Share

7. Selamat Datang Naina

"Mama bohong," teriak Keenandra di suatu pagi.

Tubuh kecil anak itu berlari-lari menjauhi pintu utama. 

Arindi yang tengah memasak di dapur, terkesiap kaget dengan teriakan sang putra. Bergegas ia menghampiri. Walau masih dengan celemek melekat di tubuh.

"Mama bilang Papa pulang akan membawakan Arfaaz oleh-oleh tetapi nyatanya Papa membawa Tante itu sebagai oleh-oleh," ucap Arfaaz dengan cemberut. 

Arindi menatap arah tangan telunjuk Keenan. Naina sudah berdiri di depan pintu dengan satu koper di tanganya. Netranya nyalang menatap sekitar. Terlebih dengan rumah yang akan ia tempati. Sementara dari belakang,  terdengar suara Arfaaz yang tengah menutup pintu mobil. 

"Nan, kenapa hanya berdiri disitu? Ayo masuk," ajak Arfaaz.

Mereka sama-sama masih diam mematung. Terlebih saat menatap Arindi yang seolah menyambut di ruang tamu. 

"Eh Arindi," sapa Arfaaz dengan senyumnya. Seolah tidak terjadi sesuatu hal yang menyakitkan di antara mereka. 

Arindi melengos. Arfaaz lalu mendekatinya. 

"Kenapa harus disini? Apa tidak ada rumah yang lain?" tanya Rindi dengan ketus, yang tidak setuju jika harus dipersatukan satu rumah dengan sang madu. 

"Aku dan kamu sekarang sama-sama istri Mas Arfaaz, Mbak. Kamu tinggal disini, aku pun sama. Semua harus adil," jawab Naina dengan lantang dan berani. 

"Oh begitu? Baiklah," jawab Arindi dengan enteng seolah tanpa beban

Naina melipat tanganya di dada. Belum ada sehari ia menginjakan kaki disini, tingkahnya sudah seperti nyonya besar.

Sementara Kenandra masih cemberut. Ia terduduk di sofa.

"Keen, salim dulu yuk," ajak Arfaaz. 

"Siapa?" tanya Keenandra dengan ketus.

"Ehm dia namanya Tante Naina."

"Kenapa tinggal disini?"

Arfaaz sejenak diam. Ia bingung bagaimana menjelaskanya. Ia tidak pandai merangkai kata-kata. 

"Mulai sekarang, Tante Naina menjadi adik Mama. Salim dulu dong, nak," perintah Arindi dengan lembut. 

Arfaaz pun tersenyum bahagia dengan segala kebesaran hati Arindi. 

"Bi.. Bibi," teriak Naina yang melengang masuk begitu saja ke dalam ruang tengah. 

"Nan, kecilkan volume suaramu itu. Aku tidak suka," tegur Arfaaz. 

Naina hanya menoleh dengan muka masam.

"Aku kerepotan dengan bawaannya, Mas. Wajar dong aku teriak memanggil. Bi.. Bibi," jawab Naina terus saja memanggil.

"Nan, berhenti. Tidak ada bibi ataupun ART," ucap Arfaaz dengan lantang. 

Naina kaget. Membulatkan mata dengan sempurna. Namun sejenak kemudian, ia tertawa sumbang.

"Kamu bercanda kan, Mas? Mana mungkin istana sebesar ini tidak ada ART? Bagaimana pula membersihkanya? Ah tidak mungkin," jawab Naina tak percaya. 

"Memang itu kenyataanya. Apa gunanya istri punya tangan kalau tidak bisa membersihkan rumah. Aku tidak suka dengan wanita manja Nan." 

"Mas,  tapi rumah ini besar mas. Mana mungkin selesai?"

"Jadi maumu bagaimana? Tinggal di rumah petak kecil begitukah?  Agar mudah membersihkanya?" tanya Arfaaz. 

Naina mendengkus kesal. 

"Jadi sebenarnya aku ini menikah dengan bos atau bawahan bos?" gertaknya lalu berlalu pergi menuju kamar.

Arindi hanya tertawa miris melihatnya. Sudah menjadi hal biasa.  Bahkan baginya bisa ditebak sedari awal. Mengapa wanita secantik Naina mau dijadikan yang kedua kalau bukan karena harta.

"Tidak usah seperti anak kecil," kata Arfaaz setelah menyusul Naina ke kamar.

Naina yang masih cemberut menoleh tajam ke arah suami yang berdiri dengan dinginya.

"Mas, kita menikah belum ada satu minggu. Kenapa sifat kamu seketus itu kepadaku? Kenapa tidak seperti layaknya pengantin baru?" ttanya Naina. 

"Bagiku pengantin baru atau lama itu tida ada bedanya. Aku tidak ada maksut ketus kepada mu, Nan. Tetapi memang kamu yang tidak bisa menerima kenyataan bukan?"

'Ekspetasiku tinggi namun realitanya terhempas begitu saja,' batin Naina dalam hati.

*

"Apa tidak ada yang lain selain seafood, Mbak? Aku alergi, " tanya Naina di makan malam ini. Ia bergidik. Hatinya memang masih kesal. Tetapi perutnya tidak bisa di ajak berkompromi. 

Di meja makan tersedia udang asam manis beserta sayur sop. Semua tampak makan dengan lahap. Kecuali Naina. 

"Ma'af aku memang sengaja tidak menyajikan ini untukmu. Urusan kamu alergi,  itu bukan urusanku. Kalau kamu tidak berselera silahkan memasak sendiri. Punya tangan kan?" perintah  ketus Arindi. 

Naina bingung. Sebelumnya tangan mulus itu tak pernah memasak. Ia selalu membeli makanan matang. Namun gengsinya seolah turun jika ia menunjukanya kelemahanya di depan sang madu. 

"Tidak ada ayam, Mbak?" tanya Naina saat membuka kulkas.

"Kalau disitu tidak ada,  tidak perlu kamu tanyakan. Sudah pasti jawabanku juga tidak ada. Aku juga tidak akan menyembunyikan ayam di kamar tidur,"

Naina mendengkus kesal. Konglomerat dengan kulkas empat pintu tapi isinya hanya air, tahu dan sayuran. Apa an sih? 

Srenggg...

Naina melangkah mundur dari penggorengan. Tahu di penggorenganya kini meletup-letup. Arindi bangkit,  lalu mengecilkan api.

"Kalau masak tahu jangan besar-besar apinya," tegur Arindi. 

"Biar cepat matang,"

"Tahu itu mengandung air yang tidak bisa akur dengan minyak. Lagipula kalau terlalu besar,  luarnya saja yang matang.  Dalamnya tidak. Belajarlah masak. Aku tidak ada waktu untuk mengajarimu,"

Naina hanya melengos dengan bibir mencibir.

"Tadi kamu beri bumbu apa?" tanya Arindi. 

Naina menggeleng. 

"Terus kamu mau rasa tahu yang bagaimana? Hambar?  Duh. Mas Arfaaz, kini kamu tau kan maksutku? Dunia ini terlalu keras jika hanya mengandalkan paras,"

Naina menoleh tajam ke arah Arindi.

"Maksut Mbak Rindi apa? Kalau iri bilang mbak. Kalah saing denganku ya?"

Naina tidak terima dengan sindiran Arindi.

"Aku iri denganmu? Tidak salah. Sedikitpun aku tidak respect dengan wanita yang hanya mengandalkan paras tanpa memikiki etika," balas Rindi tak kalah ketus. 

Brakk… 

Semua tersentak. Arfaaz menatap mereka berdua dengan melotot tajam.

"Aku tau, kalian semua punya mulut. Tetapi tidak perlu kalian gunakan untuk saling serang begini." murka Arfaaz. 

Tok.. Tok.. Tok… 

Arindi segera berlalu dari hadapan mereka saat terdengar suara ketukan pintu.

"Mama," serunya. 

Tami berdiri dengan wajah ketus saat melihat Arindi yang membukakan pintu.

"Menantuku mana?"

"Menantuku ya cuma satu. Naina. Karena aku merestui pernikahan mereka." jawan dingin Tami langsung menyelonong masuk begitu saja menyenggol lengan Arindi. 

Arindi menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menguatkan hati. 

"Mama. Kenapa tidak bilang kalau kesini, kalau begitu bisa Arfaaz jemput, Ma." panggil Arfaaz saat tau keberadaan Tami yang telah berdiri di rumahnya.

"Mama mau kesini karena Naina yang juga tinggal di rumah ini, "

Naina melangkah mendekati mertuanya. 

"Ya iya lah ma. Ini rumah Mas Arfaaz jadi Naina juga berhak tinggal disini. Bukan hanya Mbak Rindi saja," kata Naina sekaligus menyindir Arindi. 

"Tetapi rumah ini dibangun juga dengan uangku. Bukan hanya uang Mas Arfaaz saja..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status