Share

Aku Butuh Uangmu Bukan Tampangmu, Mas!
Aku Butuh Uangmu Bukan Tampangmu, Mas!
Penulis: Ansus Asyra

Aku Butuh Uangmu, Mas. Bukan Tampangmu!

"Mas, token listrik habis, tuh! Apa kamu enggak dengar dia sudah bernyanyi sejak tadi pagi?!" tegur Alisa kepada suaminya yang asyik memainkan ponselnya.

"Tinggal kamu isi, kan, beres. Begitu aja, kok, pake lapor segala sama aku," balas Rahman acuh dan tetap fokus dengan benda pipih di tangannya. Bahkan, dia sama sekali tidak melihat ke arah sang Istri yang sudah melotot gara-gara ucapannya barusan.

Alisa berkacak pinggang. "Uangnya mana? Kamu pikir isi token itu sulapan yang tinggal simsalabim terus langsung terisi pulsanya?"

Rahman berdecak kesal karena merasa aktivitasnya terganggu. "Kamu tinggal beli pakai uangmu, kan, bisa! Kok susah?"

"Ya, memang aku susah! Susah karena punya suami seperti kamu. Kamu pikir aku punya uang? Kalau punya, aku enggak akan minta sama kamu!"

Wanita itu meluapkan amarah yang telah dipendamnya. Membuat Rahman meletakkan ponselnya ke atas meja. Pria itu menatap istrinya dengan pandangan tajam. Namun, sedikit pun tidak terlihat rasa takut di mata Alisa. Bahkan rasa hormatnya kepada Rahman sudah menghilang entah sejak kapan.

"Lho, kok, habis? Padahal baru kemarin aku kasih kamu uang dua ratus ribu. Kamu jadi istri, kok, boros banget sih!" hardik Rahman menunjuki sang Istri.

Wanita itu memejamkan mata dengan rahang mengeras. Alisa memang telah menduga kalimat yang akan keluar dari mulut suaminya. Namun, tetap saja amarahnya tersulut saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Rahman. Benar-benar pria yang satu ini minta dibejek jadi rujak bebek biar otaknya tidak sengklek lagi.

"Uang dua ratus ribu yang kamu kasihkan ke aku itu sudah kamu berikan sepuluh hari yang lalu. Itu artinya kamu hanya memberikanku sehari dua puluh ribu saja. Dan kamu masih bilang aku boros? Boros matamu picek!"

"Lho, kok, kamu ngegas, sih? Mana ngatain aku picek. Kamu udah mulai berani, ya! Mau kamu aku cap istri durhaka, ha!"

Rahman sudah berdiri sembari balas berkacak pinggang dan melotot ke istinya. Jika biasanya Alisa akan takut dan menundukkan kepala, tetapi tidak kali ini. Batas kesabaran wanita itu sudah habis.

Selama tiga tahun hidup bersama, Rahman belum pernah sekali pun dia memberikan uang di atas dua puluh ribu sehari. Mungkin kalau dulu Alisa masih bisa terima sebab belum mempunyai anak. Akan tetapi, kini mereka telah memiliki satu orang anak yang usianya sudah dua tahun dan sedang gencar-gencarnya makan, ngemil dan jajan. Bukankah itu hal yang wajar dilakukan anak berusia dua tahun?

"Kalau aku berani terus kamu mau apa? Aku sudah cukup muak, ya, sama sifat pelit dan pemalas kamu itu. Jangan kamu pikir aku enggak tahu berapa uang yang kamu dapat dari pekerjaanmu. Aku tahu! Dan kamu cuma memberikanku enggak sampai setengah uang yang kamu terima. Lalu, sekarang kamu mengataiku boros? Enak betul kamu jadi laki, ya! Dasar benalu!"

"Tutup mulutmu, Alisa! Kamu enggak pernah diajarkan orangtuamu tentang bagaimana cara menghargai seorang suami?"

"Jangan pernah mengajariku tentang bagaimana menghargai suami, kalau kamu enggak pernah menghargaiku sebagai seorang istri. Ingat, Mas, aku punya batas kesabaran. Aku bukan malaikat yang enggak sakit hati dengan perlakuanmu selama ini. Aku muak, Mas. Muak!"

"Jadi, kamu enggak mau kuajak hidup susah? Istri macam apa kamu yang menghardik suaminya karena hidup susah."

Alisa tersenyum getir. Sungguh ingin sekali rasanya wanita itu menghantam kepala pria di depannya itu dengan palu agar otaknya bisa berpikir dengan baik dan benar.

"Kamu pikir, apa dulu aku diajak hidup susah oleh kedua orang tuaku? Jangan seenaknya jadi manusia kamu, Mas. Aku yang sejak kecil hingga dewasa diberikan kehidupan yang baik dan layak oleh kedua orangtuaku. Tiba-tiba setelah menikah denganmu harus diajak hidup susah. Enggak masalah sebenarnya buatku asalkan kamu sebagai seorang suami itu benar. Lha ini? Kerja saja kamu malas, sekalinya ada yang menawarkan kerja kamu milih-milih. Eh, giliran kamu bekerja malah memberikanku nafkah sesuka hatimu."

"Ya, wajarlah kalau aku milih-milih kerjaan. Aku ini tampan, wajahku rupawan. Mana pantas aku kerja di tempat yang kotor dan panas. Bisa hilang aura ketampananku nantinya."

Alisa menyunggingkan senyum sinis mendengar guyonan dari suaminya itu.

Rahman memang tampan. Kulitnya kuning langsat dan bersih, hidungnya mancung, serta tubuh yang tinggi proporsional. Membuat Rahman terlihat seperti artis di sinetron. Akan tetapi, apakah Alisa dan anaknya akan kenyang hanya karena ketampanan yang dimilikinya? Tentu tidak bukan?

"Baik , kalau memang begitu pemikiranmu silakan angkat kaki dari rumah ini karena aku butuh uangmu, Mas. Bukan tampangmu!"

Tepat setelah itu, terdengar suara tamparan yang membuat Alisa jatuh di lantai. Namun, bukan Rahman pelakunya, tetapi seseorang yang baru saja memasuki rumah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status