Menjelang acara pernikahanya, hanya rasa kebimbangan yang seolah terus bersemayam di hati Arfaaz.
Bagaimana sang istri dan Naina nanti? Apakah mereka bisa hidup rukun? Namun waktu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Pagi ini deru mobil Arfaaz mulai terdengar dipanasi. Ada hiasan bunga di atasnya. Arfaaz tampak bersiap siap pergi ke gedung tempat pernikahanya dilangsungkan. "Rind, kamu tidak siap-siap?" tanya Arfaaz ketika melihat Arindi masih santai dengan laptopnya. "Kemana?" tanyanya santai. "Rind, tolong jangan buat aku marah,""Siapa yang membuatmu marah? Ini acaramu sementara aku tidak melarang dan tetap mencoba kuat. Jadi, ini kesalahanku begitu?"Ah, Arfaaz selalu kehilangan kata-kata di depan Arindi. Sosok yang tidak pernah meninggikan suara dihadapanya kini benar benar menjadi sosok berbeda."Kamu tidak datangkah, Rind?" tanya Arfaaz dengan nada lembut. Arindi sejenak menghela nafas pelan. "Untuk apa? Untuk dipameri kemesraan kalian di atas pelaminan?""Lalu kenapa kamu seolah enggan hadir Rind? Ini acara penting dalam hidupku.”"Penting bagimu. Bukan berarti penting bagiku." jawab Rindi dengan nada dingin. "Ah. Mengapa kamu memberi restu jika akhirnya kamu bersikap seperti ini?" keluh Arfaaz mengusap kasar wajahnya. "Memberi? Kamu itu memaksa, Mas. Bukan meminta," jawab Arindi tidak mau kalah. Arfaaz mengalah. Meninggalkan Arindi yang masih terpekur diatas ranjang mewahnya. Meninggalkan wanita yang di hari ini mengalami patah hati yang luar biasa. Sebelum langkah kaki itu mulai meninggalkan istana mewahnya, ada rasa berat menggelayuti. Mama. Ya dimana Mamanya kini? Mengapa tidak ada kabar menjelang pernikahanya? Mungkinkah sang mama trauma dengan wanita yang dipilih anaknya?Denting jam yang terus memburu, seolah memaksa Arfaaz untuk segera menaiki mobil itu. Di sebuah gedung mewah, sudah tampak karangan bunga ucapan selamat berjejer begitu indahnya.Ada seorang wanita yang berdiri di depan pintu, yang membuat mata Arfaaz terbelalak dengan senyum yang merekah.Sang mama telah berdiri menyambutnya dengan anggun dan senyum manisnya. Arfaaz setengah berlari kecil untuk bisa memeluk Mamanya setelah bertahun-tahun tidak bertemu. "Ma'af Mama langsung kesini. Mama enggan bertemu dengan istrimu yang di rumah. Selamat ya sayang, " ucap Tami kepada putranya."Mama setuju? Mama senang kan?"Tami mengangguk penuh perasaan mengharu biru. "Kini mama tidak akan malu saat ditanya siapa menantu Mama. Mana mungkin mama menjawab bermenantukan Arindi. Sementara semua orang tau bahwa ia adalah korban pemerkosaan. Ah memalukan. Namun kali ini, mama acungkan jempol untuk pilihan kamu,"Naina menepati janji. Ia sudah menunggu dengan gaun pilihan Arindi tempo hari. Meski hatinya tidak ikhlas dan tidak puas. Beruntung, semua tertolong dengan wajah cantik dan tubuh proposional Naina. Berkali-kali ia mematut diri di cermin. Berkali-kali pula ia mendesah kecewa. Ia memang cantik, namun ia tak suka dengan gaun yang ia kenakan. Bagaimana tanggapan orang nanti? Diperistri konglomerat, namun gaun yang ia pakai sangat jauh dari kata mewah. Sementara itu, Arindi dan sang perancang busana. Alestio Prambada tampak mempersiapkan diri. Sembari sesekali laki-laki yang sedikit kemayu itu membenarkan gaun yang dipakai Arindi."Hari ini kamu harus menjadi bintang Rind.""Apa tidak berlebihan Les?" sapa akrab Arindi kepada perancang busana kondang itu. "No no no. Kamu tidak mau semakin di injak-injak oleh wanita itu kan? Terlebih oleh mama mertuamu? Mereka boleh melangsungkan pernikahan. Mereka boleh tertawa bahagia. Tetapi mereka tidak bisa segampang itu meremehkan kamu. Ingat baik-baik itu Rind."Dengan langkah tegap dan pasti, seorang Arindi melangkah mantap. Balutan gaun rancangan Alestio nyatanya pas di badan Arindi yang kini bagaikan bintang itu. Dres panjang berwarna merah maron dengan aksen payet yang mewah itu membalut tubuh Arindi dengan sempurna. Sanggul kecil di belakang, menambah anggunya seorang arsitek itu.Alestio mengekor dari belakang. Ia pun turut di undang di acara bersejerah konglomerat ini."Selamat," ucap Arindi dengan tegar diatas pelaminan sang suami.Tangan Arfaaz lama menjabat tangan Arindi. Hingga Naina menyenggol lenganya."Nan, perkenalkn ini Arindi," kata Arfaaz memperkenalkan istri pertamanya. Mata Naina terbelalak. Arindi yang ia kira adalah seorang wanita kucel dan lemah namun kali ini ia membawa aura yang berbeda. Ditambah dengan hadirnya seorang Alestio yang sesekali membenarkan gaun Arindi membuat Naina hampir tak percaya. Istri pertama suaminya mempercayakan gaun kepada perancang busana yang menjadi idolanya itu. Sementara dirinya hanya di rias oleh MUA biasa saja. Tangan Naina terulur hendak menyalami kakak madunya. Namun sayang, Arindi melewatinya begitu saja. "Mama juga datang?" seru Arindi yang melihat kehadiran sang ibu mertua. Masih sama. Dengan tatapan sinis, Tami menolehkan kepala ke arah menantunya."Mentalmu kuat juga mau datang? Kamu tidak malu? Apa tidak merasa kalah dengan wanita yang akan menjadi madumu?""Mama bohong," teriak Keenandra di suatu pagi.Tubuh kecil anak itu berlari-lari menjauhi pintu utama. Arindi yang tengah memasak di dapur, terkesiap kaget dengan teriakan sang putra. Bergegas ia menghampiri. Walau masih dengan celemek melekat di tubuh."Mama bilang Papa pulang akan membawakan Arfaaz oleh-oleh tetapi nyatanya Papa membawa Tante itu sebagai oleh-oleh," ucap Arfaaz dengan cemberut. Arindi menatap arah tangan telunjuk Keenan. Naina sudah berdiri di depan pintu dengan satu koper di tanganya. Netranya nyalang menatap sekitar. Terlebih dengan rumah yang akan ia tempati. Sementara dari belakang, terdengar suara Arfaaz yang tengah menutup pintu mobil. "Nan, kenapa hanya berdiri disitu? Ayo masuk," ajak Arfaaz.Mereka sama-sama masih diam mematung. Terlebih saat menatap Arindi yang seolah menyambut di ruang tamu. "Eh Arindi," sapa Arfaaz dengan senyumnya. Seolah tidak terjadi sesuatu hal yang menyakitkan di antara mereka. Arindi melengos. Arfaaz lalu mendekatinya. "Kena
Tami terkesiap mendengar apa yang dikatakan Arindi. Bukan hanya Tami, namun juga Naina. Namun wanita itu cukup bisa menjaga sikap. Cukup tenang. Karena seperti apapun serangan yang dilakukan Arindi, toh ia dibela mati-matian oleh ibu mertua. "Ku rasa tidak perlu. Bahkan tidak pantas kamu mengatakan itu Rind. Bukan waktu dan tempat yang pas," ucap Arfaaz dengan dingin. Arindi memalingkan wajah dengan kesal. Namun sejenak ia tersenyum kecil."Terkadang aku pun perlu pengakuan dari orang lain, Mas. Aku juga jengah harga diriku di injak-injak. Diremehkan," jawab Arindi dengan berapi-api. Tiba-tiba Tami tertawa sumbang. "Halah ngomongin harga diri segala. Memangnya dirimu yang kotor itu ada harganya?" tanya Tami dengan pedas. Arindi mencoba untuk tetap berdiri dengan tegarnya. Namun apalah dirinya juga manusia yang tentu merasa sakit. Matanya mulai berembun. "Ma," tegur Arfaaz. Kalimat Tami memang dinilai menyakitkan. "Kenapa? Tidak ada yang salah. Aku bisa mengembalikan uang yang
Arindi gusar masuk ke dalam rumah. Ia merasa dirinya sudah tidak aman lagi. Apa jadinya andaikan Arfaaz tau? Herman sang Abdi Negara kembali menemuinya dengan Pangkat Kapolsa bintang dua. Ah andai berpangkat Jendral maupun berpangkat Kapolri sekalipun sejujurnya tidak akan membutnya silau. Hanya ia sangat menyayangkan mengapa ia kembali disaat yang tidak tepat. Disaat ia sudah bersuami. Disaat cintanya sudah terkubur rapat. Apa maksutnya? Dia boleh berdinas di kota ini lagi. Namun untuk menemui Arindi, rasanya tidak etis sekali. "Siapa sih? Berisik banget. Pakai membunyikan suara sirine segala." gerutu Naina yang menuruni anak tangga dengan masih menggunakan baju tidur sembari sesekali masih menguap. Sementara jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Arindi memiih bungkam dan meneruskan kembali aktifitasnya. "Mbak, sekalian bersihkan kamarku ya. Kotor banget," ucap Naina dengan entengnya."Bagaimana? Apa aku tidak salah mendengar?""Kamu tidak tuli kan Mbak?""Kamu jug
"Aku titip ini, Mas. Tolong berikan untuk Nessa,"ujar Arindi sembari menyerahkan satu bungkus kado kecil. Wajah Arindi tidak bisa berbohong. Ia kecewa dengan keputusan Arfaaz yang hanya mengajak Naina untuk datang. "Kamu harus mengerti. Begitulah yang namanya berbagi," jawab Arfaaz. Naina tertawa sumbang. "Pantas saja tidak diajak oleh Mas Arfaaz. Mau memberi hadiah ke pengantin kok sekecil itu? Mau mempermalukan diri sendiri Mbak?" sindir Naina.Arindi tetap tegar menghadapi. "Aku berbicara dengan Mas Arfaaz bukan denganmu. Lagipula aku sudah biasa diajak Mas Arfaaz ke pesta orang kaya seperti ini. Ke pesta pernikahan anak Presiden pun aku pernah. Jadi kalau hanya segini mah kecil. Ndeso sekali kamu," balas Arindi yang membuat Naina bertambah cemberut. Arfaaz tampak merapikan lengan kemeja yang dipakainya."Sudah, jangan terus menerus kamu tampakan muka masammu, Nan. Aku sudah bilang bahwa keluarga Tante Riana bukan orang sembarangan. Dia punya perusahaan tambang terbesar seant
"Kamu ini buat malu saja sih Nan. Ahh."Arfaaz bersungut marah. Sesekali tanganya memukul setir bundar di depanya. Naina hanya bergetar di tempat duduknya. "Ku kira kamu adalah sosok sosialita yang bisa bersosialisasi dengan baik disana," lanjut Arfaaz."Mas, aku sudah berusaha menjadi baik. Namun mereka yang tidak mau menerima hadirku. Jangan salahkan aku. Tapi salahkan Arindi!" balas Naina tak kalah marahnya. Arfaaz tertawa kecil. "Kenapa Arindi? Justru ia membuatku bangga. Walaupun ia tidak hadir, tapi ia tau bagaimana menghormati dan menghargai yang punya acara. Kamu itu istri dari Arfaaz Khairul Hartanto. Memberi kado kok bed cover murahan. Ya Tuhan. Seperti tidak punya muka aku dihadapan keluarga Tante Riana. Masih untung tertolong dengan Arindi yang memberi hadiah Nessa berupa kalung berlian.""Berhenti kamu membandingkan aku dengan istri pertamamu itu mas. Aku tidak suka,""Kalau kamu tidak suka, semestinya kamu juga tau diri bagaimana bersikap di depan keluarga besarku,
Pertahanan Pak Asmat sedikit mulai goyah dengan apa yang disampaikan Herman barusan. Ia pun tida habis fikir, mengapa ia sebegitu mudahnya mempercayai lelaki yang juga sempat membuat putrinya hancur tersebut. Namun siapa kiranya ayah yang akan baik-baik saja jika mendengar sang menantu telah menduakan putri yang dijaga serta dikasihinya sedari kecil tersebut. Juga tak terbayang bagaimana hancurnya perasaan Arindi waktu itu. Meskipun itu belum tentu menjadi kebenaranya."Pak tenanglah Pak," ujar Herman menenangkan Pak Asmat. Pak Asmat tampak sempoyonyan sembari memegangi dadanya. Sang istri juga tampak berlarian dari dalam menemui suaminya yang terlihat lemas. Namun Herman telah berhasil mendudukan Pak Asmat di kursi terlebih dahulu. "Ayah, kenapa?" tanya Bu Asih panik. Herman tidak berani menjawab. Pun tidak berani untuk berucap kalimat yang sama. Nafas Pak Asmat tampak naik turun. Ia seperti kesusahan untuk mengatur nafas. "Ayah, kita ke Rumah Sakit sekarang ya," pinta Bu Asih
"Kenapa hanya segini mas?" tanya Naina dengan ketus yang mengagetkan Arfaaz yang telah termenung di sofa sepeninggal Arindi ke kamar. Arfaaz menoleh dengan malas. Perdebatanya dengan Arindi seolah sudah membuat otak mendidih. Kini ditambah lagi dengan Naina yang datang dengan wajah masamnya. "Memangnya maumu berapa?" Naina menghela nafas pelan. Ia yang masih berdiri di anak tangga lalu turun mendekat kepada suaminya. "Mas, aku ini istri bos. Istri konglomerat. Yang kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya dalam negeri. Apa tidak salah kamu hanya memberiku sejumlah ini? Apa aku masih dalam masa training menjadi istrimu? Tidak kan?" tanya Naina dengan berapi-api. "Tidak ada yang salah Nan. Aku pun memberi Arindi senilai nominal yang sama. Jadi letak salahnya dimana?" Naina tertawa kecil. "Letak salahnya ada pada nominal Mas. Apa cukup dengan uang dua juta bertahan hidup selama sebulan? Uang segitu hanya cukup untuk perawatanku saja. Ahh," gerutu Naina. Arfaaz bangkit. Nafasny
Netra Arfaaz langsung menoleg menatap Arindi. Namun Arindi tetap pada pendirianya, i tak gentar sedikitpun walau di tatap Arfaaz penuh tatapan tidak suka. Tak setuju dengan kalimat yang dilontarkan istrinya."Mau dengan siapapun suamimu menduakanmu Rind. Mau kamu merasa lebih hebat dari madumu. Tapi nyatanya kamu diduakan Rin. Dan itu sama saja menampar harga diri Ayah," jawab Pak Asmat.Arfaaz masih saja tertunduk. "Faaz, kamu boleh kaya. Boleh mempunyai segalanya. Tapi anakku tidak akan silau dnegn hartamu. Tak menjadi istrimu pun, ibu yakin bahwa Arindi masih bisa hidup kecukupan," tambah Bu Asih. "Saya tau, Bu. Siapa Arindi. Dan bagaimana karirnya. Saya tidak meragukan kemampuanya Bu. Tapi saya membutuhkan Arindi sebagai teman hidup saya," jawab Arfaaz. "Ayah ibu, sudahlah. Arindi tidak apa-apa. Arindi kuat. Andai Arindi menyerah tentu sudah sedari dulu," ucap Arindi meyakinkanMata Bu Asih berkaca-kaca. Siapa yang sanggup membayangkan bagaimana sakitnya dimadu. Dan kini terja