"Mama bohong," teriak Keenandra di suatu pagi.
Tubuh kecil anak itu berlari-lari menjauhi pintu utama. Arindi yang tengah memasak di dapur, terkesiap kaget dengan teriakan sang putra. Bergegas ia menghampiri. Walau masih dengan celemek melekat di tubuh."Mama bilang Papa pulang akan membawakan Arfaaz oleh-oleh tetapi nyatanya Papa membawa Tante itu sebagai oleh-oleh," ucap Arfaaz dengan cemberut. Arindi menatap arah tangan telunjuk Keenan. Naina sudah berdiri di depan pintu dengan satu koper di tanganya. Netranya nyalang menatap sekitar. Terlebih dengan rumah yang akan ia tempati. Sementara dari belakang, terdengar suara Arfaaz yang tengah menutup pintu mobil. "Nan, kenapa hanya berdiri disitu? Ayo masuk," ajak Arfaaz.Mereka sama-sama masih diam mematung. Terlebih saat menatap Arindi yang seolah menyambut di ruang tamu. "Eh Arindi," sapa Arfaaz dengan senyumnya. Seolah tidak terjadi sesuatu hal yang menyakitkan di antara mereka. Arindi melengos. Arfaaz lalu mendekatinya. "Kenapa harus disini? Apa tidak ada rumah yang lain?" tanya Rindi dengan ketus, yang tidak setuju jika harus dipersatukan satu rumah dengan sang madu. "Aku dan kamu sekarang sama-sama istri Mas Arfaaz, Mbak. Kamu tinggal disini, aku pun sama. Semua harus adil," jawab Naina dengan lantang dan berani. "Oh begitu? Baiklah," jawab Arindi dengan enteng seolah tanpa bebanNaina melipat tanganya di dada. Belum ada sehari ia menginjakan kaki disini, tingkahnya sudah seperti nyonya besar.Sementara Kenandra masih cemberut. Ia terduduk di sofa."Keen, salim dulu yuk," ajak Arfaaz. "Siapa?" tanya Keenandra dengan ketus."Ehm dia namanya Tante Naina.""Kenapa tinggal disini?"Arfaaz sejenak diam. Ia bingung bagaimana menjelaskanya. Ia tidak pandai merangkai kata-kata. "Mulai sekarang, Tante Naina menjadi adik Mama. Salim dulu dong, nak," perintah Arindi dengan lembut. Arfaaz pun tersenyum bahagia dengan segala kebesaran hati Arindi. "Bi.. Bibi," teriak Naina yang melengang masuk begitu saja ke dalam ruang tengah. "Nan, kecilkan volume suaramu itu. Aku tidak suka," tegur Arfaaz. Naina hanya menoleh dengan muka masam."Aku kerepotan dengan bawaannya, Mas. Wajar dong aku teriak memanggil. Bi.. Bibi," jawab Naina terus saja memanggil."Nan, berhenti. Tidak ada bibi ataupun ART," ucap Arfaaz dengan lantang. Naina kaget. Membulatkan mata dengan sempurna. Namun sejenak kemudian, ia tertawa sumbang."Kamu bercanda kan, Mas? Mana mungkin istana sebesar ini tidak ada ART? Bagaimana pula membersihkanya? Ah tidak mungkin," jawab Naina tak percaya. "Memang itu kenyataanya. Apa gunanya istri punya tangan kalau tidak bisa membersihkan rumah. Aku tidak suka dengan wanita manja Nan." "Mas, tapi rumah ini besar mas. Mana mungkin selesai?""Jadi maumu bagaimana? Tinggal di rumah petak kecil begitukah? Agar mudah membersihkanya?" tanya Arfaaz. Naina mendengkus kesal. "Jadi sebenarnya aku ini menikah dengan bos atau bawahan bos?" gertaknya lalu berlalu pergi menuju kamar.Arindi hanya tertawa miris melihatnya. Sudah menjadi hal biasa. Bahkan baginya bisa ditebak sedari awal. Mengapa wanita secantik Naina mau dijadikan yang kedua kalau bukan karena harta."Tidak usah seperti anak kecil," kata Arfaaz setelah menyusul Naina ke kamar.Naina yang masih cemberut menoleh tajam ke arah suami yang berdiri dengan dinginya."Mas, kita menikah belum ada satu minggu. Kenapa sifat kamu seketus itu kepadaku? Kenapa tidak seperti layaknya pengantin baru?" ttanya Naina. "Bagiku pengantin baru atau lama itu tida ada bedanya. Aku tidak ada maksut ketus kepada mu, Nan. Tetapi memang kamu yang tidak bisa menerima kenyataan bukan?"'Ekspetasiku tinggi namun realitanya terhempas begitu saja,' batin Naina dalam hati.*"Apa tidak ada yang lain selain seafood, Mbak? Aku alergi, " tanya Naina di makan malam ini. Ia bergidik. Hatinya memang masih kesal. Tetapi perutnya tidak bisa di ajak berkompromi. Di meja makan tersedia udang asam manis beserta sayur sop. Semua tampak makan dengan lahap. Kecuali Naina. "Ma'af aku memang sengaja tidak menyajikan ini untukmu. Urusan kamu alergi, itu bukan urusanku. Kalau kamu tidak berselera silahkan memasak sendiri. Punya tangan kan?" perintah ketus Arindi. Naina bingung. Sebelumnya tangan mulus itu tak pernah memasak. Ia selalu membeli makanan matang. Namun gengsinya seolah turun jika ia menunjukanya kelemahanya di depan sang madu. "Tidak ada ayam, Mbak?" tanya Naina saat membuka kulkas."Kalau disitu tidak ada, tidak perlu kamu tanyakan. Sudah pasti jawabanku juga tidak ada. Aku juga tidak akan menyembunyikan ayam di kamar tidur,"Naina mendengkus kesal. Konglomerat dengan kulkas empat pintu tapi isinya hanya air, tahu dan sayuran. Apa an sih? Srenggg...Naina melangkah mundur dari penggorengan. Tahu di penggorenganya kini meletup-letup. Arindi bangkit, lalu mengecilkan api."Kalau masak tahu jangan besar-besar apinya," tegur Arindi. "Biar cepat matang,""Tahu itu mengandung air yang tidak bisa akur dengan minyak. Lagipula kalau terlalu besar, luarnya saja yang matang. Dalamnya tidak. Belajarlah masak. Aku tidak ada waktu untuk mengajarimu,"Naina hanya melengos dengan bibir mencibir."Tadi kamu beri bumbu apa?" tanya Arindi. Naina menggeleng. "Terus kamu mau rasa tahu yang bagaimana? Hambar? Duh. Mas Arfaaz, kini kamu tau kan maksutku? Dunia ini terlalu keras jika hanya mengandalkan paras,"Naina menoleh tajam ke arah Arindi."Maksut Mbak Rindi apa? Kalau iri bilang mbak. Kalah saing denganku ya?"Naina tidak terima dengan sindiran Arindi."Aku iri denganmu? Tidak salah. Sedikitpun aku tidak respect dengan wanita yang hanya mengandalkan paras tanpa memikiki etika," balas Rindi tak kalah ketus. Brakk… Semua tersentak. Arfaaz menatap mereka berdua dengan melotot tajam."Aku tau, kalian semua punya mulut. Tetapi tidak perlu kalian gunakan untuk saling serang begini." murka Arfaaz. Tok.. Tok.. Tok… Arindi segera berlalu dari hadapan mereka saat terdengar suara ketukan pintu."Mama," serunya. Tami berdiri dengan wajah ketus saat melihat Arindi yang membukakan pintu."Menantuku mana?""Menantuku ya cuma satu. Naina. Karena aku merestui pernikahan mereka." jawan dingin Tami langsung menyelonong masuk begitu saja menyenggol lengan Arindi. Arindi menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menguatkan hati. "Mama. Kenapa tidak bilang kalau kesini, kalau begitu bisa Arfaaz jemput, Ma." panggil Arfaaz saat tau keberadaan Tami yang telah berdiri di rumahnya."Mama mau kesini karena Naina yang juga tinggal di rumah ini, "Naina melangkah mendekati mertuanya. "Ya iya lah ma. Ini rumah Mas Arfaaz jadi Naina juga berhak tinggal disini. Bukan hanya Mbak Rindi saja," kata Naina sekaligus menyindir Arindi. "Tetapi rumah ini dibangun juga dengan uangku. Bukan hanya uang Mas Arfaaz saja..Tami terkesiap mendengar apa yang dikatakan Arindi. Bukan hanya Tami, namun juga Naina. Namun wanita itu cukup bisa menjaga sikap. Cukup tenang. Karena seperti apapun serangan yang dilakukan Arindi, toh ia dibela mati-matian oleh ibu mertua. "Ku rasa tidak perlu. Bahkan tidak pantas kamu mengatakan itu Rind. Bukan waktu dan tempat yang pas," ucap Arfaaz dengan dingin. Arindi memalingkan wajah dengan kesal. Namun sejenak ia tersenyum kecil."Terkadang aku pun perlu pengakuan dari orang lain, Mas. Aku juga jengah harga diriku di injak-injak. Diremehkan," jawab Arindi dengan berapi-api. Tiba-tiba Tami tertawa sumbang. "Halah ngomongin harga diri segala. Memangnya dirimu yang kotor itu ada harganya?" tanya Tami dengan pedas. Arindi mencoba untuk tetap berdiri dengan tegarnya. Namun apalah dirinya juga manusia yang tentu merasa sakit. Matanya mulai berembun. "Ma," tegur Arfaaz. Kalimat Tami memang dinilai menyakitkan. "Kenapa? Tidak ada yang salah. Aku bisa mengembalikan uang yang
Arindi gusar masuk ke dalam rumah. Ia merasa dirinya sudah tidak aman lagi. Apa jadinya andaikan Arfaaz tau? Herman sang Abdi Negara kembali menemuinya dengan Pangkat Kapolsa bintang dua. Ah andai berpangkat Jendral maupun berpangkat Kapolri sekalipun sejujurnya tidak akan membutnya silau. Hanya ia sangat menyayangkan mengapa ia kembali disaat yang tidak tepat. Disaat ia sudah bersuami. Disaat cintanya sudah terkubur rapat. Apa maksutnya? Dia boleh berdinas di kota ini lagi. Namun untuk menemui Arindi, rasanya tidak etis sekali. "Siapa sih? Berisik banget. Pakai membunyikan suara sirine segala." gerutu Naina yang menuruni anak tangga dengan masih menggunakan baju tidur sembari sesekali masih menguap. Sementara jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Arindi memiih bungkam dan meneruskan kembali aktifitasnya. "Mbak, sekalian bersihkan kamarku ya. Kotor banget," ucap Naina dengan entengnya."Bagaimana? Apa aku tidak salah mendengar?""Kamu tidak tuli kan Mbak?""Kamu jug
"Aku titip ini, Mas. Tolong berikan untuk Nessa,"ujar Arindi sembari menyerahkan satu bungkus kado kecil. Wajah Arindi tidak bisa berbohong. Ia kecewa dengan keputusan Arfaaz yang hanya mengajak Naina untuk datang. "Kamu harus mengerti. Begitulah yang namanya berbagi," jawab Arfaaz. Naina tertawa sumbang. "Pantas saja tidak diajak oleh Mas Arfaaz. Mau memberi hadiah ke pengantin kok sekecil itu? Mau mempermalukan diri sendiri Mbak?" sindir Naina.Arindi tetap tegar menghadapi. "Aku berbicara dengan Mas Arfaaz bukan denganmu. Lagipula aku sudah biasa diajak Mas Arfaaz ke pesta orang kaya seperti ini. Ke pesta pernikahan anak Presiden pun aku pernah. Jadi kalau hanya segini mah kecil. Ndeso sekali kamu," balas Arindi yang membuat Naina bertambah cemberut. Arfaaz tampak merapikan lengan kemeja yang dipakainya."Sudah, jangan terus menerus kamu tampakan muka masammu, Nan. Aku sudah bilang bahwa keluarga Tante Riana bukan orang sembarangan. Dia punya perusahaan tambang terbesar seant
"Kamu ini buat malu saja sih Nan. Ahh."Arfaaz bersungut marah. Sesekali tanganya memukul setir bundar di depanya. Naina hanya bergetar di tempat duduknya. "Ku kira kamu adalah sosok sosialita yang bisa bersosialisasi dengan baik disana," lanjut Arfaaz."Mas, aku sudah berusaha menjadi baik. Namun mereka yang tidak mau menerima hadirku. Jangan salahkan aku. Tapi salahkan Arindi!" balas Naina tak kalah marahnya. Arfaaz tertawa kecil. "Kenapa Arindi? Justru ia membuatku bangga. Walaupun ia tidak hadir, tapi ia tau bagaimana menghormati dan menghargai yang punya acara. Kamu itu istri dari Arfaaz Khairul Hartanto. Memberi kado kok bed cover murahan. Ya Tuhan. Seperti tidak punya muka aku dihadapan keluarga Tante Riana. Masih untung tertolong dengan Arindi yang memberi hadiah Nessa berupa kalung berlian.""Berhenti kamu membandingkan aku dengan istri pertamamu itu mas. Aku tidak suka,""Kalau kamu tidak suka, semestinya kamu juga tau diri bagaimana bersikap di depan keluarga besarku,
Pertahanan Pak Asmat sedikit mulai goyah dengan apa yang disampaikan Herman barusan. Ia pun tida habis fikir, mengapa ia sebegitu mudahnya mempercayai lelaki yang juga sempat membuat putrinya hancur tersebut. Namun siapa kiranya ayah yang akan baik-baik saja jika mendengar sang menantu telah menduakan putri yang dijaga serta dikasihinya sedari kecil tersebut. Juga tak terbayang bagaimana hancurnya perasaan Arindi waktu itu. Meskipun itu belum tentu menjadi kebenaranya."Pak tenanglah Pak," ujar Herman menenangkan Pak Asmat. Pak Asmat tampak sempoyonyan sembari memegangi dadanya. Sang istri juga tampak berlarian dari dalam menemui suaminya yang terlihat lemas. Namun Herman telah berhasil mendudukan Pak Asmat di kursi terlebih dahulu. "Ayah, kenapa?" tanya Bu Asih panik. Herman tidak berani menjawab. Pun tidak berani untuk berucap kalimat yang sama. Nafas Pak Asmat tampak naik turun. Ia seperti kesusahan untuk mengatur nafas. "Ayah, kita ke Rumah Sakit sekarang ya," pinta Bu Asih
"Kenapa hanya segini mas?" tanya Naina dengan ketus yang mengagetkan Arfaaz yang telah termenung di sofa sepeninggal Arindi ke kamar. Arfaaz menoleh dengan malas. Perdebatanya dengan Arindi seolah sudah membuat otak mendidih. Kini ditambah lagi dengan Naina yang datang dengan wajah masamnya. "Memangnya maumu berapa?" Naina menghela nafas pelan. Ia yang masih berdiri di anak tangga lalu turun mendekat kepada suaminya. "Mas, aku ini istri bos. Istri konglomerat. Yang kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya dalam negeri. Apa tidak salah kamu hanya memberiku sejumlah ini? Apa aku masih dalam masa training menjadi istrimu? Tidak kan?" tanya Naina dengan berapi-api. "Tidak ada yang salah Nan. Aku pun memberi Arindi senilai nominal yang sama. Jadi letak salahnya dimana?" Naina tertawa kecil. "Letak salahnya ada pada nominal Mas. Apa cukup dengan uang dua juta bertahan hidup selama sebulan? Uang segitu hanya cukup untuk perawatanku saja. Ahh," gerutu Naina. Arfaaz bangkit. Nafasny
Netra Arfaaz langsung menoleg menatap Arindi. Namun Arindi tetap pada pendirianya, i tak gentar sedikitpun walau di tatap Arfaaz penuh tatapan tidak suka. Tak setuju dengan kalimat yang dilontarkan istrinya."Mau dengan siapapun suamimu menduakanmu Rind. Mau kamu merasa lebih hebat dari madumu. Tapi nyatanya kamu diduakan Rin. Dan itu sama saja menampar harga diri Ayah," jawab Pak Asmat.Arfaaz masih saja tertunduk. "Faaz, kamu boleh kaya. Boleh mempunyai segalanya. Tapi anakku tidak akan silau dnegn hartamu. Tak menjadi istrimu pun, ibu yakin bahwa Arindi masih bisa hidup kecukupan," tambah Bu Asih. "Saya tau, Bu. Siapa Arindi. Dan bagaimana karirnya. Saya tidak meragukan kemampuanya Bu. Tapi saya membutuhkan Arindi sebagai teman hidup saya," jawab Arfaaz. "Ayah ibu, sudahlah. Arindi tidak apa-apa. Arindi kuat. Andai Arindi menyerah tentu sudah sedari dulu," ucap Arindi meyakinkanMata Bu Asih berkaca-kaca. Siapa yang sanggup membayangkan bagaimana sakitnya dimadu. Dan kini terja
"Hallo sayang, bagaimana kabarnya? Duh Mama kangen sekali," ucap Tami saat melihat Naina. Perlakuan yang jauh berbeda dengan apa yang dilakukanya kepada Arindi. Membuat Naina seakan besar kepala dibuatnya. Dan Arfaaz tidak bisa mencegah perlakuan berbeda dari Mamanya. Tapi mental Arindi memang sekuat itu. Ia tidak iri, tidak goyah sedikitpun. Hanya saja ia sadar diri dan ia berlalu pergi begitu saja dari hadapan mereka yang tak mampu menghargainya. Naina tersenyum penuh kemenangan.'Ini baru awal. Lihat apa yang aku lakukan setelah ini. Aku jamin kamu akan nangis darah melihatnya Rind,' gumam Naina dalam hati dengan senyum menyeringai."Oh iya, Mama punya oleh-oleh buat menantu kesayangan Mama," kata Tami sembari membuka tasnya. "Wah oleh-oleh buat aku Ma?" balas Naina dengan nada suara yang sengaja ia tinggikan. Agar Arindi mendengar. Dan ia cemburu juga sakit hati. Arindi yang mengerti betul apa maksud Naina hanya tersenyum simpul. Sedikitpun ia tidak merasa iri ataupun silau