Share

3. Gaun Pilihan Arindi

Deru mobil Arfaaz di penghujung senja entah mengapa bukan menjadi hal yang membuat candu lagi di telinga Arindi. Jika dulu suara itu yang selalu ia nantikan di temaram sore, lalu menyambut suaminya dengan hangat, kini semua terasa berbeda. 

Tetapi tidak dengan Keenandra,  seperti biasa ia selalu menyambut hangat sang papa.

"Duh, anak Papa.” Arfaaz langsung menggendong sang putra.

"Mama mana?" tanyanya. 

"Di kamar."

Hati Arfaaz mendadak tidak enak. Sepertinya Arindi memang tengah tidak baik-baik saja. 

"Keenan mainan dulu, ya.  Papa mau ganti baju dulu," ucapnya sembari menurunkan sang putra.

Beruntungnya Keenan bukan anak yang manja. Ia selalu menurut apa kata orangtuanya. 

Arfaaz menaiki tangga menuju kamar utama. Kamar yang menjadi istananya dan Arindi. Ia sengaja menempelkan telinga di pintu. Apakah saat ini Arindi tengah menangis bergelimangan air mata? 

Namun yang ia dengar justru musik hip hop yang diputar begitu kencang.

‘Apakah ini cara Arindi mengobati lukanya?’

"Rind," sapa Arfaaz yang membuka gagang pintu. 

Ia melihat Rindi tengah asyik dengan ponsel di tanganya sembari kepalanya menikmati alunan musik itu. 

"Bisa kamu kecilkan suara musik itu?" tegur Arfaaz dengan lembut. 

Arindi menuruti permintaanya. 

"Setelah ini kamu bersiap siap, ya. Ikut aku."

"Ke mana?"

"Kita jalan jalan. Sudah lama kan kita tidak keluar bersama?"

"Bukankah kamu sibuk dengan persiapan pernikahan keduamu?"

"Sesibuk apapun aku, aku berusaha untuk tidak melupakanmu dan juga Keenandra."

"Oh iya?"

Wajah Arfaaz langsung berubah. Seperti ia tengah mengiba.

"Rind, tolong jangan membuat aku semakin merasa bersalah," pinta Arfaaz. 

"Bersalah? Jadi kamu menganggap ini sebuah kesalahan?  Lantas kenapa diteruskan? Itu artinya ini adalah kesalahan yang kamu benarkan."

Arfaz menarik rambutnya dengan kasar. 

"Rind, aku tau kamu wanita cerdas tapi tolong jangan membuat suamimu justru tertekan. Seorang istri adalah rumah untuk suaminya. Arindi yang aku kenal adalah wanita cerdas tetapi selalu melibatkan hati dan logika dalam berbicara dan mengambil keputusan agar tak melukai hati orang lain. Jangan kamu buat aku merindukan sosok Arindi yang dulu."

'Kamu yang berhasil mengubahnya, Mas. Kamu yang menorehkan luka yang berujung perih saat ini. Aku pun sama. Merindukan sosok Arfaaz yang penyayang dulu.  Yang bahkan aku tak menyangka makhluk sepertimu bisa terfikirkan untuk poligami, Mas, ' gumam Arindi dalam hati.

"Tunggu aku. Setengah jam lagi aku akan turun," ucap Arindi masih dengan nada suara yang dingin. Meskipun begitu, ada rasa lega dalam hati Arfaaz ketika sang istri yang ia kira tengah terluka hatinya mau menerima ajakanya.

Arindi tepat janji. Di menit ke tiga puluh setelah itu, ia telah menuruni tangga dengan Keenandra yang terlihat riang sekali. 

Arindi masih dengan penampilan sederhananya.  Legging hitam dengan tunik yang dipadukan dengan jilbab pasminanya. Tidak seperti wanita lain yang hedon dengan jejeran perhiasan di tanganya, Arindi hanya memakai cincin nikah. Itu saja. Padahal jika ditanya jumlah perhiasan, semua orang yang mengenalnya yakin, kekayaanya bukan kaleng-kaleng semata. 

Mobil yang dulu hangat dengan segala obrolan antar mereka, kini tampak sepi dan sunyi.  Arindi hanya berbicara seperlunya saja.

Siapa sangka justru mobil berhenti di sebuah butik yang memamerkan gaun pengantin di bagian kaca depan.

"Kalau untuk ke sini, kenapa harus mengajak aku, Mas?" tanya Arindi yang masih mencoba tenang.  Walaupun sebenarnya emosi di dada saat ini tengah membuncah. 

"Aku ingin lewat tanganmu sendirilah yang memilihkan gaun dan busana untuk pernikahan kami, Rind.  Sebagai tanda restumu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status