เข้าสู่ระบบ"Ka, apa benar orang yang di restoran itu adalah Narendra? Mohon klarifikasinya, ka?"
"Sejauh ini, apa hubungan kalian masih sebatas HTS?" "Ka, kakak nggak ingin minta kepastian dari Narendra? Soalnya banyak fans kalian di luar sana berharap kalian setidaknya jadian atau tunangan!" Beberapa wartawan berebut mengulurkan mikrofon ke arah seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang baru saja turun dari mobil hitam mewah. Wanita itu-Arabella-hanya tersenyum tipis, berusaha tetap tenang di tengah serbuan pertanyaan yang bertubi-tubi. "Ka, tolong jawab, biar di luar sana nggak ada lagi fitnah atau spekulasi!" Arabella menatap mereka sejenak, lalu berkata pelan tapi tegas, "Maaf, saya tidak bisa menjawabnya sekarang. Kalau kalian ingin bertanya lebih lanjut, silakan tanyakan langsung pada aktor yang bersangkutan." "Tolong menyingkir. Beri nona kami jalan," ucap salah satu bodyguard agensinya sambil menahan para wartawan yang semakin mendesak. Arabella segera melangkah masuk ke dalam gedung tinggi bertuliskan Eunoia Entertainment-agensi besar yang menaunginya sejak awal karier. Begitu sampai di lantai tiga, ia langsung menjatuhkan diri ke sofa di ruang pribadinya. "Huft... sabar... jaga image, Arabel... jaga image," gumamnya sembari memijat pelipis. Tak lama, seorang wanita dengan kacamata hitam masuk sambil membawa tablet. "Bella, kamu baik-baik aja? Aku lihat berita pagi ini udah heboh lagi di media," kata Mira, manajernya, dengan nada khawatir. Arabella hanya menghela napas. "Baru juga nyampe, udah diserbu wartawan." Mira duduk di sebelahnya. "Udah, nggak usah dipikirin. Nanti jam lima sore kamu ada jadwal syuting untuk The Winter Love, di Erigo Park. Scene-nya lumayan berat, kamu harus siapin emosi. Setelah itu ada wawancara majalah Starline malamnya." Wanita yang memakai gaun off-shoulder itu mengangguk pelan. Hingga pukul lima sore, seluruh kru sudah bersiap di Erigo Park, salah satu taman kota dengan lapangan luas dan pemandangan pepohonan rindang. Beberapa alat kamera sudah terpasang di titik-titik tertentu, sementara lighting crew sibuk mengatur pencahayaan alami agar tetap stabil meski matahari mulai condong ke barat. "Scene 21, take 1!" teriak sutradara. "One... two... three... Action!" "Nia, tunggu! Tolong dengerin penjelasan aku!" Suara seorang pria menggema di area taman, seiring langkah cepatnya mengejar lawan mainnya, yang kini berlari sembari air mata mengalir di pipinya. Kamera steadycam mengikuti dari belakang, menyorot rambut panjang Arabella yang berkibar tertiup angin sore. Dari sisi lain, kamera kedua menangkap ekspresi tegang di wajah Narendra-pria itu benar-benar menghayati emosinya. "Nia!!!" Narendra akhirnya berhasil meraih pergelangan tangan Arabella. Tubuh mungil wanita itu dia putar hingga menabrak dada bidangnya. "Cut to close-up!" perintah sutradara lewat headset. Kamera menyorot rapat wajah mereka berdua. Nafas keduanya terengah, jarak mereka begitu dekat. Di layar monitor, adegan itu tampak begitu intens-keringat di pelipis Narendra, air mata yang masih menetes di pipi Arabella, semuanya terlihat nyata. Tangan Narendra mencengkeram pinggang Nia dengan kuat, sementara tatapan matanya menusuk tajam. "Le... lepasin aku..." ucap Nia lirih sembari mencoba mendorong dada Narendra pelan. "Aku nggak akan lepasin sebelum kamu dengerin penjelasan aku dulu," balasnya berat. "Nggak ada yang perlu dijelasin lagi. Kamu udah jelas-jelas bohongin aku selama ini!" katanya penuh emosi. "Aku nggak pernah bohongin kamu! Kamu cuma salah paham!" seru Narendra dengan napas memburu. Arabella menatapnya tajam. "Salah paham bagaimana!? Aku dengar sendiri dari mulut kamu, kamu bilang kalau selama ini cuma pura-pura mencintai aku!" Kamera menyorot wajah keduanya dari sudut kanan-close-up shot. Hening mendominasi taman yang kini hanya diisi suara burung sore. Narendra menurunkan nada suaranya, lalu melepaskan cengkeramannya di pinggang Bella. Kedua tangannya perlahan menangkup pipi wanita itu, membuat wajah Arabella terangkat. "Lihat mata aku! Tatap baik-baik! Aku... aku cuma mencintai kamu." Suaranya bergetar, namun begitu tulus terdengar di telinga para kru yang ikut menahan napas di belakang kamera. Arabella menelan ludahnya kasar. Jantungnya berdetak cepat karena adegan selanjutnya. "Dari dulu sampai sekarang... cintaku cuma untuk kamu, Nia," lanjut Rendra lembut namun tegas. "Tolong dengerin penjelasan aku dulu. Aku ngelakuin semua itu karena aku punya alasan. Yang kamu dengar itu... cuma sebagian." Kamera perlahan mendekat, menyorot ekspresi mereka yang penuh campuran emosi, sedih, dan cinta. Mata keduanya saling bertaut, seperti ada sesuatu yang tak terucap di antara napas yang sama-sama berat. "Aryan..." bisik Arabella lirih. Hanya butuh satu detik bagi Rendra untuk memiringkan wajahnya. Napasnya terasa di bibir Arabella yang kini bergetar. Wanita itu menutup matanya perlahan, membiarkan jarak di antara mereka hilang. Rendra memejam, lalu menyatukan bibirnya dengan bibir Arabella. Kamera menangkap momen itu dari sisi kiri-slow zoom in, memperlihatkan bagaimana Arabella awalnya diam, sebelum akhirnya membalas ciuman itu dan melingkarkan lengannya di leher pria itu. "CUT!!!" teriak sutradara lantang. Cukup satu kali take saja, dua artis terkenal itu sudah berhasil menuntaskan adegan mereka. Rendra sudah terbiasa beradegan seperti itu, begitu pun dengan Arabella. Tak ada kecanggungan atau rasa kikuk sedikit pun. Rendra menjauhkan kepalanya, tapi pria itu tidak benar-benar menjauh. Justru, ia malah memeluk Arabella. "Sorry... lipstikku jadi kena kamu," ucap Arabella pelan sembari mengusap punggung lebar pria itu yang kini menyandarkan kepala di bahunya. "It's okay... kayak nggak sekali dua aja kita kayak gini," balas Rendra ringan. Jujur saja, setelah adegan kiss atau adegan intim lainnya, ia selalu berakhir memeluk Arabella - entah kenapa. Wanita itu pun tidak mempermasalahkannya, malah diam-diam merasa senang. Syuting berlanjut hingga pukul sembilan malam, barulah setelahnya Rendra pulang ke rumah...ah lebih tepatnya apartemennya. Sejak bercerai dengan Sherina, ia tak lagi menempati rumah mereka dulu. Bukan berarti rumah itu dibiarkan kosong - tetap ada yang merawatnya. Namun, Rendra memang tak sanggup tinggal di sana sendirian. Terlalu banyak kenangan yang mereka ukir bersama, meskipun pernikahan itu hanya bertahan setahun. Rendra yang tadinya duduk di sofa tiba-tiba bangkit, lalu membuka laci di dekat kasur. Tatapannya tertuju pada selembar kertas yang sudah mulai usang, dengan cincin berlian putih di sampingnya. Tatapan pria itu nanar. Ia meraih kertas itu perlahan. Ya, surat yang Sherina tulis waktu itu - surat terakhir yang ia tinggalkan di rumah. Rendra masih ingat jelas, betapa terkejutnya ia saat pulang dan mendapati rumah kosong. Begitu membaca surat itu, hatinya terasa sesak seketika. "Bodoh banget... aku ninggalin rumah itu buat kamu, malah kamu yang pergi. Kalau kamu nggak mau, harusnya kamu jual aja rumah itu, bawa uangnya dengan begitu, aku nggak perlu terus merasa bersalah." Kata Rendra lirih, matanya menatap pada tulisan tangan Sherina yang mulai pudar. Menyesal karena sudah menceraikan Sherina? Hm, mungkin hanya dua puluh persen saja. Karena di dalam hatinya, Rendra yakin Sherina pasti sudah bahagia di luar sana. Meskipun awalnya ia tahu Sherina pasti sangat terluka, tapi waktu pasti menyembuhkan semuanya. Ia percaya, banyak laki-laki di luar sana yang pasti menginginkan Sherina. Namun setiap kali memikirkan itu, dada Rendra terasa panas. Ia benci membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu - Sherina menikah lagi, punya anak, membangun keluarga baru. Dia tidak tahu. Dia bahkan tidak tahu ke mana Sherina pergi setelah hari itu. Padahal, kenyataannya jauh berbeda dari yang Rendra bayangkan. Sherina bahagia? Ya, tapi bukan karena laki-laki lain. Kebahagiaan itu hadir karena kehadiran malaikat kecil di tengah keputusasaan hidupnya - putra kecilnya, Rafa. Tapi, Sherina tak memikirkan untuk mencari laki-laki lain, karena dia tidak ingin jika pria itu hanya mencintainya, tapi tidak dengan anaknya. Karena selama ini laki-laki yang mendekatinya hanya menginginkan dirinya. Sherina menatap wajah putranya yang baru saja terlelap setelah mendengar dongeng sebelum tidur. Senyum lembut terukir di bibirnya. Ia menunduk, mencium kening Rafa. "Sleep tight, my handsome," bisiknya. Sherina tak pernah bosan memandangi wajah polos itu. Kini, hanya Rafa yang mampu membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi - jatuh cinta pada darah dagingnya sendiri."Ka, apa benar orang yang di restoran itu adalah Narendra? Mohon klarifikasinya, ka?""Sejauh ini, apa hubungan kalian masih sebatas HTS?""Ka, kakak nggak ingin minta kepastian dari Narendra? Soalnya banyak fans kalian di luar sana berharap kalian setidaknya jadian atau tunangan!"Beberapa wartawan berebut mengulurkan mikrofon ke arah seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang baru saja turun dari mobil hitam mewah. Wanita itu-Arabella-hanya tersenyum tipis, berusaha tetap tenang di tengah serbuan pertanyaan yang bertubi-tubi. "Ka, tolong jawab, biar di luar sana nggak ada lagi fitnah atau spekulasi!" Arabella menatap mereka sejenak, lalu berkata pelan tapi tegas,"Maaf, saya tidak bisa menjawabnya sekarang. Kalau kalian ingin bertanya lebih lanjut, silakan tanyakan langsung pada aktor yang bersangkutan.""Tolong menyingkir. Beri nona kami jalan," ucap salah satu bodyguard agensinya sambil menahan para wartawan yang semakin mendesak.Arabella segera melangkah masuk ke dalam
AKTRIS TERKENAL ARABELLA JOLIE DIKABARKAN TERCIDUK DATING DI SALAH SATU RESTORAN TERNAMA BERSAMA SEORANG PRIA YANG TAK DIKETAHUI WAJAHNYA.PRIA ITU TERLIHAT MEMAKAI MASKER DAN KACAMATA HITAM. NAMUN, BANYAK FANS YANG BERSPEKULASI BAHWA PRIA TERSEBUT ADALAH NARENDRA ARVANKA, LAWAN MAINNYA SENDIRI, YANG SUDAH BEBERAPA KALI TERLIBAT DALAM SATU PROJECT. TAPI SAMPAI SAAT INI, AGENSI EUNOIA ENTERTAINMENT BELUM MEMBERIKAN KLARIFIKASI RESMI MENGENAI HUBUNGAN KEDUANYA.Suara reporter wanita itu terdengar jelas dari layar televisi di ruang tamu. Rafa bersandar di sofa, lalu memencet remot. “Nggak seru…,” gumamnya pelan. Ia lebih suka acara kartun daripada gosip artis. Pagi ini, Rafa memang tidak masuk sekolah. Badannya memang sudah mulai membaik, tapi Sherina memintanya istirahat di rumah. Di rumah hanya ada dirinya dan nenek yang sedang tidur di kamar.Sementara itu, Sherina baru saja pergi mengantar beberapa pesanan pelanggan langganannya ke desa sebelah.“Kayaknya seru deh di kota…,” Rafa b
Delapan tahun kemudian...“Ayo! Oper bolanya ke sini!”“Ian! Kasih ke aku!”"Rafa! Tendang sini!"Bugh!“Aduh!”Anak laki-laki berambut crew cut itu menendang bola cukup keras, tapi arah tendangannya meleset dan justru mengenai kaki temannya. Bocah itu terjatuh sambil meringis kesakitan.“Woi! Kamu bisa main nggak sih!?”“Maaf… tadi katanya aku disuruh tendang,” katanya gugup.“Tapi kamu nendangnya kenceng banget! Tuh, si Adit jadi nangis! Nanti dia ngadu lagi ke mamanya, kita semua yang kena marah!” Anak itu hanya menunduk. Kedua jemarinya dimainkan pelan-pelan — kebiasaannya kalau sedang cemas.Ia menatap ke arah Adit yang masih duduk di tanah, memegangi kakinya sambil menangis. Beberapa anak yang lebih tua berusaha menenangkan Adit.“Sakit banget… kakiku… pasti patah ini!” rintih Adit, wajahnya meringis kesakitan saat salah satu orang membopongnya ke kursi taman.Anak laki-laki yang menendang tadi mendekat, matanya berkaca-kaca. “Maaf… aku nggak sengaja,” katanya pelan.Adit menat
Usai palu diketuk di ruang sidang. Resmi sudah — perceraian antara Sherina dan Rendra disahkan oleh hakim. Seketika dada Sherina terasa sesak, kini dia menyandang status janda. Sherina menatap Aron dan Marisa, kedua orang tua Rendra, yang kini ada di hadapannya. Tatapan mereka—terutama Marisa—penuh penilaian dan sinis.“Sudah saya bilang dari awal. Pernikahan kalian nggak akan awet. Terbukti, kan, sekarang?” katanya dengan nada sinis.“Ma, sudah,” ucap Aron pelan. “Kita nggak usah memperkeruh suasana.”“Aku cuma bicara apa adanya. Anak kita pantas dapat yang lebih baik dari perempuan kayak dia.”Sherina terdiam. Ia menunduk, menggenggam tangannya.Pandangan Sherina lalu terarah ke Rendra yang berdiri agak jauh, bersama pengacaranya. Tatapan pria itu sayu. Hanya mata mereka yang saling berbicara, ada sedih dan ada penyesalan. Sherina menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh ke arah Aron dan Marisa.“Ma… Pa…” panggilnya pelan. “Setelah ini, aku bakal pergi. Aku cuma mau bilang… maaf k
Sherina menutup matanya saat melihat potongan-potongan video adegan mesra di layar ponselnya—adegan yang diperankan oleh suaminya sendiri bersama lawan mainnya. “Itu cuma adegan, Rin. Kamu kan sudah biasa lihat hal kayak gitu. Nggak usah cemburu,” “Suami kamu itu setia dan profesional. Buktinya, selama satu tahun kalian menikah, dia nggak pernah melakukan hal-hal yang aneh.” Hari demi hari berlalu, dan nama Narendra serta Arabella, lawan mainnya semakin melambung. Hingga akhirnya, setelah dua minggu menjalani jadwal syuting padat, Narendra pulang ke rumah. “Kapan kamu umumin pernikahan kita? Sudah satu tahun, loh. Aku juga ingin dikenal sama fans-fans kamu,” kata Sherina lirih, saat mereka berbaring berpelukan di atas kasur. Narendra mengusap punggung polos istrinya pelan, lalu mengecup lembut kening wanita itu. “Maaf, nggak bisa sekarang, sayang. Agensiku minta aku tetap nyembunyiin status pernikahan kita, apalagi proyek filmku lagi naik-naiknya.” Suara Rendra terdengar pel







