Share

2. Dibenci Mertua

Sebenarnya Arindi selalu menyambut dengan hangat Nyonya Tami. Menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri.  Tetapi sifat sang mertua masih sama seperti dulu. Sama seperti saat menentang pernikahan Arfaaz dan Arindi. 

Meskipun usia Keenandra sudah berada di angka lima tahun, namun nyatanya Nyonya Tami tetap pada prinsipnya. Tetap tidak tergugah dengan hadirnya bocah lucu itu. 

[No, Mam. Ini bukan tentang Arindi. Arfaaz jamin, Mama akan bahagia dengan kejutan yang akan Arfaaz beri]

Pesan terkirim. Arfaaz menyandarkan punggungnya di kursi ruang kerja sembari menatap rintikan hujan di luar sana. Di mejanya sudah tersaji wedang jahe hangat buatan Arindi. Dia tipikal wanita yang begitu memperdulikan suaminya, terlepas bagaimana kondisi hatinya saat itu. Arindi tetap menunaikan kewajibanya. 

Di sisi lain, Arfaaz yakin sang mama akan senang bertemu Naina. Menantu idaman seperti yang mamanya harapkan. Berbakat jika ada di lingkungan sosialita, cantik, dan modis.  Itulah yang diinginkan mama Arfaaz untuk kriteria calon menantu agar bisa mengimbanginya sebagai jajaran wanita-wanita kaya dan sosialita.

Lalu dengan Arindi yang cerdas dan sukses, mengapa Nyonya Tami tidak menyukainya? Apa yang kurang? 

Sekilas tidak ada yang kurang dari seorang Arindi Maheswari. Dia Arsitek handal yang bahkan sempat membawa pulang penghargaan Woman Architecyt Of The Year. 

Tidak munafik, tentu banyak dari mereka yang menginginkan menantu seperti Arindi. Berbeda dengan Nyonya Tami yang tidak menyukainya sejak sang putra menyatakan keinginanya menikahi Arindi. 

"Sudah gila kamu. Menikahi wanita yang lahanya sudah ditanami orang lain. Mau jadi apa kamu?" murka Nyonya Tami kepada putra semata wayangnya saat enam tahun yang lalu.

"Ma, Arindi sebenarnya wanita baik-baik. Dia hanya korban," bela Arfaaz. 

Arfaaz hanya tertunduk. Dalam tekadnya ia harus bisa mendapatkan wanita itu. Wanita yang di idamkanya sejak lama. 

Arindi Maheswari adalah adik kelasnya yang begitu dikagumi Arfaaz. Dia cerdas, mempunyai publik speaking yang bagus dan juga wawasanya luas.

 

Namun sayang, Arindi jatuh kepada seorang abdi negara dengan pangkat bintang dua. Arfaaz yang kala itu hanya seorang anak yang biasa saja, anak seorang pengusaha yang baru merintis kala itu, tentu tidak ada artinya di mata Arindi. Arfaaz bukan salah satu murid populer di sekolah, oleh karena itu, Arindi tidak mengenalinya. Bukan karena materinya.

"Tidak ada sebutan wanita baik-baik jika mahkotanya sudah lepas saat dia belum menikah, Arfaaz. Kegadisan seorang wanita itu harga diri yang harus dijunjung tinggi. Yang hanya boleh diberikan kepada suami sah saja," jawab Tami penuh penekanan.

Bertahun-tahun berlalu, suatu hari yang menjadi hari na'as untuk Arindi. Hari dimana ia mendapatkan sebuah musibah yang begitu melukai jiwanya.

Sepulang ia kuliah, di bawah rintik hujan, ia dibekap oleh seseorang berpakaian serba hitam dengan memakai topeng.  Arindi meronta, melawan, meminta tolong. Namun sia-sia, tubuh kekar dan kuat itu mamou menyeret Arindi yang lemah ke sebuah gedung kosong. Hingga membuat kesucianya ternoda.

Semenjak saat itu, sang kekasih yang katanya mendapatkan promosi jabatan lebih tinggi, perlahan meninggalkan Arindi. Bukan justru menemani sang kekasih yang terguncang hebat jiwanya. Dan kisah Arindi dengan sang abdi negara kini hanya kenangan belaka.

Apalagi saat ia mendapati bahwa dirinya hamil. Arindi semakin terpukul. Tambah berantakanlah hidupnya. Bahkan sudah ada di benaknya, untuk mengakhiri hidupnya. Bagaimana tidak? Ia akan menuntut kepada siapa yang menjadi ayah kandung sang anak jika ia sendiri tidak tau pelakunya? Juga luka yang ia coreng di wajah ayah dan ibunya. Kendati kedua orang tuanya mengerti dengan musibah yang dialaminya.

 Tetapi kata malu seolah sudah menutup hati dan fikiran Arindi kala itu.

Dan Arfaaz datang bagaikan pahlawan. Menawari diri untuk menolong, menikahi dan menutup aib sang wanita pujaan. Tetapi hal itu sangat ditentang oleh ibunya. Ibu mana yang sanggup merelakan putra semata wayangnya menikahi wanita hamil yang bukan benihnya. Bertanggungjawab terhadap sesuatu yang tidak ia lakukan. 

"Arfaaz kamu adalah keturunan Hartanto. Ada darah biru yang mengalir di tubuhmu. Jangan asal mengambil langkah."

Tami terus saja menentang sang putra.

"Hilangkan saja nama Hartanto dari namaku, Ma. Dengan begitu aku menjadi bebas. Kalau memang nama itu dijadikan sebuah beban."

"Itu artinya kamu tidak mendapat sepeserpun harta dari mendiang ayahmu, begitu maumu?"

Namun tidak disangka, justru Arfaaz mengangguk dengan mantap. 

Tami semakin naik darah mendengar jawaban sang putra yang begitu nekat.

Semenjak perdebatan itu,  Arfaaz lebih memilih untuk diam. Dia yang dengan keras kepala akan keinginanya. Pun dengan Tami yang tetap kuat pada prinsip dan laranganya.

Namun apa yang terjadi setelah itu? 

Sedikitpun Arfaaz tidak menyentuh masakan sang mama. Bahkan makanan dari luar pun,  ia tolak. Arfaaz hilang selera makan. Tubuhnya yang semula berisi terlihat semakin kurus. 

Seorang ibu yang mengkhawatirkan kesehatan putranya, tentu mengalah. Memenuhi keinginan sang putra dari pada suatu hal yang lebih sakit akan terjadi.

Dan pernikahan Arfaaz dan Arindi akhirnya digelar. Sederhana. Di kediaman mempelai wanita. 

"Wanita tidak tau diri.  Sudah rusak. Tetapi mau saja di nikahi lelaki baik-baik," bisik lirih Tami di telinga Arindi saat mereka melakukan prosesi sungkeman. 

Arindi hanya menelan saliva terhadap komentar pedas sang mertua.

"Kita lihat saja,  akan berapa lama kamu bisa bertahan dengan anak saya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status