เข้าสู่ระบบ
Sherina menutup matanya saat melihat potongan-potongan video adegan mesra di layar ponselnya—adegan yang diperankan oleh suaminya sendiri bersama lawan mainnya.
“Itu cuma adegan, Rin. Kamu kan sudah biasa lihat hal kayak gitu. Nggak usah cemburu,” “Suami kamu itu setia dan profesional. Buktinya, selama satu tahun kalian menikah, dia nggak pernah melakukan hal-hal yang aneh.” Hari demi hari berlalu, dan nama Narendra serta Arabella, lawan mainnya semakin melambung. Hingga akhirnya, setelah dua minggu menjalani jadwal syuting padat, Narendra pulang ke rumah. “Kapan kamu umumin pernikahan kita? Sudah satu tahun, loh. Aku juga ingin dikenal sama fans-fans kamu,” kata Sherina lirih, saat mereka berbaring berpelukan di atas kasur. Narendra mengusap punggung polos istrinya pelan, lalu mengecup lembut kening wanita itu. “Maaf, nggak bisa sekarang, sayang. Agensiku minta aku tetap nyembunyiin status pernikahan kita, apalagi proyek filmku lagi naik-naiknya.” Suara Rendra terdengar pelan. “Maaf, bukan maksud aku buat lebih mentingin agensi daripada kamu. Aku cuma nggak mau ngecewain mereka. Mereka udah bantu aku sampai di titik ini, jadi sebisa mungkin aku jaga perasaan mereka,” lanjutnya dengan tatapan sendu. Sherina terdiam. Jawaban itu sudah bisa ia tebak sejak awal, tapi tetap saja hatinya terasa sesak. Di matanya, ia bukan istri yang diakui dunia—ia seperti hanya seorang simpanan yang disembunyikan rapat-rapat. ••••••• "Ini apa!? kamu beradegan hot lagi sama lawan main kamu sampai udah buka-bukaan baju!" "Terus? Masalahnya dimana? Itu sudah bagian dari pekerjaanku!" "Masalah banget, Ren. Kamu udah punya istri nggak pantes buat adegan kayak gitu!" "Cukup! Diluar sana banyak aktor yang udah punya istri dan beradegan lebih hot dari aku!Kalau aku nolak, sama aja aku dianggap nggak profesional,” ucap Rendra tajam. “Aku udah sepuluh tahun hidup di dunia entertainment, dan aku nggak perlu izin sama kamu buat apa pun yang aku lakuin. Ini jalan hidupku, dan kamu nggak berhak ngatur, meskipun kamu istriku.” ••••••• “Kamu kenapa nggak ngabarin aku?” “Sesibuk-sibuknya kamu, harusnya kamu sempetin ngabarin aku. Lewat chat kek kalau nggak bisa telepon.” “Aku mana sempat ngabarin kamu? Seharian, semalaman aku sibuk syuting. Pegang HP aja nggak ada waktu hari ini. Harusnya kamu ngertiin aku,” “Aku boleh ngeluh nggak, sih?” balas Sherina lirih. “Kamu akhir-akhir ini berubah... nggak sehangat dulu. Mentang-mentang kamu dapat banyak proyek, fans kamu makin banyak, kamu jadi sering lupain istri kamu yang cuma seharian nungguin kamu di rumah.” Rendra yang semula menutup matanya tiba-tiba menoleh ke arah istrinya. “Berubah bagaimana? Itu cuma menurut kamu aja yang terlalu overthinking,” ucapnya dengan nada dingin. Ia menghela napas berat, lalu melanjutkan, “Aku juga udah pernah bilang waktu kita mutusin buat nikah, aku bakal kekurangan waktu buat kamu karena aku sibuk syuting ke depannya. Dan waktu itu kamu setuju, kamu iya-iya aja. Kok sekarang malah komplain ini itu? Kesel aku jadinya.” Ucap Rendra sembari bangkit dari sofa dengan ekspresi jengkel. “Ya, setidaknya kamu harus luangin waktu buat istri kamu!” balas Sherina menahan air mata. “Kamu weekend aja masih di loksyut, terus malah deket-deketan sama lawan main kamu itu!” “Memangnya salah?” sahut Rendra cepat. “Dia lawan mainku, dan kami nggak mungkin nggak terlibat komunikasi.” “Kalau gitu, aku cuma minta waktu kamu sehari aja,” kata Sherina pelan. “Kamu nggak bisa terus-terusan disetir sama agensi kamu. Kamu harus bilang ke mereka kalau kamu punya istri di rumah, dan kamu butuh waktu buat istirahat.” “Cukup, Sherina. Nggak usah diperpanjang,” potong Rendra dengan suara menekan. “Dan tolong, jangan pernah menjelek-jelekkan agensiku. Kamu nggak tahu apa-apa tentang dunia aku.” •••••••• “Aku capek terus-terusan kayak gini!” suara Rendra meninggi, napasnya memburu. “Kamu nggak bisa ngertiin posisiku sebagai aktor! Kamu cuma mikirin perasaan kamu sendiri tanpa tahu aku juga kerja keras setiap hari. Aku lelah, Rin…” katanya dengan nada frustrasi. Pria itu diam sejenak, kemudian menatap Sherina dengan pandangan nanar. “Lebih baik kita akhiri saja pernikahan ini. Kamu bebas, begitu pun aku.” Napas Sherina tercekat. Dadanya serasa dihantam keras. Tak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk berpisah dengan Rendra, meskipun mereka sering bertengkar. Ia menatap mata pria itu—mata yang dulu selalu menatapnya penuh cinta. Tapi kini, yang ia lihat hanya sorot keputusasa-an. “Nggak... tolong, jangan katakan itu,” ucap Sherina lirih. “Aku ingin bercerai,” kata Rendra pelan, namun mantap. “Kamu nggak lagi akting, kan?” tanya Sherina, masih mencoba berpikir positif. “I said seriously,” jawab Rendra lirih, matanya tak lagi menatap Sherina. “Aku nggak mau pisah sama kamu! Tolong jangan lakuin ini!” seru Sherina. Ia mengguncang lengan Rendra dengan kedua tangannya. “Aku... aku bakal perbaiki sikapku. Aku janji nggak akan ngeluh apa pun lagi ke kamu. Aku bakal nurutin semua kemauan kamu, tapi tolong... jangan ceraikan aku,” Rendra kemudian menangkup pipi Sherina dengan lembut, ibu jarinya menyeka sisa air mata di wajah istrinya. “Maaf... tapi keputusanku udah bulat,” ucapnya lirih. “Daripada kita terus bertengkar dan saling nyakitin, lebih baik kita berpisah saja." “Aku nggak mau pisah, tolong. Aku. sangat mencintai kamu” suara Sherina bergetar, matanya memohon. Rendra menelan ludahnya dengan susah payah. “Aku juga… aku masih sangat mencintai kamu, dari dulu sampai sekarang,” ucapnya pelan, suaranya serak. “Tapi kita nggak bisa terus mempertahankan pernikahan ini, Rin. Karena dalam pernikahan, bukan cuma cinta yang dibutuhkan… tapi juga pengertian, kesabaran, dan komunikasi. Dan semuanya… udah hilang di antara kita.” “Kalau begitu, ayo kita perbaiki semuanya,” pinta Sherina, masih menggenggam tangan pria itu erat. Rendra menggeleng perlahan. “Nggak bisa, Rin. Kita udah terlalu sering bertengkar. Aku takut nyakitin kamu lebih dalam lagi. Jadi... aku pikir perpisahan adalah jalan satu-satunya” ucapnya lirih. Rendra lalu menunduk. Ia mengecup kening wanita itu lama, turun ke hidung, lalu pipinya, sebelum akhirnya melumat bibir Sherina dengan lembut. Setelahnya, Rendra memeluk wanita itu erat. Sherina menangis meraung di dada suaminya, mencengkeram kemeja Rendra kuat. “Maaf…” bisik Rendra dengan suara bergetar. “Aku juga selama ini banyak salah sama kamu. Aku bukan suami yang baik. Aku minta maaf karena selama pernikahan ini, aku lebih sering ngasih luka daripada bahagia.” Ia menarik napas berat. “Setelah ini… hiduplah lebih baik. Aku bakal kasih rumah ini buat kamu, juga beberapa aset biar buat hidup kamu ke depannya.”"Ka, apa benar orang yang di restoran itu adalah Narendra? Mohon klarifikasinya, ka?""Sejauh ini, apa hubungan kalian masih sebatas HTS?""Ka, kakak nggak ingin minta kepastian dari Narendra? Soalnya banyak fans kalian di luar sana berharap kalian setidaknya jadian atau tunangan!"Beberapa wartawan berebut mengulurkan mikrofon ke arah seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang baru saja turun dari mobil hitam mewah. Wanita itu-Arabella-hanya tersenyum tipis, berusaha tetap tenang di tengah serbuan pertanyaan yang bertubi-tubi. "Ka, tolong jawab, biar di luar sana nggak ada lagi fitnah atau spekulasi!" Arabella menatap mereka sejenak, lalu berkata pelan tapi tegas,"Maaf, saya tidak bisa menjawabnya sekarang. Kalau kalian ingin bertanya lebih lanjut, silakan tanyakan langsung pada aktor yang bersangkutan.""Tolong menyingkir. Beri nona kami jalan," ucap salah satu bodyguard agensinya sambil menahan para wartawan yang semakin mendesak.Arabella segera melangkah masuk ke dalam
AKTRIS TERKENAL ARABELLA JOLIE DIKABARKAN TERCIDUK DATING DI SALAH SATU RESTORAN TERNAMA BERSAMA SEORANG PRIA YANG TAK DIKETAHUI WAJAHNYA.PRIA ITU TERLIHAT MEMAKAI MASKER DAN KACAMATA HITAM. NAMUN, BANYAK FANS YANG BERSPEKULASI BAHWA PRIA TERSEBUT ADALAH NARENDRA ARVANKA, LAWAN MAINNYA SENDIRI, YANG SUDAH BEBERAPA KALI TERLIBAT DALAM SATU PROJECT. TAPI SAMPAI SAAT INI, AGENSI EUNOIA ENTERTAINMENT BELUM MEMBERIKAN KLARIFIKASI RESMI MENGENAI HUBUNGAN KEDUANYA.Suara reporter wanita itu terdengar jelas dari layar televisi di ruang tamu. Rafa bersandar di sofa, lalu memencet remot. “Nggak seru…,” gumamnya pelan. Ia lebih suka acara kartun daripada gosip artis. Pagi ini, Rafa memang tidak masuk sekolah. Badannya memang sudah mulai membaik, tapi Sherina memintanya istirahat di rumah. Di rumah hanya ada dirinya dan nenek yang sedang tidur di kamar.Sementara itu, Sherina baru saja pergi mengantar beberapa pesanan pelanggan langganannya ke desa sebelah.“Kayaknya seru deh di kota…,” Rafa b
Delapan tahun kemudian...“Ayo! Oper bolanya ke sini!”“Ian! Kasih ke aku!”"Rafa! Tendang sini!"Bugh!“Aduh!”Anak laki-laki berambut crew cut itu menendang bola cukup keras, tapi arah tendangannya meleset dan justru mengenai kaki temannya. Bocah itu terjatuh sambil meringis kesakitan.“Woi! Kamu bisa main nggak sih!?”“Maaf… tadi katanya aku disuruh tendang,” katanya gugup.“Tapi kamu nendangnya kenceng banget! Tuh, si Adit jadi nangis! Nanti dia ngadu lagi ke mamanya, kita semua yang kena marah!” Anak itu hanya menunduk. Kedua jemarinya dimainkan pelan-pelan — kebiasaannya kalau sedang cemas.Ia menatap ke arah Adit yang masih duduk di tanah, memegangi kakinya sambil menangis. Beberapa anak yang lebih tua berusaha menenangkan Adit.“Sakit banget… kakiku… pasti patah ini!” rintih Adit, wajahnya meringis kesakitan saat salah satu orang membopongnya ke kursi taman.Anak laki-laki yang menendang tadi mendekat, matanya berkaca-kaca. “Maaf… aku nggak sengaja,” katanya pelan.Adit menat
Usai palu diketuk di ruang sidang. Resmi sudah — perceraian antara Sherina dan Rendra disahkan oleh hakim. Seketika dada Sherina terasa sesak, kini dia menyandang status janda. Sherina menatap Aron dan Marisa, kedua orang tua Rendra, yang kini ada di hadapannya. Tatapan mereka—terutama Marisa—penuh penilaian dan sinis.“Sudah saya bilang dari awal. Pernikahan kalian nggak akan awet. Terbukti, kan, sekarang?” katanya dengan nada sinis.“Ma, sudah,” ucap Aron pelan. “Kita nggak usah memperkeruh suasana.”“Aku cuma bicara apa adanya. Anak kita pantas dapat yang lebih baik dari perempuan kayak dia.”Sherina terdiam. Ia menunduk, menggenggam tangannya.Pandangan Sherina lalu terarah ke Rendra yang berdiri agak jauh, bersama pengacaranya. Tatapan pria itu sayu. Hanya mata mereka yang saling berbicara, ada sedih dan ada penyesalan. Sherina menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh ke arah Aron dan Marisa.“Ma… Pa…” panggilnya pelan. “Setelah ini, aku bakal pergi. Aku cuma mau bilang… maaf k
Sherina menutup matanya saat melihat potongan-potongan video adegan mesra di layar ponselnya—adegan yang diperankan oleh suaminya sendiri bersama lawan mainnya. “Itu cuma adegan, Rin. Kamu kan sudah biasa lihat hal kayak gitu. Nggak usah cemburu,” “Suami kamu itu setia dan profesional. Buktinya, selama satu tahun kalian menikah, dia nggak pernah melakukan hal-hal yang aneh.” Hari demi hari berlalu, dan nama Narendra serta Arabella, lawan mainnya semakin melambung. Hingga akhirnya, setelah dua minggu menjalani jadwal syuting padat, Narendra pulang ke rumah. “Kapan kamu umumin pernikahan kita? Sudah satu tahun, loh. Aku juga ingin dikenal sama fans-fans kamu,” kata Sherina lirih, saat mereka berbaring berpelukan di atas kasur. Narendra mengusap punggung polos istrinya pelan, lalu mengecup lembut kening wanita itu. “Maaf, nggak bisa sekarang, sayang. Agensiku minta aku tetap nyembunyiin status pernikahan kita, apalagi proyek filmku lagi naik-naiknya.” Suara Rendra terdengar pel







