Share

Bab 2

Author: Y.Y
Begitu Rangga pergi, aku langsung melangkah menuju Rumah Sakit Praya.

Dalam ingatanku, meski perusahaan keluarga sempat diterpa krisis hingga membuat ayah harus dirawat, tak satu pun dokter pernah mengatakan bahwa kondisinya bisa mengancam nyawa. Mereka hanya bilang ayah perlu banyak istirahat.

Tiga tahun lalu, aku masih terlalu muda. Panik menghadapi kejadian mendadak, aku tak sempat berpikir jernih. Namun kini, ketika kuingat kembali, semuanya terasa terlalu cepat, terlalu janggal.

Aku pun mencari Dokter Kevin, dokter yang dulu menangani ayah.

“Dok… sebenarnya apa penyebab kematian ayahku?” tanyaku.

Dokter Kevin menoleh, wajahnya jelas terkejut.

“Kamu… nggak tahu?”

Aku hanya terdiam, lalu menggeleng perlahan.

“Ayahmu… bunuh diri. Nggak ada yang pernah memberitahumu?”

Kata-kata itu bagai petir di siang bolong. Tubuhku membeku, mulutku terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.

Dokter Kevin hanya bisa menghela napas panjang. Tangannya menepuk pundakku lembut.

“Kamu masih belum bisa melewati ini rupanya… kuatnya hatimu.”

Aku memaksakan senyum getir sebagai salam perpisahan, lalu melangkah pergi dengan langkah gontai.

Di perjalanan pulang, kepalaku terasa kosong. Aku bahkan sampai menabrak beberapa orang tanpa sadar.

Berita kematian ayah dulu disampaikan padaku oleh Rangga.

Saat itu aku selalu menemani ayah di rumah sakit, tubuhku mengurus drastis.

Melihat kondisiku, Rangga merasa kasihan, menawarkan diri menjaga ayah agar aku bisa pulang beristirahat sehari.

Namun, justru pada hari itu aku menerima kabar kematian ayah.

Rangga memelukku erat saat aku menangis histeris. Dia melarangku melihat jenazah ayahku, berulang kali meyakinkan bahwa dia selalu ada untukku, bahwa aku tak perlu takut.

Sekarang aku baru sadar… dia memelukku bukan untuk menghiburku, untuk menutupi kenyataan, ayahku bunuh diri.

Aku menampar wajahku sendiri, penyesalan menyesak hati.

Aku jatuh cinta pada iblis seperti apa sebenarnya?!

Saat aku terperangkap dalam penyesalan, suara yang sudah lama tak kudengar menyentak telingaku.

“Vanya, lama nggak bertemu.”

Sarah berdiri santai di halaman rumah, duduk di ayunan sambil tersenyum manis.

“Bagaimana kamu bisa masuk ke sini?” tanyaku tajam.

Dulu saja aku tak pernah suka padanya, apalagi setelah Bastian meninggalkanku demi dirinya. Kini, berdiri di depannya… aku bahkan tak bisa memaksakan senyum.

Sarah berjalan santai mendekat.

“Masukkan saja kodenya. Kode Rangga itu membosankan, selalu 0717, ulang tahunku!”

Dadaku mendadak sesak. Semua kode Rangga memang 0717.

Aku pernah bertanya alasannya. Dia bilang itu tanggal dia mendapat uang pertamanya. Betapa bodohnya aku, bahkan pernah merayakan tanggal itu sebagai hari ‘kesuksesannya’.

“Kamu suka ayunan ini? Dulu aku bilang sama Rangga, rumah dengan ayunan pasti seru. Nggak kusangka dia masih ingat.”

Sarah terus bicara sambil berjalan masuk ke rumah, seolah-olah rumah ini miliknya.

“Wow, lukisan ini Rangga bawa dari Milan, ya?” ucapnya sambil menunjuk lukisan dekat tangga lantai dua.

“Nggak kusangka dia benar-benar membelinya. Sayangnya, Bastian nggak izinkan aku memilikinya. Kalau nggak… mana mungkin aku rela melepasnya ke Rangga?”

Senyumnya licik, matanya mengedip penuh ejekan.

Aku hanya bisa mengikuti langkahnya dengan hati tercekat. Semua hal di rumah ini—karpet, lukisan, dekorasi—ternyata bukan pilihanku, melainkan selera Sarah.

Dulu aku percaya rumah ini dibangun khusus untukku. Sekarang aku merasa… aku hanyalah tamu di rumah sendiri.

“Eh, ini foto pernikahan kalian? Gaun pengantinmu sama persis dengan yang kupakai saat pemotretan dulu!”

Matanya menyipit, senyumnya menusuk.

“Sepertinya, kamu hanyalah penggantiku.”

Darahku mendidih. Aku langsung meraih foto itu dari tangannya.

“Kembalikan!”

“Siapa kamu sampai berani membentakku?!”

Sarah mengangkat tangan, hendak menamparku. Namun sebelum sempat, suara mesin mobil terdengar dari bawah. Tubuhnya refleks menoleh, lalu terhuyung ke belakang.

“Ah…”

Rangga pulang.

Sarah menjerit histeris, terguling menuruni tangga, tubuhnya jatuh keras di lantai, darah berceceran.

“Sarah!” Rangga berlari panik, berlutut, lalu memeluknya erat.

Dia menoleh padaku dengan tatapan penuh kebencian.

“Apa yang sudah kamu lakukan?! Kalau Sarah sampai kenapa-kenapa, kamu tanggung akibatnya!”

Tanpa menungguku menjawab, dia langsung menggendong Sarah yang masih meringis kesakitan.

“Bayiku… bayiku…”

Suara Sarah lemah, hampir tak terdengar.

Aku menatap ngeri lantai yang dipenuhi darah. Rangga panik, buru-buru mengangkat Sarah.

“Sarah, aku akan bawa kamu ke rumah sakit sekarang juga!”

“Jangan salahkan Vanya… dia nggak sengaja…” Suara Sarah terputus ketika tubuhnya terkulai pingsan.

Rangga tak menoleh lagi ke arahku, hanya berlari meninggalkan rumah bersama Sarah.

Aku terduduk lemas, menatap darah yang terus menggenang di lantai.

Apa ini… yang disebut karma?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Air Mata di Antara Bunga   Bab 8

    Saat Rangga datang mencariku, aku sedang sibuk mengemas barang-barang, bersiap menyaksikan aurora.Di dalam negeri, gosip silih berganti. Kabar tentang Rangga dan Sarah pun perlahan terkubur oleh waktu.Aku pun perlahan belajar melepaskan—kesedihan dan kebencian bukan lagi alasan untuk terus menyiksa diri.Aku mulai merangkul hidup baru, berhenti sengaja menghindari segala hal yang berkaitan dengan tanah air.Aku bahkan sampai membuat akun Instagram khusus, di mana setiap hidangan yang kumasak kuunggah satu per satu. Tak kusangka, justru banyak orang yang menyukainya, dan perlahan aku pun mengumpulkan begitu banyak pengikut.Namun siapa sangka, di antara para pengikut itu ternyata ada Rangga.Begitu aku melangkah keluar rumah, dia sudah berdiri di sana, diterpa angin dingin.Dia menggosokkan kedua tangannya, menatapku dengan sorot mata yang penuh makna.“Di sini sangat dingin… kamu sudah terbiasa, Vanya?”Sungguh aneh. Hanya dalam hitungan bulan, perasaanku terhadap Rangga berubah tota

  • Air Mata di Antara Bunga   Bab 7

    Sejak tiba di tempat ini, aku sengaja menyibukkan diri, agar tak sempat mengikuti berita dari tanah air.Namun saat musim malam panjang tiba, ketika jam toko dipangkas, aku pun punya banyak waktu kosong.Dengan hati yang separuh ingin tahu, separuh enggan, akhirnya aku membuka portal berita dalam negeri.Dan di sanalah aku membaca, Sarah ternyata sudah bercerai dari Bastian.Semuanya berawal dari Rangga yang tanpa sengaja membocorkan kabar Sarah dirawat di rumah sakit kepada wartawan gosip.Layaknya lalat mencium bau bangkai, para jurnalis segera menyerbu, menggali lebih dalam.Awalnya mereka hanya ingin tahu alasan Sarah masuk rumah sakit. Namun semakin digali, semakin banyak rahasia kelam Keluarga Wicaksono tersingkap.Hingga akhirnya…Aib terbesar pun meledak—Bastian ternyata mandul.Keluarga besar itu seketika kehilangan muka. Tekanan datang bertubi-tubi, sampai akhirnya Bastian dan Sarah dipaksa bercerai.Dan anak dalam kandungan Sarah… ternyata benih yang tertinggal dari malam pe

  • Air Mata di Antara Bunga   Bab 6

    Aku tiba di Lemsar tepat tengah hari.Namun begitu menjejakkan kaki keluar dari pesawat, firasatku langsung berteriak—tempat ini tak aman.Mungkin karena antek-antek Rangga, atau mungkin antek-antek Sarah. Namun siapa pun mereka, satu hal sudah pasti—keberadaanku sudah terbongkar.Tak ada pilihan lain. Aku harus menghapus identitas lamaku sebagai Vanya Devara, mengganti kartu identitas baru, lalu terbang ke luar negeri.Sebelum keluargaku bangkrut, aku memang lama tinggal di luar negeri. Meski sudah beberapa tahun meninggalkannya, aku bisa cepat beradaptasi lagi.Kali ini aku memilih sebuah negara kecil di Eropa Utara—sunyi, jauh dari hiruk pikuk, siang dan malam ekstrem berlangsung bersamaan.Jika beruntung, aku bisa melihat aurora di sini.Saat kakiku menapaki salju yang tebal dan lembut, hembusan angin dingin menusuk tulang. Namun entah kenapa, senyum justru terbit di wajahku.Akhirnya, semua kenangan lama di Praya benar-benar bisa kutinggalkan.Aku teringat, dulu pernah bilang pada

  • Air Mata di Antara Bunga   Bab 5

    Sarah mengeluh sakit perut, lalu dengan suara lemah meminta Rangga kembali ke rumah sakit sebentar.Setelah ragu cukup lama, Rangga akhirnya tetap melangkah pergi.Galih yang menyaksikan punggung Rangga menjauh hanya bisa menghela napas berat.“Semua ini… memang sudah ditentukan oleh takdir,” gumamnya.Begitu tiba di rumah sakit, karena terlalu terburu-buru, Rangga tak sengaja menabrak seseorang.“Pak Rangga?”Suara itu membuatnya tersentak. Orang yang ditabraknya ternyata adalah Dokter Kevin, dokter yang dulu menangani ayah Vanya.Saat itu juga, dada Rangga terasa makin sesak. Dia buru-buru mengangguk, hendak beranjak pergi. Namun Dokter Kevin menahannya.“Eh? Hari ini Vanya nggak bersamamu? Bagaimana keadaannya sekarang?”Rangga terdiam, wajahnya langsung pucat.“Vanya? Memangnya Vanya kenapa, Dok?” Suaranya bergetar.Nama Vanya saja sudah cukup untuk menyalakan rasa gelisah sekaligus panik dalam dirinya. Kenapa Vanya datang ke rumah sakit? Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?Dokter

  • Air Mata di Antara Bunga   Bab 4

    Pukul lima pagi, dering telepon dari perias membuat Rangga terbangun. Refleks, sebelum mengangkat, dia lebih dulu menoleh ke arah Sarah.Melihat wanita itu masih tertidur nyenyak, Rangga pun bangkit pelan-pelan, keluar kamar lalu menerima panggilan.“Ada apa?” tanyanya singkat.“Pak Rangga, kami sudah menekan bel berulang kali, tapi nggak ada yang membukakan pintu. Mungkin Bapak bisa menghubungi calon pengantin wanita?”Rangga mengusap dahinya, jelas kesal. Tanpa banyak basa-basi, dia menutup telepon itu, lalu langsung menelpon Vanya.Teguran hampir saja meluncur dari bibirnya, tapi yang terdengar hanyalah nada sambungan terputus, disusul suara mesin otomatis yang dingin menusuk telinga.“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”Rangga mengernyit. Menurutnya, Vanya hanya sedang ngambek. Dengan nada malas, dia menghubungi kembali perias.“Sudahlah, nggak usah repot-repot. Kalian bisa pulang dulu, biarkan saja dia.”Meski heran, para perias akhirnya tetap menuruti perintahnya.Begitu te

  • Air Mata di Antara Bunga   Bab 3

    Aku naik taksi, mengikuti mobil Rangga dari belakang, meski aku tahu jelas, dia sama sekali tak ingin melihatku.Sulit bagiku membayangkan kenyataan bahwa Sarah benar-benar hamil.Aku mengejarnya hanya untuk menjelaskan, bahwa semua ini sama sekali bukan salahku.Namun, begitu Rangga mengantar Sarah masuk ke ruang operasi, tatapannya langsung menusukku, dingin.“Vanya… aku nggak pernah sangka kamu bisa sekejam ini. Sarah cuma ingin datang sendiri, memberi selamat atas pernikahan kita. Kenapa kamu harus melakukan ini?!” Suaranya bergetar, penuh amarah yang ditahan.Saat mendengar amarahnya yang terpendam, keinginanku untuk menjelaskan pun lenyap.“Kalau Sarah sampai keguguran… mahar yang sudah kusiapkan untukmu… akan kuserahkan padanya sebagai ganti rugi,” ucap Rangga tegas.Aku terbelalak. Dunia seakan berhenti berputar.Bukankah dulu dia yang berkata, wanita lain punya mahar, aku juga akan punya, bahkan lebih?Bukankah dulu dia berniat memindahkan separuh saham perusahaannya atas nama

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status