Aku segera pergi dari tempat itu, tidak mau berprasangka apapaun pada mereka. Apa Alesha sedang membantuku untuk membujuk mas Damar? Ku langkahkan kakiku semakin menjauhi tempat itu, aku akan menelpon Alesha begitu jarak ku dan tempat mas Damar bekerja tidak dekat lagi. Sampai di sebuah halte, aku beristirahat melepas lelah. Bisa-bisanya aku berjalan sejauh ini, hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Belum lagi aku berjalan sambil menyeret koper. Setelah duduk dengan tenang, aku mencari smartphone milikku di dalam tas tangan yang aku bawa. Segera ku telepon Alesha, kupikir dia tidak bekerja hari ini. "Halo Amelia, ada apa?" sapa Alesha setelah saling berbalas salam tapi aku terus diam membisu. "Aku diusir papa, tidak boleh tinggal di rumah mas Damar maupun pulang ke rumah papa," sahutku pelan."Kamu dimana sekarang? aku akan menjamin," ucap Alesha dari seberang telepon. "Aku di halte bus, aku kirim alamatnya yaa." Setelah mematikan sambungan telepon, aku segera mengiri
" Kenapa mbak? tanya gadis itu."Saya salah tempat, handphone saya kecopetan jadi tadi asal datang kesini saja. Saya pikir bakalan betul, ini kali pertama saya datang ke daerah sini. Saya tidak tahu apa-apa tentang daerah sini, mana sudah malam. Ah ...." Mulutku dengan lancar bercerita pada gadis itu, bagaimana bisa malam-malam aku mencari tempat itu. Rasanya aku ingin menangis dan berteriak, tidak cukupkah semua yang terjadi padaku saat ini. Kenapa masih saja aku harus menderita. "Lebih baik mbak Salat dulu, nanti habis salat saya antar bertemu ibu nyai. Siapa tahu beliau bisa menolong, tidak mungkin juga ada orang yang tega membiarkan wanita berkeliaran malam-malam."Ucapan gadis itu seperti oase di padang pasir. Benar, harusnya orang-orang disini adalah orang-orang yang baik. Tidak mungkin mereka akan membiarkan wanita longang-lantung tanpa tujuan dimalam hari. Aku bangkit berdiri kembali, "Bolehkah saya meminjam mukena?" tanyaku. Gadis itu malah menatap kearah koper yang aku b
"Tuh mbak, lelaki tegap beneran mendatangimu. Kamu tahu, dia itu ustadz yang jadi idola santri putri disini. Namanya ustadz Farid," ucap Nisa sambil menyikut tanganku. "Apaan sih Nisa, bukan dia maksudku," sahutku berbisik. Pria itu makin mendekat kearah kami, entah apa yang membawanya menuju ke arah sini. Seharusnya dia sudah pulang, karena hari sudah beranjak senja dan tidak ada lagi jam pelajaran yang diajar ustaz di malam hari. "Maaf, kalian yang kadang jaga di toserba kan ya?" tanyanya begitu berada di hadapan kami. "Betul ustadz," jawab Nisa. "Sepertinya kartu ATM saya ketinggalan disana, bisakah kalian menyimpannya untuk saya?""Bisa ust, nanti kami akan tanya yang sedang berjaga sekarang," jawab Nisa lagi. Setelah mengucapkan terimakasih, lelaki itu kembali lagi keluar meninggalkan kami menuju ke gerbang. Nisa tertawa cekikikan kembali, setelah kepergian pria itu. Entah apa yang lucu menurut dia. "Mbak, merasa aneh gak sih sama ustaz Farid. Tiap kesini pasti ke toserba
POV DAMAR____&&____Kubuka pintu rumah yang terasa sepi, sudah enam bulan kamu pergi dari rumah ini, kamu ada di mana Amelia? AKu hempaskan tubuhku di sofa ruang tamu. Hari ini aku tidak bekerja, hanya menaiki mobil keliling kota berharap tiba-tiba saja bertemu dengan istriku di jalan. Malam itu aku shock dengan pengakuannya hingga memutuskan pergi dari rumah ini begitu saja. Aku pergi bukan karena marah pada wanita yang sudah ku nikahi itu tapi marah pada diriku sendiri, apa kesalahanku dimasa lalu yang membawanya harus melewati kejadian buruk itu. Kedua orang tuanya bilang, jika putri mereka adalah anak baik dan penurut. Tapi begitu dia akan di nikahkan denganku kenapa jadi berpikir se-liar itu. Hal yang tidak pernah aku pikirkan akan bisa dia lakukan. "Harusnya kamu menolakku saja daripada harus merusak dirimu sendiri." ucapku padanya malam itu sebelum meninggalkan dirinya.Kepergianku hanya untuk menenangkan diri, mencoba mencari makna atas semua kejadian yang menimpa kami. Na
Segera kumasukkan surat dari ustadz Farid ke dalam saku rok panjang yang aku kenakan. Sambil memperhatikan sekeliling, kira-kira ada orang yang memperhatikan aku membaca surat itu atau tidak.Aku tidak bisa menerima ajakan ini, bagaimana wanita bersuami menerima ajakan ta'aruf dari seorang lelaki. Meskipun aku tidak tahu bagaimana nasib pernikahanku, tapi aku masih berharap bisa bersama-sama dengan mas Damar lagi. Tapi bagaimana juga aku bisa menolaknya, apa alasan yang harus aku kemukakan. Kebingunganku membuatku seperti orang linglung seharian."Nisa, disini boleh tidak kalau ketemuan sama laki-laki?" tanyaku pada gadis itu.Kami sedang di kamar berduaan saja karena kami sama-sama tidak salat jadi memilih tetap di kamar saat Maghrib tiba. "Kamu mau ketemuan sama siapa mbak? ustadz Farid?" tanya Nisa. Kenapa tebakan anak ini bisa sangat tepat. Aku mengangguk dan memperlihatkan surat dari ustadz Farid tadi siang. "Wah, mbak! dia beneran tertarik padamu. Udah iyain aja biar beliau m
"Ada apa kalian berkumpul disini?" tanya ibu nyai lagi. "Oh ini, mbak Amelia bertanya pada saya tentang bagaimana hukumnya jika seorang suami meninggalkan istrinya tanpa kejelasan?" jawab Ustadz Farid. Mataku membulat sempurna sambil menatap kearah Nisa begitu mendengar jawabannya dari ustadz Farid, sedangkan Nisa hanya mengangkat bahunya samar. "Bener seperti itu nak Amelia?" tanya ibu nyai padaku. "Benar Bu," jawabku mendukung kebohongan ustadz Farid. Mungkin ini yang terbaik, dari pada urusannya makin panjang jika aku mengatakan yang sebenarnya. "Siapa yang di abaikan suaminya?" ibu nyai masih bertanya. "Temannya mbak Amelia." kali ini Nisa yang menjawab. "Oh begitu, yaa sudah segera selesai urusan kalian. Jangan terlalu lama berbincang-bincang seperti ini, tidak baik dilihat yang lain. Lain kali jika ingin bertanya, bertanya saja pada ustazah yaa nak Amelia," pesan ibu nyai sebelum pergi meninggalkan kami. "Ya sudah ustadz, kami permisi dulu. Maaf jika membuang waktu usta
"Mas Damar ...." gumamku.Hatiku berdebar kencang melihat orang yang aku rindukan ada tepat di hadapku. Ingin rasanya aku berlari dan memeluknya, meluapkan rasa rindu yang telah lama aku tahan dalam hatiku. Ternyata Nisa adalah putri mereka. Kenapa takdir ini selalu membawaku berada di antara keluarga mas Damar. Apa gadis itu juga akan membenciku begitu tahu aku adalah kakak iparnya yang mengkhianati keluarga dan kakaknya. Jika dia pulang nanti pasti dia akan mengetahui segalanya. Aku segera berbalik arah, tidak mungkin aku bertemu mereka disini, sekarang. Aku berlari menuju kamar, tidak terasa netraku berair. Aku dulu berharap suamiku itu datang ke tempat ini, dan dia benar-benar datang. Namun ternyata kedatangannya bukan untuk menjemput diriku tapi menjemput adiknya. Takdir seperti selalu menertawakan nasibku. Sesampainya di kamar, aku membuka lemari pakaian dan mengambil foto pernikahanku dengan mas Damar yang sengaja aku bawa. Foto dengan pakaian pengantin berwarna putih, mas D
"Jangan, Nisa!" cegahku.Seger ku tutup pigura tersebut dengan bantal yang ada di sampingku. "Kenapa mbak?" tanya Nisa penasaran."Itu foto dengan pakaian terbuka. Kau tahu foto pengantin ala barat, yang memperlihatkan lehernya yang jenjang di kulitnya yang mulus? Nah seperti itulah fotoku itu. Jadi jangan dilihat ya, aku malu," ucapku beralasan."Ya sudahlah kalau begitu," ucap Nisa pasrah. " Ayo mbak, sebelum aku pulang kita bertemu dengan keluargaku dulu." Nisa mengulangi ajakannyaGadis itu merapikan semua barangnya dan hendak keluar membawanya. "Lain kali saja yaa, aku malu. Lihat ini mukaku habis menangis gini," tolakku."Ya udah deh kalau gitu, Aku pulang dulu yaa. Sampai ketemu lagi," ucap Nisa berpamitan. Aku mengantarkannya hingga dia keluar pintu kamar, setelah itu aku tutup kembali pintu kamar tersebut. Suasana disini mulai sepi, banyak siswa yang pulang selepas ujian. Hanya tinggal beberapa kelas saja yang mukim di pesantren, dan aku pun mulai kesepian karena tinggal s