Share

5. Naina Murka

Tangan Arindi tampak membolak-balik gaun yang menjuntai hingga lantai dengan pernak pernik payet yang terlihat gemerlap. Mewah dan glamour. 

Arfaaz pun memuji pilihan Arindi. Seleranya sama. Mengagumi gaun itu dalam hati. 

"Dia dari kalangan apa?" tanya Arindi tiba tiba. 

"Maksudmu?"

"Hem latar belakangmya bagaimana? Mungkin dia seorang priyayi, seorang konglomerat sepertimu atau wanita berkelas yang memiliki jabatan tinggi di tempat kerja. Atau mungkin lebih dari itu?" tanya Arindi lagi. 

Arfaaz menunduk sesaat. 

"Dia dari kalangan biasa saja Rind. Perkerjaan terakhirnya juga hanya staff biasa."

"Oh, biasa saja," kata Arindi dengan netra yang sedikit pun tidak menoleh ke arah Arfaaz.

"Mencari yang kedua seharusnya lebih dari yang pertama, Mas. Agar dia tidak insecure," bisik lirih Arindi di telinga sang suami lalu melangkahkan kaki lagi. 

"Tapi dia can…" jawab Arfaaz tetapi ia tidak melanjutkan kalimatnya itu. 

Arindi menoleh dengan tawa kecilnya.

"Karena dia cantik begitu Mas?  Ya memang selera setiap laki-laki itu berbeda. Bukan karena aku membela diri.  Kecantikan seorang wanita itu juga relatif kok. Namun, satu yang harus kamu tau, Mas, dunia ini terlalu keras jika hanya mengandalkan paras," ucap Arindi. 

Arfaaz hanya mencoba diam dan mengalah. Ia malu jika memulai keributan di tempat umum seperti ini.

Langkah Arindi berhenti di depan gaun yang menampilkan bentuk lekuk tubuh seorang wanita. Memang tidak semewah tadi. Tapi bukan berarti gaun itu jelek. Tanpa aksen payet yang mewah, hanya seperti kebaya panjang berwarna putih, panjang hingga mata kaki.  Dengan sebuah kain berwarna menjuntai di pundak sebelah kiri.

"Ini saja yang aku pilih. Terkadang seseorang harus tau siapa dirinya yang asli tanpa harus bersembunyi di balik topeng orang lain," kata Arindi. 

Arfaaz enggan menanggapi. Ia tidak mau menambah Arindi melanjutkan kata kata yang semakin menyakitkanya lagi. Dan yang tak terpenting adalah gaun pilihan Arindi.

"Ini saja. Gaun biasa untuk orang yang biasa juga."

Hati Arfaaz menjerit seakan meronta agar Arindi tidak melanjutkan kata-kata yang lebih menyakitkan lagi. 

"Mama, Mama.” Tiba tiba Keenan menarik lengan Arindi.

Sontak Arfaaz dan Arindi menoleh kepada sang putra semata wayang. 

Tangan Arfaaz menunjuk sebuah kaos bergambar dinosaurus. Ia tampak begitu kegirangan. Tokoh hewan purba itu telah menjadi favorit sang putra. 

Arindi hanya tersenyum mengikuti ajakan sang putra, dan Arfaaz mengekor dari belakang. 

"Rind, inikan baju dengan brand terkenal," kata Arfaaz yang kaget dengan baju pilihan sang putra. 

"Memangnya kenapa?" tanyanya dingin. 

"Harganya mahal, Rind. Bahkan lebih mahal dari uang yang-"

"Aku bekerja keras untuk putraku. Apa yang membuatnya senang, akan aku usahakan," jawab Rindi memotong pembicaraan sang suami. 

Arfaaz diam lagi.  Seakan harga dirinya telah mati di hadapan Arindi. 

***

"Gaun apa sih ini, Mas? Jelek sekali.”

 Naina tampak murka sekali dengan gaun pemberian Arfaaz. Yang ia kira menjadi sebuah kejutan, justru seperti menjadi boomerang untuk Naina. 

Ia melempar begitu saja gaun itu. Kecewa.  Harapanya menikah dengan konglomerat yang akan bertabur kememawahan sepertinya mulai pupus.

"Tapi ini baju pilihan Arindi, Nan. Aku kira ini juga cocok untukmu, "

Mendengar nama Arindi disebut, hati Naina bertambah emosi. Sejenak ia tersenyum kecut. 

"Yang akan menikah itu aku dan kamu, Mas. Bukan dia dan kamu. Mengapa kamu libatkan dia lagi? Aku tidak butuh dia. Jangan samakan seleraku dengan selera istrimu. Istrimu itu tidak tau style!” Naina tidak hentinya bersungut marah. 

"Aku ingin gaun rancangan Alestio Prambada," lanjut Naina dengan tatapan lurus ke depan.

Alestio Prambada adalah desainer kondang negeri ini. Banyak konglomerat juga artis mempercayakan gaun pernikahanya kepadanya. Tentu saja harganya juga tidak main main. 

"Jangan bercanda kamu Nan untuk memakai jasa dia.”

"Memangnya kenapa?  Apa kamu tidak malu aku memakai gaun murahan seperti ini?"

Arfaaz terdiam. Kaos branded yang diminta sang putra saja baginya terlalu mahal, sayang untuk membuang uang dalam jumlah segitu.  Apalagi gaun rancangam desainer kondang tanah air. 

Arfaaz bangkit berdiri.  Merapikan kembali baju yang sempat dibuang oleh Naina. 

"Ya sudah, kita tunda dulu acara pernikahanya," kata Arfaaz dengan tegas. 

Naina tidak menyangka Arfaaz akan berucap seperti itu.

"Tidak bisa seperti itu dong, Mas.  Aku bahkan sudah resign dari tempat kerja sebelumnya. Keluarga besarku di kampung sudah aku beri kabar. Mereka sudah mempersiapkan semuanya untuk ke sini. Tidak semudah itu kamu mempermainkan aku,"

"Kalau begitu, terima pilihanku Nan," kata Arfaaz dengan penuh penekanan. 

Naina kecewa. Ia seperti diperkosa oleh keadaan. Tetapi bisa jadi memang ini cara Arindi menjatuhkanya. Dan ia bertekad untuk membalasnya.  Membalas atas sakit hatinya kini. 

***

"Bagaimana mas? Apakah Naina suka?" tanya Arindi seaat setelah usainya pulang kerja.

"Dia marah, Rind. Dia kecewa, "

Arindi tersenyum kecil. 

"Sudah kuduga," gumamnya

"Maksudmu?"

"Wanita kedua hanya silau dengan hartamu. Maka dari itu dia tidak terima dengan pemberianmu. Karena ekspetasinya yang tinggi,"

Arfaaz diam. 

"Tetapi pilihanku sudah kujatuhkan Rind."

"Aku juga tidak akan menghasutmu untuk berubah pikiran."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status