Share

Aibku Ditukar Dengan Madu
Aibku Ditukar Dengan Madu
Author: Anik Safitri

1. Arindi Yang Berubah

"Rin, kamu marah?" tanya lelaki itu.

Pertanyaan bodoh. Hati wanita mana yang tidak sakit saat mendengar suaminya menyebut nama wanita lain? Kenapa masih saja dipertanyakan.

"Bukankah kita sudah membahas ini sebelumnya, Rin?" tanya Arfaaz dengan lirih.

Arindi menatap ke atas ke arah langit-langit rumah. Agar pertahananya tidak runtuh. Agar linangan air matanya tidak jadi jatuh.

Arindi mengangguk lemah. Kendati tubuhnya belum berbalik menatap sang suami.

"Lalu mengapa sifatmu menjadi seperti ini? Arindi yang biasanya hangat lalu mengapa kini membeku sedingin ini?" tanya Arfaaz. Seakan tanpa dosa dan tanpa merasa bersalah. Seolah ia tersakiti karena sikap Arindi, tetapi nyatanya ia lah seorang pembuat luka itu sendiri.

"Aku perlu waktu untuk kuat. Tidak semudah itu. Tetapi tenanglah. Arindi tetap seperti yang kamu kenal sedari dulu hingga sekarang. Ia adalah wanita kuat yang akan selalu membuatmu bangga," kata Arindi.

Nada kalimat yang keluar dari mulut Arindi seolah terasa bergetar. Tentu tidak mudah mengucapkan kalimat itu untuk keluar dari bibir. Perlu rangkaian kekuatan untuk menguarkan dan mengucapkanya.

Ia memilih pergi meninggalkan Arfaaz di ruang makan begitu saja. Arfaz memeluknya dari belakang, membuat langkahnya terhenti dengan melingkarkan tangan di pinggang sang istri. Menenggelamkan kepalanya kepada pundak Arindi yang menahan kesedihan agar tidak terlihat. Oleh siapapun.

Dalam hati kecil Arindi, ia meratap. Apakah perlakuan manis sang suami akan terus ia dapati walau kelak akan hadir seorang wanita sebagai madu, yang katanya manis.

Benarkah memang manis? Atau justru akan sepahit empedu?

"Bantu aku berbakti kepada mamaku, Rind," pinta lirih Arfaaz. Dan Arindi merasakan cairan hangat mendarat di pundaknya. Ya, Arfaaz menitikan air mata.

Kata orang, air mata laki-laki adalah air mata ketulusan. Benarkah itu?

"Apa bentuk bakti anak kepada seorang ibu adalah dengan menikahi wanita lain, Mas? Aku dan mama mu sama-sama perempuan. Harusnya hal itu tidak perlu diperjelas oleh siapapun bukan?"

Arfaaz menghela nafas pelan.

"Lalu apa yang bisa aku persembahkan untuk wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku itu Rind? Harta? Mamaku bahkan sudah tak perlu limpahan materi lagi dari ku. Dia tidak akan terlena akan segepok uang yang aku beri. Harta mama bahkan lebih dari aku,"

Arindi melepaskan pelukan Arfaaz dengan pelan. Ia mengumpulkan kekuatan untuk membalikan badan menatap sang suami.

"Apa masih kurang yang aku lakukan ini?" tanya Arindi lirih menatap netra sang sumi yang basah.

Arindi selalu gagal. Saat keinginan menatap tajam lawan bicaranya. Terlebih sang suami. Seorang imam yang pantas ia hargai. Dia tidak seberani itu. Meninggikan apapun di hadapan sang suami.

Arfaaz tersenyum. Keinginan yang tidak mudah digapai. Harus ada perang batin, perdebatan dan tentu saja air mata dengan Arindi sebelum ini. Sebelum Arindi mengalah mengizinkan Arfaaz menikahi Naina. Karena alasan 'Mama'.

'Bantulah suamimu berbakti kepada ibunya. Kelak kamu juga akan merasakan anakmu yang tetap berbakti padamu walau sudah berkeluarga'.

Kalimat dari Arfaaz itulah yang selalu berdengung di telinga Arindi. Ia percaya betul akan hukum tabur tuai dan hukum sebab akibat di dunia ini. Namun benarkah dengan poligami adalah bentuk berbakti kepada sang ibu?

"Dia wanita yang ramah dan murah senyum Rind. Aku rasa dia juga seorang yang asyik. Ajaklah untuk bertemu," kata Arfaaz di akhir senyumnya. Membuat Arindi yang semula menunduk menjadi mendongakan kepala kembali menatap suaminya.

Dia mundur beberapa langkah. Meyakinkan akan pertanyaan Arfaaz.

"Aku? Mengajaknya bertemu? Tidak salah mas? Dia yang akan masuk ke dalam kehidupan rumah tanggaku. Dia yang akan menjadi tamu. Seperti orang bertamu di rumah orang lain, harusnya dia yang mengatakan permisi. Bahkan meminta izin. Dan satu lagi, asyik untumu. Belum tentu asyik untukku, Mas." jawab Arindi dengan tegas.

Arfaaz lupa. Berbicara dengan wanita secerdas Arindi tidaklah mudah. Tidak seperti kebanyakan wanita yang menilai sesuatu dari hati. Tetapi Arindi selalu melihat segala sesuatu dari sisi yang berbeda. Itulah yang membuat Arfaaz menggilainya. Selain cerdas, dia mengajarkan Arfaaz melihat dunia dari sisi yang lain. Hingga Arfaaz banyak belajar dari wanita ini.

***

[Akhir pekan di bulan ini, kuharap Mama bisa terbang ke Indonesia. Arfaaz tunggu]

Sepenggal pesan yang dikirim Arfaaz untuk sang ibu yang tengah berada di negeri Paman Sam.

Seperti biasa. Lama. Mamanya bukan wanita yang gemar berlama lama di depan layar handphone. Meskipun sang mama juga terbiasa dengan hingar bingar kehidupan sosialita.

[Ada apa? Untuk bertemu Arindi lagi? Mama rasa, Mama masih perlu waktu]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status