Ting Ting
Suara bel berbunyi yang menandakan pulang. Di saat anak yang lain keluar gerbang dan sibuk mengeluarkan kendaraan mereka, tidak dengan anak yang hemat berbicara seperti Leo, ia justru tidak langsung pulang. Ia pergi ke rooftop sekolah dan berdiam diri disana.
"Leo, mau pulang gak?" tanya Reynal yang sengaja menyusul Leo ke rooftop sekolah.
"Duluan aja," balas Leo.
"O ya, gue pinjem buku lo ya!" sahut Aditia.
"Hmm," jawab Leo.
"Oke duluan ya." Reynal dan Aditia berlalu meninggalkan Leo sendiri.
Sengaja ia pergi rooftop untuk menenangkan diri sekaligus menunggu anak-abak lain pulang. Tinggalah Leo sendiri, diam termenung memikirkan satu hal, yaitu rasa benci. Bahkan sosok Ayahnya sekalipun, ia masih menaruh rasa bencinya itu sampai-sampai ia tidak mau mengakui Ayahnya sendiri.
Leo menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya membayangkan kenangan Ibu dan Kakaknya. Di raut wajahnya menggambarkan ekspresi penyesalan karena kematian dua orang yang amat ia cintai.
Ternyata berdiam sendiri di rooftop sekolah cukup membosankan. Leo yang mulai bosan dengan kesendiriannya itu, mulai menggendong tasnya dan turun dari sana.
Saat ia turun dan melewati mushola sekolah, ada hal yang mengejutkan dirinya. Ternyata seorang perempuan berhijab yang kerap dipanggil Key tengah menyapu lantai di luaran mushola. Leo faham bahwa Key kena hukum membersihkan mushola karena perbuatannya pagi tadi.
Key yang menyadari keberadaan Leo kemudian diam mematung setelah Leo tepat berada di hadapannya. Begitu pula dengan Leo juga melakukan hal yang sama.
Keduanya merasa kaku saat bertemu. Key juga mengigit bibir bawahnya karena saking gugupnya. sepertinya Key ingin mengucapkan sesuatu namun tidak bisa ia utarakan.
Leo mulai melangkahkan kakinya dan berjalan menuju tempat berdiri Key.
"Silahkan," ucap Key sambil menepi ke pinggir memberi jalan dan membiarkan Leo berlalu melewatinya tanpa kata permisi. Kemudian ia berkata lagi, "A-anu." Key bicara dengan gugup.
Hal ini membuat Leo menghentikan langkahnya.
"Maafkan aku. Tadi, kamu hampir kena hantaman bola karena aku," tutur Key.
"Jangan dipikirkan," lanjut Leo.
Hanya kata itulah yang terucap dari Leo. Dia pun mulai meninggalkan gadis itu. Key pun diam dan berfikir keras. Ada sesuatu yang ia ingin sampaikan dibenaknya namun ia tidak sanggup mengatakannya. Tetapi kemudian Key memberanikan diri.
"Tunggu!"
Suara itu membuat Leo menghentikan langkahnya kembali dan juga membuatnya membalikan badannya.
Jantung Key berdebar-debar dengan kencang, perasaannya campur aduk antara gugup, takut, dan malu. Key tidak yakin dengan dirinya. Namun, setelah melihat Leo menatapnya dengan tatapan yang meyakinkan, Key akhirnya memberanikan dirinya untuk bicara.
"Maaf, A-ada yang ingin ku bicarakan," ucap Key gugup.
Leo hanya diam memerhatikan dengan memasang wajah datarnya.
"Ma-maukah kamu menilai tulisanku?"
Leo sempat terdiam sejenak. "Tidak, cari orang lain saja," jawab Leo dingin, kemudian kembali melanjutkan langkahnya.
Key merasa dirinya telah gagal. Tapi ia tidak menyerah, ia punya alasan tersendiri kenapa ia mengajukan permintaan seperti tadi.
Setelah berfikir lama, akhirnya Key memutuskan untuk mencobanya lagi. Key melemparkan sapunya dan mengejar Leo yang menuju parkiran.
"Hey tunggu, aku mohon!"
Leo kembali terhentikan langkahnya karena Key mengejarnya.
"Aku mohon, nilailah tulisanku!"
Key memohon pada Leo sambil membungkukan badannya.Melihat hal itu, Leo menghela nafas panjang kemudian berbicara "Apakah belum jelas? Aku tidak bisa. Cari orang lain saja."
"Aku hanya percaya dirimu. Aku ingin kau memberikan argumen tentang tulisanku. Tolonglah!"
Key tetap memohon dan masih membungkukan badannya."Berapa kali harus kukatakan? jawabanku tidak," ucap Leo sambil meneruskan langkahnya menuju motornya di parkiran.
Key mengejarnya kemudian memohon-mohon sambil mengikutinya.
"Ayolah, aku ingin karya tulisku sempurna."
"Aku memohon seperti ini karena aku sadar tulisanku itu banyak sekali kekurangannya dan...
...dan aku hanya percaya dirimu tidak dengan orang lain."
Key memohon-mohon sampai Leo menaiki motornya."Aku mohon!" lirih Key pada Leo.
Melihat hal itu, Leo yang tengah menaiki motornya itu mendekatkan wajahnya dan berbicara pada Key dengan sorot mata menakutkan. Jantung Key berdebar dengan kencang karena jarak wajahnya dan wajah Leo kini sangatlah dekat.
"Tidak!"
Leo kemudian menyalakan mesin motornya dan memakai helmnya kemudian melaju meninggalkan Key sendiri yang tengah berdiri di parkiran.
Key kemudian mendengus. Raut wajahnya mulai asam karena Leo menolak permohonannya. Key juga menendang batu krikil yang ada di depannya saking kesalnya karena permohonannya di tolak oleh Leo.
"Hey!"
Key terkejut karena ada seseorang yang menyapanya dari belakang. Dilihatnya Bapak Mandor tengah berdiri di belakangnya.
"Kenapa masih berdiri disini? Sudah membersihkan mushola?"
"Sudah Pak."
"Bagus, sekarang bersihkan juga ruang loker siswa."
"Siap Pak."
"Oke, jika sudah selesai hubungi saya di ruang TU," ujar Pak Mandor seraya memasang earphone di telinganya.
"Baik Pak."
Key kembali mendengus kesal. Namun akhirnya, ia mengikuti perintah Bapak mandor. Ia berniat pergi ke ruang loker siswa untuk membersihkannya.
"Eh? perasaan tadi aku pegang sapu. Sapunya kemana?"
****
Leo akhirnya sampai di rumahnya. Ia Kemudian masuk ke kamarnya dengan melempar tasnya dan membaringkan tubuh diatas ranjangnya. Sesekali ia memejamkan matanya dan kembali membukanya.
Melihat pemandangan atap kamar cukuplah membosankan, sehingga ia berajak dari ranjang dan duduk di meja belajarnya dan melakukan pekerjaannya. Pekerjaan Leo ialah menulis di buku jurnalisnya kemudian mencopy nya ke layar komputer.
Namun saat ia akan menyentuh pulpen untuk menulis, ia kembali teringat akan Key.
"Dasar perempuan aneh," gumam Leo
Kemudian Ia melanjutkan menulis tulisannya sampai akhirnya bunyibketukan pintu kembali menghentikannya.
"Masuk!"
"Leo, kamu sedang sibuk?" tanya Fira seraya masuk ke kemarnya.
"Tidak juga," jawab Leo.
"Leo, bibi hanya ingin bilang kalau Ayahmu tadi siang kemari," ucap Fira sambil membuka-bukakan tirai kamar Leo.
Mendengar hal itu Leo pun berhenti menulis.
"Bibi tau kamu tidak ingin menemuinya. Tapi, Bibi merasakan perasaan Ayahmu yang sangat merindukanmu, ia ingin--
Belum selesai bibi fira bicara, Leo meletakan pulpennya dengan keras di atas meja membuat Bibi Fira berhenti bicara.
"Bilang padanya jangan pernah menemuiku lagi!" tegas Leo.
"Dengar Leo, kamu itu satu-satunya putranya. Dia masih menyayangimu, jadi wajar dia merindukanmu" ucap Fira berusaha meyakinkan.
"Semua yang ia lakukan adalah kebohongan Bi, termasuk kerinduannya padaku juga termasuk kebohongan," jelas Leo.
"Aku tidak memiliki ayah sepertinya," balas Leo.
"Tapi--
"Cukup Bi! Leo tidak ingin berdebat dengan Bibi," tukas Leo.
Fira pun terdiam. Leo terlalu keras kepala, ia masih belum berdamai dengan masa lalu. Fira akhirnya masih memakluminya.
"Begitu. maaf telah menganggumu," kata bibi fira sambil keluar dari kamar Leo.
Tersirat dalam hati Leo perasaan bersalah pada Bibinya, ia hanya menunduk dengan tangan yang menopang kepalanya.
"Maafkan Leo Bi," lirih Leo
"Ya Alloh, berantakan banget ruangan ini. Aku harus beresin sendiri gitu? berilah hambamu ini ketabahan Ya Alloh," ucap Key dengan sedikit menggerutu.
Key mulai membereskan ruang loker penyimpanan siswa, mulai dari menyapu sampai mengepel lantainya ia lakukan semuanya sendiri.
Tiba-tiba terlintas di pikirannya kejadian tadi dimana jantungnya berdebar dengan kencang saat ia berbicara dengan Leo dengan jarak wajah sangat dekat. Otomatis hal ini membuat Key senyum-senyum sendiri.
"Astagfirulloh, kok jadi mikirin kejadian yang tadi sih? Nanti ini kerjaan gak beres lagi," ucap Key.
"Orang itu bener-bener bawa pengaruh ternyata, berkharisma banget penampilannya. Gak tanggung-tanggung aku tadi mendadak ngomong kaku pas ngomong sama dia," gerutu Key.
"Kayaknya kalo jadi pemimpin dia pasti bakal jadi orang berwibawa."
"Ya Alloh, kenapa malah ngomongin orang itu lagi. Aku kan lagi kesel sama dia."
"Tapi tunggu. kalo gak minta tolong sama dia, sama siapa dong? cuma dia yang sefaham soalnya, hufffttt." Key dari tadi haya menggerutu sendiri.
Key melanjutkan membersihkan ruang loker penyimpanan siswa. Tak lama kemudian ia menemukan loker milik seseorang yang terus-terusan dari tadi ia bicarakan.
"Panjang umur, ini dia nih lokernya. Baru aja diomongin," ucap Key.
Key terus memperhatikan papan nama yang tertera di loker itu.
"Leonar Halim Al-ghifari? Nama yang bagus. Orangnya tampan, baik juga," ungkap Key
"Astagfirulloh Khansa! Jangan bilang kamu suka padanya. Inget! Orang itu kejam, cuek, jutek, dingin, horor lagi." Key terus-terusan bicara dengan diri sendiri. Sampai kemudian ia langsung terdiam dan berfikir.
"Tapi ...
... Impian ku bergantung padanya."
Key menghela nafas panjang memikirkannya. "Apa yang harus ku lakukan?"
Tak lama kemudian, ia memperhatikan loker penyimpanan Leo. Lalu ia tersenyum ceria seperti orang yang telah mendapatkan ide.
"Begitu, aku tahu caranya ..."
"Begitu ternyata, aku tau caranya," ucap Key.
Leo terlihat membereskan pakaiannya untuk ia kemas dalam koper. Dari pagi Leo hanya sibuk sendiri di kamar. Mempersiapkan matang-matang keberangkatannya besok lusa. Arlinda hanya tersenyum saat mendapati putranya sangat bersemangat untuk berangkat ke pesantren. "Sudah beres berkemasnya?" tanya Arlinda yang membuat Leo menoleh ke belakang. "Belum," ujar Leo sambil tersenyum. "O ya, ada yang ingin ketemu sama kamu loh," balas Ibunya. Leo pun mengrengitkan dahinya. "Siapa, Bu?" Arlinda pun tersenyum sambil menoleh ke belakangnya. Ia membawa dua orang laki-laki seumuran Leo. Arlinda pun mempersilahkan dua orang itu masuk ke kamar Leo. "Silahkan kalian temani El, Tante tinggal disini ya," ucap Arlinda pada dua orang laki-laki itu dan berakhir meninggalkan mereka. Bola mata Leo terbuka lebar, mendapati dua orang lelaki yang ada di depannya kini adalah
"El?""El sudah sadar.""Alhamdulilah..."Terdengar patah kata syukur memenuhi ruangan yang terlihat asing bagi Leo. Beberapa orang terdengar suka cita mengelilingi dirinya.Leo merasakan tubuhnya yang sepertinya tengah berbaring, dirinya hendak bangun, namun seluruh tubuhnya masih lemas. Entah kenapa tiba-tiba ia susah berbicara, selang oksigen juga masih mengurung hidungnya yang semakin mempersulitnya bicara.Apa yang terjadi? Dimana aku?Leo masih belum mengerti keadaanya sekarang. Yang ia lakukan sekarang ini hanyalah mengedarkan bola matanya melihat sekitarannya.Tiba-tiba dua orang perempuan memeluknya. Yang satu memeluk tubuhnya dan yang satu terus menciumi keningnya sambil terus menangis. Ked
Satu minggu berlalu setelah kematian Khansa. Leo memberanikan keluar rumah untuk berziarah ke makam gadisnya.Waktu satu minggu terbilang cukup untuk membuatnya kembali pulih dari kesedihannya itu. Leo memutuskan untuk menjadi sesorang yang tegar dan tidak mudah putus asa. Ia masih memiliki masa depan yang harus dipikirkan, terlebih usianya terbilang masih belia. Masih panjang perjalanan yang harus ia tempuh.Setibanya disana, ia mendapati kuburan Khansa yang masih terlihat baru. Ia pun berjongkok sembari mengelus-elus batu nisannya. Sesekali Leo tersenyum getir sambil melihat batu nisan yang bertuliskan Khansa Arima Iriana itu."Hey, aku kemari. Maaf baru kali ini." Leo berbicara sambil menaburkan taburan kelopak bunga diatas pemakaman Khansa.Segera ia membacakan surah-surah Al-Qur'an dikhususkan untuk almarhumah yakni Yasin, Al-Waqi'ah dan Al-
Key, adalah anak yang tidak tau sama sekali siapa, dimana, bagaimana orang tua kandungnya. Besar di panti asuhan membuatnya selalu menyebut dirinya buta dan tuli akan Ayah Ibunya.Sampai krisis moneter panti asuhan melanda dirinya dan anak-anak lainnya. Mendorong Key kecil harus dewasa sebelum waktunya. Ia pun bergelut dengan dunia yang sebenarnya, mencari uang dengan mengamen di jalanan.Hingga sampailah Key duduk dibangku kelas empat SD, hasilnya mengamen tidak cukup untuk membiayai sekolahnya. Maka Key mendobrak sisi baik dalam dirinya, titik hitam mulai menguasai hatinya. Hingga ia berakhir masuk ke dunia kegelapan dengan menjadi seorang pencuri dan pencopet.Jungkir balik dalam dunia hitam telah Key rasakan berulang kali. Rasa sakit seolah-olah menjadi temannya, sisi baik sudah ia sirnakan dalam dirinya. Hanya satu yang ia tuju yakni demi kehidupan yang memadai. Bermodalkan teman-teman jalanannya, Key mampu memb
Dua hari berlalu setelah pemakaman Khansa. Leo masih mengurung di kamar dengan pipi terus menitikan air mata. Sampai-sampai kantung matanya mulai terlihat gelap karena teus menerus menangis. Badannya lemah dan rambutnya kusut, dua hari ini hanya ia habiskan untuk menyandar di pintu sembari melamun. Tangan kanannya masih memegangi buku diary peninggalan Khansa. "Non Khansa berpesan sebelum kondisinya kritis. Ia meminta Bibi untuk menyerahkan tas, buku, dan laptop sama Aden. Terima ya Den, ini permintaan terakhir non Khansa." Perkataan Bi Arin terngiang di pikirannya. Leo sama sekali belum melihat isi tasnya, itu
Leo merebahkan tubuhnya di kamar lamanya. Hari ini adalah hari yang amat lelah baginya setelah menyaksikan rekonstruksi kasus Riana. Berusaha mengubur ingatannya tentang pembunuhan keluarganya itu, Leo mengistirahatkan diri hari ini. Merasa dahaga karena cuaca cukup panas, Leo beranjak ke dapur untuk mencari minuman segar. Maka diambilah jus lemon di lemari pendingin. Bersandar di jendela dapur sambil memandangi suasana kebun memanglah menghijaukan pandangan. Seteguk jus lemon yang dingin mengalir di tenggorokan dengan nikmatnya, sangat cocok diminum sebagai pemuas dahaga. Terbuai dengan suasana, tak sengaja Leo menyenggol lemari gelas di belakangnya. Senggolannya cukup keras membuat salah satu gelas jatuh dan pecah di tangan kirinya. Leo meringis karena pecahan itu melukai tangannya membuat darah segar menggenang di pergelangan tangannya. Bukan