Sesampai rumah juga Naina tak mengatakan apapun. Meskipun ia begitu kesal dengan Herman. Namun justru seperti Arfaaz yang terkena dampaknya."Nan, aku balik ke kantor ya," ucap Arfaaz.Naina hanya cemberut.'Mau balik ke kantor, mau balik ke alam kubur. Aku tidak perduli,' gumam Naina dalam hati.Namun saat Arfaaz hendak masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba ada sebuah taksi yang berhenti di depan rumah. Dan Arfaaz yakin dibalik taksi itu ada Arindi.Benar saja. Arindi turun bersama Keenandra. Dan laki laki itu mengurungkan niatnya untuk balik ke kantor."Rind," sapa Arfaaz."Iya.""Ada yang perlu aku bicarakan Rind.""Iya aku ingat Mas. Ada apa?"Langkah Arindi menuju teras. Dan Arfaaz mengekor di belakang."Kamu sedekat apa sih dengan Herman sekarang?" tanya Arfaaz.Arindi tertawa kecil."Dekat? Aku tidak dekat sedikit pun dengan dia. Ya kali sudah besuami dekat dengan laki laki lain," jawab Arindi dengan santai."Tapi lihatlah, bagaimana orang tuamu sekarang tidak menyukaiku Rind. It
Clara mengusap wajahnya dengan kasar. Berarti memang apa yang dikatakan Naina saat itu adalah benar."Ya Tuhan, Man. Kamu kok tega sekali sih?" protes Clara."Tega? Maksut kamu? Aku tidak menyakitinya.""Kamu itu sebagai laki laki peka sedikit kenapa sih. Kamu tau jika Naina itu suka dengan kamu. Masih tidak mengerti. Selama ini kamu berusaha mendekatinya. Lalu untuk apa kalau Ki tidak suka?" tanya Clara lagi."Ya Jan sikapku ke Naina ya sama seperti ke kamu Ra. Kita teman. Aku tidak pernah memberinya harapan lebih.""Tapi kalau dia berharap lebih bagaimana?""Ya dia yang salah.""Loh kok dia yang salah?" tanya Clara."Dia sudah bersuami. Kalaupun menjalin hubungan denganku, tujuannya untuk apa? Suatu hubungan itu harus ada tujuan yang jelas ke depannya seperti apa. Kalau aku dan Naina menikah itu adalah hal yang mustahil." jawab HermanAlis Clara bertaut."Kenapa mustahil? Kalian tidak ada ikatan darah. Kalian juga satu agama. Toh Naina juga hanya menjadi istri kedua. Bisa lah menik
Naina masih gemetar "Mbak Arindi," teriaknya. Suaranya bahkan hampir tercekat."Mbak," panggilnya sekali lagi sedikit keras.Arindi mendekat."Ada apa?""Mas Arfaaz kecelakaan. Dan dia meninggal.""Hah, serius kamu?""Aku Baru saja dapat telefon dari kepolisian. Dan sekarang dibawa ke RS BAYANGKARA," Jawab Naina..Arindi sebenarnya ingin menangis, meraung, menjerit saat itu. Tapi itu bukan solusi di saat genting. Ia segera menyambar kunci mobil."Aku ikut Mbak," tanya Naina dengan panik. Ia masuk ke kamar dulu."Tidak usah pakai acara dandan segala. Ini darurat," bentak ArindiSaat itu Naina tak memilih berdebat. Kecuali menuruti."Ra, kamu pulang dulu ya. Aku Mau ke rumah sakit. Suamiku kecelakaan,""Oh iya Nan. Tidak apa apa."Sepeninggal Naina, Clara hanya menggeleng. Membayangkan apesnya menjadi Naina saat itu.Saat sampai di rumah sakit, Arindi segera berlari di lorong rumah sakit. Tak perduli banyak pasang mata yang menatapnya."Sus, pasien kecelakaan atas nama Arfaaz dirawat d
Naina hanya melengos mendengar alasan Arindi. Saat para pelayat satu persatu saat sudah pulang. Datanglah seorang tamu berpakaian rapi.Semula mereka mengira bahwa laki laki itu adalah teman atau klien Arfaaz. Ternyata laki laki itu memperkenalkan diri sebagai pengacara."Saya pengacara dari Pak Arfaaz, ingin menyampaikan amanah. Bahwa beliau mempunyai tabungan yang ia amanahkan kepada istrinya jika meninggal."Naina kaget. Namun dalam hati tentu ia bernafas lega. Ia kira ia akan hidup miskin setelah ditinggal mati Arfaaz dan perusahaannya terancam bangkrut. Namun rupanya suami pelitnya itu menyiapkan tabungan untuk mereka. Pengacara tersebut menyerahkan masing masing satu buku tabungan. Saat Arindi menerima buku tabungan itu, ekor mata Naina sempat meliriknya. Jumlahnya Wow cukup fantastis.Dan saat tiba gilirannya. Jumlahnya sangat berbeda jauh dengan yang di terima Arindi."Loh Pak. Kok jumlahnya tidak sama?""Iya Bu. Dikarenakan pernikahan Mbak Arindi dan Mas Arfaaz sudah berjala
"Rin, kamu marah?" tanya lelaki itu.Pertanyaan bodoh. Hati wanita mana yang tidak sakit saat mendengar suaminya menyebut nama wanita lain? Kenapa masih saja dipertanyakan."Bukankah kita sudah membahas ini sebelumnya, Rin?" tanya Arfaaz dengan lirih.Arindi menatap ke atas ke arah langit-langit rumah. Agar pertahananya tidak runtuh. Agar linangan air matanya tidak jadi jatuh.Arindi mengangguk lemah. Kendati tubuhnya belum berbalik menatap sang suami."Lalu mengapa sifatmu menjadi seperti ini? Arindi yang biasanya hangat lalu mengapa kini membeku sedingin ini?" tanya Arfaaz. Seakan tanpa dosa dan tanpa merasa bersalah. Seolah ia tersakiti karena sikap Arindi, tetapi nyatanya ia lah seorang pembuat luka itu sendiri. "Aku perlu waktu untuk kuat. Tidak semudah itu. Tetapi tenanglah. Arindi tetap seperti yang kamu kenal sedari dulu hingga sekarang. Ia adalah wanita kuat yang akan selalu membuatmu bangga," kata Arindi. Nada kalimat yang keluar dari mulut Arindi seolah terasa bergetar. Te
Sebenarnya Arindi selalu menyambut dengan hangat Nyonya Tami. Menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Tetapi sifat sang mertua masih sama seperti dulu. Sama seperti saat menentang pernikahan Arfaaz dan Arindi. Meskipun usia Keenandra sudah berada di angka lima tahun, namun nyatanya Nyonya Tami tetap pada prinsipnya. Tetap tidak tergugah dengan hadirnya bocah lucu itu. [No, Mam. Ini bukan tentang Arindi. Arfaaz jamin, Mama akan bahagia dengan kejutan yang akan Arfaaz beri]Pesan terkirim. Arfaaz menyandarkan punggungnya di kursi ruang kerja sembari menatap rintikan hujan di luar sana. Di mejanya sudah tersaji wedang jahe hangat buatan Arindi. Dia tipikal wanita yang begitu memperdulikan suaminya, terlepas bagaimana kondisi hatinya saat itu. Arindi tetap menunaikan kewajibanya. Di sisi lain, Arfaaz yakin sang mama akan senang bertemu Naina. Menantu idaman seperti yang mamanya harapkan. Berbakat jika ada di lingkungan sosialita, cantik, dan modis. Itulah yang diinginkan mama A
Deru mobil Arfaaz di penghujung senja entah mengapa bukan menjadi hal yang membuat candu lagi di telinga Arindi. Jika dulu suara itu yang selalu ia nantikan di temaram sore, lalu menyambut suaminya dengan hangat, kini semua terasa berbeda. Tetapi tidak dengan Keenandra, seperti biasa ia selalu menyambut hangat sang papa."Duh, anak Papa.” Arfaaz langsung menggendong sang putra."Mama mana?" tanyanya. "Di kamar."Hati Arfaaz mendadak tidak enak. Sepertinya Arindi memang tengah tidak baik-baik saja. "Keenan mainan dulu, ya. Papa mau ganti baju dulu," ucapnya sembari menurunkan sang putra.Beruntungnya Keenan bukan anak yang manja. Ia selalu menurut apa kata orangtuanya. Arfaaz menaiki tangga menuju kamar utama. Kamar yang menjadi istananya dan Arindi. Ia sengaja menempelkan telinga di pintu. Apakah saat ini Arindi tengah menangis bergelimangan air mata? Namun yang ia dengar justru musik hip hop yang diputar begitu kencang.‘Apakah ini cara Arindi mengobati lukanya?’"Rind," sapa
"Maukah kamu menjadi istriku?" tanya seorang pria yang bersimpuh di hadapanya dengan sebuah cincin berkilau emas di kotak bentuk love itu.Naina tersenyum kecil. Ini bukan kali pertama ia diperlakukakan begitu spesial oleh seorang laki-laki. Dari perjaka sampai suami orang sekalipun pernah memperlakukan dia begitu istimewa seperti ini.Tidak heran. Walaupun hanya staff biasa, Naina mempunyai wajah yang cantik campuran Indo-Turki. Berkulit putih bersih. Tentu tidak lepas dari perawatan mahal yang ia lakukan. Tubuhnya juga proposional. Kalau kata orang seperti gitar spanyol. Namun entah mengapa, seorang laki-laki yang bersimpuh di hadapanya kini terlihat berbeda. Ia masih muda, tampan dan tentu saja mapan. Seantero penjuru mungkin mengenal pria ini. Kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya di negeri ini.Naina pun tau siapa dan latar belakang pria ini. Arfaaz Khairul Hartanto. Salah satu crazy rich di negara ini. "Tetapi istrimu?" tanya Naina masih dengan santai.Ya, Naina tahu