepenuhnya ia singkirkan.“Om keras kepala,” gumamnya kecil.Sudut bibir Aldean terangkat tipis. “Cuma kalau soal kamu.”Celine menghela napas, lalu mengangguk pasrah. “Ya udah. Tapi besok Om pulang.”“Iya,” jawab Aldean tanpa ragu.Ia merapatkan pelukannya. Tangannya naik ke tengkuk Celine,







