S-selamat p-pagi, P-pak Devan!" Aku menoleh pada seseorang yang baru saja datang. "Silakan duduk Dewa! Sudah sarapan?" "S-sudah, Pak. Terima kasih," sahut Mas Dewa yang kemudian menjatuhkan bobotnya di sofa, menunggu kami selesai sarapan. Mas Dewa terlihat gugup. Namun matanya berkali-kali melirik padaku. Kedua tangannya saling meremas. Dadanya naik turun. "Makan yang banyak, Zahra!" ucap Devan seraya menambahkan sepotong roti ke dalam piringku." Aku hanya tersenyum melihat sikap Devan yang semakin hari semakin membuatku tak karuan. "Oh ya, Zahra, kamu harus coba steak salmon ini." Devan memotong steak salmon di piringnya. "Steak Salmon? Enakkah?" tanyaku. "Enak banget. Cobain, deh ini!" Aku tersentak saat Devan memberikan potongan steak salmon tadi ke mulutku.Aku menerima suapan dari Devan. "Hmmm, beneran enak banget ini." gumamku seraya menikmati rasa lembut dan citarasa gurih dan sedikit manis yang timbul di dalam mulutku. Kemudian Devan kembali menaruh beberapa steak
Aku tersentak saat tiba-tiba pintu lift mulai terbuka. Namun Mas Dewa tak menghiraukan. "Lepas, Mas! liftnya terbuka!"desisku. Namun Mas Dewa justru semakin merapatkan tubuhnya padaku dan menatapku penuh amarah. Napasnya menyapu hangat wajahku. Saat ini nyaris tak ada jarak diantara kami. "Astaga ...! Pak Dewaaa ...!" Seorang karyawati berambut pendek menjerit ketika melihat kami berdua.Spontan Mas Dewa melepaskanku. "Dewi .... dewi ....!" Mas Dewa langsung mengejar karyawati yang dipanggil Dewi itu olehnya. Aku merasa lemas. Selama menikah dengan Mas Dewa, baru kali ini suamiku itu bersikap seperti tadi. Begitu cemburukah dia? Kenapa harus cemburu jika dia tidak pernah mencintaiku? Masih merasakan shock akan kejadian di lift tadi, perlahan aku melangkah ke mejaku melewati beberapa kubikel karyawan. Tiba-tiba langkahku terhenti saat mendengar seseorang menyebut nama-nama yang tidak asing di telingaku. "Lo harus hati-hati, Liana, Pak Dewa kayaknya suka sama karyawan baru yan
Makan siang kiriman dari Devan telah habis kusantap. Pria itu selalu saja membuatku tersanjung dan senyum-senyum sendiri. Sikapnya yang selalu manis nyaris membuatku berpikir yang seharusnya tidak pantas aku pikirkan. Astaga! Apakah Devan sudah memiliki istri? Bagaimanapun juga, aku nggak mau sikap Devan padaku sampai mengganggu rumah tangga mereka. Aku tak ingin ada salah paham hingga menyakiti hati istrinya kelak. Aku sangat mengerti seperti apa rasanya. Aku harus memastikan apakah Devan sudah menikah atau belum. Waktu menunjukkan pukul setengah satu siang. Sebaiknya aku bersiap-siap untuk turun ke lobby. Jangan sampai Devan menunggu lebih lama. "Frans, bareng!" Aku mempercepat langkahku saat Frans juga akan masuk ke dalam lift. Aku memang sengaja menghindar dari Mas Dewa. Tak ingin kejadian di dalam lift tadi terulang kembali. "Ayo, Zahra!" Frans menahan pintu lift menunggu aku masuk. "Tunggu!" Aku terlonjak saat mendengar suara Mas Dewa di belakangku. "Kamu duluan saja, F
Pintu lift terbuka. Aku melangkah cepat lebih dulu saat melihat Devan sudah berada di lobby. Sepertinya Devan sedang menghubungi seseorang. Pria itu melambaikan satu tangannya padaku. Devan mengakhiri panggilan ponselnya ketika aku sudah berada di dekatnya. "Sudah makan siang?" tanyanya padaku. "Sudah. Oh, ya, terima kasih kiriman makan siangnya," balasku. "Kamu suka?" "Suka," sahutku seraya melempar senyum padanya. Aku mengulum senyum ketika melihat perubahan pada raut wajah Mas Dewa. "Kita berangkat sekarang, Dev?" "Tunggu sebentar, aku sedang menunggu seseorang." "Ok. Baiklah." "Saya ambil mobil dulu, Pak, Saya dan Zahra jalan duluan saja," ujar Mas Dewa membuatku terkesiap. "Silakan. Nanti saya kirim alamatnya. Tapi Zahra ikut saya," sahut Devan tegas seraya melirikku. Mas Dewa tak mungkin membantah. Sementara raut wajah suamiku itu tampak semakin kesal. Terdengar beberapa kali dia menghembuskan napas kasar. Dengan langkah gontai suamiku itu berjalan menuju parkira
"Hai Clarissa! Keponakan uncle Ivan makin cantik aja. Bagaimana sekolahmu?" Ivan menyambut Clarisa hangat. "Baik, Uncle." sahut Clarisssa seraya memeluk Ivan. Ivan mencium kedua pipi chubby Clarissa. "Hai, Om Dewa." Ternyata Clarisa juga menyapa Mas Dewa. Namun Mas Dewa hanya tersenyum sekilas pada gadis berkulit putih itu. Pandangan Ivan beralih padaku. "Ra ..., kenapa sih kamu selalu tampil mempesona?" Lagi-lagi Ivan menggodaku. "Jangan mulai, Van. Malu sama Clarissa!" sanggahku dengan mata melotot pada sahabatku yang kali ini penampilannya nggak kalah tampan dari kakaknya. "Aku serius. Tapi Sayang, sudah bersuami." "Uhuk ... uhuk ...!" Mas Dewa tiba-tiba terbatuk-batuk. Ivan memang juga tidak tahu kalau Mas Dewa adalah suamiku. Sejak aku berhenti bekerja di perusahaan yang lama dulu, kami memang sudah jarang berhubungan. Pernikahanku dan Mas Dewa pun diadakan hanya sederhana. Cukup mengundang pihak keluarga dan tetangga terdekat "Kalau aku jadi suaminya, aku akan ant
Bagaimanapun juga Mas Dewa suamiku. Memang sudah seharusnya aku pulang dengannya. Tidak mungkin aku lebih memilih pulang dengan laki-laki lain. Walaupun Devan dan Ivan tidak mengetahuinya, tapi aku merasa bukan wanita yang baik, jika lebih memilih pulang bersama pria lain. "Nggak apa-apa, Dev. Lagian kasian Clarissa jika harus mengantarku pulang lebih dulu. Dia pasti lelah." Devan melirik Clarissa yang memang sudah kelihatan jenuh. Sejak tadi gadis itu sangat rewel minta segera pulang. Devan menghembus napas panjang. kemudian mendekatiku. "Take care ...," bisiknya seraya menatap lekat padaku. Aku hanya bisa mengangguk dan berusaha mengalihkan pandangan dari tatapan mata tegas yang selalu menciptakan debaran tak biasa di dadaku. Devan, pria itu tahu kami sama-sama telah memiliki pasangan. Tapi kenapa sikapnya selalu menciptakan rasa yang tak seharusnya aku rasakan. Tatapannya selalu membuat jantungku berdegup cepat tak beraturan. Apa memang begini sikapnya pada semua wanita yang
Pov Liana "Li ... Liana ...!" Entah yang ke berapa kalinya Ibu memanggilku hari ini. "Sial! Nggak bisa orang santai sedikit," gerutuku. Dengan langkah berat aku kembali ke kamar Ibu mertuaku. Aku mendongakkan wajahku dari balik pintu kamar. Aroma tidak sedap menyeruak dari dalam kamar ini. "Ooeeekkh! Ibu buang air lagi ya? Bau banget ih!" bentakku. Wanita tua yang sudah keriput itu mengangguk lemah. Nampak matanya berkaca-kaca. Dengan terpaksa, lagi-lagi aku harus membersihkan kotoran ibu yang membuat isi perutku ingin keluar. Dengan susah payah aku membawa Ibu ke kamar mandi dengan kursi rodanya. Walau ibu selalu pakai diaper, tapi wanita tua bangka ini maunya tetap ke kamar mandi. Katanya tidak bersih kalau dibersihkan di tempat tidur saja. "Liana, tidak bisakah kamu sedikit lembut memperlakukanku? Seperti Zahra, selalu memperlakukanku dengan baik dan lembut," lirih mertuaku ketika kami masih di kamar mandi. "Sudahlah, Bu. Nggak usah membanding-bandingkan aku dengan perempu
Pov LianaSebentar lagi Mas Dewa pulang. Aku harus minta penjelasan padanya tentang sekretaris barunya itu. Dewi bilang mereka berciuman di dalam lift. Ya Tuhan. Rasanya aku hampir gila oleh rasa cemburuku ini. Melihat Mas Dewa dekat-dekat dengan si Zahra saja aku rasanya kepanasan. Apalagi jika dia sampai berciuman dengan perempuan lain. Rasanya tubuhku ingin meledak karena cemburu. Sungguh aku tidak tenang. Sejak siang tadi berkali-kali aku menghubungi Mas Dewa. Namun dia bilang sedang rapat dengan Pak Devan. Kenapa aku tidak bisa percaya pada ucapannya. Bisa saja dia sedang asik bermesraaan dengan sekretarisnya itu. Sejak sore aku mondar-mandir di teras. Menunggu Mas Dewa pulang. Aku ingin mendengar penjelasan langsung darinya. Aku sedikiti bernapas lega melihat Mas Dewa membuka pagar. Tak lama mobilnya masuk ke halaman rumah. Mataku membulat ketika melihat seseorang yang aku kenali di dalam mobilnya. Kenapa Zahra bisa ada di dalam mobil Mas Dewa? Apa mereka janjian? Hatiku