Tangan Arindi tampak membolak-balik gaun yang menjuntai hingga lantai dengan pernak pernik payet yang terlihat gemerlap. Mewah dan glamour.
Arfaaz pun memuji pilihan Arindi. Seleranya sama. Mengagumi gaun itu dalam hati. "Dia dari kalangan apa?" tanya Arindi tiba tiba. "Maksudmu?""Hem latar belakangmya bagaimana? Mungkin dia seorang priyayi, seorang konglomerat sepertimu atau wanita berkelas yang memiliki jabatan tinggi di tempat kerja. Atau mungkin lebih dari itu?" tanya Arindi lagi. Arfaaz menunduk sesaat. "Dia dari kalangan biasa saja Rind. Perkerjaan terakhirnya juga hanya staff biasa.""Oh, biasa saja," kata Arindi dengan netra yang sedikit pun tidak menoleh ke arah Arfaaz."Mencari yang kedua seharusnya lebih dari yang pertama, Mas. Agar dia tidak insecure," bisik lirih Arindi di telinga sang suami lalu melangkahkan kaki lagi. "Tapi dia can…" jawab Arfaaz tetapi ia tidak melanjutkan kalimatnya itu. Arindi menoleh dengan tawa kecilnya."Karena dia cantik begitu Mas? Ya memang selera setiap laki-laki itu berbeda. Bukan karena aku membela diri. Kecantikan seorang wanita itu juga relatif kok. Namun, satu yang harus kamu tau, Mas, dunia ini terlalu keras jika hanya mengandalkan paras," ucap Arindi. Arfaaz hanya mencoba diam dan mengalah. Ia malu jika memulai keributan di tempat umum seperti ini.Langkah Arindi berhenti di depan gaun yang menampilkan bentuk lekuk tubuh seorang wanita. Memang tidak semewah tadi. Tapi bukan berarti gaun itu jelek. Tanpa aksen payet yang mewah, hanya seperti kebaya panjang berwarna putih, panjang hingga mata kaki. Dengan sebuah kain berwarna menjuntai di pundak sebelah kiri."Ini saja yang aku pilih. Terkadang seseorang harus tau siapa dirinya yang asli tanpa harus bersembunyi di balik topeng orang lain," kata Arindi. Arfaaz enggan menanggapi. Ia tidak mau menambah Arindi melanjutkan kata kata yang semakin menyakitkanya lagi. Dan yang tak terpenting adalah gaun pilihan Arindi."Ini saja. Gaun biasa untuk orang yang biasa juga."Hati Arfaaz menjerit seakan meronta agar Arindi tidak melanjutkan kata-kata yang lebih menyakitkan lagi. "Mama, Mama.” Tiba tiba Keenan menarik lengan Arindi.Sontak Arfaaz dan Arindi menoleh kepada sang putra semata wayang. Tangan Arfaaz menunjuk sebuah kaos bergambar dinosaurus. Ia tampak begitu kegirangan. Tokoh hewan purba itu telah menjadi favorit sang putra. Arindi hanya tersenyum mengikuti ajakan sang putra, dan Arfaaz mengekor dari belakang. "Rind, inikan baju dengan brand terkenal," kata Arfaaz yang kaget dengan baju pilihan sang putra. "Memangnya kenapa?" tanyanya dingin. "Harganya mahal, Rind. Bahkan lebih mahal dari uang yang-""Aku bekerja keras untuk putraku. Apa yang membuatnya senang, akan aku usahakan," jawab Rindi memotong pembicaraan sang suami. Arfaaz diam lagi. Seakan harga dirinya telah mati di hadapan Arindi. ***"Gaun apa sih ini, Mas? Jelek sekali.” Naina tampak murka sekali dengan gaun pemberian Arfaaz. Yang ia kira menjadi sebuah kejutan, justru seperti menjadi boomerang untuk Naina. Ia melempar begitu saja gaun itu. Kecewa. Harapanya menikah dengan konglomerat yang akan bertabur kememawahan sepertinya mulai pupus."Tapi ini baju pilihan Arindi, Nan. Aku kira ini juga cocok untukmu, "Mendengar nama Arindi disebut, hati Naina bertambah emosi. Sejenak ia tersenyum kecut. "Yang akan menikah itu aku dan kamu, Mas. Bukan dia dan kamu. Mengapa kamu libatkan dia lagi? Aku tidak butuh dia. Jangan samakan seleraku dengan selera istrimu. Istrimu itu tidak tau style!” Naina tidak hentinya bersungut marah. "Aku ingin gaun rancangan Alestio Prambada," lanjut Naina dengan tatapan lurus ke depan.Alestio Prambada adalah desainer kondang negeri ini. Banyak konglomerat juga artis mempercayakan gaun pernikahanya kepadanya. Tentu saja harganya juga tidak main main. "Jangan bercanda kamu Nan untuk memakai jasa dia.”"Memangnya kenapa? Apa kamu tidak malu aku memakai gaun murahan seperti ini?"Arfaaz terdiam. Kaos branded yang diminta sang putra saja baginya terlalu mahal, sayang untuk membuang uang dalam jumlah segitu. Apalagi gaun rancangam desainer kondang tanah air. Arfaaz bangkit berdiri. Merapikan kembali baju yang sempat dibuang oleh Naina. "Ya sudah, kita tunda dulu acara pernikahanya," kata Arfaaz dengan tegas. Naina tidak menyangka Arfaaz akan berucap seperti itu."Tidak bisa seperti itu dong, Mas. Aku bahkan sudah resign dari tempat kerja sebelumnya. Keluarga besarku di kampung sudah aku beri kabar. Mereka sudah mempersiapkan semuanya untuk ke sini. Tidak semudah itu kamu mempermainkan aku,""Kalau begitu, terima pilihanku Nan," kata Arfaaz dengan penuh penekanan. Naina kecewa. Ia seperti diperkosa oleh keadaan. Tetapi bisa jadi memang ini cara Arindi menjatuhkanya. Dan ia bertekad untuk membalasnya. Membalas atas sakit hatinya kini. ***"Bagaimana mas? Apakah Naina suka?" tanya Arindi seaat setelah usainya pulang kerja."Dia marah, Rind. Dia kecewa, "Arindi tersenyum kecil. "Sudah kuduga," gumamnya"Maksudmu?""Wanita kedua hanya silau dengan hartamu. Maka dari itu dia tidak terima dengan pemberianmu. Karena ekspetasinya yang tinggi,"Arfaaz diam. "Tetapi pilihanku sudah kujatuhkan Rind.""Aku juga tidak akan menghasutmu untuk berubah pikiran."Menjelang acara pernikahanya, hanya rasa kebimbangan yang seolah terus bersemayam di hati Arfaaz. Bagaimana sang istri dan Naina nanti? Apakah mereka bisa hidup rukun? Namun waktu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Pagi ini deru mobil Arfaaz mulai terdengar dipanasi. Ada hiasan bunga di atasnya. Arfaaz tampak bersiap siap pergi ke gedung tempat pernikahanya dilangsungkan. "Rind, kamu tidak siap-siap?" tanya Arfaaz ketika melihat Arindi masih santai dengan laptopnya. "Kemana?" tanyanya santai. "Rind, tolong jangan buat aku marah,""Siapa yang membuatmu marah? Ini acaramu sementara aku tidak melarang dan tetap mencoba kuat. Jadi, ini kesalahanku begitu?"Ah, Arfaaz selalu kehilangan kata-kata di depan Arindi. Sosok yang tidak pernah meninggikan suara dihadapanya kini benar benar menjadi sosok berbeda."Kamu tidak datangkah, Rind?" tanya Arfaaz dengan nada lembut. Arindi sejenak menghela nafas pelan. "Untuk apa? Untuk dipameri kemesraan kalian di atas pelaminan?""Lalu kena
"Mama bohong," teriak Keenandra di suatu pagi.Tubuh kecil anak itu berlari-lari menjauhi pintu utama. Arindi yang tengah memasak di dapur, terkesiap kaget dengan teriakan sang putra. Bergegas ia menghampiri. Walau masih dengan celemek melekat di tubuh."Mama bilang Papa pulang akan membawakan Arfaaz oleh-oleh tetapi nyatanya Papa membawa Tante itu sebagai oleh-oleh," ucap Arfaaz dengan cemberut. Arindi menatap arah tangan telunjuk Keenan. Naina sudah berdiri di depan pintu dengan satu koper di tanganya. Netranya nyalang menatap sekitar. Terlebih dengan rumah yang akan ia tempati. Sementara dari belakang, terdengar suara Arfaaz yang tengah menutup pintu mobil. "Nan, kenapa hanya berdiri disitu? Ayo masuk," ajak Arfaaz.Mereka sama-sama masih diam mematung. Terlebih saat menatap Arindi yang seolah menyambut di ruang tamu. "Eh Arindi," sapa Arfaaz dengan senyumnya. Seolah tidak terjadi sesuatu hal yang menyakitkan di antara mereka. Arindi melengos. Arfaaz lalu mendekatinya. "Kena
Tami terkesiap mendengar apa yang dikatakan Arindi. Bukan hanya Tami, namun juga Naina. Namun wanita itu cukup bisa menjaga sikap. Cukup tenang. Karena seperti apapun serangan yang dilakukan Arindi, toh ia dibela mati-matian oleh ibu mertua. "Ku rasa tidak perlu. Bahkan tidak pantas kamu mengatakan itu Rind. Bukan waktu dan tempat yang pas," ucap Arfaaz dengan dingin. Arindi memalingkan wajah dengan kesal. Namun sejenak ia tersenyum kecil."Terkadang aku pun perlu pengakuan dari orang lain, Mas. Aku juga jengah harga diriku di injak-injak. Diremehkan," jawab Arindi dengan berapi-api. Tiba-tiba Tami tertawa sumbang. "Halah ngomongin harga diri segala. Memangnya dirimu yang kotor itu ada harganya?" tanya Tami dengan pedas. Arindi mencoba untuk tetap berdiri dengan tegarnya. Namun apalah dirinya juga manusia yang tentu merasa sakit. Matanya mulai berembun. "Ma," tegur Arfaaz. Kalimat Tami memang dinilai menyakitkan. "Kenapa? Tidak ada yang salah. Aku bisa mengembalikan uang yang
Arindi gusar masuk ke dalam rumah. Ia merasa dirinya sudah tidak aman lagi. Apa jadinya andaikan Arfaaz tau? Herman sang Abdi Negara kembali menemuinya dengan Pangkat Kapolsa bintang dua. Ah andai berpangkat Jendral maupun berpangkat Kapolri sekalipun sejujurnya tidak akan membutnya silau. Hanya ia sangat menyayangkan mengapa ia kembali disaat yang tidak tepat. Disaat ia sudah bersuami. Disaat cintanya sudah terkubur rapat. Apa maksutnya? Dia boleh berdinas di kota ini lagi. Namun untuk menemui Arindi, rasanya tidak etis sekali. "Siapa sih? Berisik banget. Pakai membunyikan suara sirine segala." gerutu Naina yang menuruni anak tangga dengan masih menggunakan baju tidur sembari sesekali masih menguap. Sementara jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Arindi memiih bungkam dan meneruskan kembali aktifitasnya. "Mbak, sekalian bersihkan kamarku ya. Kotor banget," ucap Naina dengan entengnya."Bagaimana? Apa aku tidak salah mendengar?""Kamu tidak tuli kan Mbak?""Kamu jug
"Aku titip ini, Mas. Tolong berikan untuk Nessa,"ujar Arindi sembari menyerahkan satu bungkus kado kecil. Wajah Arindi tidak bisa berbohong. Ia kecewa dengan keputusan Arfaaz yang hanya mengajak Naina untuk datang. "Kamu harus mengerti. Begitulah yang namanya berbagi," jawab Arfaaz. Naina tertawa sumbang. "Pantas saja tidak diajak oleh Mas Arfaaz. Mau memberi hadiah ke pengantin kok sekecil itu? Mau mempermalukan diri sendiri Mbak?" sindir Naina.Arindi tetap tegar menghadapi. "Aku berbicara dengan Mas Arfaaz bukan denganmu. Lagipula aku sudah biasa diajak Mas Arfaaz ke pesta orang kaya seperti ini. Ke pesta pernikahan anak Presiden pun aku pernah. Jadi kalau hanya segini mah kecil. Ndeso sekali kamu," balas Arindi yang membuat Naina bertambah cemberut. Arfaaz tampak merapikan lengan kemeja yang dipakainya."Sudah, jangan terus menerus kamu tampakan muka masammu, Nan. Aku sudah bilang bahwa keluarga Tante Riana bukan orang sembarangan. Dia punya perusahaan tambang terbesar seant
"Kamu ini buat malu saja sih Nan. Ahh."Arfaaz bersungut marah. Sesekali tanganya memukul setir bundar di depanya. Naina hanya bergetar di tempat duduknya. "Ku kira kamu adalah sosok sosialita yang bisa bersosialisasi dengan baik disana," lanjut Arfaaz."Mas, aku sudah berusaha menjadi baik. Namun mereka yang tidak mau menerima hadirku. Jangan salahkan aku. Tapi salahkan Arindi!" balas Naina tak kalah marahnya. Arfaaz tertawa kecil. "Kenapa Arindi? Justru ia membuatku bangga. Walaupun ia tidak hadir, tapi ia tau bagaimana menghormati dan menghargai yang punya acara. Kamu itu istri dari Arfaaz Khairul Hartanto. Memberi kado kok bed cover murahan. Ya Tuhan. Seperti tidak punya muka aku dihadapan keluarga Tante Riana. Masih untung tertolong dengan Arindi yang memberi hadiah Nessa berupa kalung berlian.""Berhenti kamu membandingkan aku dengan istri pertamamu itu mas. Aku tidak suka,""Kalau kamu tidak suka, semestinya kamu juga tau diri bagaimana bersikap di depan keluarga besarku,
Pertahanan Pak Asmat sedikit mulai goyah dengan apa yang disampaikan Herman barusan. Ia pun tida habis fikir, mengapa ia sebegitu mudahnya mempercayai lelaki yang juga sempat membuat putrinya hancur tersebut. Namun siapa kiranya ayah yang akan baik-baik saja jika mendengar sang menantu telah menduakan putri yang dijaga serta dikasihinya sedari kecil tersebut. Juga tak terbayang bagaimana hancurnya perasaan Arindi waktu itu. Meskipun itu belum tentu menjadi kebenaranya."Pak tenanglah Pak," ujar Herman menenangkan Pak Asmat. Pak Asmat tampak sempoyonyan sembari memegangi dadanya. Sang istri juga tampak berlarian dari dalam menemui suaminya yang terlihat lemas. Namun Herman telah berhasil mendudukan Pak Asmat di kursi terlebih dahulu. "Ayah, kenapa?" tanya Bu Asih panik. Herman tidak berani menjawab. Pun tidak berani untuk berucap kalimat yang sama. Nafas Pak Asmat tampak naik turun. Ia seperti kesusahan untuk mengatur nafas. "Ayah, kita ke Rumah Sakit sekarang ya," pinta Bu Asih
"Kenapa hanya segini mas?" tanya Naina dengan ketus yang mengagetkan Arfaaz yang telah termenung di sofa sepeninggal Arindi ke kamar. Arfaaz menoleh dengan malas. Perdebatanya dengan Arindi seolah sudah membuat otak mendidih. Kini ditambah lagi dengan Naina yang datang dengan wajah masamnya. "Memangnya maumu berapa?" Naina menghela nafas pelan. Ia yang masih berdiri di anak tangga lalu turun mendekat kepada suaminya. "Mas, aku ini istri bos. Istri konglomerat. Yang kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya dalam negeri. Apa tidak salah kamu hanya memberiku sejumlah ini? Apa aku masih dalam masa training menjadi istrimu? Tidak kan?" tanya Naina dengan berapi-api. "Tidak ada yang salah Nan. Aku pun memberi Arindi senilai nominal yang sama. Jadi letak salahnya dimana?" Naina tertawa kecil. "Letak salahnya ada pada nominal Mas. Apa cukup dengan uang dua juta bertahan hidup selama sebulan? Uang segitu hanya cukup untuk perawatanku saja. Ahh," gerutu Naina. Arfaaz bangkit. Nafasny