Devan, pria yang belakangan ini memporak-porandakan hatiku. Pria yang menghilangkan akal sehatku. Namun pria itu juga yang membuat hari-hariku lebih berwarna. Setiap sikap manisnya selalu membuatku lupa bahwa aku ini adalah seorang wanita yang masih memiliki suami. Kadang aku berpikir mungkin memang seperti itulah sikapnya pada setiap wanita. Dengan segala kerendahan hati aku berusaha menganggap sikap Devan ini adalah hal yang sudah biasa dia lakukan pada teman-teman wanitanya, dan aku harus membuang jauh-jauh rasa manis yang mulai menguasai hatiku. Bagaimanapun juga aku tetap melihat sikap pria tampan dan mapan itu adalah sesuatu yang sangat istimewa. Karena aku belum pernah merasakan rasa manis itu dari suamiku sebelumnya, laki-laki yang seharusnya bisa membuatku bahagia. Laki-laki yang seharusnya membuat hari-hariku menjadi indah. Namun suamiku itu justru menciptakan luka yang menganga dan menghasilkan rasa sakit. Ya, sakit tak berdarah. Sejak ibu mulai berbaik hati memaafkan
Astaga! Sesaat aku melihat sekeliling dan baru tersadar. Devan ternyata memberhentikan mobilnya di tepi jalan tol. Pantas saja petugas itu menghampiri kami. Huh! Untung saja kaca mobil ini gelap. "Maaf, Pak. Tadi istri saya pusing. Maklum sedang hamil," sahut Devan dengan seringainya. Aku melotot pada nya. Eh, dia malah mengedipkan sebelah matanya padaku. "Di depan ada rest area, Pak. Silakan jika ingin beristirahat di sana!" jelas petugas itu sebelum berpamitan meninggalkan kami. Devan kembali menutup kaca dan menyalakan mesin mobil. Spontan kami tertawa mengingat kekonyolan kami barusan. "Kamu sembarangan bilang aku hamil! Awas ucapan itu doa, loh!" aku pura-pura memarahinya. "Kalau begitu, semoga Tuhan mengabulkan doaku." "Eehh . .." jeritku seraya melotot. "Tapi hamilnya sama aku ya!" bisiknya sambil mendekat ke telingaku. "Devaaaaan!" Devan kembali terkekeh mendengar jeritanku dan pasraah ketika lengan atasnya aku pukuli bertubi-tubi. Mobil kembali melaju membelah
"Devaaan ...!" Aku terpekik melihat seseorang memukul Devan dari belakang hingga laki-laki itu meringis kesakitan. "Ivaaaan ...! Jangan ...! Lepasin!" Aku berusaha menarik tubuh Ivan yang terus menghajar Devan dengan membabi buta. Namun tubuh sebesar itu tak akan mungkin sanggup aku menahannya untuk tidak terus memukuli Devan. "Aku dah ingatkan kamu berkali-kali, Dev! Zahra itu punya suami. Tega banget kamu mempermainkan dia!" teriak Ivan berapi-api. Devan tidak melawan. Pria itu hanya berusaha menghindar. Padahal jika mau, aku yakin Devan pasti bisa melawan. Tapi Devan tampak hanya mengalah. Aku tak tega melihatnya terus dipukuli oleh Ivan. Selintas nampak ada cairan berwarna merah di sudut bibirnya. Untunglah ruangan ini tertutup. Hingga suara keributan ini tidak terdengar sampai keluar. "Vaaan, please ... udaah!" Sekuat tenaga aku menarik tubuh Ivan agar menjauh dari Devan.. "Vaaan, Devan nggak sepenuhnya salah. Aku juga meresponnya selama ini. Jadi kamu bisa marahin ak
"Kamu mau bicara apa sih sebenarnya, Mas?" sinisku dengan jantung yang mulai berdetak cepat. Mas Dewa memandang tajam padaku hingga menghunus iris mataku. "Jawab yang jujur! Sudah berapa kali kamu tidur dengan Devan?" "Apaaa?" Sontak aku berdiri. Plaak!! Reflek tanganku menampar wajah tampan menyebalkan yang saat ini berada tepat di hadapanku. Tubuhku bergetar menahan emosi yang semakin memuncak. Sungguh aku tak terima suamiku sendiri menuduhku serendah itu. Napasku memburu karena detak jantungku yang semakin cepat . Aliran darahku seakan naik hingga ke ubun-ubun. "Kurang ajar!' Mas Dewa sontak berdiri seraya memegang pipinya yang memerah. Sepertinya dia tidak terima karena aku baru saja menamparnya cukup keras. "Mas Dewa keterlaluan. Jangan samakan aku dengam istri barumu itu, Mas!Berbagi ranjang seenaknya sebelum ada ikatan pernikahan!" geramku dengan dada kembang kempis menahan amarah yang meluap-luap. Pria di hadapanku ini menyeringai. "Aku tidak habis pikir dengan Deva
Pintu lift perlahan tertutup. Ingin rasanya menoleh. Tapi aku harus menahan diri. Aku harus menjaga hati dan sikap. Apalagi saat ini kami hanya berdua saja di dalam lift ini. Tarik napas, Zahra! "Kenapa tadi nggak ikut meeting?" Aku terlonjak kala mendengar suara bariton itu. Suara yang membuat jiwaku bergetar di setiap kata yang diucapkannya. Suara yang tanpa kusadari selalu membuatku rindu akan pemiliknya. "Zahra ..." panggilnya lagi karena aku masih bergeming. Tak mungkin aku menjawab pertanyaan atasanku ini dengan cara memunggunginya seperti ini. Yaa, kan? Akhirnya aku putuskan membalikkan badan dan berhadapan dengannya. Tubuhku menegang saat memutar badan, ternyata Devan sedang memandangku dari belakang. Dadaku bergedup kencang. Lagi-lagi debaran tak biasa itu berpacu di dalam jantungku. "Zahra ..." "Iy-iyaaa ...." Aku langsung menunduk. Tak sanggup bertemu mata dengannya. "Kenapa tadi tidak ikut meeting?" Devan mengulang pertanyaannya. Pelan, namun penuh penekanan. "M
Zahra, tunggu!" langkahku terhenti. Aku menoleh padanya. "Percepat urus perceraianmu! Kata-kataku tadi siang tidak main-main. Aku menunggumu!" ucapnya tegas. Tak ada keraguan di sana. Aku tertegun. Tak mampu berkata-kata. Mataku memanas. Tanpa menjawab aku kembali berbalik badan dan terus berjalan mengikuti langkah kakiku, tentunya bukan menghampiri Mas Dewa seperti yang aku katakan pada Devan tadi. Sesampainya di halte dekat kantor, aku meraih ponselku dan memesan taksi online. Dengan air mata yang tak kunjung berhenti aku duduk menunggu pesanan taksiku tiba. Sesekali aku tersenyum mengingat kata-kata terakhir Devan tadi. Berkali-kali aku menyeka air mata dengan punggung tanganku. Entah kenapa ada rasa haru dan bahagia bergelayut manja di hati ini. "Atas nama Mbak Zahra? Mbak ... Mbak." Aku tersentak kala seorang laki-laki paruh baya berdiri seraya melambaikan tangannya di depan wajahku. Sepertinya dia sejak tadi di sana, namun aku tak menyadarinya. "Iy-iyaa. Saya Zahra. M-ma
Aku memasukkan pakaianku ke dalam koper. Tak ada yang aku bawa kecuali beberapa pakaian yang aku perlukan. "Apa-apaan ini? Mau ke mana kamu?" Aku mendongakkan kepala dan melihat Mas Dewa sudah berdiri di depan pintu kamar. "Zahra, mau ke mana kamu?" Suara Mas Dewa bergetar. Perlahan dia mendekat. "Mulai besok aku tidak tinggal di sini lagi. Aku harap kamu tidak mempersulit proses perceraian kita, Mas." "Tidak, Zahra! Aku tidak akan pernah menceraikanmu." Mas Dewa berlutut mensejajarkan diriku yang sedang posisi setengah jongkok di lantai. "Zahra, dengar! Aku akan menceraikan Liana setelah dia melahirkan anakku." Mas Dewa berkata setengah berbisik. Berarti Liana tidak tau rencananya ini. Atau ini hanya akal-akalan dia saja untuk menahanku agar tetap berada di sini. "Keputusanku sudah bulat, Mas!" sahutku lagi tanpa menoleh padanya sesaat, kemudian meneruskan kembali proses packing. Laki-laki itu berdiri, kemudian menutup rapat pintu kamar. "Buka aja pintunya, Mas!"pintaku. Namu
Entah kenapa tak ada rasa nyaman dan bahagla seperti dulu. Biasanya aku paling suka jika dipeluk dan bersandar di dada bidangnya seperti sekarang ini. Namun saat ini rasa itu seakan hampa. Tak ada lagi getaran dan jantung yang melompat-lompat ketika dia mencium rambutku. Kami berpelukan cukup lama. Mas Dewa semakin mengeratkan pelukannya. Tak lama kemudian aku merasakan bahunya mengguncang. Mas Dewa menangis. Sungguh aku tak percaya. Aku merasakan sesuatu yang basah pada punggungnya. "Mas, tumben cengeng!" gumamku. "Aku menyesal, Zahra. Sungguh aku sangat menyesal." Suaranya serak dan parau. "Udah sejak dulu, Maas, kalau penyesalan itu datangnya belakangan," sahutku asal tanpa rasa apapun. Entah kenapa aku merasa biasa saja dan tidak terusik sama sekali dengan tangisnya. Terharu pun tidak. Rasanya sudah tak bisa percaya lagi dengan semua ucapannya. Aku selalu merasa dia membohongiku. Mas Dewa mengurai pelukan. Kedua tangannya menggenggam bahuku. Kini netranya terus menatapku sa