Share

Desakan

Aku segera masuk ke dalam mobil. Sesaat memperhatikan seorang lelaki yang menghampiri Dania. Dalam hati aku tertawa puas. 'Dasar, dikiranya mencari suami sebaik Adam itu muda. Tuh, juga cuma pria culun yang mendekatinya. Aku sumpahin semoga tidak ada yang mau menikahi, Dania!"

"Bu, ibu kenapa senyum-senyum sendiri itu?" seloroh Rico membuatku terkejut.

"Apa sih!" Aku menepuk paha Rico yang mulai melajukan kemudi.

"Iya, ibu kenapa senyum-senyum sendiri? Ibu baik-baik saja kan?" Sekilas anak bungsuku menatapku penuh selidik.

"Iya, ibu baik-baik saja kok!" balasku.

"Tapi, kayaknya ibu senang sekali? Gara-gara bisa menghina Kak Dania ya?" Rico menjatuhkan tatapan menuduh padaku.

"Sembarangan!" Aku menepuk paha Rico cukup keras, sesaat membuatnya mengaduh.

"Ibu senang, karena akhirnya ibu bisa memisahkan Abang kamu dengan Dania," balasku.

"Astaghfirullahaladzim!" Rico mengelus dada dengan mata membulat.

"Kenapa ibu setega itu?" Ucapan Rico semakin membuatku kesal saja.

"Itu adalah balasan yang setimpal untuk wanita yang suka mengatur-mengatur Abang kamu itu. Seenaknya saja dia mercuni Abang kamu untuk membenci ibu. Jelas-jelas ibu yang sudah melahirkannya. Bagaimana bisa coba!" gerutuku kesal.

"Ah, terserah ibu saja lah!" Rico kembali memfokuskan netranya pada jalanan yang berada di depan mobil.

****

Aku sudah menyiapkan semua berkas-berkas yang akan Adam gunakan untuk menggugat cerai Dania. Semakin cepat Adam berpisah akan semakin baik. Karena setelah itu aku akan mencarinya Adam calon istri yang lebih kaya raya lagi daripada Dania.

"Adam! Adam!" sergahku pada Adam yang terlihat sedang buru-buru sekali.

"Ada apa, Bu?" Adam menghentikan langkah kakinya di depan teras rumah lalu menoleh padaku.

"Kamu mau kemana?"

"Ke bengkel lah, Bu. Kemana lagi." Adam mengeryitkan dahi.

"Sekarang juga ganti bajumu, ada urusan yang jauh lebih penting daripada bengkel kamu." Aku menarik pergelangan tangan Adam masuk ke dalam rumah.

"Urusan apalagi, Bu?" gerutu Adam dengan wajah kesal.

"Urus surat cerai kamu dengan Dania. Ibu sudah tidak sudi memiliki mantu pembangkang seperti Dania."

Adam menghempas tanganku cukup kasar. "Bu, hari ini aku ada janji dengan pak Santoso. Dia akan mengambil mobilnya. Mengurus perceraian itu kan bisa nanti-nanti. Lagipula Dania juga sudah tidak ada disini," debat Adam semakin membuatku kesal.

"Adam, ibu mau sekarang juga kamu urus surat-surat itu. Memangnya kamu tidak sakit' hati apa, ibu yang sudah melahirkan kamu di injak-injak oleh istrimu yang durhaka itu." Aku terisak, agar Adam semakin percaya dengan ucapanku.

"Ibu tau, ibu hanya mengusahakan kalian. Tapi pada siapa lagi ibu harus meminta Adam. Jika kamu membela Dania, lalu ibu harus sama siapa?" decihku.

"Aku tau Bu, tapi jangan hari ini. Aku benar-benar ada janji. Kan bisa besok atau lusa."

Aku mendengus berat. "Baiklah, besok! Pokoknya besok kamu harus mengajukan gugatan cerai pada Dania. Lagipula untuk apa kamu memperhatikan wanita mandul seperti Dania itu," hinaku.

"Ibu, sudahlah! Jangan bicara seperti itu."

Adam terlihat tidak suka dengan ucapanku. Aku membuang wajahku sesaat dari tatapan Adam.

"Pokoknya segera ya, Adam. Biar Dania juga dapat dengan kencan dengan lelaki itu," imbuhku hendak berlalu.

"Maksud ibu?"

Suara terkejut Adam memaksaku menoleh kepadanya. "Memangnya kamu tidak tahu?" Aku menaikkan kedua alisku pada Adam.

"Kemarin ibu melihat Dania sedang bersama lelaki di sebuah toko bunga, tanya saja sama Rico jika tidak percaya," jelasku memutar tubuhku. "Dasar wanita murahan!" hinaku seraya berlalu.

****

POV Dania.

"Siapa tadi itu, Mbak?" tanya lelaki bernama Rian yang sesaat menoleh padaku kemudian kembali berfokus pada jalanan yang berada di depan mobil.

"Ibu-ibu tadi?" tanyaku menyakinkan.

Rian berdehem mengangguk lembut.

"Dia ibu mertuaku," balasku. Ibu benar-benar sudah mempermalukan aku di depan Rian dan penjaga toko tadi.

"Kenapa Mbak diam saja?" Kali ini lelaki berkacamata besar itu tidak menoleh padaku. Namun aku tau, pasti tadi dia melihat makian ibu padaku saat kami di toko bunga.

Kuulas senyuman kecil pada kedua sudut bibirku dan tidak berucap sepatah kata apapun.

"Oh, iya maaf, Mbak! Harusnya saya tidak bertanya terlalu jauh pada Mbak Dania tentang urusan pribadi, Mbak. Lagipula itu kan bukan urusan saya." Rian melemparkannya senyuman kecil padaku karena aku tidak menjawab pernyataannya.

"Hem ... Santai saja, aku baik-baik saja kok!" balasku tersenyum kecil, meskipun kejadian tadi tetap saja mengusik pikiranku.

"Oh iya, Mbak, besok pagi saya akan datang menjemput Mbak Dania lagi seperti perjanjian kita tadi," ucap Rian saat mobil yang ia kendarai hampir tiba di kantorku.

"Tidak, tidak usah, Mas! Biar besok saya berangkat sendiri saja," tolakku.

"Mbak Dania nggak usah khawatir, tadi kan Mbak Dania dengar sendiri apa kata Pak Ram."

Aku mendengus berat. Produser yang akan memfilmkan bukuku memang meminta supir pribadinya untuk menjemputku setiap kali kita akan berangkat syuting. Karena jarak tempuh ke lokasi syuting sangat jauh sekali.

"Baiklah, besok Mas Rian bisa datang ke kantorku," ucapku setelah Rian memberhentikan mobilnya di depan kantor.

"Baik Mbak, pukul tujuh saya sudah berada di sini," balas Rian tersenyum kecil.

*****

Tok! Tok!

Aku mendengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Kulirik waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Aku bergegas menyemprotkan parfum pada tubuhku sebelum aku melangkahkan kaki keluar dari kamar. Bangunan berlantai dua yang aku sulap menjadi rumah' tinggal dan kantor. Karena rumah yang aku beli masih dalam tahap renovasi.

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu yang berulang kali mempercepat langkah kakiku menuruni anak tangga. Aku tidak mau terlambat datang ke lokasi syuting.

Aku terkejut saat melihat lelaki yang berada di depan kantorku tidak lain adalah Mas Adam bukan Rian supir Pak Ram.

"Mas!" lirihku tanpa aku sadari bibir ini bergetar memanggil Mas Adam. 'Apakah jangan-jangan Mas Adam tau jika kantor ini adalah miliku. Untuk apa dia datang ke sini. Bagaimana dia tau jika aku berada di sini?

"Adam, cepat!" seru suara wanita yang berada di luar pagar menyadarkanku dari ribuan tanya yang berjejalan.

"Ada apa, Mas?" tanyaku kemudian menatap lelaki yang lebih pantas disebut manekin ibu mertuaku.

"Hari ini aku akan mengajukan surat perceraian kita ke pengadilan. Aku harap saat sidang nanti kamu datang, agar urusan kita segera selesai," tutur Mas Adam terdengar dingin. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status