Aku, Bastian Prabaswara dijuluki si jenius oleh semua orang yang mengenalku. Gelar sarjana kudapatkan hanya dalam kurun waktu tiga tahun dengan hasil cum laude. Namun sayang, otak encer tidak sebanding dengan kehidupan ekonomi di keluargaku. Aku seorang putra dari ibu seorang pedagang nasi bungkus di pinggir jalan, daerah kampus di mana aku kuliah dulu.Perbedaan status membuatku harus dijengkal oleh orangtua wanita yang aku cintai, terutama Arya Adiwijaya, papa Keysha. Hubungan kami pun ditentang karena status ekonomi.Selain dapat beasiswa di bangku kuliah S1, aku bahkan dapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan S2 di Hitotsubashi University Bussiness School di Jepang. Awalnya, aku menolak tawaran beasiswa tersebut, tetapi keadaan yang memaksaku untuk mengambilnya waktu itu.Dua tahun aku mendapatkan gelar MBA di negara sakura, lalu di sanalah aku bekerja dan bertemu dengan Sir.Hiro, salah satu pembisnis di Jepang. Aku diajak bekerja sama menyalurkan barang elektronik seperti oven,
Bodoh, kenapa aku bisa berpikir dia akan menungguku? Pamit aja, aku enggak. Namun, ini bukan sepenuhnya kesalahanku. Kalau saja kondisi itu tidak terpaksa, aku tidak akan meninggalkan Jakarta.Namun tidak apa, lihat saja, semesta pun seolah memihak kepadaku. Jika tidak dapat info dari Ayu, setidaknya aku bisa mendekati keluarganya. Iya, masih ada Bu Naila dan Elina. Aku jadi tahu alamat rumah setelah aku membantu membawa mamanya ke rumah sakit kala dia pingsan. Namun jujur, bantuan itu ikhlas tanpa pamrih. Bahkan uang perawatan rumah sakit yang sudah aku keluarkan, itu semuanya ikhlas tanpa harus dikembalikan. Aku disambut hangat Bu Naila dan Elina kala aku mengunjunginya. Hidup lebih sederhana dengan rumah yang mereka huni sekarang. Aku masih belum mengetahui keadaan mereka beberapa tahun belakang. Namun, aku sudah tahu kalau papanya sudah meninggal karena sakit.Sampai sore itu, kala aku mengunjungi Bu Naila di rumah sekadar ingin tahu keadaannya, sengaja kubawakan mie ramen untuk
Keysha berusaha membuang muka, tidak ingin melakukan kontak mata terlalu lama dengannya. Dia masih takut memandang wajah yang akan membuat ingatan tentang kenangan masa lalu hadir di pikirannya. Lebih baik menghindar daripada semua akan berakhir runyam.Bastian meraih tangannya tanpa sungkan dan membawa menuju ke sofa empuk ruangan. Entah mengapa, wanita tersebut tidak menolak mengikuti langkahnya. Berhadapan dengan Bastian, tidak kuasa menampik seolah terbius atau terhipnotis."Mulai hari ini, kamu bisa bekerja di sini bersamaku." Bastian mengutarakan niatnya."Aku nggak bilang akan terima pekerjaan ini." Keysha menyahut lalu berdiri hendak keluar dari ruangan. Baru beberapa langkah, kakinya tertahan karena pria berjambang tipis itu mencengkal pergelangan tangannya."Key, kenapa? Bukannya kamu butuh pekerjaan?" Dia tidak terima penolakan karena tak mau usaha membawa Keysha masuk ke kandangnya pun sirna. Niat ingin bersama agar dapat memperbaiki yang telah terjadi."Iya, tapi bukan d
Bukan Keysha tidak mau menyahut, tetapi dia terlalu takut untuk mengakuinya apa yang dirasakan Bastian serupa dengan apa yang dirasakannya. Aroma tubuh lelaki yang sangat nyaman, memanjakan indra penciuman. Bahkan, dentuman jantung Bastian tak beraturan terdengar jelas, membuat Keysha sadar bahwasanya dia juga mempunyai perasaan yang sama. Cinta yang sama seperti saat mereka bersama dulu.Serasa ada magnet yang membuatnya terjerat dan tidak ingin melepaskan. Hanya saja, Keysha memaksakan diri untuk menyudahi karena tiba-tiba bayangan Ikbal dan Gita menari di pikiran. Ada rasa bersalah dalam hati kecil, tak sepantasnya dia terlalu larut dengan perasaan."Bas, aku mau pulang." Terdengar suaranya lirih.Bastian mendengarkan tetapi tak menggubriskan. Dengan mata yang masih terpejam, dia terlihat sangat menikmati momen bersama. Dia berharap, bumi berhenti berputar, biarkan peristiwa ini tidak segera berakhir."Bas!" Keysha memanggil dan menarik diri.Kali ini, Bastian melepaskan pelukan. K
"Gimana interview tadi, Key?" tanya Ikbal ketika malam tiba di ruang tamu.Keysha yang tengah sibuk dengan ponsel langsung menoleh ke arah pemilik pertanyaan. Dia berbagi pesan dengan Ayu, menceritakan perihal masalah pekerjaan. Sebenarnya dari siang, Keysha sudah menanyakan dan meminta pendapat tetapi belum ada jawaban apa-apa darinya. "Tadi pertanyaan Bu Linda seputar diri pribadi dan pengalaman kerja." Keysha menjawab dan menatap sekilas suaminya."Selamat, ya, Key. Kamu diterima di perusahaan kami." Mata si suami berbinar sambil dilayangkan kecupan tepat di keningnya.Mendapat kata selamat bukan membuat hati Keysha menjadi senang seperti kebanyakan orang yang sudah resmi meninggalkan gelar 'pengangguran'. Hatinya malah masih meragu untuk mengiyakan posisi 'sekretaris' direktur utama. "Lho, kok, kamu sepertinya nggak happy, Key?"Keysha semakin kikuk setelah rona wajahnya kebaca Ikbal. Apa dia harus jujur atau berdusta tentang kejadian tadi siang di ruang Bastian?Lantas, hati ke
"Mama baik. Gini kak, barusan aku cek kotak obat mama. Obatnya sudah habis. Kakak tahu, kan, obat diabetes dan tekanan darah itu tidak boleh stop. Harus tetap diminum.""Tadi siang pas aku jemput Gita di rumah, mama nggak ngomong apa-apa.""Iya, Kakak tahulah sifat mama. Dia nggak bakal bicara apa-apa. Nggak pernah minta dan selalu mengusahakan sendiri."Keysha mengangguk setuju dengan pernyataannya. "Ya, sudah, besok kamu ada waktu untuk antar mama konsultasi ke dokter? Kalau kamu nggak sempat, besok kakak aja yang antar mama." Keysha menawarkan diri."Besok aku nggak ada jadwal les, Kak. Aku bisa antar mama, kok. Tapi ...." Elina berhenti berucap."Kenapa, Lin?""Kakak punya uang, nggak? Aku pinjam dulu. Soalnya gajiku udah aku pake untuk keperluan skripsi.""Punya. Nanti kakak transfer, ya, kamu nggak usah balikin. Nggak apa-apa, pake uang kakak aja.""Ok kalo gitu, besok aku kabari kondisi mama setelah aku selesai konsul ke dokter, ya." Mereka mengakhiri panggilan setelah menguc
"Key ...."Keysha membalikkan badan dan menangkap pemilik suara yang memanggilnya barusan lalu tersenyum tipis."Lo udah datang?" Lelaki itu berjalan mendekati dan mendapat anggukan dari Key."Hai, Vin. Mejaku di mana?" Keysha langsung ke permasalahannya."Tuh, di sana."Mata Keysha mengikuti arah yang ditunjukkan Kevin dengan gerakan dagu dan matanya."Di dalam?" Keysha menunjuk ke pintu ruang direktur dengan telunjuknya.Kevin, sang general manager menaikkan kedua alis bersamaan mengisyaratkan 'iya'."Enggak, enggak, aku enggak mau kalau di situ." Keysha menolak sambil mengibaskan tangannya. "Mendingan aku pulang dan nggak jadi kerja." Keysha bergegas pergi dari tempat itu."Hei, hei, Key, tenang dulu," Kevin berhasil menarik tangannya dan menenangkan dengan suara pelan, khawatir suaranya kedengaran karyawan lain yang kebetulan lalu lalang daerah situ.Setelah berhasil menahan langkah Keysha, dia kembali bernegosiasi agar wanita tersebut tidak langsung hengkang karena masalah meja k
"Apa?" Suara Keysha terdengar lirih.Belum sempat Kevin menyahut pertanyaannya, terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki. Kevin dan Keysha melempar pandang ke arah pintu. "Hei, kamu sudah datang?" Bastian menghampiri meja tempat Kevin dan Keysha membicarakan tentangnya. Wajah itu cerah seperti mentari sedang memancarkan sinar kebahagiaan setelah menangkap kehadiran Keysha di ruangan.Kevin berdiri menyambutnya, "aku udah jelasin semua tugas yang harus dikerjakan selama Key ada di sini. Selanjutnya, jika ada tugas tambahan, mungkin lo sendiri yang harus jelasin ke dia."Bastian menarik bibir ke atas, hatinya sedang kedatangan kupu-kupu berwarna-warni. Dirinya seperti mendapat hadiah undian jackpot milyaran rupiah. Tatapan pun tak lepas dari wanita yang masih duduk di meja yang disediakan khusus untuknya."Bas!" Keysha berdiri dan berucap dengan suara sedikit penekanan. "Aku nggak mau mejaku di sini karena nggak mau satu ruang dengan kamu." Bastian menoleh sebentar ke Kevin,