Kira-kira Alvano akan diam saja atau tanya langsung ke Isvara ya?
Kini, Isvara berada di halte bus dengan menggunakan sandal milik Wati. Bagaimana tidak? Sepatu kerjanya masih tertinggal di dekat pintu depan rumah, dan di depan sana, duduk seorang wanita yang paling tidak ingin dia temui pagi ini.Livia.Membayangkan wanita itu saja sudah membuat punggung Isvara berkeringat. Dia tidak bisa membiarkan Livia tahu tentang pernikahannya dengan Alvano. Bukan sekarang, meskipun dia sendiri tidak yakin sampai kapan bisa terus bersembunyi seperti ini.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Alvano.[Kamu sudah pergi?]Isvara menggigit bibirnya, lalu mulai mengetik.[Iya, aku sudah di halte. Aku langsung ke kantor.]Balasan tidak datang seketika. Namun setidaknya, Isvara sudah cukup jauh dari rumah itu. Jauh dari Livia. Dan untuk saat ini, jauh dari kemungkinan rahasia pernikahan mereka terbongkar.Isvara menunduk, memandangi sandal milik Wati. Sedikit kebesaran, warnanya ungu dengan ornamen bunga plastik di bagian atas. Sandal itu juga mengeluarkan suara
Isvara langsung bangkit dari kursinya. Jantungnya seperti meloncat ke tenggorokan. Tanpa pikir panjang, dia melesat keluar dari ruang makan, bukan ke kamarnya. Terlalu berisiko. Jika Livia benar-benar sudah masuk ke rumah, mereka pasti berpapasan. Bisa gawat!Langkah wanita justru membelok ke arah kamar Wati, sang asisten rumah tangga. Keputusan spontan, tapi untungnya tepat.Begitu membuka pintu kamar kecil itu, napasnya tercekat. Kamar itu kosong.Isvara segera masuk dan menutup pintu pelan-pelan, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun. Matanya mencari-cari, dan dia mengintip lewat celah jendela sempit yang menghadap ke halaman samping.Wati tampak sibuk menyapu di sudut belakang rumah, punggung membungkuk, tidak menyadari bahwa kamarnya kini sedang jadi tempat persembunyian mendadak.“Ya Tuhan …” desis Isvara lirih. Dia menekuk lutut, lalu duduk di samping ranjang kecil yang rapi. Satu tangan menutup mulut, berusaha menenangkan diri. Baru pagi, dan jantung wanita itu terhitu
Isvara terdiam sejenak, seakan mencerna semua yang terjadi.Pandangan matanya berkeliling. Butuh beberapa detik sampai otaknya memproses semuanya. Ada yang terasa ... salah. Bukan aroma yang biasa disemprotkan wanita itu sebelum tidur. Sepreinya memang sama, karena semua di rumah ini dibuat senada. Namun, ini terlalu rapi. Terlalu wangi, seperti parfum mahal yang asing.Astaga.Memang, kamar mereka bersebelahan. Dan sialnya, karena tadi Isvara terburu-buru akibat tersulut emosi, dia malah masuk ke kamar yang salah.Isvara menegakkan tubuhnya pelan. Matanya kembali menyapu ruangan, memastikan untuk kedua kalinya.Dan benar saja, ini memang kamar Alvano.Dan wanita itu baru saja mengutuk sang empunya kamar ini sambil membenamkan wajah di bantal milik Alvano.Tok tok tok. Ketukan kedua terdengar lagi.“Isvara?” Suara Alvano terdengar di balik pintu, sedikit lebih ringan. Seperti ... menahan tawa.Isvara mendesis pelan. Gengsinya berteriak. Namun, mau bagaimana lagi?Akhirnya, wanita itu
“Huh, capek banget.”Isvara mengeluh ketika turun dari bus. Tumitnya terasa pegal, pundaknya tegang. Udara malam sedikit lembap, dan jalanan mulai sepi. Sisa energi yang dia punya seolah tergerus oleh padatnya hari.Aksara sebenarnya sempat menawarkan untuk mengantar, tapi rencana itu batal begitu Laras, calon istrinya, menghubungi dan minta dijemput lebih awal.Sebagai kakak, dia paham betul bahwa prioritas Aksara sekarang sudah mulai bergeser. Dan dia bukan tipe yang akan menahan adiknya terlalu lama hanya demi sedikit kenyamanan. Namun tetap saja, berjalan sendirian di kompleks yang sepi, membuat kelelahan itu terasa dua kali lipat lebih berat.Saat sampai di rumah, Isvara langsung membuka pintu dengan cepat, ingin segera melepaskan sepatu dan merebahkan tubuh di tempat tidur. Satu tangan menopang tubuhnya di dinding, satu lagi mulai mengendurkan ikat rambut yang seharian menyiksa kepala.Namun, baru saja Isvara menutup pintu di belakangnya, suara rendah dan pelan terdengar dari rua
Isvara buru-buru menekan tombol lift dan melirik jam tangan. Masih jam kerja, dan kalau sampai ada yang melihat suaminya datang ke kantor, bisa runyam. Terutama jika Dylan sampai tahu.Begitu pintu lift terbuka, Isvara melangkah cepat ke lobi, matanya langsung menyapu area depan resepsionis.Namun, yang Isvara temukan bukan Alvano.Jefri.Pria itu berdiri tenang di sisi meja resepsionis, mengenakan kemeja abu gelap dan celana bahan, kontras dengan wajahnya yang terlihat sangat santai. Tentu saja sambil menggenggam ponsel Isvara.Isvara berhenti beberapa langkah dari sana, menarik napas lega—dan sedikit kesal pada dirinya sendiri karena sempat gugup setengah mati.Jefri langsung menyadari kehadiran Isvara dan memberi anggukan sopan. “Sore, Nona Isvara.”“Sore.” Isvara menghampiri, menurunkan suara. “Maaf merepotkan, harusnya aku lebih teliti tadi.”“Tidak apa-apa,” jawab Jefri sambil menyerahkan ponsel itu. “Saya hanya disuruh antar.”Isvara menerima benda itu cepat-cepat. “Terima kasih
Gara-gara satu pesan itu, Alvano tidak bisa berkonsentrasi selama di kantor. Pandangannya kosong menatap layar komputer, tetapi pikirannya sibuk memutar ulang notifikasi tadi pagi.Siapa pria bernama San itu?Pacarkah?Memang, sejak awal mereka sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing. Pernikahan ini hanya kontrak. Namun tetap saja … ada rasa aneh yang mengganjal di dadanya. Seperti ada yang mengusik harga diri pria itu.‘Kenapa aku harus peduli?’ batin Alvano untuk kesekian kalinya, sambil menyandarkan punggung ke kursinya. Namun, satu alisnya bergerak gelisah saat membayangkan Isvara tertawa sambil berkirim pesan dengan pria lain.Jadi semalam Isvara tersenyum semanis itu karena pria lain?Di depannya, Jefri sudah berdiri sejak tadi, berdiri tegak dengan tablet di tangan, menunggu tanggapan.“Pak, sore ini kita ada meeting dengan klien di salah satu resto, jam lima. Sudah saya reservasi tempatnya, dan mereka minta Bapak hadir langsung karena ini soal kampanye besar
“Jef, kita agak ngebut,” perintah Alvano ketika sudah duduk di kursi belakang.“Baik, Pak. Langsung ke kantor atau ke tempat lain dulu?” tanya Jefri, sambil melirik ke spion. Pandangannya bertemu sebentar dengan mata bosnya, lalu berpindah cepat ke jalan.Alvano menoleh sebentar ke arah Isvara, yang duduk diam di sampingnya, lalu kembali menatap ke depan.“Ke Dermavia. Kita antar dulu istriku bekerja,” jawab Alvano tenang, sambil membetulkan letak dasinya.Sekilas, kalimat itu terdengar biasa saja. Apalagi bukan kali pertama Alvano menyebutnya ‘istriku’. Namun entah kenapa, untuk Isvara, sebutan itu masih terasa aneh. Hangat, tapi juga janggal. Apalagi diucapkan dengan nada tenang seperti itu, seolah semuanya memang wajar, padahal jelas-jelas tidak.Di depan, Jefri sempat mengerutkan dahi, lalu buru-buru menahan senyum kecil. Pasangan ini memang ... unik. Alvano, CEO Valora Group—brand skincare terbesar di negeri ini. Dan istrinya? Bekerja di perusahaan rival, yang kebetulan juga milik
“Bagaimana? Sudah ada info mengenai produk terbaru dari Dermavia?”Pertanyaan itu meluncur dari mulut Alvano yang tengah menyantap sarapannya dengan tenang. Bagi orang lain, itu mungkin terdengar seperti percakapan ringan seputar pekerjaan. Namun, bagi Isvara, itu terdengar seperti pengingat—tentang janji yang pernah dia ucapkan sebagai bentuk balas budi kepada pria itu.Iya, Alvano sedang menagih janjinya, permintaan yang pria itu lontarkan setelah beberapa hari mereka menikah. Permintaan agar Isvara ‘membayar’ pernikahan mendadak itu ... dengan menjadi mata-mata kecil di perusahaan tempatnya bekerja.Isvara menghela napas perlahan, menatap roti isi di piringnya seolah itu bisa memberinya jawaban. Lalu, dengan suara pelan tapi mantap, dia berkata, “Maaf. Aku tidak bisa kalau harus mengkhianati perusahaan tempat aku bekerja.”Nada bicara wanita itu tenang, tidak meledak-ledak. Namun, tegas. Tidak ada keraguan di sana.Isvara menunduk, bukan karena takut. Namun, karena ada sebersit ras
Mendengar itu, senyum sinis Isvara langsung terbit di bibirnya. Dia menatap Livia tanpa gentar, matanya tidak berkedip sedikit pun.Isvara tidak butuh penjelasan panjang. Kalimat itu cukup. Dia paham arah pembicaraan ini. Livia mungkin tidak menyebut kata ‘hamil’, tapi maksudnya jelas.“Apa untungnya aku diam?” suara Isvara terdengar datar, tapi penuh tekanan. “Bukankah seharusnya aku yang marah karena kamu hamil anak pacarku? Maaf—mantan pacar. Dan kamu, adik dari atasanku, mencoba memanfaatkan posisimu untuk menekan aku di kantor?”Livia tersenyum kecil. Bukan senyum ramah, tapi senyum seseorang yang percaya dirinya tak tersentuh. “Aku tidak menekan siapa-siapa. Aku cuma menyarankan kamu untuk berpikir sebelum bicara. Jangan sampai berita ini tersebar. Apalagi … aku akan segera menikah.”Mata Isvara terangkat sedikit. Menikah?Isvara tidak bertanya lebih lanjut, hanya menatap Livia dengan diam. Namun, ekspresi wajahnya menyiratkan lebih dari cukup. Jadi, Livia benar-benar masih berus