เข้าสู่ระบบUsai palu diketuk di ruang sidang. Resmi sudah — perceraian antara Sherina dan Rendra disahkan oleh hakim. Seketika dada Sherina terasa sesak, kini dia menyandang status janda.
Sherina menatap Aron dan Marisa, kedua orang tua Rendra, yang kini ada di hadapannya. Tatapan mereka—terutama Marisa—penuh penilaian dan sinis. “Sudah saya bilang dari awal. Pernikahan kalian nggak akan awet. Terbukti, kan, sekarang?” katanya dengan nada sinis. “Ma, sudah,” ucap Aron pelan. “Kita nggak usah memperkeruh suasana.” “Aku cuma bicara apa adanya. Anak kita pantas dapat yang lebih baik dari perempuan kayak dia.” Sherina terdiam. Ia menunduk, menggenggam tangannya. Pandangan Sherina lalu terarah ke Rendra yang berdiri agak jauh, bersama pengacaranya. Tatapan pria itu sayu. Hanya mata mereka yang saling berbicara, ada sedih dan ada penyesalan. Sherina menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh ke arah Aron dan Marisa. “Ma… Pa…” panggilnya pelan. “Setelah ini, aku bakal pergi. Aku cuma mau bilang… maaf kalau selama ini aku banyak kurangnya. Kalau aku pernah bikin kalian kecewa, atau nggak bisa jadi menantu seperti yang kalian harapkan.” “Pergi saja kamu. Nggak perlu minta maaf. Dari awal pun kami nggak pernah menganggap kamu bagian dari keluarga kami.” Sherina menatap Aron — satu-satunya orang yang selama ini masih bersikap sedikit hangat padanya. Pria berkacamata itu hanya menatap balik dengan tatapan kasihan. “Sampaikan salam dan permohonan maafku pada Bibi, Nenek, dan Kak Rania,” ucapnya lagi. “Meskipun kalian nggak pernah benar-benar menerimaku sebagai menantu… aku tetap menyayangi kalian.” Marisa hanya memutar bola matanya malas. Wajahnya sama sekali tak menunjukkan empati. Sherina kemudian menatap ke arah Rendra lagi. Pria itu masih berdiri di tempatnya. Sherina menatap wajah itu lama, sangat lama. Ia ingin merekamnya di ingatan. Setelah menatap Rendra untuk terakhir kalinya, Sherina akhirnya berbalik, air matanya seketika itu juga jatuh, Sherina berlari secepat mungkin hingga tiba di tempat sepi, dia akhirnya meluruhkan tubuhnya ke tanah. Sherina menangis sejadi-jadinya, menangis sampai tergugu. Hatinya remuk redam. Ia tidak tahu apakah setelah ini hidupnya akan baik-baik saja. “Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa aku dilahirkan hanya untuk mendapatkan penderitaan?” Sherina memukuli dadanya dengan penuh sesal. Sejak kecil, hidupnya tak pernah benar-benar bahagia. Dia tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Anak tunggal dari keluarga sederhana. Saat teman-teman seusianya menikmati pelukan hangat dari ayah dan ibu, Sherina justru harus menyaksikan perpisahan orangtuanya. Tak lama, ibunya menikah lagi, begitu juga ayahnya. Namun, tak ada satu pun yang menginginkan kehadirannya di keluarga baru mereka. Akhirnya, bibinya dari pihak ayah yang dengan tulus membukakan pintu rumah—dan hatinya—untuk merawat Sherina sejak umur tujuh tahun. Di sanalah Sherina tumbuh. Sampai akhirnya dia bertemu Rendra, pria itu menyukainya lebih dulu meskipun Sherina hanya seorang pedagang kue. Rendra memilih gadis sederhana seperti dirinya sebagai pasangan hidup, meskipun di luar sana banyak yang aktris-aktris atau model terkenal yang mendekatinya. Mereka menikah. Tapi kini semuanya telah berakhir. Tak ada lagi yang mengharapkan kehadirannya. Jika bukan karena bibinya yang masih peduli, mungkin Sherina sudah melompat ke danau di depannya itu—mengakhiri segalanya. •••••••• Sherina menutup kopernya. Air matanya terus mengalir, membasahi pipi. Sesekali pandangannya berkeliling ke seluruh kamar. Hatinya terasa sangat berat meninggalkan tempat ini. Terlalu banyak kenangan yang tertinggal di sini. Entah di mana Rendra sekarang. Sudah empat jam berlalu sejak sidang perceraian itu selesai, tapi pria itu belum juga pulang. Tapi Sherina tak terlalu memikirkan pria itu. Sherina menatap meja di sudut kamar. Perlahan, ia melangkah ke sana, mengambil selembar kertas dan sebuah pulpen. Ia duduk dan mulai menulis. Tangannya bergetar, air matanya jatuh satu per satu, membasahi tulisan kertas itu. Setelahnya, Ia menatap surat itu lama, lalu melipatnya rapi dan meletakkannya di atas meja, di samping cincin pernikahan. Sherina berdiri. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri meski dadanya terasa sesak. Dengan gerakan kasar, ia mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti. Tatapannya berkeliling, menyapu setiap sudut kamar yang kini terasa asing baginya. Tatapan Sherina terhenti pada foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Sherina mendekat, jemarinya menyentuh bingkai foto itu dengan lembut. “Dulu, aku pikir hubungan kita akan bertahan selamanya,” katanya lirih. “Ternyata aku salah.” Ia kemudian menutup matanya sejenak.. “Kamu pasti bisa, Sherina. Kamu bisa…” ucapnya pelan, berusaha meyakinkan diri. Setelah itu, ia keluar kamar. Sekali lagi, ia memandang seisi rumah yang pernah menjadi saksi kebahagiaannya. Setelahnya, Sherina benar-benar pergi. Ia menarik kopernya, melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Di dalam taksi yang melaju pelan meninggalkan rumah itu, Sherina kembali menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isak yang nyaris meledak. Ia ingin sekali berteriak, melampiaskan semuanya, tapi suara itu hanya tersangkut di tenggorokannya. Sherina sadar bahwa dirinya hanya menjadi beban bagi Rendra, bagi orang tuanya, bahkan bagi dirinya sendiri. Tapi meski begitu, ia tak pernah berhenti mendoakan kebahagiaan orang-orang yang ia sayangi. Cinta, baginya, bukan soal memiliki… tapi merelakan dengan ikhlas, walau menyakitkan. Matanya terasa berat. Ia bersandar pada jendela, memandang langit sore yang mulai memerah. Entah kenapa, tiba-tiba rasa mual dan pusing menyerangnya, tubuhnya pun terasa lemah. Ia mencoba memejamkan mata, berharap semua rasa sakit ini berhenti sejenak. “Selamat tinggal, Rendra… selamat tinggal, semuanya…”"Ka, apa benar orang yang di restoran itu adalah Narendra? Mohon klarifikasinya, ka?""Sejauh ini, apa hubungan kalian masih sebatas HTS?""Ka, kakak nggak ingin minta kepastian dari Narendra? Soalnya banyak fans kalian di luar sana berharap kalian setidaknya jadian atau tunangan!"Beberapa wartawan berebut mengulurkan mikrofon ke arah seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang baru saja turun dari mobil hitam mewah. Wanita itu-Arabella-hanya tersenyum tipis, berusaha tetap tenang di tengah serbuan pertanyaan yang bertubi-tubi. "Ka, tolong jawab, biar di luar sana nggak ada lagi fitnah atau spekulasi!" Arabella menatap mereka sejenak, lalu berkata pelan tapi tegas,"Maaf, saya tidak bisa menjawabnya sekarang. Kalau kalian ingin bertanya lebih lanjut, silakan tanyakan langsung pada aktor yang bersangkutan.""Tolong menyingkir. Beri nona kami jalan," ucap salah satu bodyguard agensinya sambil menahan para wartawan yang semakin mendesak.Arabella segera melangkah masuk ke dalam
AKTRIS TERKENAL ARABELLA JOLIE DIKABARKAN TERCIDUK DATING DI SALAH SATU RESTORAN TERNAMA BERSAMA SEORANG PRIA YANG TAK DIKETAHUI WAJAHNYA.PRIA ITU TERLIHAT MEMAKAI MASKER DAN KACAMATA HITAM. NAMUN, BANYAK FANS YANG BERSPEKULASI BAHWA PRIA TERSEBUT ADALAH NARENDRA ARVANKA, LAWAN MAINNYA SENDIRI, YANG SUDAH BEBERAPA KALI TERLIBAT DALAM SATU PROJECT. TAPI SAMPAI SAAT INI, AGENSI EUNOIA ENTERTAINMENT BELUM MEMBERIKAN KLARIFIKASI RESMI MENGENAI HUBUNGAN KEDUANYA.Suara reporter wanita itu terdengar jelas dari layar televisi di ruang tamu. Rafa bersandar di sofa, lalu memencet remot. “Nggak seru…,” gumamnya pelan. Ia lebih suka acara kartun daripada gosip artis. Pagi ini, Rafa memang tidak masuk sekolah. Badannya memang sudah mulai membaik, tapi Sherina memintanya istirahat di rumah. Di rumah hanya ada dirinya dan nenek yang sedang tidur di kamar.Sementara itu, Sherina baru saja pergi mengantar beberapa pesanan pelanggan langganannya ke desa sebelah.“Kayaknya seru deh di kota…,” Rafa b
Delapan tahun kemudian...“Ayo! Oper bolanya ke sini!”“Ian! Kasih ke aku!”"Rafa! Tendang sini!"Bugh!“Aduh!”Anak laki-laki berambut crew cut itu menendang bola cukup keras, tapi arah tendangannya meleset dan justru mengenai kaki temannya. Bocah itu terjatuh sambil meringis kesakitan.“Woi! Kamu bisa main nggak sih!?”“Maaf… tadi katanya aku disuruh tendang,” katanya gugup.“Tapi kamu nendangnya kenceng banget! Tuh, si Adit jadi nangis! Nanti dia ngadu lagi ke mamanya, kita semua yang kena marah!” Anak itu hanya menunduk. Kedua jemarinya dimainkan pelan-pelan — kebiasaannya kalau sedang cemas.Ia menatap ke arah Adit yang masih duduk di tanah, memegangi kakinya sambil menangis. Beberapa anak yang lebih tua berusaha menenangkan Adit.“Sakit banget… kakiku… pasti patah ini!” rintih Adit, wajahnya meringis kesakitan saat salah satu orang membopongnya ke kursi taman.Anak laki-laki yang menendang tadi mendekat, matanya berkaca-kaca. “Maaf… aku nggak sengaja,” katanya pelan.Adit menat
Usai palu diketuk di ruang sidang. Resmi sudah — perceraian antara Sherina dan Rendra disahkan oleh hakim. Seketika dada Sherina terasa sesak, kini dia menyandang status janda. Sherina menatap Aron dan Marisa, kedua orang tua Rendra, yang kini ada di hadapannya. Tatapan mereka—terutama Marisa—penuh penilaian dan sinis.“Sudah saya bilang dari awal. Pernikahan kalian nggak akan awet. Terbukti, kan, sekarang?” katanya dengan nada sinis.“Ma, sudah,” ucap Aron pelan. “Kita nggak usah memperkeruh suasana.”“Aku cuma bicara apa adanya. Anak kita pantas dapat yang lebih baik dari perempuan kayak dia.”Sherina terdiam. Ia menunduk, menggenggam tangannya.Pandangan Sherina lalu terarah ke Rendra yang berdiri agak jauh, bersama pengacaranya. Tatapan pria itu sayu. Hanya mata mereka yang saling berbicara, ada sedih dan ada penyesalan. Sherina menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh ke arah Aron dan Marisa.“Ma… Pa…” panggilnya pelan. “Setelah ini, aku bakal pergi. Aku cuma mau bilang… maaf k
Sherina menutup matanya saat melihat potongan-potongan video adegan mesra di layar ponselnya—adegan yang diperankan oleh suaminya sendiri bersama lawan mainnya. “Itu cuma adegan, Rin. Kamu kan sudah biasa lihat hal kayak gitu. Nggak usah cemburu,” “Suami kamu itu setia dan profesional. Buktinya, selama satu tahun kalian menikah, dia nggak pernah melakukan hal-hal yang aneh.” Hari demi hari berlalu, dan nama Narendra serta Arabella, lawan mainnya semakin melambung. Hingga akhirnya, setelah dua minggu menjalani jadwal syuting padat, Narendra pulang ke rumah. “Kapan kamu umumin pernikahan kita? Sudah satu tahun, loh. Aku juga ingin dikenal sama fans-fans kamu,” kata Sherina lirih, saat mereka berbaring berpelukan di atas kasur. Narendra mengusap punggung polos istrinya pelan, lalu mengecup lembut kening wanita itu. “Maaf, nggak bisa sekarang, sayang. Agensiku minta aku tetap nyembunyiin status pernikahan kita, apalagi proyek filmku lagi naik-naiknya.” Suara Rendra terdengar pel







