Sebenarnya Arindi selalu menyambut dengan hangat Nyonya Tami. Menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Tetapi sifat sang mertua masih sama seperti dulu. Sama seperti saat menentang pernikahan Arfaaz dan Arindi.
Meskipun usia Keenandra sudah berada di angka lima tahun, namun nyatanya Nyonya Tami tetap pada prinsipnya. Tetap tidak tergugah dengan hadirnya bocah lucu itu. [No, Mam. Ini bukan tentang Arindi. Arfaaz jamin, Mama akan bahagia dengan kejutan yang akan Arfaaz beri]Pesan terkirim. Arfaaz menyandarkan punggungnya di kursi ruang kerja sembari menatap rintikan hujan di luar sana. Di mejanya sudah tersaji wedang jahe hangat buatan Arindi. Dia tipikal wanita yang begitu memperdulikan suaminya, terlepas bagaimana kondisi hatinya saat itu. Arindi tetap menunaikan kewajibanya. Di sisi lain, Arfaaz yakin sang mama akan senang bertemu Naina. Menantu idaman seperti yang mamanya harapkan. Berbakat jika ada di lingkungan sosialita, cantik, dan modis. Itulah yang diinginkan mama Arfaaz untuk kriteria calon menantu agar bisa mengimbanginya sebagai jajaran wanita-wanita kaya dan sosialita.Lalu dengan Arindi yang cerdas dan sukses, mengapa Nyonya Tami tidak menyukainya? Apa yang kurang? Sekilas tidak ada yang kurang dari seorang Arindi Maheswari. Dia Arsitek handal yang bahkan sempat membawa pulang penghargaan Woman Architecyt Of The Year. Tidak munafik, tentu banyak dari mereka yang menginginkan menantu seperti Arindi. Berbeda dengan Nyonya Tami yang tidak menyukainya sejak sang putra menyatakan keinginanya menikahi Arindi. "Sudah gila kamu. Menikahi wanita yang lahanya sudah ditanami orang lain. Mau jadi apa kamu?" murka Nyonya Tami kepada putra semata wayangnya saat enam tahun yang lalu."Ma, Arindi sebenarnya wanita baik-baik. Dia hanya korban," bela Arfaaz. Arfaaz hanya tertunduk. Dalam tekadnya ia harus bisa mendapatkan wanita itu. Wanita yang di idamkanya sejak lama. Arindi Maheswari adalah adik kelasnya yang begitu dikagumi Arfaaz. Dia cerdas, mempunyai publik speaking yang bagus dan juga wawasanya luas. Namun sayang, Arindi jatuh kepada seorang abdi negara dengan pangkat bintang dua. Arfaaz yang kala itu hanya seorang anak yang biasa saja, anak seorang pengusaha yang baru merintis kala itu, tentu tidak ada artinya di mata Arindi. Arfaaz bukan salah satu murid populer di sekolah, oleh karena itu, Arindi tidak mengenalinya. Bukan karena materinya."Tidak ada sebutan wanita baik-baik jika mahkotanya sudah lepas saat dia belum menikah, Arfaaz. Kegadisan seorang wanita itu harga diri yang harus dijunjung tinggi. Yang hanya boleh diberikan kepada suami sah saja," jawab Tami penuh penekanan.Bertahun-tahun berlalu, suatu hari yang menjadi hari na'as untuk Arindi. Hari dimana ia mendapatkan sebuah musibah yang begitu melukai jiwanya.Sepulang ia kuliah, di bawah rintik hujan, ia dibekap oleh seseorang berpakaian serba hitam dengan memakai topeng. Arindi meronta, melawan, meminta tolong. Namun sia-sia, tubuh kekar dan kuat itu mamou menyeret Arindi yang lemah ke sebuah gedung kosong. Hingga membuat kesucianya ternoda.Semenjak saat itu, sang kekasih yang katanya mendapatkan promosi jabatan lebih tinggi, perlahan meninggalkan Arindi. Bukan justru menemani sang kekasih yang terguncang hebat jiwanya. Dan kisah Arindi dengan sang abdi negara kini hanya kenangan belaka.Apalagi saat ia mendapati bahwa dirinya hamil. Arindi semakin terpukul. Tambah berantakanlah hidupnya. Bahkan sudah ada di benaknya, untuk mengakhiri hidupnya. Bagaimana tidak? Ia akan menuntut kepada siapa yang menjadi ayah kandung sang anak jika ia sendiri tidak tau pelakunya? Juga luka yang ia coreng di wajah ayah dan ibunya. Kendati kedua orang tuanya mengerti dengan musibah yang dialaminya. Tetapi kata malu seolah sudah menutup hati dan fikiran Arindi kala itu.Dan Arfaaz datang bagaikan pahlawan. Menawari diri untuk menolong, menikahi dan menutup aib sang wanita pujaan. Tetapi hal itu sangat ditentang oleh ibunya. Ibu mana yang sanggup merelakan putra semata wayangnya menikahi wanita hamil yang bukan benihnya. Bertanggungjawab terhadap sesuatu yang tidak ia lakukan. "Arfaaz kamu adalah keturunan Hartanto. Ada darah biru yang mengalir di tubuhmu. Jangan asal mengambil langkah."Tami terus saja menentang sang putra."Hilangkan saja nama Hartanto dari namaku, Ma. Dengan begitu aku menjadi bebas. Kalau memang nama itu dijadikan sebuah beban.""Itu artinya kamu tidak mendapat sepeserpun harta dari mendiang ayahmu, begitu maumu?"Namun tidak disangka, justru Arfaaz mengangguk dengan mantap. Tami semakin naik darah mendengar jawaban sang putra yang begitu nekat.Semenjak perdebatan itu, Arfaaz lebih memilih untuk diam. Dia yang dengan keras kepala akan keinginanya. Pun dengan Tami yang tetap kuat pada prinsip dan laranganya.Namun apa yang terjadi setelah itu? Sedikitpun Arfaaz tidak menyentuh masakan sang mama. Bahkan makanan dari luar pun, ia tolak. Arfaaz hilang selera makan. Tubuhnya yang semula berisi terlihat semakin kurus. Seorang ibu yang mengkhawatirkan kesehatan putranya, tentu mengalah. Memenuhi keinginan sang putra dari pada suatu hal yang lebih sakit akan terjadi.Dan pernikahan Arfaaz dan Arindi akhirnya digelar. Sederhana. Di kediaman mempelai wanita. "Wanita tidak tau diri. Sudah rusak. Tetapi mau saja di nikahi lelaki baik-baik," bisik lirih Tami di telinga Arindi saat mereka melakukan prosesi sungkeman. Arindi hanya menelan saliva terhadap komentar pedas sang mertua."Kita lihat saja, akan berapa lama kamu bisa bertahan dengan anak saya."Deru mobil Arfaaz di penghujung senja entah mengapa bukan menjadi hal yang membuat candu lagi di telinga Arindi. Jika dulu suara itu yang selalu ia nantikan di temaram sore, lalu menyambut suaminya dengan hangat, kini semua terasa berbeda. Tetapi tidak dengan Keenandra, seperti biasa ia selalu menyambut hangat sang papa."Duh, anak Papa.” Arfaaz langsung menggendong sang putra."Mama mana?" tanyanya. "Di kamar."Hati Arfaaz mendadak tidak enak. Sepertinya Arindi memang tengah tidak baik-baik saja. "Keenan mainan dulu, ya. Papa mau ganti baju dulu," ucapnya sembari menurunkan sang putra.Beruntungnya Keenan bukan anak yang manja. Ia selalu menurut apa kata orangtuanya. Arfaaz menaiki tangga menuju kamar utama. Kamar yang menjadi istananya dan Arindi. Ia sengaja menempelkan telinga di pintu. Apakah saat ini Arindi tengah menangis bergelimangan air mata? Namun yang ia dengar justru musik hip hop yang diputar begitu kencang.‘Apakah ini cara Arindi mengobati lukanya?’"Rind," sapa
"Maukah kamu menjadi istriku?" tanya seorang pria yang bersimpuh di hadapanya dengan sebuah cincin berkilau emas di kotak bentuk love itu.Naina tersenyum kecil. Ini bukan kali pertama ia diperlakukakan begitu spesial oleh seorang laki-laki. Dari perjaka sampai suami orang sekalipun pernah memperlakukan dia begitu istimewa seperti ini.Tidak heran. Walaupun hanya staff biasa, Naina mempunyai wajah yang cantik campuran Indo-Turki. Berkulit putih bersih. Tentu tidak lepas dari perawatan mahal yang ia lakukan. Tubuhnya juga proposional. Kalau kata orang seperti gitar spanyol. Namun entah mengapa, seorang laki-laki yang bersimpuh di hadapanya kini terlihat berbeda. Ia masih muda, tampan dan tentu saja mapan. Seantero penjuru mungkin mengenal pria ini. Kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya di negeri ini.Naina pun tau siapa dan latar belakang pria ini. Arfaaz Khairul Hartanto. Salah satu crazy rich di negara ini. "Tetapi istrimu?" tanya Naina masih dengan santai.Ya, Naina tahu
Tangan Arindi tampak membolak-balik gaun yang menjuntai hingga lantai dengan pernak pernik payet yang terlihat gemerlap. Mewah dan glamour. Arfaaz pun memuji pilihan Arindi. Seleranya sama. Mengagumi gaun itu dalam hati. "Dia dari kalangan apa?" tanya Arindi tiba tiba. "Maksudmu?""Hem latar belakangmya bagaimana? Mungkin dia seorang priyayi, seorang konglomerat sepertimu atau wanita berkelas yang memiliki jabatan tinggi di tempat kerja. Atau mungkin lebih dari itu?" tanya Arindi lagi. Arfaaz menunduk sesaat. "Dia dari kalangan biasa saja Rind. Perkerjaan terakhirnya juga hanya staff biasa.""Oh, biasa saja," kata Arindi dengan netra yang sedikit pun tidak menoleh ke arah Arfaaz."Mencari yang kedua seharusnya lebih dari yang pertama, Mas. Agar dia tidak insecure," bisik lirih Arindi di telinga sang suami lalu melangkahkan kaki lagi. "Tapi dia can…" jawab Arfaaz tetapi ia tidak melanjutkan kalimatnya itu. Arindi menoleh dengan tawa kecilnya."Karena dia cantik begitu Mas? Ya m
Menjelang acara pernikahanya, hanya rasa kebimbangan yang seolah terus bersemayam di hati Arfaaz. Bagaimana sang istri dan Naina nanti? Apakah mereka bisa hidup rukun? Namun waktu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Pagi ini deru mobil Arfaaz mulai terdengar dipanasi. Ada hiasan bunga di atasnya. Arfaaz tampak bersiap siap pergi ke gedung tempat pernikahanya dilangsungkan. "Rind, kamu tidak siap-siap?" tanya Arfaaz ketika melihat Arindi masih santai dengan laptopnya. "Kemana?" tanyanya santai. "Rind, tolong jangan buat aku marah,""Siapa yang membuatmu marah? Ini acaramu sementara aku tidak melarang dan tetap mencoba kuat. Jadi, ini kesalahanku begitu?"Ah, Arfaaz selalu kehilangan kata-kata di depan Arindi. Sosok yang tidak pernah meninggikan suara dihadapanya kini benar benar menjadi sosok berbeda."Kamu tidak datangkah, Rind?" tanya Arfaaz dengan nada lembut. Arindi sejenak menghela nafas pelan. "Untuk apa? Untuk dipameri kemesraan kalian di atas pelaminan?""Lalu kena
"Mama bohong," teriak Keenandra di suatu pagi.Tubuh kecil anak itu berlari-lari menjauhi pintu utama. Arindi yang tengah memasak di dapur, terkesiap kaget dengan teriakan sang putra. Bergegas ia menghampiri. Walau masih dengan celemek melekat di tubuh."Mama bilang Papa pulang akan membawakan Arfaaz oleh-oleh tetapi nyatanya Papa membawa Tante itu sebagai oleh-oleh," ucap Arfaaz dengan cemberut. Arindi menatap arah tangan telunjuk Keenan. Naina sudah berdiri di depan pintu dengan satu koper di tanganya. Netranya nyalang menatap sekitar. Terlebih dengan rumah yang akan ia tempati. Sementara dari belakang, terdengar suara Arfaaz yang tengah menutup pintu mobil. "Nan, kenapa hanya berdiri disitu? Ayo masuk," ajak Arfaaz.Mereka sama-sama masih diam mematung. Terlebih saat menatap Arindi yang seolah menyambut di ruang tamu. "Eh Arindi," sapa Arfaaz dengan senyumnya. Seolah tidak terjadi sesuatu hal yang menyakitkan di antara mereka. Arindi melengos. Arfaaz lalu mendekatinya. "Kena
Tami terkesiap mendengar apa yang dikatakan Arindi. Bukan hanya Tami, namun juga Naina. Namun wanita itu cukup bisa menjaga sikap. Cukup tenang. Karena seperti apapun serangan yang dilakukan Arindi, toh ia dibela mati-matian oleh ibu mertua. "Ku rasa tidak perlu. Bahkan tidak pantas kamu mengatakan itu Rind. Bukan waktu dan tempat yang pas," ucap Arfaaz dengan dingin. Arindi memalingkan wajah dengan kesal. Namun sejenak ia tersenyum kecil."Terkadang aku pun perlu pengakuan dari orang lain, Mas. Aku juga jengah harga diriku di injak-injak. Diremehkan," jawab Arindi dengan berapi-api. Tiba-tiba Tami tertawa sumbang. "Halah ngomongin harga diri segala. Memangnya dirimu yang kotor itu ada harganya?" tanya Tami dengan pedas. Arindi mencoba untuk tetap berdiri dengan tegarnya. Namun apalah dirinya juga manusia yang tentu merasa sakit. Matanya mulai berembun. "Ma," tegur Arfaaz. Kalimat Tami memang dinilai menyakitkan. "Kenapa? Tidak ada yang salah. Aku bisa mengembalikan uang yang
Arindi gusar masuk ke dalam rumah. Ia merasa dirinya sudah tidak aman lagi. Apa jadinya andaikan Arfaaz tau? Herman sang Abdi Negara kembali menemuinya dengan Pangkat Kapolsa bintang dua. Ah andai berpangkat Jendral maupun berpangkat Kapolri sekalipun sejujurnya tidak akan membutnya silau. Hanya ia sangat menyayangkan mengapa ia kembali disaat yang tidak tepat. Disaat ia sudah bersuami. Disaat cintanya sudah terkubur rapat. Apa maksutnya? Dia boleh berdinas di kota ini lagi. Namun untuk menemui Arindi, rasanya tidak etis sekali. "Siapa sih? Berisik banget. Pakai membunyikan suara sirine segala." gerutu Naina yang menuruni anak tangga dengan masih menggunakan baju tidur sembari sesekali masih menguap. Sementara jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Arindi memiih bungkam dan meneruskan kembali aktifitasnya. "Mbak, sekalian bersihkan kamarku ya. Kotor banget," ucap Naina dengan entengnya."Bagaimana? Apa aku tidak salah mendengar?""Kamu tidak tuli kan Mbak?""Kamu jug
"Aku titip ini, Mas. Tolong berikan untuk Nessa,"ujar Arindi sembari menyerahkan satu bungkus kado kecil. Wajah Arindi tidak bisa berbohong. Ia kecewa dengan keputusan Arfaaz yang hanya mengajak Naina untuk datang. "Kamu harus mengerti. Begitulah yang namanya berbagi," jawab Arfaaz. Naina tertawa sumbang. "Pantas saja tidak diajak oleh Mas Arfaaz. Mau memberi hadiah ke pengantin kok sekecil itu? Mau mempermalukan diri sendiri Mbak?" sindir Naina.Arindi tetap tegar menghadapi. "Aku berbicara dengan Mas Arfaaz bukan denganmu. Lagipula aku sudah biasa diajak Mas Arfaaz ke pesta orang kaya seperti ini. Ke pesta pernikahan anak Presiden pun aku pernah. Jadi kalau hanya segini mah kecil. Ndeso sekali kamu," balas Arindi yang membuat Naina bertambah cemberut. Arfaaz tampak merapikan lengan kemeja yang dipakainya."Sudah, jangan terus menerus kamu tampakan muka masammu, Nan. Aku sudah bilang bahwa keluarga Tante Riana bukan orang sembarangan. Dia punya perusahaan tambang terbesar seant